Ketika dunia makin mengenal internet, muncul apa yang disebut sosial-media (sebagai lawan dari media mainstream, yang dikelola oleh modal dan sekelompok profesional).
Media ini bisa beragam namanya, dari friendster, linked-in, facebook, google+, weibo, renren, badoo, twitter, flickr, tumblr, myspace, dan lain sebagainya, termasuk kini the rising star bernama instagram, yang sering membuat Ibu Ani marah-marah.
Munculnya revolusi teknologi informasi ini, membuat lalu-lintas informasi dan mobilitas komunikasi meningkat tajam. Dalam setiap detik, di Indonesia saja, berapa juta kata dan gambar berseliweran. Tentang apa saja, dengan bahasa yang sangat beragam.
Semua orang bisa berkomentar apa saja, di mana saja, dan kapan saja. Tidak ada editorial, meski pun belum sampai pada parsipatorial, tetapi setidaknya sesiapa boleh bereaksi, menanggapi, dan menimbulkan huru-hara atas pikiran-pikirannya yang aneh, revolusioner, atau pun cabul.
Pada sisi yang lain, maka sesiapa yang mencoba melawan arus utama, akan jadi bulan-bulanan nilai keumuman (konvensi) yang terbentuk dengan sendirinya oleh sistem dan mekanisme publik itu sendiri.
Ketika Pertamina "tiba-tiba" menaikkan harga gas 12kg, rakyat langsung bereaksi, dan Pemerintah seolah baru tahu. Informasi lalu-lalang di media mainstream dan lebih-lebih di sosial media. Dan kita segera tahu, informasi paten maupun sumir, bahwa Pertamina sudah sejak setahun sebelumnya menyampaikan soal daftar harga kenaikan itu ke Pemerintah dan DPR, tapi tak ada tanggapan. Dan akhirnya, di penghujung tahun lalu Pertamina mengumumkan kenaikan itu. Tentu saja sebagai korporat mengambil keputusan itu melalui RUPS, di mana sesungguhnya organ Pemerintah sebagai pemegang saham Pertamina, yang mengikuti RUPS itu, tahu soal keputusan kenaikan harga. Tapi, kenapa Ibas Yudhoyono, sebagai sekjen Pardem (the rulling party, atau partai pemerintah), tiba-tiba mengatakan Pertamina menyalahi aturan? Dan sehari kemudian, Presiden SBY (yang tak lain ketua umum Pardem, dan ayah kandung Ibas Yudhoyono) mengritik keputusan Pertamina lewat twitter, mengadakan rapat terbatas di Halim Perdanakusuma (sepulang dari kunjungan di Jawa Timur, seolah darurat dan genting), bahwa keputusan kenaikan harga itu harus ditinjau lagi, dalam tempo 1x24 jam?
Pastilah drama-drama (artinya sandiwara-sandiwara) tersebut di atas, akan berbeda. Dan di jaman lintas komunikasi dan informasi internet itulah, reaksi masyarakat akan dengan cepat merebak. Dengan sendirinya akan terbangun mekanismenya, sehingga terbangun aneka persepsi dan multi-tafsir untuk hal itu. Tanpa terseleksi, suara-suara itu akan semakin liar, dan menjadi semakin tak terkendalikan.
Hal itu terjadi dengan sendirinya, sama ketika terjadi skandal seks Sitok Srengenge, atau ketika Ibu Ani Yudhoyono menjawab dengan kalimat-kalimat yang cenderung ketus di instagram, atau di dunia sastra mutakhir kita dengan munculnya buku "33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh". Kenapa? Karena semua hal itu tentu langsung dan tidak langsung berkait dengan keingintahuan, kepentingan, dan bahkan hajat hidup publik. Jangankan yang berkait dengan hajat-hidup, yang berkait dengan sekedar ingin tahu, atau ingin tahu banget pun, reaksi yang muncul akan sama kadarnya. Kenapa? Karena kemudahan mengakses dan memposting pendapat ke area publik terjadi tanpa kendali.
Bukan soal perlu atau tidak adanya kendali itu, namun masyarakat warga yang bukanlah masyarakat terdidik secara umum oleh sistem. Sistem setidaknya tidak mengajari masyarakat menjadi masyarakat pembelajar. Formalisme dan pragmatisme Orde Baru, telah menjadi bangsa ini menjadi orang yang tidak menghargai proses. Semua hal lebih dilihat dan dikerjakan secara praktis, berdasar azas kemanfaatan dan hasil.
Misal tentang pemilihan 33 tokoh sastra Indonesia yang dianggap palinng berpengaruh. Bagaimana semuanya itu bisa terjadi? Pemilihan mengenai ini dan itu, oleh siapapun dan kapan pun, tentu bolah-boleh saja dilakukan. Tetapi ketika ia menilai dan mengatakan tentang sesuatu yang menurutnya dianggap "paling berpengaruh", maka persoalannya adalah bagaimana hal-ikhwal penilaian semuanya itu? Apalagi ketika yang menilai itu hanya 8 orang untuk sebuah sejarah perjalanan sastra Indonesia lebih dari 100 tahun? Dan yang menyedihkan, tiba-tiba mereka bisa pula mengatakan, bahwa buku mereka adalah buku yang paling sahih mengenai sejarah sastra Indonesia, dibanding buku-buku lain tentang sastra Indonesia. Bagaimana bisa mendaku paling sahih, atas dasar apa, dan tentunya, atas kepentingan apa? Apakah biar Mendikbud membelinya sebagai bacaan wajib anak-anak SMP-SMA, sehingga bukunya akan laris terjual jutaan eksemplaar dalam waktu cepat?
Soal terbeli dan laris, dan kelompok Tim 8 ini untung besar, itu tentu saja urusan mereka. Namun, kalau pendapat mereka yang belum terukur secara publik itu dipaksakan menjadi yang paling dan jadi bacaan wajib? Jika buku ini diklaim sebagai satu-satunya sejarah sastra Indonesia yang paling sahih, maka di luar 33 tokoh sastra itu, akan juga menjadi tidak sahih. Termasuk yang bernama Sitor Situmorang, Umar Khayam, Umbu Landu Paranggi, Subagio Sastrowardojo, Budi Darma, dan lain sebagainya, perlahan akan hilang dalam ingatan publik, khususnya generasi Indonesia 50-100 tahun mendatang.
Ketika kita hidup di area publik, punya kepentingan pada publik, maka ukuran-ukuran publik juga harus dikenakan padanya. Sungguh tidak adil ketika orang bisa menguasai kepentingan dan hajat hidup publik, tetapi dibiarkan tanpa penyeimbang, penjagaan, pengawasan, dan kritik. Itulah sebabnya, keadaban di area publik, apalagi jika mendaku dan mengatasnamakan publik, mestilah menyertakan publik itu sendiri, dengan sistem dan mekanisme yang fairness atau berkeadaban.
Hanya dengan penjagaan, pengawasan, dan kritik, maka keseimbangan akan bisa menguji validitas untuk menjadi ukuran umum yang setidaknya disepakati oleh mayoritas publik melalui suatu proses. Setidaknya, ia telah melewati satu tahapan di mana publik juga disertakan, berpartisipasi, untuk berproses bersama. Partisipasi publik, bukannya dengan bagaimana mengajak siapa saja ikut, namun dengan pola seleksi alam yang fairness, ialah dengan munculnya aneka pendapat dari berbagai sudut. Pendapat yang terukur, terekomendasikan, dan komprehensif tentunya. Seleksi alam akan terjadi dengan sendirinya dalam proses itu, dan kita akan bisa lebih mengharga kehadiran pihak lain, serta tidak menganggap bahwa pemikirannya "paling berpengaruh" atau pikiran yang lain.
