“Kemarin dan esok
adalah hari ini
bencana dan keberuntungan
sama saja.
Langit di luar,
Langit di badan,
Bersatu dalam jiwa”
| Rendra
Betapa tidak mudah memahami kata-kata mudah dari Rendra di atas. Bagaimana memahami bencana dan keberuntungan sebagai sesuatu yang “sama saja”? Puisi banget! Kalau kita suka mengumpat "hidup tak semudah cocote Mario Teguh", bolehkah kita ngomong yang sama untuk cocote Rendra ini?
Tapi demikianlah. Indonesia
berada dalam posisi yang rawan, bukan dalam pengertian semantik, atau sinisme
terhadap bobroknya mentalitas manusia korup kita. Kita berada di negeri rawan
bencana, tapi sayangnya bukan sebagai bangsa yang terlatih dan sudi belajar.
Sukanya menuntut pemerintah yang tidak sigap.
Dua kali gempa tektonis dari
Kebumen, seolah menginterupsi konsentrasi kita pada bencana banjir di berbagai
daerah dan erupsi Sinabung. Dan media televisi, yang menjadi referensi keseharian
kita, sama sekali tidak inspiring dan membimbing kita untuk mengerti.
Malah-malah, ia menjadi teror atau ancaman itu sendiri, dengan
pertanyaan-pertanyaan dogol yang diulang-ulang. "Bantuan apa yang sudah
diberikah pemerintah? Pengungsiannya nyaman tidak?"
Peringatan akan adanya gempa
dan bencana alam ini-itu dari pakar, sering mendapatkan respons yang justru
negatif. Masyarakat justeru me-negasi dengan negatif. Informasi awal mengenai
potensi gempa, memang bisa membuat publik panik. Namun, informasi tersebut tak
sepenuhnya salah, karena Indonesia memang memiliki catatan bencana alam yang
beragam. Persoalannya, masyarakat memang cenderung mempunyai ketergantungan
yang tinggi pada negara atau pemerintah, pada situasi-situasi chaostic. Ini
tentu karena social enginering kita tidak berjalan dengan semestinya.
Pemerintah hanya sibuk dengan mereka-reka angka, dan manusia hanya didekatinya
dengan matematika seperti itu.
Pemerintahan kita menganggap
rendah potensi bencana, yang niscaya dan akut. Itu semua karena miskinnya
apresiasi pemerintah dan rakyatnya, sebagai akumulasi dari ketidakpedulian kita
pada potensi bencana. Masyarakat kita memandang bencana sebagai kewenangan
mutlak Tuhan Sang Maha Pencinta, dan kita tak bisa apa-apa. Belum lagi jika
dikaitkan dengan dosa-dosa manusia, kutukan Tuhan, dan sebagainya.
Nopember tahun lalu, saya
bertemu dengan beberapa nelayan di pulau Sebatik (Kalimantan Utara), yang
kesehariannya mencari ikan di laut. Mereka sedang giat-giatnya bekerja secara
keras, mencari ikan sebanyak-banyaknya, agar bisa mendapatkan uang
sebanyak-banyaknya. Buat apa sebanyak-banyaknya itu? Agar mereka bisa menabung,
karena hari-hari berikutnya, cuaca akan tidak bersahabat, angin dan hujan tak
menentu, dan dipastikan mereka tak bisa melaut.
Jika mereka tidak melaut,
padahal itu satu-satunya cara mencari nafkah, lantas bagaimana memenuhi hajat
hidupnya? Itulah sebabnya mereka menabung untuk kebutuhannya selama 2-3 bulan
ke depan, selama cuaca tidak bersahabat, dan selama mereka tak bisa melaut.
Mereka bukan pembaca alam ghaib, tetapi karena mempunyai kewaskitaan yang
dididik oleh keakrabannya dengan alam.
Siklus alam kita, sesungguhnya
bukan misteri yang tak teruraikan. Dan Allah sendiri menjanjikan kita boleh
menafsirnya dengan logika yang dianugerahkan. Peristiwa bencana alam,
sesungguhnya bukan peristiwa yang tak bisa dimengerti dari sisi peradaban
manusia sebagai mahkluk yang diperkenankan berpikir.
Ketika saya bercengkerama ke
beberapa penduduk di Tutup Ngisor, Kecamatan Dukun, Muntilan (Jateng), beberapa
penggali pasir yang berada di ring satu bahaya Merapi, mengatakan bahwa Gunung
Merapi memberi kehidupan dan rejeki pada mereka. Sehabis gunung meletus, kata
mereka, maka pasokan pasir, batu, begitu melimpah, dan menjadi sumber mata
pencaharian. Demikian juga bagi para petani, pasca letusan Merapi, tanah
menjadi subur, dan menjadi pengharapan untuk masa tanam berikutnya.
Jika demikian, mengapa
fenomena alam itu tidak dipersahabat, sebagaimana naluri hewan-hewan yang
tajam, yang akan menjauh dari Merapi, ketika peristiwa erupsi itu terjadi?
Di Jepang, setelah bencana
besar Fujiyama, pemerintah dan para ilmuwan Jepang, berfikir keras mengenai hal
itu. Dan hasilnya, terjadi perubahan pada konstruksi sosial dan budaya
masyarakat setempat. Bentuk rumah dan konstruksinya, pekerjaan atau mata
pencaharian penduduk, semua didisain untuk mengantisipasi sebagai resiko
lingkungan yang rawan dan tidak stabil.
Pemerintah dan akademisi
Indonesia, sesungguhnya juga bisa, mendisain setepatnya, bagaimana memposisikan
hubungan masyarakat sekitar ruang-ruang bencana itu. Sehingga kita tidak hanya
bicara soal "tanggap bencana" atau "musibah alam", padahal
itu adalah peristiwa kerutinan yang bisa diperkirakan.
Artinya, sikap mental,
karakter budaya, pola pikir masyarakat kita, adalah persoalan social enginering
yang selama ini diabaikan. Dan kita hanya ribut jika hal tersebut terjadi.
Ribut keprihatinan, ribut aksi sosial, ribut anggaran bencana.
Negeri ini berada di cincin
api bencana. Bencana alam adalah keniscayaan. Namun kita tidak mendengar
ajakan, untuk memikirkan penyikapan kita atas fenomena dan pembacaan kuasa
Tuhan atas alam semesta ini. Hal itu bukanlah kesombongan yang dungu, melainkan
kedunguan yang sombong. Manusia mahluk lemah, baiklah. Kita tak peka dengan
tanda-tanda alam, baiklah juga. Namun, jika kita tak mampu membaca alam,
mengapa kita tidak mau membaca buku?
Perkembangan ilmu pengetahuan
saat ini belum mampu memberikan kemampuan bagi manusia untuk meramal bencana.
Tapi kita suka mengacaukan ilmu dengan klenik. Padahal agama tanpa ilmu, kata
Einstein, adalah buta. Kita tak bisa menjaga dan membaca alam, diam-diam ikut
merusaknya, tetapi ketika alam bereaksi atas ulah manusia, Tuhan juga yang
dituding marah dan menghajar habis makhluk ciptaannya. Bacalah doa lingkaran
Rendra di atas, bahwa bencana dan keberuntungan adalah sama saja. Semuanya dari
sikap kita menghadapinya.
Jika bencana demi bencana ini
tak kunjung usai, benarkah karena "Mungkin Tuhan mulai bosan, terhadap tingkah kita, yang selalu
salah dan bangga dengan dosa-dosa? Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang,..."
begitu ajakan Ebiet G. Ade.
Bertanya pada rumput? Membaca alam saja tak bisa, apalagi ngajak bercakap-cakap dengan rumput.
Bertanya pada rumput? Membaca alam saja tak bisa, apalagi ngajak bercakap-cakap dengan rumput.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar