Dalam sebuah tulisannya di; http://pesantrenbudaya.blogspot.com/2014/01/post-hegemony-xxxii-transvaluasi.html?spref=fb,
H. Agus Sunyoto antara lain mengindikasikan kecurigaan, bahwa Han Tio adalah
agen baru CCF, yang hendak menghancurkan nasionalisme bangsa Indonesia, antara
lain dengan jalan de-Soekarno-isasi.
Han Tio (saya menyebutnya Hanung Bramantio) dalam tulisan Agus
Sunyoto itu, bagi saya agak diposisikan berlebihan, seolah ia tahu apa yang
dilakukannya. Dari karya-karya filmnya, ideologi anak ini lebih pada
psikologisme pasar yang berangkat dari kontroversi. Ia hanya melihat pesona
pasar dengan kegaduhannya. Saya berpegangan pada pengakuannya sendiri, dan saya
kira ini akurat.
Ia mengaku pada Desi Anwar yang mewawancarainya dalam acara
Tea Time with Desi Anwar (Metro TV, Minggu, 5 Januari 2014). Saat itu Desi
mempertanyakan apa yang jadi kecurigaan publik, bahwa film itu tidak disertai
riset yang mendalam. Dengan wajah inosens-nya, Hanung menjawab bahwa
interpretasinya mengenai Soekarno pasti korek. Karena apa? Karena interpretasi
itu sangat sesuai dengan fakta-fakta yang dikemukakan oleh buku Lambert J.
Giebels. Itu sangat mengagetkan, dan membuat saya paham, mengapa film itu
cenderung 'melecehkan' Soekarno. Soekarno dengan tinjauan satu buku saja,
bener-bener logiak Soehartois yang mutlak-mutlakan dan wts (waton sulaya, asal
ngeyel).
Dalam buku 'Soekarno: Nederlandsch Onderdaan, Biografie
1900-1950' (Giebels, 1999), buku ini seolah hadir begitu tak berjarak dengan
Soekarno, tetapi isinya antara fakta dan fiksi begitu baur. Dan buku inilah
yang menjadi referensi penting kalangan sosialis untuk menghantam Soekarno.
Bagaimana Rosihan Anwar pernah mengangkat hal itu, soal betapa lebaynya
Soekarno di Ende, berdasar buku John Ingleson, yang oleh kawan dan lawan
Soekarno waktu itu pun diragukan kebenarannya.
Soal pandangan ideologis, mau nasionalis mau sosialis,
terserah saja. Namun sebagai seniman film yang menyodorkan karakter tokoh yang
dikenal luas oleh publik, ia mesti netral dalam pengertian memahami masalah,
berimbang, proporsional. Kita tahu bagaimana Spielberg menggarap 'Lincoln' atau
Oliver Stone menggarap 'Heaven 'n Earth', mereka melakukan riset terlebih dulu,
secara seimbang. Form sejarah tetap pada garisnya (se-subyektif apapun), tetapi
opini mereka sebagai seniman film lebih diproyeksikan pada bagaimana manusia
kini belajar dari sejarah itu. Tentu juga ada sudut pandang, tetapi tak pernah
hal itu disodorkan sebagai satu-satunya interpretasi, terus nanti nantangnya;
"Kalau tak setuju, ya bikin film sendiri dong,...!" Itu logika
sampah. Bukan berarti sampah tidak berguna, tapi mesti didaur ulang terlebih
dulu.
Untuk film dengan tokoh sejarah, Hanung bukan filmaker yang
baik. Kalau dia mau mengintepretasikan kehidupan anak manusia dalam film macam
'Brownies,..." dan sejenisnya, itu terserah dianya saja. Pada Soekarno,
Hanung menjadi sangat culun ketika membaca buku Giebels, dan menganggapnya
sebagai sebuah penemuan penting bagi dirinya (padahal buku itu sudah 13 tahun
lalu diterjemahkan ke bahasa Indonesia).
Sayangnya, Hanung saya kira tak berusaha mencari pembanding
atas narasi yang disusun Giebels. Apa yang dikritikkan oleh Pak Salim Said,
mendapatkan alurnya di sini, meski Yudhistira ANM Massardi dan Tempo memuji
film ini, namun film bukan hanya soal persoalan penyutradaraan, teknis film,
editing, melainkan juga unsur cerita dan cara bercerita, dengan berbagai
akurasinya. Pada sisi itu, film Soekarno gagal memenuhi 'hasrat' keingintahuan
dan pengetahuan masyarakatnya, dan menemui kegagalannya seperti dipertanyakan.