Hanung Bramantyo, yang mendapat reaksi berbagai kalangan, tiba-tiba dengan seenaknya mengatakan "Film Soekarno saya garap berdasar persepsi saya sendiri atas Soekarno". Tentu saja. Tetapi bagaimana dia harus berkonflik dengan Rachmawati? Bagaimana bisa dia dianggap menyakiti hati keluarga Inggit Garnasih? Bagaimana dia bisa menggambarkan masyarakat Bengkulu berdialek Melayu dengan aksen Minang? Bagaimana dia bisa menyodorkan gunung Merapi tahun 1945-an dengan gambar gunung Merapi paska Interupsi 2010, dan lain sebagainya soal "interpretasi" dia? Itu semua hendak mengingatkan padanya, bahwa dia masuk dalam area publik, bahwa semestinya pakailah adab-adab publik. Adap publik bukannya tidak menghargai interpretasi pribadi, namun interpretasi pribadi macam percakapan Melayu dalam aksesn Minang masyarakat Bengkulu waktu itu, gunung Merapi tahun 1945-an dengan stock-shot ngawur, hanya menunjukkan tingkat quateknisnya yang disamping belum nyampe juga tidak jujur. Bagaimana publik tidak akan mempermasalahkan yang lain, termasuk keluarga Ibu Inggit yang merasa dirugikan? Hanung sendiri berkali-kali, akhirnya, mengatakan bahwa film bukan hanya soal kreativitas atau art, tetapi di dalamnya ada kapital. Nah, kenapa film ini awal pemutarannya menyuruh penonton pembeli tiket untuk berdiri menyanyikan lagu Indonesia Raya? Untuk menggugah nasionalisme? Kenapa untuk menggugah nasionalisme perlu meminta tolong Raam Punjabi, sementara film ini sendiri sedang berproses hukum tapi tetap nekad dirilis ke publik? Ada banyak pertanyaan dengan sedikit jawaban, itu dalam keadaban publik masuk dalam cacat yang mesti direnungkan.
Jika publik dianggap kambing congek, dalam relasi patron-client, maka banyak yang menganggap dirinya pesohor atau jagoan hanya akan mewakili kepentingan dirinya sendiri, atau kelompoknya. Sekiranya demikian halnya, maka seyogyanya jangan mengatas namakan kepentingan publik, dan apalagi mengklaim bahwa ini dan itu paling berpengaruh, paling sahih, paling bener dan seterusnya. Itu khas pemikiran Soeharto. Mutlak-mutlakan. Lantas, apa bedanya kaum yang menamakan dirinya ahli susastra itu dengan FPI, yang suka mengkafir-kafirkan pihak lain, dan menganggap dirinya paling benar?
Sementara pada sisi lain, kita benar-benar masih merupakan masyarakat reaktif, belum beranjak dewasa menjadi masyarakat responsif. Dan dengan media di tangan, masing-masing individu bisa bebas mengoperasikan berbagai media sosial, maka reaksi-reaksi publik akan dengan cepat beranak-pinak dan bersahut-sahutan. Bukan lagi obrolan di warung kopi, cafe, teras kampus, atau pos perondan, tetapi lintas batas dan lintas waktu dalam kesekejapan. Dan tiba-tiba, semua orang berkomunikasi dan beropini secara tertulis, sesuatu yang sebenarnya juga ujug-ujug tanpa proses. Paling-paling latihannya lewat handphone dengan sms yang memunculkan bahasa alay itu.
Belum ketidak siapan mental, yang ketika muncul aksi dan reaksi, kritik dan kontra-kritik, kemudian buru-buru dialihkan ke norma-norma yang bukan pada tempatnya. Dengan norma etika dan agama. Termasuk jika mampu, seperti yang dilakukan Presiden SBY, yakni dengan menyewa penasehat hukum khusus mengamati sosmed.
Mereka yang mengritik dinilai sebagai orang iri, tidak kebagian, belum tentu punya karya, atau nilai yang lebih baik. Norma agama yang normatif, diterapkan dalam suatu dialektika. Mengritik kepemimpinan yang mempengaruhi hajat hidup orang, dianggap patrap yang tidak pantas, karena pemimpin harus dihormati. Siapa yang menjadikan seseorang sebagai pemimpin, dan dia dipilih karena apa, bagaimana cara memilihnya? Orang sering menilai dengan ukuran-ukuran yang tidak terukur, seenak udelnya asal kepentingan dan dalilnya yang dipakai.
Keadaban di area publik ialah, pertimbangkan kepentingan dan reaksi publik. Jika ogah dikritik, di jaman internet dengan sosial medianya ini, ya jangan masuk ke area publik. Apalagi engkau menentukan merah-hijaunya publik, tetapi tak mau menerima reaksi publik. Enak saja! Dengan mudah itu bisa dikategorikan sebagai tidak bertanggungjawab. Dan masyarakat gagap internet pun, akan bisa membullymu.
Jadilah masyarakat yang dewasa, bukan hanya dalam berinternet tentu, sekiranya kita mencintai Indonesia yang lebih baik ke depan. Menghasilkan presiden yang baik, ibu negara yang baik, politikus yang baik, ahli sastra yang baik, dan bukan sekedar penjual proposal kepentingan demi honorarium, karena mimpi membangun rumah yang indah bak dalam novel.
Media ini bisa beragam namanya, dari friendster, linked-in, facebook, google+, weibo, renren, badoo, twitter, flickr, tumblr, myspace, dan lain sebagainya, termasuk kini the rising star bernama instagram, yang sering membuat Ibu Ani marah-marah.
Munculnya revolusi teknologi informasi ini, membuat lalu-lintas informasi dan mobilitas komunikasi meningkat tajam. Dalam setiap detik, di Indonesia saja, berapa juta kata dan gambar berseliweran. Tentang apa saja, dengan bahasa yang sangat beragam.
Semua orang bisa berkomentar apa saja, di mana saja, dan kapan saja. Tidak ada editorial, meski pun belum sampai pada parsipatorial, tetapi setidaknya sesiapa boleh bereaksi, menanggapi, dan menimbulkan huru-hara atas pikiran-pikirannya yang aneh, revolusioner, atau pun cabul.
Pada sisi yang lain, maka sesiapa yang mencoba melawan arus utama, akan jadi bulan-bulanan nilai keumuman (konvensi) yang terbentuk dengan sendirinya oleh sistem dan mekanisme publik itu sendiri.
Ketika Pertamina "tiba-tiba" menaikkan harga gas 12kg, rakyat langsung bereaksi, dan Pemerintah seolah baru tahu. Informasi lalu-lalang di media mainstream dan lebih-lebih di sosial media. Dan kita segera tahu, informasi paten maupun sumir, bahwa Pertamina sudah sejak setahun sebelumnya menyampaikan soal daftar harga kenaikan itu ke Pemerintah dan DPR, tapi tak ada tanggapan. Dan akhirnya, di penghujung tahun lalu Pertamina mengumumkan kenaikan itu. Tentu saja sebagai korporat mengambil keputusan itu melalui RUPS, di mana sesungguhnya organ Pemerintah sebagai pemegang saham Pertamina, yang mengikuti RUPS itu, tahu soal keputusan kenaikan harga. Tapi, kenapa Ibas Yudhoyono, sebagai sekjen Pardem (the rulling party, atau partai pemerintah), tiba-tiba mengatakan Pertamina menyalahi aturan? Dan sehari kemudian, Presiden SBY (yang tak lain ketua umum Pardem, dan ayah kandung Ibas Yudhoyono) mengritik keputusan Pertamina lewat twitter, mengadakan rapat terbatas di Halim Perdanakusuma (sepulang dari kunjungan di Jawa Timur, seolah darurat dan genting), bahwa keputusan kenaikan harga itu harus ditinjau lagi, dalam tempo 1x24 jam?
Pastilah drama-drama (artinya sandiwara-sandiwara) tersebut di atas, akan berbeda. Dan di jaman lintas komunikasi dan informasi internet itulah, reaksi masyarakat akan dengan cepat merebak. Dengan sendirinya akan terbangun mekanismenya, sehingga terbangun aneka persepsi dan multi-tafsir untuk hal itu. Tanpa terseleksi, suara-suara itu akan semakin liar, dan menjadi semakin tak terkendalikan.
Hal itu terjadi dengan sendirinya, sama ketika terjadi skandal seks Sitok Srengenge, atau ketika Ibu Ani Yudhoyono menjawab dengan kalimat-kalimat yang cenderung ketus di instagram, atau di dunia sastra mutakhir kita dengan munculnya buku "33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh". Kenapa? Karena semua hal itu tentu langsung dan tidak langsung berkait dengan keingintahuan, kepentingan, dan bahkan hajat hidup publik. Jangankan yang berkait dengan hajat-hidup, yang berkait dengan sekedar ingin tahu, atau ingin tahu banget pun, reaksi yang muncul akan sama kadarnya. Kenapa? Karena kemudahan mengakses dan memposting pendapat ke area publik terjadi tanpa kendali.
Bukan soal perlu atau tidak adanya kendali itu, namun masyarakat warga yang bukanlah masyarakat terdidik secara umum oleh sistem. Sistem setidaknya tidak mengajari masyarakat menjadi masyarakat pembelajar. Formalisme dan pragmatisme Orde Baru, telah menjadi bangsa ini menjadi orang yang tidak menghargai proses. Semua hal lebih dilihat dan dikerjakan secara praktis, berdasar azas kemanfaatan dan hasil.
Misal tentang pemilihan 33 tokoh sastra Indonesia yang dianggap palinng berpengaruh. Bagaimana semuanya itu bisa terjadi? Pemilihan mengenai ini dan itu, oleh siapapun dan kapan pun, tentu bolah-boleh saja dilakukan. Tetapi ketika ia menilai dan mengatakan tentang sesuatu yang menurutnya dianggap "paling berpengaruh", maka persoalannya adalah bagaimana hal-ikhwal penilaian semuanya itu? Apalagi ketika yang menilai itu hanya 8 orang untuk sebuah sejarah perjalanan sastra Indonesia lebih dari 100 tahun? Dan yang menyedihkan, tiba-tiba mereka bisa pula mengatakan, bahwa buku mereka adalah buku yang paling sahih mengenai sejarah sastra Indonesia, dibanding buku-buku lain tentang sastra Indonesia. Bagaimana bisa mendaku paling sahih, atas dasar apa, dan tentunya, atas kepentingan apa? Apakah biar Mendikbud membelinya sebagai bacaan wajib anak-anak SMP-SMA, sehingga bukunya akan laris terjual jutaan eksemplaar dalam waktu cepat?
Soal terbeli dan laris, dan kelompok Tim 8 ini untung besar, itu tentu saja urusan mereka. Namun, kalau pendapat mereka yang belum terukur secara publik itu dipaksakan menjadi yang paling dan jadi bacaan wajib? Jika buku ini diklaim sebagai satu-satunya sejarah sastra Indonesia yang paling sahih, maka di luar 33 tokoh sastra itu, akan juga menjadi tidak sahih. Termasuk yang bernama Sitor Situmorang, Umar Khayam, Umbu Landu Paranggi, Subagio Sastrowardojo, Budi Darma, dan lain sebagainya, perlahan akan hilang dalam ingatan publik, khususnya generasi Indonesia 50-100 tahun mendatang.
Ketika kita hidup di area publik, punya kepentingan pada publik, maka ukuran-ukuran publik juga harus dikenakan padanya. Sungguh tidak adil ketika orang bisa menguasai kepentingan dan hajat hidup publik, tetapi dibiarkan tanpa penyeimbang, penjagaan, pengawasan, dan kritik. Itulah sebabnya, keadaban di area publik, apalagi jika mendaku dan mengatasnamakan publik, mestilah menyertakan publik itu sendiri, dengan sistem dan mekanisme yang fairness atau berkeadaban.
Hanya dengan penjagaan, pengawasan, dan kritik, maka keseimbangan akan bisa menguji validitas untuk menjadi ukuran umum yang setidaknya disepakati oleh mayoritas publik melalui suatu proses. Setidaknya, ia telah melewati satu tahapan di mana publik juga disertakan, berpartisipasi, untuk berproses bersama. Partisipasi publik, bukannya dengan bagaimana mengajak siapa saja ikut, namun dengan pola seleksi alam yang fairness, ialah dengan munculnya aneka pendapat dari berbagai sudut. Pendapat yang terukur, terekomendasikan, dan komprehensif tentunya. Seleksi alam akan terjadi dengan sendirinya dalam proses itu, dan kita akan bisa lebih mengharga kehadiran pihak lain, serta tidak menganggap bahwa pemikirannya "paling berpengaruh" atau pikiran yang lain.
Hanung Bramantyo, yang mendapat reaksi berbagai kalangan, tiba-tiba dengan seenaknya mengatakan "Film Soekarno saya garap berdasar persepsi saya sendiri atas Soekarno". Tentu saja. Tetapi bagaimana dia harus berkonflik dengan Rachmawati? Bagaimana bisa dia dianggap menyakiti hati keluarga Inggit Garnasih? Bagaimana dia bisa menggambarkan masyarakat Bengkulu berdialek Melayu dengan aksen Minang? Bagaimana dia bisa menyodorkan gunung Merapi tahun 1945-an dengan gambar gunung Merapi paska Interupsi 2010, dan lain sebagainya soal "interpretasi" dia? Itu semua hendak mengingatkan padanya, bahwa dia masuk dalam area publik, bahwa semestinya pakailah adab-adab publik. Adap publik bukannya tidak menghargai interpretasi pribadi, namun interpretasi pribadi macam percakapan Melayu dalam aksesn Minang masyarakat Bengkulu waktu itu, gunung Merapi tahun 1945-an dengan stock-shot ngawur, hanya menunjukkan tingkat quateknisnya yang disamping belum nyampe juga tidak jujur. Bagaimana publik tidak akan mempermasalahkan yang lain, termasuk keluarga Ibu Inggit yang merasa dirugikan? Hanung sendiri berkali-kali, akhirnya, mengatakan bahwa film bukan hanya soal kreativitas atau art, tetapi di dalamnya ada kapital. Nah, kenapa film ini awal pemutarannya menyuruh penonton pembeli tiket untuk berdiri menyanyikan lagu Indonesia Raya? Untuk menggugah nasionalisme? Kenapa untuk menggugah nasionalisme perlu meminta tolong Raam Punjabi, sementara film ini sendiri sedang berproses hukum tapi tetap nekad dirilis ke publik? Ada banyak pertanyaan dengan sedikit jawaban, itu dalam keadaban publik masuk dalam cacat yang mesti direnungkan.
Jika publik dianggap kambing congek, dalam relasi patron-client, maka banyak yang menganggap dirinya pesohor atau jagoan hanya akan mewakili kepentingan dirinya sendiri, atau kelompoknya. Sekiranya demikian halnya, maka seyogyanya jangan mengatas namakan kepentingan publik, dan apalagi mengklaim bahwa ini dan itu paling berpengaruh, paling sahih, paling bener dan seterusnya. Itu khas pemikiran Soeharto. Mutlak-mutlakan. Lantas, apa bedanya kaum yang menamakan dirinya ahli susastra itu dengan FPI, yang suka mengkafir-kafirkan pihak lain, dan menganggap dirinya paling benar?
Sementara pada sisi lain, kita benar-benar masih merupakan masyarakat reaktif, belum beranjak dewasa menjadi masyarakat responsif. Dan dengan media di tangan, masing-masing individu bisa bebas mengoperasikan berbagai media sosial, maka reaksi-reaksi publik akan dengan cepat beranak-pinak dan bersahut-sahutan. Bukan lagi obrolan di warung kopi, cafe, teras kampus, atau pos perondan, tetapi lintas batas dan lintas waktu dalam kesekejapan. Dan tiba-tiba, semua orang berkomunikasi dan beropini secara tertulis, sesuatu yang sebenarnya juga ujug-ujug tanpa proses. Paling-paling latihannya lewat handphone dengan sms yang memunculkan bahasa alay itu.
Belum ketidak siapan mental, yang ketika muncul aksi dan reaksi, kritik dan kontra-kritik, kemudian buru-buru dialihkan ke norma-norma yang bukan pada tempatnya. Dengan norma etika dan agama. Termasuk jika mampu, seperti yang dilakukan Presiden SBY, yakni dengan menyewa penasehat hukum khusus mengamati sosmed.
Mereka yang mengritik dinilai sebagai orang iri, tidak kebagian, belum tentu punya karya, atau nilai yang lebih baik. Norma agama yang normatif, diterapkan dalam suatu dialektika. Mengritik kepemimpinan yang mempengaruhi hajat hidup orang, dianggap patrap yang tidak pantas, karena pemimpin harus dihormati. Siapa yang menjadikan seseorang sebagai pemimpin, dan dia dipilih karena apa, bagaimana cara memilihnya? Orang sering menilai dengan ukuran-ukuran yang tidak terukur, seenak udelnya asal kepentingan dan dalilnya yang dipakai.
Keadaban di area publik ialah, pertimbangkan kepentingan dan reaksi publik. Jika ogah dikritik, di jaman internet dengan sosial medianya ini, ya jangan masuk ke area publik. Apalagi engkau menentukan merah-hijaunya publik, tetapi tak mau menerima reaksi publik. Enak saja! Dengan mudah itu bisa dikategorikan sebagai tidak bertanggungjawab. Dan masyarakat gagap internet pun, akan bisa membullymu.
Jadilah masyarakat yang dewasa, bukan hanya dalam berinternet tentu, sekiranya kita mencintai Indonesia yang lebih baik ke depan. Menghasilkan presiden yang baik, ibu negara yang baik, politikus yang baik, ahli sastra yang baik, dan bukan sekedar penjual proposal kepentingan demi honorarium, karena mimpi membangun rumah yang indah bak dalam novel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar