Minggu, Januari 12, 2014

Lawyer, Ngawur-ngawuran Membela yang Bayar


Para lawyer, penasehat hukum, advokat, seolah merupakan dunia tersendiri yang bebas menentukan nilai etik, ukuran kebenaran berdasarkan otak dan mulutnya sendiri. Terutama mereka yang menjadi penasehat hukum koruptor, sering memakai media untuk pencitraan mereka, daripada alih-alih membela client-nya mati-matian, tapi lebih lebih untuk menyerang dan menjatuhkan lawan. Lihat kasus menjelang penahanan AU kemarin. Penyidik meminta kalau punya pembela hukum sendiri, AU diminta memanggil mereka untuk mendampingi dan kemudian akan dilakukan pemeriksaan.
Tapi kenyataannya, tak satu pun para penasehat hukum AU datang ke KPK (atau memang diperintahkan AU untuk tidak datang), dan malah mereka, salah satunya mejeng menjadi narasumber siaran live sebuah televisi Jakarta.
Namun kenyataan paradoksal, dalam pengadilan-pengadilan tindak korupsi, sering kita lihat para lawyer ternyata tak banyak membantu, selain hanya bersilat lidah mencari celah yang menguntungkan. Kalah set dalam posisi ini, kesan yang jauh lebih menontol. Sementara itu, media massa kita, yang lebih suka hura-hura dan huru-hara, menjadi panggung empuk untuk digunakan mereka melakukan mediasi, setidaknya untuk memainkan opini dan impresi publik. Maka melemparkan wacana ke publik melalui media, adalah hal yang paling suka dilakukan, karena itu juga promosi gratis bagi mereka.

Media seperti atau seolah penari amatiran, yang menari di atas gendang orang. Kita tahu, media adalah lembaga yang mempunyai kemampuan mencari, menyiarkan, dan mengolah informasi sedemikian rupa. Sebagai konsekuensi logis dari kemampuan ini, media juga mampu membuat dan memproduksi informasi yang sebelumnya tidak atau belum ada menjadi ada dan lebih penting ketimbang sebelumnya.  Dan hal itu tentu sangat disadari para lawyer yang terkesan justeru bermain di ranah politik yang penuh impressi, daripada bermain di ranah hukum yang steril, atau setidaknya kurang multi-tafsir.
Pemberitaan penahanan AU, bukan hanya langsung dari kantor KPK. Media juga memperluas lingkup siaran jauh sampai ke Duren Sawit, bahkan Blitar. Bukan hanya menemui para ahli hukum, pakar politik, pejabat parpol, namun juga sampai pada keluarga pihak yang bersangkutan. Hal itu sebagai upaya dari karakternya, jika memang dipandang akan memberikan angle (sudut) yang lain dan bisa menjadi cerita menarik bagi khalayak. 
Media juga memproduksi cerita baru yang bisa menggeser nilai informasi soal penahanan AU. Mereka bisa memproduksi pesan dan pencitraan terhadap pihak-pihak yang dianggap terkait: ada yang diposisikan menjadi penjahat, pahlawan, musuh, korban, pendukung, dan lain sebagainya. 
Hal itulah yang disebut sebagai fungsi agenda setting yang dimiliki media. Pada kasus ini, maka yang semula dianggap sebagai pahlawan bisa berubah menjadi penjahat dan sebaliknya. Kita lihat saja, bagaimana media menyajikan berita-berita pasca-penahanan AU. 
Akan muncul produk-produk yang dilempar ke publik dikemas begitu cantik dan profesional, sehingga antara fakta dan opini menjadi baur. Publik tentu akan memilih sesuai dengan preferensi dan referensi, serta kecenderungan mereka, termasuk ideologi, status sosial, latar belakang pendidikan, dan sebagainya. 
Ucapan terimakasih kepada Ketua KPK, SBY, akan menjadi lahan bagi produksi realitas baru, dengan mengundang pakar bahasa, pakar high-context atau pun body language. Masyarakat modern tak akan bisa menolak hal ini, karena sudah menjadi bagian tak terpisahkanl dari modernitas itu sendiri. 
Sikap kritis dan penalaran sehat, akan mampu menghindarkan diri dari jebakan agenda setting media, apalagi media yang dimiliki oleh pihak-pihak yang punya kepentingan dalam dimensi permainan politik itu. Mereka bisa menjadi penumpang gelap dari semua kemungkinan.
Pada sisi yang utama, lawyer membela clientnya yang membayar, itu hal yang logis. Tapi, membela dengan amunisi yang salah, itu menyedihkan. Karena rakyat tidak bisa dikibuli dengan kata-kata yang gigantik dan heroik (apalagi narsistik). Karena "membela yang bayar" itu, di mata rakyat sudah merupakan cacat moral pertama, dan membuat lawyer menjadi antagonis. Bahkan, secara pahit, Pramoedya Ananta Toer mengatakan, "Mendapat upah karena menyenangkan orang lain, yang tidak punya persangkutan dengan kata hati sendiri, dalam seni itu namanya pelacuran,..."
Jika rakyat tidak percaya omongan lawyer (apalagi lawyer yang hitam), bisa jadi bukan karena rakyat cerdas. Tetapi lebih karena ia tahu moralitas orang bayaran, tidak sangat dipercaya. Apalagi, yang sulit ditolak, bersekutu dengan koruptor, itu sudah menjadikan anggapan tersendiri, masuk menjadi bagian common enemy. Berbeda dengan sang advokat anggun Yap Thiam Hien, yang berani membela seorang yang disangka PKI. Untuk jaman Orde Baru waktu itu, tindakan Yap Thiam Hien melawan arus. Namun melawan arus di situ disampaikan dengan argumentasi penguasaan dalil-dalil hukum. Dan baru setelah Soeharto longsor, masyarakat bisa mengapresiasi bahwa Yap Thiam Hien benar.
Dalam keseharian kita, membela yang bayar bukan hanya perilaku lawyer tentu. Hampir setiap profesional, yang dibayar karena keahliannya, bisa jadi akan berada dalam posisi itu. Mau tak mau, terpaksa dan tidak terpaksa, berada pada posisi membela client, tunduk pada client, dan memuja yang membayar. Dalam sastra juga bisa terjadi hal semacam itu, meski konon sastra adalah dunia mulia. Orang Kemenag juga bisa bilang begitu, agama adalah mulia, tapi korupsi buku Alquran bisa terjadi. Namanya juga manusia katanya.
Tentu saja. Mana ada kucing terlibat kasus korupsi atau perkosaan? Belum tentu rakyat banyak (dengan anggapannya) itu benar. Karena kebenaran, kata sang sufi, tidak bisa hanya karena jumlah, melainkan juga harus dinilai dari nilainya. Tapi, lawyer sekarang tidak bisa meyakinkan rakyat bodoh, bahwa anggapan lawyer hanya membela yang bayar itu salah.
Logo dari berbagai lembaga bantuan hukum, yang dulu selalu bersimbol pada dalil 'semua manusia di hadapan hukum sama', equality before the law, atau gambar orang miskin mengemis dewi keadilan, sekarang kebanyakan logonya hanyalah permainan grafis dari masing-masing inisial lawyer. Misalnya, RS, PS, ABN, TC, JR, MA, PAN, CEN, BAJ, ING, AN, AS, U, dll, dll!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...