Syahdan menurut sahibul bokis
sebokis-bokisnya, beberapa anggota sosialita kita berkumpul di warung burjo
belakang Pasar Klithikan. Seperti biasanya sebagai manusia beyond economic,
mereka pun ngobrol-ngobrol, nggak pernah jelas apa kerjaannya, persis
tokoh-tokoh dogol dalam sinetron kita.
“Jika manusia masih tetap jahat dengan adanya agama,
bagaimana lagi jika tiada agama?” tiba-tiba Benjamin Franklin membuka obrolan.
Sosialita ini tak ada hubungan darah dengan Benyamin Suaeb, harap tahu saja.
Dengan dengan Bang Haji mungkin saja, maksudnya mungkin saja tidak sama sekali.
“Agama tanpa ilmu adalah buta. Ilmu tanpa agama adalah
lumpuh,” Albert Einstein menjawab sembari menghisap rokoknya dalam-dalam,
sampai ketelen.
“Sesiapa yang tidak berfikir panjang, kesusahan telah
menunggu di mukanya,” ujar Khong Hu Cu sembari mengemut roti Khong Guan, maklum
sudah ompong.
Percakapan berhenti sejenak. Ada keributan, seorang
perempuan cantik kecopetan hatinya. Kata seorang jurnalis tivi yang kebetulan
berada di TKP, karena copetnya cakep.
“Semiskin-miskin orang, ialah orang yang kekurangan adab dan
budi pekerti,” Hukama mengajak para sosialitas kembali ke fokus.
“Yang kekurangan adab tuh kayak apa sih, Eyang?” bertanya
Eyang Sepuh Hakim pada eyang-eyangnya itu.
“Ciri orang yang
beradab ialah dia sangat rajin dan suka belajar,” Confucius menjawab sembari
mengelus-elus jenggotnya yang seperti gambar di botol anggur cap Ortu, “dia
tidak malu belajar dari orang yang berkedudukan lebih rendah darinya,...”
“Orang yang sukses dalam hidup adalah orang yang jelas tujuannya
hidupnya, dan menjangkau kepadanya tanpa menyimpang,” kata Cecil B. DeMille.
Ini nama nggak kuno banget, tapi rada asing. Beliaunya orang produser dan
sutradara film sohor, antara lain The Ten Commandments adalah
film yang pernah dibuatnya.
“Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai
sesuatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa merdeka,” tiba-tiba
Bung Karno berdiri. Orang-orang sepasar menoleh padanya. Sukarno memang
mempesona. Sukarno berdiri dengan gayanya yang gigantik. Dan tiba-tiba, ada
orang mendekat padanya memegang-megang baju bekas Sukarno, menanya pada yang
jual burjo, “Ini harganya berapa? Dijual nggak?”
“Rakyat itu akar bangsa. Jika akarnya sehat, pokoknya pun sehat,”
ujar Beng Tju prihatin melihat adegan itu.
“Oh, Beng Tju, Beng Tju, bagaimana kalau yang terjadi
pokoknya penyakitan, dan akhirnya membuat akarnya pun lumpuh tiada terbimbing?”
seorang tokoh anonim berkelebat, nyari kaset orisinal dari Erni Djohan, “Marilah
berdebat, Beng Tju, sembari ndengerin lagu Teluk Bayur,....”
Di Pasar Klithikan itu, aku mencari-cari otakku, siapa tahu
dijual temanku dan dijajar di antara barang-barang rombeng di sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar