Tunggang menunggang dalam politik itu biasa, meski pun sesungguhnya apakah itu mulia atau tidak, harus tetap menjadi ukuran yang lebih utama.
Langkah Anas Urbaningrum menolak datang atas panggilan kedua KPK, didukung oleh Fachri Hamzah. Bahwa langkah AU sudah tepat. Karena menurut pengutuk KPK (yang selalu diimbuhi dengan kalimat "kita semua cinta KPK,...") ini, kasus AU adalah kasus politik. KPK hanya dipakai oleh Nazaruddin yang sakit hati.
Betulkah FH mendukung AU? Pasti tidak. Karena dalam politicking, langkah FH itu disebut menunggangi AU, karena target goalnya berbeda, yakni desakralisasi KPK.
Muara dari upaya FH, juga AU dalam konteks berbeda, harus diukur dari nilai eksistensi dia bagi kepentingan publik. Kalau kepentingan publik tidak terpenuhi, dari semua dalil pernyataannya, maka yang kemudian tampak adalah kepentingan pribadi atau kelompok.
Kalau seorang pribadi hadir dengan dalil dan pakaian kepentingan publik (entah sebagai politikus, wakil rakyat, sastrawan, menteri), tetapi pernyataannya lebih berat atau condong pada kepentingan pribadi dan kelompok, disitu kualitas kehadirannya dinilai.
Pada kenyataanya, daulat publik sering dikorupsi oleh orang-orang yang bermain di ranah publik. Ibaratnya, ketika seseorang menyandang gelar dokter dan publik membutuhkan kepiawaiannya dalam menyembuhkan, tetapi dokter tersebut malah menjadi corong kepentingan pabrik obat, disitu dia telah melakukan tindakan lancung pada publik.
Sekarang, coba kita cermati, apa saja yang dikatakan oleh para mereka yang menjadi presiden, menteri, direktur BUMN, anggota parlemen, anggota parpol, adakah mereka pernah menyampaikan pendapat dalam rangka kepentingan publik, kemudian memetakan masalah kepentingan publik itu apa saja, kenapa bisa demikian, dan mestinya langkah yang diambil bagaimana agar rakyat sebagai alamat kepentingan mereka diketemukan?
Jika orang-orang publik di ranah publik lebih sering ngomong kepentingan dan masalah mereka sendiri, artinya mereka yang sebenarnya bukanlah siapa-siapa, melainkan hanya seorang profesional semata, hanya sebuah status atau pangkat, dan stop, hanya berhenti di situ.
Kita tidak pernah melihat mereka kemudian melangkah untuk menjadi kemanfaatan atau kegunaan bagi siapa mereka pada waktu itu berjanji atau bersumpah.
Untuk melihat lebih jelas lagi, bahasa kepentingan itu, harus dinilai pada konsistensi kata-kata, pendapat, atau pikiran mereka. Jika pernyataannya sering analoginya berubah-ubah, itu menunjuk pada ketidakkonsistenan mereka. Pada kasus A, ia ngomong memakai dalil kiri, pada kasus B ia ngomong memakai dalil kanan. Sementara, mereka mengaku berkhidmat pada dalil yang lain lagi.
Coba lihat nama-nama yang sering muncul di publik seperti Ruhut Sitompul, Sutan Batoeghana, Amin Rais, Rhoma Irama, dan siapa saja yang sering dicover oleh media-massa. Suatu ketika ia ngomong A, lain kali ia ngomong A-minus, atau kebalikannya, lebih karena kepentingannya. Pada saat lain mereka mencela dan memfitnah Jokowi, misalnya, namun lain kali mereka hendak merangkul dan memuji Jokowi. Dan lain sejenisnya.
Mereka lebih dibimbing oleh apa yang disebut pragmatisme, sebuah cara berfikir yang mengabdi pada apa manfaat segala sesuatu itu. Jika bermanfaat (baik) untuk dirinya, maka hal itu akan dipakainya. Tapi jika hal yang sama itu merugikan dirinya, hal itu tidak akan dipakainya.
Rakyat hanya perlu waspada, dengan model-model politikus atau para tokoh publik seperti ini. Politik, atau apapun, haruslah dinilai dari nilai konsistensinya, dari sana kita akan watak aseli atau visi dasarnya. Apakah ia seorang yang patut kita hormati, ataukah hanya kita kagumi karena manuver-manuver sesaat?
Tunggang menunggang dalam politik, barangkali bukan hanya hari ini saja, melainkan mungkin masih tetap ada kelak, dan bahkan mungkin pada masa-masa awal sejarah kita. Persoalannya adalah, kita berhadapan dengan generasi yang ketidakjujurannya lebih tinggi.
Langkah Anas Urbaningrum menolak datang atas panggilan kedua KPK, didukung oleh Fachri Hamzah. Bahwa langkah AU sudah tepat. Karena menurut pengutuk KPK (yang selalu diimbuhi dengan kalimat "kita semua cinta KPK,...") ini, kasus AU adalah kasus politik. KPK hanya dipakai oleh Nazaruddin yang sakit hati.
Betulkah FH mendukung AU? Pasti tidak. Karena dalam politicking, langkah FH itu disebut menunggangi AU, karena target goalnya berbeda, yakni desakralisasi KPK.
Muara dari upaya FH, juga AU dalam konteks berbeda, harus diukur dari nilai eksistensi dia bagi kepentingan publik. Kalau kepentingan publik tidak terpenuhi, dari semua dalil pernyataannya, maka yang kemudian tampak adalah kepentingan pribadi atau kelompok.
Kalau seorang pribadi hadir dengan dalil dan pakaian kepentingan publik (entah sebagai politikus, wakil rakyat, sastrawan, menteri), tetapi pernyataannya lebih berat atau condong pada kepentingan pribadi dan kelompok, disitu kualitas kehadirannya dinilai.
Pada kenyataanya, daulat publik sering dikorupsi oleh orang-orang yang bermain di ranah publik. Ibaratnya, ketika seseorang menyandang gelar dokter dan publik membutuhkan kepiawaiannya dalam menyembuhkan, tetapi dokter tersebut malah menjadi corong kepentingan pabrik obat, disitu dia telah melakukan tindakan lancung pada publik.
Sekarang, coba kita cermati, apa saja yang dikatakan oleh para mereka yang menjadi presiden, menteri, direktur BUMN, anggota parlemen, anggota parpol, adakah mereka pernah menyampaikan pendapat dalam rangka kepentingan publik, kemudian memetakan masalah kepentingan publik itu apa saja, kenapa bisa demikian, dan mestinya langkah yang diambil bagaimana agar rakyat sebagai alamat kepentingan mereka diketemukan?
Jika orang-orang publik di ranah publik lebih sering ngomong kepentingan dan masalah mereka sendiri, artinya mereka yang sebenarnya bukanlah siapa-siapa, melainkan hanya seorang profesional semata, hanya sebuah status atau pangkat, dan stop, hanya berhenti di situ.
Kita tidak pernah melihat mereka kemudian melangkah untuk menjadi kemanfaatan atau kegunaan bagi siapa mereka pada waktu itu berjanji atau bersumpah.
Untuk melihat lebih jelas lagi, bahasa kepentingan itu, harus dinilai pada konsistensi kata-kata, pendapat, atau pikiran mereka. Jika pernyataannya sering analoginya berubah-ubah, itu menunjuk pada ketidakkonsistenan mereka. Pada kasus A, ia ngomong memakai dalil kiri, pada kasus B ia ngomong memakai dalil kanan. Sementara, mereka mengaku berkhidmat pada dalil yang lain lagi.
Coba lihat nama-nama yang sering muncul di publik seperti Ruhut Sitompul, Sutan Batoeghana, Amin Rais, Rhoma Irama, dan siapa saja yang sering dicover oleh media-massa. Suatu ketika ia ngomong A, lain kali ia ngomong A-minus, atau kebalikannya, lebih karena kepentingannya. Pada saat lain mereka mencela dan memfitnah Jokowi, misalnya, namun lain kali mereka hendak merangkul dan memuji Jokowi. Dan lain sejenisnya.
Mereka lebih dibimbing oleh apa yang disebut pragmatisme, sebuah cara berfikir yang mengabdi pada apa manfaat segala sesuatu itu. Jika bermanfaat (baik) untuk dirinya, maka hal itu akan dipakainya. Tapi jika hal yang sama itu merugikan dirinya, hal itu tidak akan dipakainya.
Rakyat hanya perlu waspada, dengan model-model politikus atau para tokoh publik seperti ini. Politik, atau apapun, haruslah dinilai dari nilai konsistensinya, dari sana kita akan watak aseli atau visi dasarnya. Apakah ia seorang yang patut kita hormati, ataukah hanya kita kagumi karena manuver-manuver sesaat?
Tunggang menunggang dalam politik, barangkali bukan hanya hari ini saja, melainkan mungkin masih tetap ada kelak, dan bahkan mungkin pada masa-masa awal sejarah kita. Persoalannya adalah, kita berhadapan dengan generasi yang ketidakjujurannya lebih tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar