"Sepasang manusia sedang dalam kenikmatan, yang lelaki
sedang memangku yang gadis di atas sebuah kursi, yang membelakangi jendela.
Keduanya tak tahu bahwa aku melihat mereka. Keduanya begitu asyik dalam terkaman-terkaman yang saling bertubi-tubi.
Tris menyerang pada bagian leher gadis itu, kemudian mendesaknya pada sebuah
lipatan kaki yang menggerumul, seakan-akan gadis itu terjepit,..."
*
Kutipan cerita sampah? Itu
kutipan dari salah satu novel Motinggo Boesje (“Kutemui Dia”, 1970). Buat kaum
sastrawiningratdisastro, mungkin jijay dengan kutipan kalimat di atas. Apalagi
itu muncul dalam buku-buku novel yang marak di tahun 1970-an yang disebut
sastra erotis. Reaksinya agak berbeda dengan sastra selangkangan, yang tampak
lebih akademis pada dekade terakhir ini. Kenapa? Itulah Indonesia.
Nama Motinggo Boesje (lahir di Kupangkota, Bandar Lampung, 21 November 1937), untuk generasi 70-an, sangat dikenal. Nama yang panas dalam dunia penulisan Indonesia, meski bisa dibilang tidak akan ada yang berani memasukkannya dalam kategori tokoh sastra paling berpengaruh. Novel-novelnya yang ber-‘genre’ erotis itu, antara lain terlihat dari judul-judulnya; Hari Ini Tidak Ada Cinta (1963), Dosa Kita Semua (1963), Titian Dosa di Atasnya (1964), Cross Mama (1966), Tante Maryati (1967), Sri Ayati (1968), Retno Lestari (1968), jauh-jauh hari hari sebelum Ayu Utami lahir.
Sastra Motinggo Boesje, pada era 1960-1970, mengajak penikmatnya membebaskan pikiran dan imajinasinya, membayangkan hubungan intim antara lelaki dan perempuan. Melalui barisan kata-kata yang terstruktur rapi, menurut penilaian beberapa kritikus, Boesje mencoba mendeskripsikan sebuah hubungan intim tanpa bermaksud mengedepankan unsur pornografi.
Dalam karyanya itu, Boesje memilih tidak menggambarkan secara eksplisit bagaimana cara berhubungan intim itu. Dia juga memilih tidak menampilkan kata-kata yang langsung mengarah pada bagian vital atau alat kelamin laki-laki dan perempuan. Tapi, karyanya sudah terlanjur dicap sebagai stensilan, istilah buku porno pada zaman itu, yang mengingatkan kita pada nama seperti Ani Arrow, senyampang dengan komik-komik roman karya Zaldy, Yan Mintaraga dan lainnya.
Motinggo Boesje, penulis populer paling produktif (kata ‘paling’ disitu valid, karena memang dibanding lainnya, tulisannya yang ‘terbanyak’ diterbitkan). Boesje juga penulis yang waktu itu paling mendapat kecaman dari berbagai pihak, terutama kritikus sastra, mengenai nilai seni karya-karyanya. Karya-karyanya dianggap porno dan dilarang peredarannya oleh pemerintah, karena dinilai dapat merusak moral masyarakat dan mendorong perbuatan asusila. Penjabaran dari hal itu sebenarnya, karyanya berpengaruh.
Nama Motinggo Boesje (lahir di Kupangkota, Bandar Lampung, 21 November 1937), untuk generasi 70-an, sangat dikenal. Nama yang panas dalam dunia penulisan Indonesia, meski bisa dibilang tidak akan ada yang berani memasukkannya dalam kategori tokoh sastra paling berpengaruh. Novel-novelnya yang ber-‘genre’ erotis itu, antara lain terlihat dari judul-judulnya; Hari Ini Tidak Ada Cinta (1963), Dosa Kita Semua (1963), Titian Dosa di Atasnya (1964), Cross Mama (1966), Tante Maryati (1967), Sri Ayati (1968), Retno Lestari (1968), jauh-jauh hari hari sebelum Ayu Utami lahir.
Sastra Motinggo Boesje, pada era 1960-1970, mengajak penikmatnya membebaskan pikiran dan imajinasinya, membayangkan hubungan intim antara lelaki dan perempuan. Melalui barisan kata-kata yang terstruktur rapi, menurut penilaian beberapa kritikus, Boesje mencoba mendeskripsikan sebuah hubungan intim tanpa bermaksud mengedepankan unsur pornografi.
Dalam karyanya itu, Boesje memilih tidak menggambarkan secara eksplisit bagaimana cara berhubungan intim itu. Dia juga memilih tidak menampilkan kata-kata yang langsung mengarah pada bagian vital atau alat kelamin laki-laki dan perempuan. Tapi, karyanya sudah terlanjur dicap sebagai stensilan, istilah buku porno pada zaman itu, yang mengingatkan kita pada nama seperti Ani Arrow, senyampang dengan komik-komik roman karya Zaldy, Yan Mintaraga dan lainnya.
Motinggo Boesje, penulis populer paling produktif (kata ‘paling’ disitu valid, karena memang dibanding lainnya, tulisannya yang ‘terbanyak’ diterbitkan). Boesje juga penulis yang waktu itu paling mendapat kecaman dari berbagai pihak, terutama kritikus sastra, mengenai nilai seni karya-karyanya. Karya-karyanya dianggap porno dan dilarang peredarannya oleh pemerintah, karena dinilai dapat merusak moral masyarakat dan mendorong perbuatan asusila. Penjabaran dari hal itu sebenarnya, karyanya berpengaruh.
*
“Motinggo” merupakan nama pena yang berasal dari
Bahasa Minang: ‘mantiko’. Boesje sendiri, meski lahir di Lampung, tetapi
berdarah Minang. Kata ‘mantiko’ memilki makna antara sifat bengal, eksentrik,
suka menggaduh, kocak, dan tak tahu malu. Agar terdengar kontradiktif (bagian
dari sifatnya yang eksentrik), ia menambahkan kata bungo (bunga) dibelakang
nama samarannya itu. Jadilah nama penanya; Mantiko Bungo (MB), yang kemudian
dari inisial MB itulahberubah menjadi Motinggo Boesje (yang kadang ditulis
'Busye').
Nama Boesje, mungkin lebih dekat dengan Bustami, nama aseli
Motinggo Boesje. Bustami, itulah nama asli yang diberikan oleh sang ibu. Nama
asli pemberian Rabi’ah Ja’akub ini, dengan jelas menggambarkan idealisme yang
tinggi dan religius. Nama Bustami diambil dari nama seorang filsuf muslim
(sufi) pada masa kejayaan Granada-Andalusia. Ketika Rabi’ah mengandung, ia sangat
mengagumi filsuf sufi itu. Karena nama ayahnya Djalid Soetan, jadilah nama
lengkap Motinggo Boesje yang aseli; Bustami Djalid.
Orang tua Boesje berasal dari Sumatera Barat. Ibunya berasal
dari Matur, sekitar tujuh kilometer sebelah timur Bukittinggi. Ayahnya, Djalid
Sutan Raja Alam, berasal dari Sicincin (Pariaman), sekitar empat puluh
kilometer dari kota Padang. Setelah menikah, pasangan Djalid Sutan-Rabi’ah
merantau ke Lampung dan menetap di daerah Telukbetung. Ayah Bosje bekerja
sebagai klerk KPM di Kupangkota, yang berjarak tidak jauh dari kediaman mereka.
Sejak kecil, Boesje sudah gemar membaca. Kegemarannya itu tak lepas dari kecintaan ayahnya pada buku. Ketika masa pendudukan Jepang di Tanah Air, sekitar Maret 1942, sebuah bus perpustakaan milik Balai Pustaka, yang terparkir di depan rumah orangtuanya ditinggal lari oleh para petugasnya. Mereka takut menjadi korban serangan balatentara Jepang, dan menjadi bulan-bulanan warga sekitar. Karena bus itu ditinggal pergi, warga menjarah peralatan dan onderdil bus untuk digadaikan atau ditukarkan dengan uang. Tak mau kalah, ayah Boesje juga ikut ambil bagian dalam peristiwa penjarahan itu. Tapi tidak seperti penduduk lainnya, ayah Boesje hanya mengamankan buku-buku yang ada di dalam bus. Buku-buku hasil jarahan itu beratus-ratus judul, dan ketika Boesje sudah mulai lancar membaca, habis dilahapnya selama 7 tahun, dari tahun 1942—1949. Tak ayal lagi, semua buku terbitan Balai Pustaka sebelum perang, mulai dari bacaan anak sampai bacaan orang dewasa, pernah dibacanya. Termasuk buku karya-karya Karl May, dan buku Mowgli Anak Didikan Rimba (terjemahan Haji Agus Salim), yang mendampingi Boesje tumbuh dewasa. Dari situlah ketertarikan anak ketiga dari delapan bersaudara ini pada dunia tulis menulis.
Apalagi ketika itu, datang seorang perwira Jepang, Yamashita, ke rumahnya, memberi mesin ketik. Mesin ketik itu akhirnya menjadi sahabat Boesje kecil untuk mencurahkan ide-idenya. Ceritanya, ketika itu ada seorang perwira Jepang, bernama Yamashita, datang berkunjung ke rumah orang tuanya. Melihat Boesje sedang asyik dengan mainannya, perwira itu menjahili dengan menaiki sepeda roda tiga kepunyaannya. Ternyata, sepeda itu tidak kuat menahan beban tubuh Yamashita. Sepeda itu patah. Melihat mainan kesayangannya rusak, Boesje menangis sekuatnya. Hari berikutnya Yamashita kembali untuk mengganti mainan Boesje yang dirusaknya. Tapi bukan sepeda roda tiga yang dibawa Yamashita, melainkan sebuah mesin ketik. Kesialan Motinggo itu ternyata berbuah manis. Yamashita tidak akan pernah menyangka, jika akhirnya mesin ketik peninggalannya akan menjadi teman setia Boejse.
Sejak kecil, Boesje sudah gemar membaca. Kegemarannya itu tak lepas dari kecintaan ayahnya pada buku. Ketika masa pendudukan Jepang di Tanah Air, sekitar Maret 1942, sebuah bus perpustakaan milik Balai Pustaka, yang terparkir di depan rumah orangtuanya ditinggal lari oleh para petugasnya. Mereka takut menjadi korban serangan balatentara Jepang, dan menjadi bulan-bulanan warga sekitar. Karena bus itu ditinggal pergi, warga menjarah peralatan dan onderdil bus untuk digadaikan atau ditukarkan dengan uang. Tak mau kalah, ayah Boesje juga ikut ambil bagian dalam peristiwa penjarahan itu. Tapi tidak seperti penduduk lainnya, ayah Boesje hanya mengamankan buku-buku yang ada di dalam bus. Buku-buku hasil jarahan itu beratus-ratus judul, dan ketika Boesje sudah mulai lancar membaca, habis dilahapnya selama 7 tahun, dari tahun 1942—1949. Tak ayal lagi, semua buku terbitan Balai Pustaka sebelum perang, mulai dari bacaan anak sampai bacaan orang dewasa, pernah dibacanya. Termasuk buku karya-karya Karl May, dan buku Mowgli Anak Didikan Rimba (terjemahan Haji Agus Salim), yang mendampingi Boesje tumbuh dewasa. Dari situlah ketertarikan anak ketiga dari delapan bersaudara ini pada dunia tulis menulis.
Apalagi ketika itu, datang seorang perwira Jepang, Yamashita, ke rumahnya, memberi mesin ketik. Mesin ketik itu akhirnya menjadi sahabat Boesje kecil untuk mencurahkan ide-idenya. Ceritanya, ketika itu ada seorang perwira Jepang, bernama Yamashita, datang berkunjung ke rumah orang tuanya. Melihat Boesje sedang asyik dengan mainannya, perwira itu menjahili dengan menaiki sepeda roda tiga kepunyaannya. Ternyata, sepeda itu tidak kuat menahan beban tubuh Yamashita. Sepeda itu patah. Melihat mainan kesayangannya rusak, Boesje menangis sekuatnya. Hari berikutnya Yamashita kembali untuk mengganti mainan Boesje yang dirusaknya. Tapi bukan sepeda roda tiga yang dibawa Yamashita, melainkan sebuah mesin ketik. Kesialan Motinggo itu ternyata berbuah manis. Yamashita tidak akan pernah menyangka, jika akhirnya mesin ketik peninggalannya akan menjadi teman setia Boejse.
Boesje tumbuh dengan sehat dan
hidup di lingkungan keluarga yang patuh pada ajaran agama (Islam). Semasa
hidup, ibunda Boesje mengajar agama dan bahasa Arab. Ketika usianya 12 tahun,
orang tua Motinggo meninggal dunia. Ayahnya meninggal pada 10 November 1948 dan
ibunya pada 12 November 1948. Sepeninggal orangtuanya, Boesje tinggal dan
diasuh oleh neneknya yang bernama Aisjah di Bukittinggi.
Masa kecil Boesje berbarengan
dengan masa pendudukan Jepang di Indonesia. Kondisi perang yang tidak menentu
memberikan efek yang luar biasa bagi kesejahteraan rakyat. Jangankan untuk
sekolah, kebutuhan pokok seperti makan saja tidak terpenuhi dengan baik. Oleh sebab
itu, hampir sebagian besar teman-teman sebaya Boesje tidak bersekolah. Hal lain
yang menyebabkan berkurangnya kesempatan belajar di sekolah formal dikarenakan
hanya anak-anak yang orang tuanya mempunyai kedudukan dalam pemeritahan dan
keturunan bangsawan saja yang dapat bersekolah.
Boesje termasuk anak yang
beruntung. Dia adalah cucu Kepala Negeri Matur yang bernama Idris Datuk Sakti,
terkenal di Minangkabau sebagai menantu Sentot Alibasyah Prawirodirdjo (tokoh
terkenal dalam perang Diponegoro) sehingga dia mendapatkan kesempatan
bersekolah di Sekolah Rakyat (SR).
Pada saat pendaftaran di sekolah
tersebut, Boesje terbentur satu masalah. Dia tidak lulus tes model sekolah
dulu. Dahulu, apabila seorang anak sudah dapat memegang telinga dengan tangan melingkar
melewati kepala, berarti anak tersebut sudah pantas masuk sekolah. Sayangnya,
tangan Boesje belum bisa menggapai telinga. Agar dia pantas belajar di sekolah
tersebut, ayahnya memanipulasi tahun kelahiran Boesje setahun lebih tua (1936)
dari catatan ibunya di sebuah buku ketika dia lahir (1937). Berkenaan dengan
tahun kelahirannya itu, Boesje berkomentar bahwa dia lebih senang menggunakan
tahun yang bershio tikus (1937). Dia mengganggap bahwa shio tikus itu bisa
membawa keberuntungan.
*
Boesje mulai terjun ke jagad
sastra Indonesia dengan puisinya Malam Putih, yang dimuat dalam Siasat Tahun
VIII Nomor 378/26, tahun 1953. Sebenarnya, Puisi yang dimuat oleh majalah
sastra tersebut bukanlah karya pertama yang dibuatnya. Ketika Boesje duduk di
Sekolah Menengah Pertama (SMP II Ateh Ngarai), karyanya sudah disetujui oleh HB
Jassin untuk dimuat di Mimbar Indonesia, sehingga tidak salah jika Taufiq Ismail
menjuluki Boesje sebagai anak ajaib di pentas sastra Indonesia, sebanding
dengan Ajip Rosidi, yang juga mulai menulis sejak umur sedini itu .
Pada usia remaja, Boesje sudah
menunjukkan bakatnya dalam bermain drama dan sutradara. Hal itu dibuktikannya
melalui kemampuannya mengisi sandiwara di radio. Drama radio yang disiarkan
oleh RRI Bukittinggi itu berjudul ”Tom dan Desy”. Selain itu, Boesje juga
senang melukis. Pemandangan jurang alam di kampung halamannya yang indah,
Sumatera Barat, memberikan inspirasi baginya untuk mencintai dunia seni lukis.
Kecintaannya pada lukis-melukis ini diasahnya dengan berguru kepada dua pelukis
terkenal, Wakidi dan Djufri Sjarif.
Kepiawaiannya dalam bidang seni
lukis pernah di pamerkan bersama tiga belas pelukis dan dua pematung senior di
Padang pada tahun 1954. Pada pameran itu, Boesje menampilkan lima belas
lukisan, sepuluh menggunakan cat minyak dan lima menggunakan cat air. Tiga
lukisannya, “Rakata di Senjakala”, “Rindu Pahlawan pada Kekasih”, dan “Diri
yang Terasing”, mengingatkan A.A. Navis pada warna-warna Vincent van Gogh.
Pameran lukisan Boesje dan beberapa seniman itu menjadi tonggak penting dalam
sejarah seni lukis di Sumatera Barat (Ismail, 1999). Pada akhir hayatnya, hobi yang
belakangan disukainya adalah keramik. Dia senang mengabadikan tulisan tangan
dan potret para sastrawan dalam karya-karya keramiknya.
Setelah lulus SMP, Boesje
melanjutkan sekolah ke SMA Negeri Birugo, dulu lebih dikenal dengan sebutan
Sekolah Radja. Sekolah ini termasuk salah satu SMA tertua di Indonesia yang
dibangun oleh pemerintahan Belanda pada tahun 1873, ketika itu bernama
Kweekschool. Pada zaman Belanda, Kweekschool telah menamatkan guru, pemuka
masyarakat, birokrat, ilmuwan dan sastrawan. Sastrawan yang pernah menjadi
pelajar dan juga pernah menjadi pengajar di Kweekschool adalah Selasih. Seperti
sudah turun-temurun, silih berganti sastrawan lahir di sekolah itu. Di SMA
Birugo, Boesje diajarkan bahasa dan sastra oleh Dt. Nurdin Jakub, waktu itu
sudah dikenal masyarakat sebagai penulis cerpen. Seperti pepatah “guru kencing
berdiri, murid kencing berlari”, Boesje tak mau kalah dari gurunya itu. Mereka
bersaing mengirimkan hasil karya sastranya ke Jakarta. Selain Boesje ada juga
Suwardi Idris dan AB Dahlan (kemudian dikenal sebagai wartawan dan penulis
cerita pendek). Alwi Dahlan, pernah menjadi Menteri Penerangan, murid dari
sekolah yang sama, juga giat mengirimkan karya-karynya ke Mimbar Indonesia dan
Kisah asuhan HB Jassin.
Bisa dibayangkan betapa asyiknya
suasana pengajaran sastra di SMA Negeri Birugo pada waktu itu. Tapi meskipun
senang menulis, Boesje tidak pernah mendapatkan nilai bagus untuk mata
pelajaran Bahasa Indonesia. Ketika ditanya masalah itu, Boesje menjelaskan
bahwa dia tidak suka berbahasa baik dan benar, yang terpenting jago menulis
puisi dan cerpen!
Setamat dari SMA Birugo, Boesje sempat kebingungan untuk
memilih perguruan tinggi. Dua universitas negeri terkemuka di Indonesia
(Universitas Indonesia dan Gadjah Mada) menyediakan satu tempat untuk dirinya.
Belum lagi tawaran KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) untuk ke Perancis. Sementara,
di sisi lain, Boesje juga berkeinginan
untuk menjadi komposer.
Akhirnya ia memilih Yogyakarta. Ia mengambil tawaran UGM,
dan jadilah ia mahasiswa Fakultas Hukum jurusan Tata Negara. Tapi sayangnya, kegemuruhan Yogyakarta dengan
aktivitas keseniannya waktu itu, cukup menggoda Boesje. Ia waktu itu juga terlalu
asyik melibatkan diri dengan para sastrawan, dan mengikuti kegitan teater
bersama Kidjomuljo, Nasjah Djamin, Subagio Sastrowardoyo, dan Rendra. Padahal,
masa kuliah Boesje sudah setaraf dengan sarjana muda.
Di tengah keasyikannya dengan berbagai kegiatan seni di
Yogyakarta, Boesje bertemu teman SMA-nya, Taufik Abdullah. Selain untuk temu
kangen, pertemuannya dengan Taufik juga memberikan padanya sedikit pencerahan.
Taufik memberinya trilogi James T. Farrel, berjudul Studs Lonnigan, dengan
harapan Boesje bisa meniru totalitas Farrel dalam berkarya. Bukan hanya menulis
cerita yang pendek-pendek, melainkan trilogi sekaligus. Trilogi novel Bibi
Marsiti, Jantuni, dan Nyonya Marjono, menjadi saksi ketidaksia-siaan Taufik
menyemangati Boesje. Dari sini kemudian lahirlah novel-novel Boesje. Namanya
mulai berkibar di dunia kesusastraan Tanah Air.
Karya-karyanya dimuat di berbagai media massa, seperti Minggu Pagi, Budaya,
Mimbar Indonesia, Kisah, Sastra, dan Aneka. Hingga kemudian ia ke Jakarta, menjadi
redaktur kepala Penerbitan Nusantara periode 1961-1964.
Hingga muncullah novel-novel erotisnya itu. Kata-kata yang digunakan Boesje dalam karyanya, masih dipandang tabu dan mengandung unsur porno. Apakah pemilihan kata dalam karya Boesje, dalam menggambarkan hubungan intim, menjerumuskan pembaca pada sebuah realitas, dan memonopoli kebebasan akal dalam berkreasi? Melihat karya sastra sebagai sumber apresiasi seni, tentu membutuhkan kriteria penilaian yang hati-hati. Apalagi, Boesje termasuk piawai dalam mengungkapkan persenggamaan dengan bahasa yang metaforis dan konotatif. Meski kadang terasa hyperbolic, tapi ungkapannya sering terlihat berusaha membahasakan hubungan intim manusia dengan cukup berliku dan tidak verbal, setidaknya tidak se-eksplisit dalam beberapa karya sastra yang disebut sebagai sastra selangkangan periode 2000-an dengan kredo pembebasan diri dalam pembahasaan tubuh.
Hingga muncullah novel-novel erotisnya itu. Kata-kata yang digunakan Boesje dalam karyanya, masih dipandang tabu dan mengandung unsur porno. Apakah pemilihan kata dalam karya Boesje, dalam menggambarkan hubungan intim, menjerumuskan pembaca pada sebuah realitas, dan memonopoli kebebasan akal dalam berkreasi? Melihat karya sastra sebagai sumber apresiasi seni, tentu membutuhkan kriteria penilaian yang hati-hati. Apalagi, Boesje termasuk piawai dalam mengungkapkan persenggamaan dengan bahasa yang metaforis dan konotatif. Meski kadang terasa hyperbolic, tapi ungkapannya sering terlihat berusaha membahasakan hubungan intim manusia dengan cukup berliku dan tidak verbal, setidaknya tidak se-eksplisit dalam beberapa karya sastra yang disebut sebagai sastra selangkangan periode 2000-an dengan kredo pembebasan diri dalam pembahasaan tubuh.
*
Suasana Yogya yang riuh dengan
seniman-seniman dari berbagai macam bidang seni memberikan kontribusi yang
tidak sedikit bagi Boesje. Di kota gudeg ini, kegemaran Boesje mulai dari
sastra (cerpen, puisi, novel), jurnalistik, teater, sampai seni lukis, semakin
terasah dengan baik. Kegigihan Boesje di tengah pergumulannya dengan sastrawan
dan seniman Yogya, membuahkan beberapa karya yang tangguh, salah satunya ”Malam
Jahanam”, yang terpilih sebagai karya terbaik dalam lomba Sayembara Penulisan
Drama Kementrian P.P. dan K. (Kementrian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan)
pada tahun 1959. ”Malam Jahanam” kemudian secara berturut-turut dimuat dalam
majalah Budaya nomor 3, 4, 5, tahun ke-VII, 1959. Drama ringkas itu masih
dipakai sebagai naskah wajib untuk latihan di berbagai kelompok dan sekolah
teater di Indonesia hingga saat ini.
Boesje penulis yang sangat produktif. Produktivitas
penulis, di Indonesia sering menjadi sumber cercaan, karena dinilai karya yang
leka. Sedikitnya ada 200-an karya yang telah dihasilkannya, baik novel, drama,
cerpen, maupun puisi. Ratusan karyanya itu, sampai saat ini masih tersimpan
rapi di Perpustakaan Kongres Washington, DC, Amerika Serikat. Bahkan, karya
sastranya juga pernah dipentaskan di Universitas Pasadena, Amerika Serikat. Di
taman kota Seoul, Korea Selatan, namanya terpahat indah di antara 1.000 penyair
dunia.
Ia juga pernah memenangkan
hadiah majalah Sastra tahun 1962 untuk cerpennya berjudul "Nasehat untuk
Anakku". Beberapa di antaranya, telah diterjemahkan ke beberapa bahasa
asing, Inggris, Belanda, Perancis, Jerman, Korea, Cina, Jepang, dan bahkan
Cekoslovakia. Sebagai penyair, puisi-puisinya masuk dalam antologi penyair Asia
(1986) dan antologi penyair dunia (1990).
Dalam sebuah pengakuannya, mengenai periode penulisan 1960-an, "Saya saat itu lebih cenderung mengangkat seks, karena novel seperti itu justru yang banyak diminati. Dan tiap orang ‘kan sebenarnya interes."
Dalam sebuah pengakuannya, mengenai periode penulisan 1960-an, "Saya saat itu lebih cenderung mengangkat seks, karena novel seperti itu justru yang banyak diminati. Dan tiap orang ‘kan sebenarnya interes."
Jiwa kepengarangan Boesje
dipengaruhi oleh beberapa sastrawan dalam dan luar negeri. Seperti ketika
menulis cerita pendek, terasa terpengaruh teknik yang digunakan oleh Guy de Maupassant.
Anton P. Chekov, sastrawan Rusia, secara tidak langsung memengaruhi Boesje
dalam menampilkan watak tokoh cerita. Dalam menuliskan gaya dan dialog, Boesje
mengagumi gaya sastrawan Ernest Hemingway yang dinilai naturalis. Boesje juga
mengagumi John Steinback, seorang novelet. Dari dalam negeri, Pramoedya Ananta
Toer merupakan sastrawan Indonesia yang menjadi idolanya. Tokoh lain kekaguman
Boesje, kepada seorang filsuf wanita Ralph Waldo Emerson. Karyanya yang
dipengaruhi oleh filsuf wanita tersebut, antara lain Sanu: Infita Kembar, dan Mata
Pelajaran Sanu, Sang Guru (puisi, 1990).
Pada 26 Juli 1962, Boesje
menikah dengan Lashmi Bachtiar di Yogyakarta. Dikaruniai empat orang anak
laki-laki (Ito, Rio, Soni, dan Raf). Setelah menikah dengan Lashmi, Motinggo
merantau ke Jakarta, dan bekerja sebagai wartawan majalah Aneka, media massa
bidang olahraga dan film. Enam bulan kerja di majalah tersebut, dia diangkat
menjadi redaktur. Setelah pindah ke Jakarta, tidak lagi menulis naskah drama.
Perpindahannya ke Jakarta juga membuat perubahan pada gaya dan pandangan hidupnya.
Pengaruh kehidupan metropolitan secara drastis mengubah pandangan hidup dari
idealisme ke hedonisme, demikian komentar banyak kritikus sastra mengamati
perkembangan kepengarangannya.
*
Sekitar tahun 1984-1989, Boesje mengubah
pandangannya. Waktu itu, ada periode jeda ketika Boesje masuk ke dunia film,
sebagai sutradara. Ia lama tak menulis, dan baru pada periode 1990-an, Boesje
kembali menulis novel, namun dengan latar yang Islami. Hal itu jauh dilakukan
sebelum munculnya penerbit Mizan dan Komunitas Lingkar Pena. Ada dua alasan
perubahannya itu. Pertama karena lesunya dunia perfilman nasional. Kedua,
kritik keras dari anaknya, yang disekolahkan di Pondok Pesantren Gontor,
Ponorogo, Jawa Timur.
Boesje selalu diingatkan oleh anaknya, untuk tidak membuat karya sastra atau film yang banyak menonjolkan seksualitas. Menurut anaknya, masalah seksualitas atau pornografi itu dapat meracuni generasi muda bangsa. Artinya, dalam pandangan anaknya, bukan oleh Tim 8, Boesje ini dianggap berpengaruh.
Boesje selalu diingatkan oleh anaknya, untuk tidak membuat karya sastra atau film yang banyak menonjolkan seksualitas. Menurut anaknya, masalah seksualitas atau pornografi itu dapat meracuni generasi muda bangsa. Artinya, dalam pandangan anaknya, bukan oleh Tim 8, Boesje ini dianggap berpengaruh.
Pada tahun dekade 1970-an,
Boesje lebih aktif di dunia film, sebagai sutradara. Antara lain dalam film
Cintaku Jauh di Pulau (mengambil judul sajak karya Chairil Anwar), dan Putri Seorang
Jenderal. Namun film mungkin bukan keberuntungannya, sampai akhirnya dunia film
saat itu pun juga lesu. Hal itu setidaknya membuat Boesje muncul kesadarannya
untuk kembali menulis novel serius.
Dari sanalah Boesje menulis
novel Sanu Infinita Kembar (sisipan majalah Horison 1984, dan kemudian
diterbitkan oleh Gunung Agung, 1985). Novel tersebut bagaikan penanda perubahan
pandangan Motinggo, dari hal-hal yang berbau seksualitas dan pornografi ke
hal-hal yang bersifat religius, serius, transendental, pengembaraan intelektual
imajinatif, serta absurditas.
Dari sini, nama Boesje mendapatkan tempat tersendiri. Boesje mendapatkan hadiah ke-4 Sayembara Penulisan Cerpen Majalah Horison 1997 ('Bangku Batu'). Masuk kategori 10 cerpen terbaik 1990-2000 versi majalah sastra Horison 2000 (“Lonceng). Dan pernah pula salah satu cerpennya dinobatkan sebagai cerpen terbaik Kompas 1999 (“Dua Tengkorak Kepala”).
Sutardji Calzoum Bachri menyebut Motinggo Boesje sebagai sastrawan ‘master of style’. Sementara Rendra sangat mengagumi konsistensi kesenimanan Boesje. "Komitmennya ini memunculkan kekaguman dari seniman lain," ujar Rendra. Tak kurang pula, A. Teeuw, kritikus sastra Indonesia, mengakui bakat sastra, seni, dan potensi artristiknya.
Meninggal di Jakarta 18 Juni 1999, Boesje yang bergelar Saidi Maharajo ini, dikenang sebagai seniman multi talenta. Ia menyandang predikat sastrawan, penyair, dramawan, sutradara film, novelis, dan pelukis. | Dirangkum dari berbagai sumber.
Dari sini, nama Boesje mendapatkan tempat tersendiri. Boesje mendapatkan hadiah ke-4 Sayembara Penulisan Cerpen Majalah Horison 1997 ('Bangku Batu'). Masuk kategori 10 cerpen terbaik 1990-2000 versi majalah sastra Horison 2000 (“Lonceng). Dan pernah pula salah satu cerpennya dinobatkan sebagai cerpen terbaik Kompas 1999 (“Dua Tengkorak Kepala”).
Sutardji Calzoum Bachri menyebut Motinggo Boesje sebagai sastrawan ‘master of style’. Sementara Rendra sangat mengagumi konsistensi kesenimanan Boesje. "Komitmennya ini memunculkan kekaguman dari seniman lain," ujar Rendra. Tak kurang pula, A. Teeuw, kritikus sastra Indonesia, mengakui bakat sastra, seni, dan potensi artristiknya.
Meninggal di Jakarta 18 Juni 1999, Boesje yang bergelar Saidi Maharajo ini, dikenang sebagai seniman multi talenta. Ia menyandang predikat sastrawan, penyair, dramawan, sutradara film, novelis, dan pelukis. | Dirangkum dari berbagai sumber.
Karya-karya Motinggo Bosje sangat banyak, berikut ini
beberapa di antaranya (di luar karya lukisnya).
PUISI:
(1) “Malam Putih”, Siasat Tahun VIII Nomor 378, Tahun-7,
1953:26.
(2) “Ibu” Budaya Nomor 4-5 Tahun ke-4, 1955:220.
(3) “La Lune et La Croix” Majalah Nasional Nomor 5 Tahun
ke-6, 1955:19.
(4) “Tuhan” Waktu Nomor 25 Tahun ke-9, 1955.
(5) “Dengan Malam” Waktu Nomor 41 Tahun ke-11, 1957:22.
(6) “Jalan Rata ke Pegunungan” Budaya Nomor 3-4 Tahun ke-6,
1957:174.
(7) “Kota kami Dahulu” Budaya Nomor 3-4 Tahun ke-6,
1957:173.
(8) “Ulang Tahun” Budaya Nomor 3 Tahun ke-7, 1958:128.
(9) “Kepada Potret Abadi” Budaya Nomor 8 Tahun ke-8,
1959:284.
(10) ”Majenun, Majenun” Budaya Nomor 8 Tahun ke-8, 1959:286.
(11) Aura Para Aulia. Jakarta: M. Sonata. 1990.
(12) “Merasuk Malam” Horison Nomor 9 September 1999.
2. PROSA
(1) “Berantas” Waktu Nomor 29 Tahun ke-8, 1954:32--36.
(2) “Bunian” Majalah Nasional Nomor 37 Tahun ke-5,
1954:20--22.
(3) “Fonnie” Majalah Nasional Nomor 2 Tahun ke-5,
1954:18--19.
(4) “Jejak Sepatu Gerilya” Waktu Nomor 11 Tahun ke-8,
1954:32--35.
(5) “Mencari Kesudahan” Majalah Nasional Nomor 26 Tahun
ke-5, 1954:20--22.
(6) “Pengakuan” Majalah Nasional Nomor 41 Tahun ke-5,
1954:20--22.
(7) “Danau” Waktu Nomor 45 Tahun ke-9, 1955:34--36.
(8) “Serenade” Majalah Nasional Nomor 1,2 Tahun ke-6,
1955:23--25.
(9) “Kubur dan Negeri Jauh” Roman Nomor 3 Tahun ke-4, 1957:
24--25, 28.
(10) “Kuburan” Aneka Nomor 7 Tahun ke-9, 1958:12--13.
(11) “Luka Hati Manusia” Minggu Pagi Nomor 43 Tahun ke-10,
1958:22--24.
(12) “Simponi dari Satu Nyawa” Star Weekly Nomor 677, Tahun
ke-13, 1958:13--14.
3. CERITA PENDEK
(1) Keberanian Manusia. (kumpulan cerpen) Jakarta:
Nusan¬tara. 1962.
(2) Nasihat untuk Anakku. (kumpulan cerpen) Jakarta:
Mega¬bookstore. 1963.
(3) “Bangku Batu” Pemenang ke-4 Sayembara Horison. Horison
Nomor 9 Tahun XXXI, September 1997.
(4) “Lonceng” Horison Nomor 9 Tahun XXXIV, September 1999.
(5) Dua Tengkorak Kepala. (kumpulan cerita pendek, cerpen
terbaik Kompas 2000). Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. 1999.
4. NOVEL
(1) Tidak Menyerah. Jakarta: Nusantara. 1962.
(2) Bibi Marsiti. Jakarta: Lokajaya. 1968.
(3) Cross Mama. Jakarta: Lokajaya. 1968.
(4) Jeng Mini. Jakarta: Lokajaya. 1969.
(5) Lucy Mei Ling. Jakarta: Lokajaya. 1977.
(6) Sanu Infinita Kembar. Jakarta: Gunung Agung. 1985.
(7) Madu Prahara. Jakarta: PN Balai Pustaka. 1985.
(8) Dosa Kita Semua. Jakarta: PN Balai Pustaka. 1986.
5. DRAMA
(1) “Malam Jahanam” Budaya Nomor 3--5 Tahun ke-8,
1959:91--112.
(2) Malam Pengantin di Bukit Kera. Jakarta: Mega¬bookstore.
1963.
(3) Nyonya dan Nyonya. Jakarta: Megabookstore. 1963.
6. KRITIK ESAI
(1) “Hasil Seni Modern” Sastra nomor 2 Februari 1962.
(2) “Sebagai Pengarang… Bersedia Pikul Kritik” Mingguan
Srikandi, 1969.
(3) “Tema-Tema yang Saya Pilih” Srikandi, 7 September 1969.
(4) “Film ‘Jane Eyre‘ dan ‘Charlotte Bronte‘, Sinar Harapan,
5 April 1973.
7. PEMBICARAAN KARYA-KARYANYA
(1) Sjamsoeir Arfie, “Sebenarnya Bersama Boesje”, Indonesia
Raya, 9 Agustus 1972.
(2) H.B. Jassin, “Bibi Marsiti, Sebuah Roman Trilogi
Motinggo Boesje”, Horison, Juni 1968.
(3) H.B. Jassin, “Matahari dalam Kelam, Kumpulan Tjerita
Pendek Motinggo Boesje: Suatu Sorotan”, Sastra, Agustus 1968.
(4) Mansur Samin, “Apakah Motinggo Boesje Pengarang Cabul”,
Yudha Minggu, 7 Desember 1969.
(6) Sf, “Motinggo Boesje Bitjara tentang Tema jang
Dipilihna”, Harian Kami, 10 November 1969.
8. LEGENDA
(1) Buang Tonjam. Jakarta: Megabookstore. 1963.
(2) Ahum-Ha. Jakarta: Megabookstore. 1963.
9. FILM
(1) Biarkan Musim Berganti (1971)
(2) Cintaku Jauh di Pulau (1972)
(3) Takkan Kulepaskan (1973)
(4) Puteri Seorang Jenderal
(5) Tujuh Manusia Harimau (1980)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar