Di Indonesia Raya ini, pernah terjadi Pengadilan Puisi Indonesia
Mutakhir. Diselenggarakan oleh Yayasan Arena di Aula Universitas
Parahyangan Bandung, 8 September 1974. Bertindak sebagai Hakim Sanento
Yuliman dan Darmanto Jatman. Pembela Taufik Ismail. Saksi-saksi
memberatkan: Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, Sides Sudyarto DS,
dan Pamusuk Eneste. Saksi meringankan Saini KM, Wing Kardjo, Adri
Darmadji, dan Yudhistira ANM Massardi.
Awalnya, Sutardji Calzoum Bachrie memunculkan kredo puisi, “..., Pada mulanya adalah kata. Dan Kata Pertama adalah Mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantra.” (30 Maret 1973). Kredo ini bagian dari kegelisahan penyair-penyair angkatan Sutardji yang melihat “dominasi” Majalah Sastra Horison (yang anehnya, kredo ini kemudian dimuat di majalah itu dua bulan setelah acara Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir di Bandung itu).
Dalam Pengadilan Puisi di Bandung, Slamet Sukirnanto mengecam majalah sastra Horison yang telah mengembangbiakkan puisi lirik secara berlebihan. Akibatnya tidak memberi tempat bagi munculnya kemungkinan-kemungkinan baru dalam pengucapan puisi Indonesia modern. Yang dimaksud, tentulah puisi-puisi yang dikembangkan Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono, yang saat itu berkembang dengan amat subur di majalah sastra Horison dan media-media massa lainnya, seperti Basis dan Budaya Jaya. Majalah-majalah itu tidak menerima puisi-puisi karya karya Sutardji yang ‘melawan’ kata, dan puisi-puisi karya Darmanto yang banyak memasukkan kata-kata bahasa Jawa dalam puisi-puisinya.
Dalam bahasa tuntutan Slamet Sukirnanto, kehidupan puisi Indonesia akhir-akhir ini (1974), tidak sehat, tidak jelas dan brengsek! Hal itu terjadi karena menurutnya, kritikus seperti H.B. Jassin dan M.S. Hutagalung tidak lagi cemerlang dalam mengapresiasi puisi yang ditulis oleh para penyair yang datang kemudian. Untuk itu Goenawan Mohamad pun dituntut berhenti menulis puisi, karena dinilai tidak berkembang. Demikian juga Rendra dan Sapardi Djoko Damono dituntut sama pula.
Tidak hanya itu. Hakim Sanento Yuliman dan Darmanto Jatman pun menyatakan dalam putusannya bahwa majalah sastra Horison harus menambah kata "baru" pada logo majalah tersebut. Selain itu, para redakturnya dituntut untuk pensiun. Mereka yang dituntut pensiun itu antara lain Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, H.B. Jassin, dan sejumlah tokoh lainnya.
Dalam kesaksian Abdul Hadi WM, sastra Indonesia buruk, tak sebagus sastra Jawa Kuno dan dianjurkannya untuk lebih dibaca. Sides beranggapan; sesudah Chairil, tidak ada puisi lagi ditulis di Indonesia.
Setelah berembug, dengan mengindahkan KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Puisi, begitu istilah mereka), mempertimbangkan hukum adat, dan membaca cerita adat, para hakim menyusun keputusannya, yang kemudian dibacakan oleh hakim Darmanto Jatman: Menolak semua tuntutan jaksa. Puisi Indonesia Mutakhir memang ada, hanya belum berkembang.
Selengkapnya keputusan hakim sebagai berikut:
1. Para kritikus tetap diizinkan untuk menulis dan mengembangkan kegiatan serta meneruskan eksistensinya, dengan catatan harus mengikuti kursus menaikan mutu dalam Sekolah Kritikus Sastra yang akan segera didirikan.
2. Para penyair mapan masih diberi peluang untuk berkembang terus. Begitu juga para penyair epigon dan inkarnatif, boleh menulis terus dengan keharusan segera masuk ke dalam panti asuhan atau Rumah Perawatan Epigon.
3. Para redaktur Horison tetap diizinkan terus memegang jabatan mereka, selama mereka tidak merasa malu. Bila dikehendaki sendiri mereka boleh mengundurkan diri.
4. Majalah sastra Horison tidak perlu dicabut SIC dan SIT-nya, hanya di belakang nama harus diembel-embeli “baru”, sehingga menjadi Horison Baru. Masyarakat luas tetap mendapatkan izin membaca sastra dan membaca puisi.
Ini sebuah acara yang lucu, namun serius dan orisinal. Bisa jadi, ini muncul dari otak Darmanto Jatman, yang gagasan dan karyanya sering terlihat kocak tapi genius. Namun dagelan keren itu tidak selesai di situ. Selang dua minggu setelah acara itu, pada 21 September 1974 di Universitas Sastra Indonesia Jakarta, diadakan acara Jawaban Atas Pengadilan Puisi. Tampil berbicara semua nama yang dihujat dalam acara Pengadilan Puisi Bandung.
Giliran Slamet Sukirnanto jadi bulan-bulanan. Lucunya, Slamet Sukirnanto minta maaf (huahaha, ketawa ala fesbuker). Lebih lucu lagi, Goenawan Mohamad puni marah-marah, mengatakan pengadilan puisi itu adalah perkerjaan penyair yang tidak lagi bisa menulis puisi. Ia mengatakan: “Maka Pak tua, jangan menangis! Tak ada salahnya puisi itu hidup tanpa kita,…”
HB Jassin mengemukakan sikapnya terhadap pengadilan puisi itu, menolak terhadap apa yang dituduhkan kepadanya. HB Jassin menganggap pengadilan puisi itu hanya suatu permainan kanak-kanak yang lucu. Namun pengadilan itu, katanya, merupakan perangsang untuk menimbulkan kesungguhan dalam mencari kebenaran material.
MS Hutagalung dalam makalah berjudul Puisi Kita Dewasa Ini, menyatakan tuduhan tentang kesalahan kritikus dalam melihat perkembangan sastra, tidak beralasan dan tidak benar. Sudut pandang Sukirnanto-lah yang brengsek. Sapardi Djoko Damono mengemukakan makalah berjudul 'Catatan Atas Pengadilan Puisi dan Tuntutan Slamet Sukirnanto'. Sapardi menganggap keputusan pengadilan puisi tidak dapat diterima, karena keberadaan majalah Horison tidak ditentukan oleh Slamet Sukirnanto. Baginya, Slamet Sukirnanto adalah korban kekocakan Darmanto Jatman.
Awalnya, Sutardji Calzoum Bachrie memunculkan kredo puisi, “..., Pada mulanya adalah kata. Dan Kata Pertama adalah Mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantra.” (30 Maret 1973). Kredo ini bagian dari kegelisahan penyair-penyair angkatan Sutardji yang melihat “dominasi” Majalah Sastra Horison (yang anehnya, kredo ini kemudian dimuat di majalah itu dua bulan setelah acara Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir di Bandung itu).
Dalam Pengadilan Puisi di Bandung, Slamet Sukirnanto mengecam majalah sastra Horison yang telah mengembangbiakkan puisi lirik secara berlebihan. Akibatnya tidak memberi tempat bagi munculnya kemungkinan-kemungkinan baru dalam pengucapan puisi Indonesia modern. Yang dimaksud, tentulah puisi-puisi yang dikembangkan Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono, yang saat itu berkembang dengan amat subur di majalah sastra Horison dan media-media massa lainnya, seperti Basis dan Budaya Jaya. Majalah-majalah itu tidak menerima puisi-puisi karya karya Sutardji yang ‘melawan’ kata, dan puisi-puisi karya Darmanto yang banyak memasukkan kata-kata bahasa Jawa dalam puisi-puisinya.
Dalam bahasa tuntutan Slamet Sukirnanto, kehidupan puisi Indonesia akhir-akhir ini (1974), tidak sehat, tidak jelas dan brengsek! Hal itu terjadi karena menurutnya, kritikus seperti H.B. Jassin dan M.S. Hutagalung tidak lagi cemerlang dalam mengapresiasi puisi yang ditulis oleh para penyair yang datang kemudian. Untuk itu Goenawan Mohamad pun dituntut berhenti menulis puisi, karena dinilai tidak berkembang. Demikian juga Rendra dan Sapardi Djoko Damono dituntut sama pula.
Tidak hanya itu. Hakim Sanento Yuliman dan Darmanto Jatman pun menyatakan dalam putusannya bahwa majalah sastra Horison harus menambah kata "baru" pada logo majalah tersebut. Selain itu, para redakturnya dituntut untuk pensiun. Mereka yang dituntut pensiun itu antara lain Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, H.B. Jassin, dan sejumlah tokoh lainnya.
Dalam kesaksian Abdul Hadi WM, sastra Indonesia buruk, tak sebagus sastra Jawa Kuno dan dianjurkannya untuk lebih dibaca. Sides beranggapan; sesudah Chairil, tidak ada puisi lagi ditulis di Indonesia.
Setelah berembug, dengan mengindahkan KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Puisi, begitu istilah mereka), mempertimbangkan hukum adat, dan membaca cerita adat, para hakim menyusun keputusannya, yang kemudian dibacakan oleh hakim Darmanto Jatman: Menolak semua tuntutan jaksa. Puisi Indonesia Mutakhir memang ada, hanya belum berkembang.
Selengkapnya keputusan hakim sebagai berikut:
1. Para kritikus tetap diizinkan untuk menulis dan mengembangkan kegiatan serta meneruskan eksistensinya, dengan catatan harus mengikuti kursus menaikan mutu dalam Sekolah Kritikus Sastra yang akan segera didirikan.
2. Para penyair mapan masih diberi peluang untuk berkembang terus. Begitu juga para penyair epigon dan inkarnatif, boleh menulis terus dengan keharusan segera masuk ke dalam panti asuhan atau Rumah Perawatan Epigon.
3. Para redaktur Horison tetap diizinkan terus memegang jabatan mereka, selama mereka tidak merasa malu. Bila dikehendaki sendiri mereka boleh mengundurkan diri.
4. Majalah sastra Horison tidak perlu dicabut SIC dan SIT-nya, hanya di belakang nama harus diembel-embeli “baru”, sehingga menjadi Horison Baru. Masyarakat luas tetap mendapatkan izin membaca sastra dan membaca puisi.
Ini sebuah acara yang lucu, namun serius dan orisinal. Bisa jadi, ini muncul dari otak Darmanto Jatman, yang gagasan dan karyanya sering terlihat kocak tapi genius. Namun dagelan keren itu tidak selesai di situ. Selang dua minggu setelah acara itu, pada 21 September 1974 di Universitas Sastra Indonesia Jakarta, diadakan acara Jawaban Atas Pengadilan Puisi. Tampil berbicara semua nama yang dihujat dalam acara Pengadilan Puisi Bandung.
Giliran Slamet Sukirnanto jadi bulan-bulanan. Lucunya, Slamet Sukirnanto minta maaf (huahaha, ketawa ala fesbuker). Lebih lucu lagi, Goenawan Mohamad puni marah-marah, mengatakan pengadilan puisi itu adalah perkerjaan penyair yang tidak lagi bisa menulis puisi. Ia mengatakan: “Maka Pak tua, jangan menangis! Tak ada salahnya puisi itu hidup tanpa kita,…”
HB Jassin mengemukakan sikapnya terhadap pengadilan puisi itu, menolak terhadap apa yang dituduhkan kepadanya. HB Jassin menganggap pengadilan puisi itu hanya suatu permainan kanak-kanak yang lucu. Namun pengadilan itu, katanya, merupakan perangsang untuk menimbulkan kesungguhan dalam mencari kebenaran material.
MS Hutagalung dalam makalah berjudul Puisi Kita Dewasa Ini, menyatakan tuduhan tentang kesalahan kritikus dalam melihat perkembangan sastra, tidak beralasan dan tidak benar. Sudut pandang Sukirnanto-lah yang brengsek. Sapardi Djoko Damono mengemukakan makalah berjudul 'Catatan Atas Pengadilan Puisi dan Tuntutan Slamet Sukirnanto'. Sapardi menganggap keputusan pengadilan puisi tidak dapat diterima, karena keberadaan majalah Horison tidak ditentukan oleh Slamet Sukirnanto. Baginya, Slamet Sukirnanto adalah korban kekocakan Darmanto Jatman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar