Tadi pagi, ada sepasang suami-isteri sudah sepuh,
dengan sepeda motor mereka berboncengan. Menawarkan dagangan sayuran
mateng dari pintu ke pintu. Dan belum ada yang membeli. Saya hanya bisa
jatuh kasihan, tak bisa menolong dengan membeli dagangan mereka, karena
juga tak punya duit.
Saya hanya punya imajinasi. Membayangkan, anak-anak muda di komunitas tertentu, di kampung atau desa-desa, berhimpun untuk menolong saudara-saudara selingkungan (model-model sepasang suami-isteri yang saya ceritakan itu). Orang-orangtua dan para pencari nafkah konvensional itu, saya kira akan tertolong sekiranya di lingkungan ada yang mampu menggunakan medsos untuk ‘sos’ dalam arti sebenarnya.
Misal membuatkan aplikasi atau secara terkoordinasi membantu promosi dan menawarkan dagangan yang miskin dan buta teknologi itu. Menawarkan ke relasi mereka, para netizen, untuk membeli sebagai aksi kepedulian, apalagi dengan deposito berlimpah.
Karena yang kita butuhkan sekarang, bagaimana mengatasi dampak ekonomi bagi rakyat kecil. Covid-19 yang memporak-porandakan semuanya. Tidak di Indonesia saja, meski dampak ekonominya selalu khas, masyarakat kecil sebagai korban. Bagi masyarakat besar, yang nerima gaji bulanan, tak begitu terdampak.
Untuk orang-orang seperti Rizal Ramli, Fadli Zon, Fahira Idris, dan orang-orang sejenis itu beserta komplotannya, pun saya kira Covid-19 tak berdampak apa-apa. Kecuali mereka juga jadi korban virus itu. Namun, yang ada, mereka justeru memanfaatkan situasi untuk menghantam pemerintah. Lihat saja cuitan orang-orang jenis ini di medsos. Frasa ‘menyalahkan’ jauh lebih kuat daripada empati terhadap situasi.
Saya mencoba membacai beberapa berita dari negara-negara luar. Belum saya temui kalangan oposisi memanfaatkan situasi. Atau karena media-media mereka lebih tahu diri, untuk prioritas bangsa dan negara? Sementara di sini media menerbitkan kontroversi, seperti memviralkan cuitan jenderal bekas, ngompori majoritas dengan sentimen agama. Apa tujuannya? Karena begitu ‘tugas’ jurnalistik?
Mendesak pemerintah melakukan lockdown? Jangankan lockdown, himbauan social distance pun, kini sudah terasa dampaknya. Dampak ekonomi, khususnya bagi rakyat miskin yang berada di sektor informal atau ekonomi mikro. Ibu-ibu buruh gendong di Pasar Beringharjo, lebih banyak duduk manyun. Volume orang belanja turun drastis.
Kemarin saya sempatkan masuk ke kota, siang dan juga malam. Suasana Yogyakarta sungguh lengang. Lalu-lintas lancar. Udara terasa cerah dan longgar. Menyenangkan tapi sekaligus mendebarkan. Semua itu karena Covid-19.
Semua orang tampak benar-benar ketakutan. Apalagi yang terpapar justeru kebanyakan bukan kalangan bawah. Ada Menteri, Walikota, kepala kejaksaan, dokter, guru besar, penari, dan lain sebagainya.
Pemerintah Indonesia, saya kira tak tinggal diam. Mereka bekerja keras dengan dukungan mentalitas para aparat yang beberapa keparat juga. Tidak mungkin tidak mereka mengantisipasi. Karena dampak Covid-19 itu nyata dalam pertumbuhan ekonomi. Sementara dengan enteng saja, Rizal Ramli ngetuit di medsos. Menceracau seperti tak pernah mendapat ajaran etika.
Saya kira Sukarno benar, negara kuat karena rakyat kuat. Bukan sebaliknya. Jika di antara kita, masyarakat warga ini, juga masyarakat warga dunia maya, tumbuh kesadaran untuk saling membantu. Ini saat yang tepat untuk kembali ke fitrah. Yang kuat menolong yang lemah. Yang kaya menolong yang miskin. Yang punya banyak kesempatan menolong yang kepepet dan kehilangan akses.
Karena kondisi ekonomi kita memang masih timpang, dan tidak adil. Ada simbok rakyat kecil yang jualan kayu bakar ke pasar kota. Jalan kaki sejauh 25 km pp, untuk Rp 30 ribu. Tapi ada pula Tommy Soeharto, yang tanpa kerja pun duit bisa nambah sendiri. Lha, kalau penjual kayu bakar tadi tak ketemu pembeli dagangannya? Salah Jokowi?
Jokowi pun, saya kira takkan mampu menyelesaikan warisan negara bubrah ini sendirian. Apalagi di bawah tekanan dan rongrongan penumpang gelap. Yang kadang, mereka bangga mempertontonkan tanpa moral.
Namun saya senang, beberapa teman mulai melakukan aksi, turun ke jalan. Bukan demonstrasi dengan mengatasnamakan HAM atau demokrasi (yang beberapa jadi profesi). Bukan pula aksi membantu secara medis, karena sudah ada ahlinya, dan mereka sudah berjuang luar biasa. Melainkan turun ke jalan membagi sembako, atau sebatang sabun, nasi bungkus, beras per-setengakilo-an, dan sebagainya.
Karena ada rakyat jelata yang tidak terkena Covid-19, tapi terkena dampak social distance, sebagaimana Jenderal Doni Monardo terus-menerus menghimbau di TV: “Tiga, di rumah saja!” Dan kita pun takut berinteraksi atau pun bertransaksi. Dalam sisi lain, itu membuat sektor riel ekonomi kita melemah. Memakan korban para jelata yang terbatas pilihannya. Dan tak punya tabungan.
Saatnya turun ke jalan, atau door to door, membantu para jelata. Jangan ngarep mereka, para politikus atau elite, yang terus saja kasak-kusuk. Ngarep pemerintahan jatuh karena Corona. Mengutip makian Darmanto YT dalam sajak ‘Vino Il Papatore Ristorante’: “Dasar coro, lu!” | @sunardianwirodono
Saya hanya punya imajinasi. Membayangkan, anak-anak muda di komunitas tertentu, di kampung atau desa-desa, berhimpun untuk menolong saudara-saudara selingkungan (model-model sepasang suami-isteri yang saya ceritakan itu). Orang-orangtua dan para pencari nafkah konvensional itu, saya kira akan tertolong sekiranya di lingkungan ada yang mampu menggunakan medsos untuk ‘sos’ dalam arti sebenarnya.
Misal membuatkan aplikasi atau secara terkoordinasi membantu promosi dan menawarkan dagangan yang miskin dan buta teknologi itu. Menawarkan ke relasi mereka, para netizen, untuk membeli sebagai aksi kepedulian, apalagi dengan deposito berlimpah.
Karena yang kita butuhkan sekarang, bagaimana mengatasi dampak ekonomi bagi rakyat kecil. Covid-19 yang memporak-porandakan semuanya. Tidak di Indonesia saja, meski dampak ekonominya selalu khas, masyarakat kecil sebagai korban. Bagi masyarakat besar, yang nerima gaji bulanan, tak begitu terdampak.
Untuk orang-orang seperti Rizal Ramli, Fadli Zon, Fahira Idris, dan orang-orang sejenis itu beserta komplotannya, pun saya kira Covid-19 tak berdampak apa-apa. Kecuali mereka juga jadi korban virus itu. Namun, yang ada, mereka justeru memanfaatkan situasi untuk menghantam pemerintah. Lihat saja cuitan orang-orang jenis ini di medsos. Frasa ‘menyalahkan’ jauh lebih kuat daripada empati terhadap situasi.
Saya mencoba membacai beberapa berita dari negara-negara luar. Belum saya temui kalangan oposisi memanfaatkan situasi. Atau karena media-media mereka lebih tahu diri, untuk prioritas bangsa dan negara? Sementara di sini media menerbitkan kontroversi, seperti memviralkan cuitan jenderal bekas, ngompori majoritas dengan sentimen agama. Apa tujuannya? Karena begitu ‘tugas’ jurnalistik?
Mendesak pemerintah melakukan lockdown? Jangankan lockdown, himbauan social distance pun, kini sudah terasa dampaknya. Dampak ekonomi, khususnya bagi rakyat miskin yang berada di sektor informal atau ekonomi mikro. Ibu-ibu buruh gendong di Pasar Beringharjo, lebih banyak duduk manyun. Volume orang belanja turun drastis.
Kemarin saya sempatkan masuk ke kota, siang dan juga malam. Suasana Yogyakarta sungguh lengang. Lalu-lintas lancar. Udara terasa cerah dan longgar. Menyenangkan tapi sekaligus mendebarkan. Semua itu karena Covid-19.
Semua orang tampak benar-benar ketakutan. Apalagi yang terpapar justeru kebanyakan bukan kalangan bawah. Ada Menteri, Walikota, kepala kejaksaan, dokter, guru besar, penari, dan lain sebagainya.
Pemerintah Indonesia, saya kira tak tinggal diam. Mereka bekerja keras dengan dukungan mentalitas para aparat yang beberapa keparat juga. Tidak mungkin tidak mereka mengantisipasi. Karena dampak Covid-19 itu nyata dalam pertumbuhan ekonomi. Sementara dengan enteng saja, Rizal Ramli ngetuit di medsos. Menceracau seperti tak pernah mendapat ajaran etika.
Saya kira Sukarno benar, negara kuat karena rakyat kuat. Bukan sebaliknya. Jika di antara kita, masyarakat warga ini, juga masyarakat warga dunia maya, tumbuh kesadaran untuk saling membantu. Ini saat yang tepat untuk kembali ke fitrah. Yang kuat menolong yang lemah. Yang kaya menolong yang miskin. Yang punya banyak kesempatan menolong yang kepepet dan kehilangan akses.
Karena kondisi ekonomi kita memang masih timpang, dan tidak adil. Ada simbok rakyat kecil yang jualan kayu bakar ke pasar kota. Jalan kaki sejauh 25 km pp, untuk Rp 30 ribu. Tapi ada pula Tommy Soeharto, yang tanpa kerja pun duit bisa nambah sendiri. Lha, kalau penjual kayu bakar tadi tak ketemu pembeli dagangannya? Salah Jokowi?
Jokowi pun, saya kira takkan mampu menyelesaikan warisan negara bubrah ini sendirian. Apalagi di bawah tekanan dan rongrongan penumpang gelap. Yang kadang, mereka bangga mempertontonkan tanpa moral.
Namun saya senang, beberapa teman mulai melakukan aksi, turun ke jalan. Bukan demonstrasi dengan mengatasnamakan HAM atau demokrasi (yang beberapa jadi profesi). Bukan pula aksi membantu secara medis, karena sudah ada ahlinya, dan mereka sudah berjuang luar biasa. Melainkan turun ke jalan membagi sembako, atau sebatang sabun, nasi bungkus, beras per-setengakilo-an, dan sebagainya.
Karena ada rakyat jelata yang tidak terkena Covid-19, tapi terkena dampak social distance, sebagaimana Jenderal Doni Monardo terus-menerus menghimbau di TV: “Tiga, di rumah saja!” Dan kita pun takut berinteraksi atau pun bertransaksi. Dalam sisi lain, itu membuat sektor riel ekonomi kita melemah. Memakan korban para jelata yang terbatas pilihannya. Dan tak punya tabungan.
Saatnya turun ke jalan, atau door to door, membantu para jelata. Jangan ngarep mereka, para politikus atau elite, yang terus saja kasak-kusuk. Ngarep pemerintahan jatuh karena Corona. Mengutip makian Darmanto YT dalam sajak ‘Vino Il Papatore Ristorante’: “Dasar coro, lu!” | @sunardianwirodono
ayo segera bergabung dengan kami hanya dengan minimal deposit 20.000
BalasHapusdapatkan bonus rollingan dana refferal ditunggu apa lagi
segera bergabung dengan kami di i*o*n*n*q*q