“Gaya religius Sukarno adalah gaya Sukarno sendiri,” tulis Clifford Geertz dalam Islam Observed (1982). Betapa tidak? Kepada Louise Fischer, Bung Karno pernah mengaku bahwa ia sekaligus Muslim, Kristen, dan Hindu. Di mata pengamat seperti Geertz, pengakuan semacam itu dianggap sebagai “bergaya ekspansif, seolah-olah hendak merangkul seluruh dunia”.
Sebaliknya, ungkapan semacam itu, pada hemat BJ Boland dalam The Struggle of Islam in Modern Indonesia (1982), “hanya merupakan perwujudan dari perasaan keagamaan sebagian besar rakyat Indonesia, khususnya Jawa”. Bagi penghayatan spiritual Timur, ucapan itu justru “merupakan keberanian untuk menyuarakan berbagai pemikiran, yang mungkin bisa dituduh para agamawan formalis sebagai bid’ah”.
Namun ungkapan Bung Karno ini, di mata para penghayat tasawuf, bukanlah hal yang asing. Ibn Al-‘Arabi (1076-1148) mendendangkan kesadaran yang sama, “Laqad shara qalbiy qabilan kulla shuratin, famar’a lighazlanin wa diir liruhbanin wa baytun li autsanin wa ka’batu thaifi wal wahu tawrati wa mushafu qur’anin (Hatiku telah siap menerima segala simbol, apakah itu biara rahib-rahib Kristen, rumah berhala, Ka'bah untuk thawaf, lembaran Taurat atau mushaf Al Quran).
Jalaludin Rumi, bernama lengkap Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al Khattabi al-Bakri, sering pula disebut dengan nama Rumi semata (penyair sufi yang lahir di Balkh, sekarang Afganistan, pada tanggal 6 Rabiul Awwal tahun 604 Hijriah atau tanggal 30 September 1207 Masehi) pernah berujar dalam puisinya yang sangat sohor; "Jangan tanya apa agamaku. Aku bukan Yahudi. Bukan Zoroaster. Bukan pula Islam. Karena aku tahu, begitu suatu nama kusebut, kau akan memberikan arti yang lain daripada makna yang hidup di hatiku."
Bung Karno pernah membuat terperanjat Mr. Siegenbeek van Heukelom, yang mengadilinya di Landraad Bandung tahun 1930 (yang kemudian kita kenal sebagai "Indonesia Menggugat"). “Ik ben een revolutionaire” (Saya seorang revolusioner), tegas Bung Karno. Tetapi kata dia selanjutnya: “Ik werk niet met bommen en granaten” (Saya bekerja tanpa bom dan granat). Hakim kolonial itu sangat kaget, karena Bung Karno menyebut bahwa Yesus adalah seorang yang revolusioner, meskipun Ia bekerja tanpa kekerasan. “Revolusi”, kata Bung Karno, adalah “eine Umgestaltung von Grundaus” (perubahan sampai ke akar-akarnya), baik dalam hal politik maupun dalam ajaran keagamaan. Dalam suatu pidatonya, Bung Karno di luar kepala dapat menghapal Injil Yohanes Pasal 1 dalam bahasa Belanda.
Namun sebagai seorang Muslim, Bung Karno meyakini petunjuk-petunjuk wahyu dalam Al Quran dan Hadits, tetapi ayat-ayat suci berbagai agama tersebut juga turut memperkaya spiritualitasnya. Hal itu dapat dimengerti, sebagaimana ditulis Cindy Adams, karena kesadaran Bung Karno, bahwa kebenaran itu tunggal dan satu-satunya suara kemanusiaan adalah 'Kata dari Tuhan' (Sukarno An Autobioghraphy, 1965).
M. Dawam Rahardjo dalam sebuah tulisannya, menyebut Bung Karno sebagai pemikir Islam yang orisinal, bukan kontroversial. Dan Bung Karno bukanlah seorang sinkretis seperti banyak dituding (hanya karena lintas bacaan atau referensi keagamaannya), tetapi ia seorang penganut agama tauhid yang patuh.
Di satu pihak, dalam berbagai kesempatan Bung Karno mengritik paham kalam asy’ariyah mengenai ketidakcukupan 20 sifat Allah, berbareng dengan kritiknya terhadap paham taqlid dan kejumudan-kejumudan kaum tradisionalis pada zamannya. Kritik Bung Karno ini bisa dilacak dari kegandrungannya pada paham rasionalisme Islam klasik Mu’tazilah dan pemikiran-pemikiran pembaru Islam khususnya Jamaluddin al-Afghani.
Namun sebagaimana pemikiran Nurcholish Madjid (dalam salah satu tulisannya), komitmen kita sebagai umat Islam ialah komitmen pada nilai, bukan pada golongan. Pemikiran ini menarik untuk melihat pemikiran Islam Bung Karno. Kita tahu, nilai memiliki kepastian relatif, sedang golongan tidak. Seseorang boleh "berkulit" haji, berbendera Muhammadiyah atau NU memang; tapi jaminan dari orang itu, bahwa ia akan senantiasa lurus dan bersikap luhur sebagaimana nilai-nilai yang melekat pada baju yang dipakainya, tidak ada.
YB Mangunwijaya, atau Rama Mangun pastor praja dan novelis itu, pernah menguraikan dalam sebuah bukunya, betapa religi dan religiousitas itu sesuatu yang pada hematnya berbeda, meski bisa jadi ia berangkat dari nama yang sama. Pada sisi ini, Indonesia yang beragam jauh lebih punya kemungkinan untuk lebih baik. Bukan soal 'agama toleransi', tetapi ghirah menghargai orang lain, sebagai penghormatan pada marwah Allah yang Mahaesa dalam Indonesia yang bhineka tunggal ika ini. Bukankah kemutlakan hanya milik Allah? Kesalahan Soeharto dulu, yang kita sebut sebagai ajaran 'soehartoisme', ialah keinginannya untuk kekuasaan mutlak, kemenangan mutlak, kebenaran mutlak, dan kemutlakan mutlak. Karenanya, aneh saja ketika ada yang mencoba mempraktikkan ajaran itu hari-hari ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar