Pada anak-anak
kecil, ia akan menjawab; Tangannya patah karena jatuh dari pohon.
Sementara pada anak-anak remaja, dia akan menjawab, tangan kirinya
dipotong karena jatuh dari sepeda motor. Entahlah, kalau cewek yang menanyakannya, apalagi yang naksir dia. Mungkin dia akan jawab ngebelain rakyat kecil, yang hendak diterkam macan.
Itulah Gol A Gong (d.h Gola Gong, tapi saya bilang 'gola gong' itu nggak ada artinya, karena yang ia maksudkan dengan namanya adalah bagaimana ia punya target "A" sebagai gong atau akhir pencapaiannya). Nama aslinya? Rahasia. Ia dulu dikenal sebagai penulis remaja yang produktif. Dikenal luas oleh anak-anak muda Indonesia dengan "Ballada si Roy". Beberapa saat terakhir, ia dikenal sebagai penggiat penulisan, merintis Rumah Dunia sebagai sanggar kegiatan kreatif di Serang, Banten.
Gambaran tentang dirinya, bisa ditelusuri dari cerita serial Roy, yang dulu bertengger di Majalah HAI (dekade 80-an), berseling-selang dengan serial "Lupus" Hilman Hariwijaya. Dua nama itu, cukup top-markotop, yang kalau dolan ke beberapa daerah, mesti nyamar dengan topi yang ada rambutnya. Soalnya, histeria cewe-cewe penggemarnya bisa seperti anak band.
Ia adalah pendekar bertangan satu. Suka gowes jauh sebelum hal itu dikenal sebagai hobi. Ia pernah berkeliling Asia dengan sepeda. Tak lupa menenteng raket bulutangkis, karena di mana tempat singgah, ia akan menantang siapa saja yang bisa bulutangkis untuk mengalahkannya. Lumayan, saya bisa mengalahkannya, padahal sama-sama memegang raket dengan satu tangan, dan sama-sama tangan kanan.
Berkat Roy, lelaki yang pernah kuliah di Sastra Unpad Bandung ini sukses di dunia. Dan itulah sebabnya, ia kini mendirikan Rumah Dunia. Bukan Rumah Akherat. Karena menurutnya, kalau di rumah dunia itu kita bisa bangun kebaikan, kelak akan mendapatkan akherat yang baik juga. Sudah tidak badung lagi memang, karena ia sudah bergelar haji. Haji Gol A Gong!
Di belakang rumahnya, di Kompleks Hegar Alam (Kampung Ciloang, Kemang Pusri), Serang, kini berdiri Rumah Dunia, sebuah area publik yang sering dipakai untuk kegiatan kreatif seperti sastra, jurnalistik, pelatihan penulisan, diskusi kebudayaan, dan sebagainya.
Rumah Dunia menempati tanah 500M2, berkat kegilaannya yang luar biasa. Ia membeli tanah itu dari royalti sinetron "Pada-Mu Aku Bersimpuh" (sinetron terbaik Ramadhan versi MUI, RCTI 2001). Pemilik tanah, Haji Abu, menjual tanah itu seharga Rp. 100 ribu/m2. Tidak langsung terbeli, harus mencicil, dan kelimpungan kehabisan duit, padahal pemilik tanah sudah mengejarnya. Berbagai cara halal tak mudah didapatkan. Itulah Rumah Dunia juga menjadi penerbit buku. Menerbitkan buku yang keuntungannya untuk melunasi tanah dan membiayai Rumah Dunia. Gong menawarkan semangat perubahan Indonesia lewat literasi.
Gagasan membangun Rumah Dunia, berawal dari isterinya, Tias Tatanka, yang sejak tinggal di wilayah itu, 1998, membuka 'lapak' membaca di teras rumah. Ia mengundang anak-anak kompleks dan kampung Ciloang, yang sama sekali hanya mengenal buku tulis dan buku pelajaran sekolah.
Kini di Serang, setidaknya di Rumah Dunia, kita bisa mendengar cerita lain tentang Banten. Tak melulu soal korupsi, tapi juga soal semangat berbagi dan peduli pada lingkungan. Sederhana sih, dan mungkin nggak ngaruh banget di kalangan para sastrawan yang berpengaruh. Tapi setidaknya, di Rumah Dunia itu nama-nama sastrawan Indonesia yang dulu tak pernah mereka tahu, kini mereka baca karyanya. Gong sendiri terus berkelana, menyemangati anak-anak muda untuk membangun perpustakaan di lingkungannya. Maklumlah, ia kini Presiden FTBM (Forum Taman Bacaan Masyarakat) Indonesia.
Gong sejak mahasiswa, hidup mandiri dari menulis, hingga berkeluarga, punya anak, beli rumah, membangun Rumah Dunia serta membiayainya. Hanya dari menulis dengan satu tangannya. Tidak dari korupsi. Di Rumah Dunia pula terjadi peristiwa menghanyutkan, gara-gara Gong. Seorang remaja pedagang gorengan, yang semula suka mangkal di Rumah Dunia, meninggalkan profesinya dan beralih menjadi penulis.
Itulah Gol A Gong (d.h Gola Gong, tapi saya bilang 'gola gong' itu nggak ada artinya, karena yang ia maksudkan dengan namanya adalah bagaimana ia punya target "A" sebagai gong atau akhir pencapaiannya). Nama aslinya? Rahasia. Ia dulu dikenal sebagai penulis remaja yang produktif. Dikenal luas oleh anak-anak muda Indonesia dengan "Ballada si Roy". Beberapa saat terakhir, ia dikenal sebagai penggiat penulisan, merintis Rumah Dunia sebagai sanggar kegiatan kreatif di Serang, Banten.
Gambaran tentang dirinya, bisa ditelusuri dari cerita serial Roy, yang dulu bertengger di Majalah HAI (dekade 80-an), berseling-selang dengan serial "Lupus" Hilman Hariwijaya. Dua nama itu, cukup top-markotop, yang kalau dolan ke beberapa daerah, mesti nyamar dengan topi yang ada rambutnya. Soalnya, histeria cewe-cewe penggemarnya bisa seperti anak band.
Ia adalah pendekar bertangan satu. Suka gowes jauh sebelum hal itu dikenal sebagai hobi. Ia pernah berkeliling Asia dengan sepeda. Tak lupa menenteng raket bulutangkis, karena di mana tempat singgah, ia akan menantang siapa saja yang bisa bulutangkis untuk mengalahkannya. Lumayan, saya bisa mengalahkannya, padahal sama-sama memegang raket dengan satu tangan, dan sama-sama tangan kanan.
Berkat Roy, lelaki yang pernah kuliah di Sastra Unpad Bandung ini sukses di dunia. Dan itulah sebabnya, ia kini mendirikan Rumah Dunia. Bukan Rumah Akherat. Karena menurutnya, kalau di rumah dunia itu kita bisa bangun kebaikan, kelak akan mendapatkan akherat yang baik juga. Sudah tidak badung lagi memang, karena ia sudah bergelar haji. Haji Gol A Gong!
Di belakang rumahnya, di Kompleks Hegar Alam (Kampung Ciloang, Kemang Pusri), Serang, kini berdiri Rumah Dunia, sebuah area publik yang sering dipakai untuk kegiatan kreatif seperti sastra, jurnalistik, pelatihan penulisan, diskusi kebudayaan, dan sebagainya.
Rumah Dunia menempati tanah 500M2, berkat kegilaannya yang luar biasa. Ia membeli tanah itu dari royalti sinetron "Pada-Mu Aku Bersimpuh" (sinetron terbaik Ramadhan versi MUI, RCTI 2001). Pemilik tanah, Haji Abu, menjual tanah itu seharga Rp. 100 ribu/m2. Tidak langsung terbeli, harus mencicil, dan kelimpungan kehabisan duit, padahal pemilik tanah sudah mengejarnya. Berbagai cara halal tak mudah didapatkan. Itulah Rumah Dunia juga menjadi penerbit buku. Menerbitkan buku yang keuntungannya untuk melunasi tanah dan membiayai Rumah Dunia. Gong menawarkan semangat perubahan Indonesia lewat literasi.
Gagasan membangun Rumah Dunia, berawal dari isterinya, Tias Tatanka, yang sejak tinggal di wilayah itu, 1998, membuka 'lapak' membaca di teras rumah. Ia mengundang anak-anak kompleks dan kampung Ciloang, yang sama sekali hanya mengenal buku tulis dan buku pelajaran sekolah.
Kini di Serang, setidaknya di Rumah Dunia, kita bisa mendengar cerita lain tentang Banten. Tak melulu soal korupsi, tapi juga soal semangat berbagi dan peduli pada lingkungan. Sederhana sih, dan mungkin nggak ngaruh banget di kalangan para sastrawan yang berpengaruh. Tapi setidaknya, di Rumah Dunia itu nama-nama sastrawan Indonesia yang dulu tak pernah mereka tahu, kini mereka baca karyanya. Gong sendiri terus berkelana, menyemangati anak-anak muda untuk membangun perpustakaan di lingkungannya. Maklumlah, ia kini Presiden FTBM (Forum Taman Bacaan Masyarakat) Indonesia.
Gong sejak mahasiswa, hidup mandiri dari menulis, hingga berkeluarga, punya anak, beli rumah, membangun Rumah Dunia serta membiayainya. Hanya dari menulis dengan satu tangannya. Tidak dari korupsi. Di Rumah Dunia pula terjadi peristiwa menghanyutkan, gara-gara Gong. Seorang remaja pedagang gorengan, yang semula suka mangkal di Rumah Dunia, meninggalkan profesinya dan beralih menjadi penulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar