Halim Hade (Solo) dan Anindita S. Thayf (Makassar) | Foto Odi Solahuddin |
Persoalan kita kemudian akan jatuh pada persoalan perspektif, yang mau tak mau tentu berkait dengan persepsi masing-masing mengenai sesuatu hal, dengan kepentingan-kepentingannya. Diskusi di ruang maya, bisa sangat bias dan kurang maksimal, meski bisa memberi efek mediasi tersendiri (yang itu juga dimanfaatkan pihak yang pro dan kontra dengan follower masing-masing). Sementara diskusi di ruang-ruang nyata (bukan berarti dumay tidak nyata), juga bukan perkara mudah untuk mengerucut pada suatu rumusan, karena bisa sarat kepentingan.
Celakanya, di Indonesia, tidak ada sesuatu yang bisa menjadi suatu tolok ukur yang komprehensif. Tiba-tiba, kita merasa, bahwa proses berkebudayaan kita masih sangat muda. Orde Baru membonsai kita dalam involusi. Di mana asosiasi profesi dicurigai bahkan ditolak, namun senyampang dengan itu, tumbuh kembali keinginan mendirikan pusat-pusat kebudayaan pada masing-masing kelompok, setelah mitos-mitos kemutlakan rejim Soeharto tumbang. Dan ketika reformasi tidak mengantar kita pada strategi kebudayaan yang terarah, yang terjadi adalah situasi chaostic. Kita masing-masing bicara, dan tanpa mau mendengar. Ketika tiba-tiba kapital masuk dalam regimentasi kebudayaan, yang secara perlahan menggeser regimentasi pasar dan tokoh, kita semuanya kaget dan anomali. Pada sisi lain, ketika masyarakat konsumen kita belum cukup terdidik, dalam merespons ruang-ruang di sekitar, kaum kapital bisa menggunting dalam lipatan. Perspektif sejarah, sebagai ukuran proses peradaban dan keadaban, boleh diabaikan.
Saya senang, diskusi yang diselenggarakan teman-teman di Yogya, mampu mengambil jarak untuk melihat pokok persoalannya, yang bukan sekedar pantas dan tidak pantas soal "puisi esei", "Denny JA", atau "Jamal D. Rahman dkk." Amatan Halim Hade dalam "Diskusi Sastra 27 Januari 2014; Mengurai Cengkeraman Rezim Pasar di Ranah Sastra dan Kebudayaan; Menolak Buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh", di Yogyakarta itu, agaknya hendak menuju ke sana. Bagaimana muncul kepentingan-kepentingan di luar nilai-nilai kebudayaan, yang menghegemoni kepentingan intrinsik karya kebudayaan (intelektualitas) itu. Praktik yang terjadi kemudian, sebuah proses intelektualisasi bisa didorong oleh faktor-faktor yang melingkupinya. KPG (Kelompok Kompas Gramedia, sebagai "penerbit" buku 33 Tokoh itu), yang dulunya dianggap representasi kepentingan publik dengan buku-buku bermutu dan terpercaya, bisa mengalami distorsi. Karena rejim kapital bisa menggusur tolok ukur kepantasan yang merepresentasikan keutamaan publik. Logo penerbitan yang merepresentasikan 'pride' dan 'legacy', bisa dibeli untuk menerbitkan buku (apapun) asal penulisnya membayar biaya cetak dan 'sewa' logo. Banyak buku memoar atau biografi tokoh terkenal, yang terbit dengan logo resmi KPG, namun hal itu bukan berdasar kriteria standar penerbitan seperti biasanya, yang mesti harus melalui proses seleksi dan penilaian dewan redaksi. Regimentasi kapital ini, bisa kita lihat pada karya-karya kesenian lain, yang kemudian menjadi sangat dan makin personal (dan individual) sebagai penghamba yang melayani. Kemuliaan publik, tidak menjadi kepentingan karya, kecuali menjadi urusan pencanggihan-pencanggihan teknis kreator, kurator, editor, dan calo.
Lahirnya buku "33 Tokoh,..", hanyalah sebuah contoh, bagaimana perspektif sejarah diabaikan, bahkan untuk melakukan kanonisasi atas perjalanan patrap kebudayaan (sastra) selama 100 tahun, yang hendak dibekukan oleh Tim 8, Jamal D. Rahman dkk. Apalagi dengan ukuran, kriteria, yang terbuka untuk digugat dan diperdebatkan. Kontroversi yang muncul tentu soal siapa mereka, dan bagaimana mereka melakukan otorisasi publik, dengan memakai institusi publik yang sudah teruji seperti PDS-HBJ dan KPG (sebagaimana Maman S. Mahayana mau diundang masuk Tim 8 karena menyangka berkait Majalah Horison dan PDS-HBJ. Ada unsur kriminal di sana, ketika PDS-HBJ menolak terlibat. Dan menjadi aneh, Maman S. Mahayana menolak Denny JA masuk dalam 33 Tokoh Sastra. Demikian juga resonansi yang terjadi, dengan mundurnya Cecep Syamsulhari dari posisi sebagai redaktur Majalah Sastra Horison, berkait dengan buku 33 Tokoh). Semua itu menjadi relevan untuk dipertanyakan. Bahwa Tim 8 tidak cukup representatif, hingga ia perlu digugat dan bahkan ditolak.
Sunardian Wirodono, dan Prof. Faruk Tripoli |
Pergerakan kebudayaan kita, berbeda dengan negara-negara Amerika Latin yang dipersatukan secara bahasa dan ideologis (sebagai negara pinggiran), yang mampu secara genealogis mengidentifikasi dan merepresentasikan pada karya kreatif mereka. Sementara di Indonesia, sastra kita hari ini sangat terdidik untuk berkompromi pada regimentasi pasar, sehingga yang muncul adalah karya-karya dengan nafas pendek.
Semua orang tentu berhak menyampaikan pemikiran, namun ketika masuk ke wilayah publik dengan cara-cara yang anomali dan ahistoris, akan menimbulkan persoalan serius di kemudian hari. Apalagi ketika kita masuk pada nilai-nilai ukuran dengan kata "paling" dan "berpengaruh", dan dengan pembatasan jumlah. Sementara jika kita bicara otoritas dan legitimasi, kebebasan berkarya yang diberikan oleh adab kebudayaan, tidak 'mereka' lakukan dengan cara yang sepadan, tentang apa yang disebut ukuran atau kriteria, yang bahkan oleh Tim 8 juga tidak konsisten menjaganya. Tiba-tiba menjadi aneh dan berbahaya, jika mereka mengklaim sebagai buku teks sejarah sastra Indonesia yang paling sahih dalam 100 tahun ini. Jika klaim itu kemudian dipakai sebagai ukuran Depdiknas, untuk menjadikan "33 Tokoh,.." sebagai Buku Pelita, Buku yang diborong pemerintah, untuk dibagikan gratis kepada siswa-siswa SMP dan SMA Indonesia, banyak hal harus diurus; bagaimana Wowok Hesti menjadi "lebih berpengaruh" dibanding Wiji Thukul dengan data empiriknya. Dan seterusnya, kenapa begini kenapa begitu.
Anindita S. Thayf (Makasar) yang berbaik hati meresume isi buku "33 Tokoh,..." menyampaikan pendapat, bagaimana konsep dan kriteria yang menyebabkan pilihan Tim 8 atas tokoh sastra 'hanya' berjumlah 33, juga menunjukkan ketidakkonsistenan itu. Apalagi, masing-masing penulis disitu, menulis "sendiri-sendiri" di kamar masing-masing, dan kemudian seperti dikatakan Halim Hade, tidak ada yang "berani" mengambil peran sebagai editor. Maka Jamal D. Rahman menuliskan 'dkk' di belakang namanya, bukan 'editor' misalnya. Karena sejak awal, the man behind 'design' itu, kata Halim, lebih penting diusut. Dan selama Tim 8 tidak muncul ke ruang publik untuk mempertanggungjawabkan karyanya, maka kredibilitas mereka dipertanyakan.
Semestinya, diskusi-diskusi publik mengenai hal itu, menarik dikembangkan. Sinisme di luaran, tidak perlu ditanggapi berlebihan. Karena bagi yang mencintai dunia sastra Indonesia dan masa-depannya, pasti akan tahu pentingnya pergulatan ini.
Sunardian Wirodono
Yogyakarta, 27 Juli 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar