Bukan hanya kepala daerah yang memakai istilah
varian dari lockdown (entah local-lockdown, pembatasan wilayah, isolasi,
dan sebagainya). Tingkat desa pun, bahkan hingga RT, ada beberapa
melakukan “semacam lockdown”. Misal, membatasi lalu-lintas keluar masuk
wilayah. Beberapa pemukiman perumahan, melakukan isolasi menolak
kedatangan orang luar.
Mulailah situasi chaos ini terasa secara akumulatif. Bangsa ini sejak Soeharto berkuasa, tidak dididik untuk melakukan gerakan sosial secara mandiri. Apa yang dilakukan, baik oleh pemimpin nasional maupun pemimpin lokal, lebih banyak himbauan mengantisipasi, atau tepatnya bereaksi terhadap kasus virus Corona (Covid-19). Himbauan lebih banyak ke mekanisme “penghindaran” daripada “penghadapan.” Jalan termudah sebagaimana himbauan WHO, adalah social distancing (organisasi kesehatan dunia itu kemudian mengubah menjadi physical distancing).
Istilah terakhir, physical distancing saya kira lebih tepat. Lebih teknis dan tidak multi-interpretable. Saya lebih mengartikan pada pen-jarak-an fisik, bukan pen-jarak-an sosial. Pen-jarak-an sosial, saya kira lebih mirip penjara-kan fisik (antara lain di rumah saja, jangan ke mana-mana).
Lho, katanya kita makhluk sosial, seperti kata para sosiolog dan budayawan? Lho, katanya kita harus menjaga silaturahmi, kata para kyai dan ustadz dan ustadzah? Meski pun ada yang nyolot, silaturahmi pada yang seiman saja. Celetukan semacam itu biasanya muncul dari penjahat agama. Agama apa saja, nggak usah baper.
Dari hal itu, yang acap banyak dilupakan, sebenarnya hampir semua ahli kesehatan dunia (setidaknya saya bacai dari medsos, media online kredibel, beberapa jurnal kesehatan, hingga buku manual Covid-19 dari Henan Provincial Center for Disease Prevention and Control --untuk ini terimakasih Heru Marwata atas informasinya), intinya bukan lockdown. Lebih tepatnya karantina, sebagaimana ketika Pemerintah Indonesia menangani korban Covid-19 pada awalnya. Yakni melakukannya isolasi atau karantina di wilayah Natuna. Masih ingat bukan Februari lalu, waktu terjadi penolakan masyarakat dan pemda setempat?
China sebelumnya juga melakukan, dengan cara mengunci (lockdown) Wuhan, untuk karantina khusus terwabah Corona. Indonesia, sebagai negara kepulauan, pasti akan kepingkel-pingkel, pusing delapan keliling, gimana cara lockdown? Tolong para penjahat agama dan penjahat politik, yang suka teriak-teriak lokdan-lokdon menjelaskan pemahaman dan konsep mereka. Kalau lojon, temen saya ngerti. Saya mah nggak ngerti, karena alim.
Beberapa negara yang melakukan lockdown, sama sekali tak bisa menahan laju virus Corona. Intinya, karena memang belum ketemu vaksinnya. Yang bisa menjawab hal itu, tentu dunia ilmu pengetahuan dan teknologi. Kita masih menunggu kerja keras mereka. Dunia politik, apalagi dunia agama, tak bisa berbuat apa-apa, selain menghimba-himbau. Himbauannya khas, menghindari bukannya menghadapi.
Padal negeri ini adaptif. Tidak hancur karena disrupsi teknologi digital. Walau pun adaptif yang tidak akseleratif, karena bukan bangsa produktif melainkan konsumtif. Dan tif-tif lainnya lagi, banyak. Tapi gara-gara virus Corona, Covid-19, hancur semua tatanan kehidupan kita. Bukan hanya mereka yang berbekal lembaga akademik, lembaga politik dan lembaga agama pun semuanya abyar. Mana yang bisa melawan kedigdayaan virus Corona? Italia, yang meniru strategi sepakbola mereka dulu, cattenacio, kebobolan juga dan membuat frustrasi sosial warganya.
Hidup kita di alam raya ini, dipenuhi berbagai virus yang tak kita ketahui. Hanya para ahli yang mengetahui. Virus Corona juga bukan barang baru. Hidup kita sendiri penuh virus. Bukan hanya disekitar kita, tapi bahkan dalam tubuh kita. Belum ada teori baru yang membantah, di dalam tubuh kita juga tersedia berbagai antibodi. Ada virus jahat ada virus budiman. Nyatanya, ada orang sehat ada orang sakit dalam situasi, waktu dan ruang yang sama. Kenapa? Karena antibodinya beda-beda. Imunitas individu ditentukan kondisi jiwa-raga masing-masing orang.
Bagi individu yang sudah terserang, atau terindikasi, itu bagian para ahli kesehatan. Masyarakat awam tak banyak bisa membantu, mestinya mempercayai otoritas mereka. Bagi yang tak percaya, sudah ada bukti. Mayat yang terkena Covid-19 dibongkar dan dimandikan sendiri oleh keluarganya yang awam. Hasilnya, mereka yang memandikan jenazah tertulari virus. Itu takdir? Tentu saja, karena takdir kesehatan dan kematian juga bisa dipercepat dengan kebodohan.
Persoalannya, terjadi penurunan kualitas anti-body manusia secara umum. Karena apa? Karena tumbuhnya gaya hidup dan berkembangnya pola konsumsi, yang mengakibatkan situasi makin tak sederhana. Banyak ditemu berbagai jenis penyakit baru, karena tumbuh varian baru dalam gejala ketubuhan manusia.
Orang miskin yang pola konsumsinya sederhana (sudah miskin, bodoh, tinggal di desa --untuk menyangatkan perbandingan), ternyata lebih kuat imunitasnya, daya tahan tubuhnya, antibodinya, dibanding orang kota yang berpendidikan, kaya, tetapi pola konsumsinya amburadul. Kalau mengenai orang gila, gelandangan gila terutama, kok sehat-sehat saja? Sok tahu. Jika ada dokter yang jadi relawan memeriksanya, bisa dipastikan lain lagi soalnya.
Dari berbagai himbauan pemerintah, juga para ahli medis, masyarakat perlu cara hidup sehat. Apa saja yang mesti dikonsumsi. Bagaimana gaya hidupnya. Namun mengapa soal penguatan kesadaran mengenai hal ini tak banyak disuarakan? Mengapa para pemimpin dan tokoh masyarakat seolah tak mau mengedukasi masyarakat, dalam melakukan perlawanan terhadap virus Corona dengan ajakan ola hidup dan makan sehat itu? Apakah nyuruh tinggal di rumah saja juga sehat? Gimana kalau makin stress?
Padal, jika yang dimunculkan penguatan daya tahan tubuh, imunitas, atau penguatan produksi anti-body di tubuh kita, hal ini lebih “mudah dilakukan”. Yang sudah terkena virus tentu hanya ahli yang bisa menangani. Jika tenaga mereka terbatas, karena masyarakat mengalami pandemi. Penderita muncul banyak dan serentak. Covid-19 hanya butuh berapa jam untuk menghentikan paru-paru manusia jika tanpa perlawanan.
Himbauan kegiatan di rumah saja, atau local lockdown, membatasi wilayah kemudian menjadi berlebihan. Sementara bagaimana antisipasi dari seruan yang “anti sosial” itu? Pemerintah bertanggungjawab? Sudah dihitung?
Jika gerakan melawan virus Corona juga mengedukasi masyarakat untuk peningkatan anti-body, masyarakat tidak perlu panik atau paranoid. Ketakutan berlebihan, juga bisa menimbulkan stress, dan itu artinya penurunan anti bodi yang makin menyukseskan virus Corona beraksi. Lagi pula, mengunci kehidupan sosial adalah juga pengkhianatan pada kemanusiaan kita. Achmad Yurianto sendiri, yang kayak malaikat Izrafil di TV itu, selalu ngomong mengkonsumsi buah dan sayuran adalah penangkal virus yang efektif, gitu kan?
Jangan sampai pemimpin hanya bisa ngajak gerakan cuci tangan mulu. Hanya karena mereka memang hobi cuci tangan, | @sunardianwirodono
Mulailah situasi chaos ini terasa secara akumulatif. Bangsa ini sejak Soeharto berkuasa, tidak dididik untuk melakukan gerakan sosial secara mandiri. Apa yang dilakukan, baik oleh pemimpin nasional maupun pemimpin lokal, lebih banyak himbauan mengantisipasi, atau tepatnya bereaksi terhadap kasus virus Corona (Covid-19). Himbauan lebih banyak ke mekanisme “penghindaran” daripada “penghadapan.” Jalan termudah sebagaimana himbauan WHO, adalah social distancing (organisasi kesehatan dunia itu kemudian mengubah menjadi physical distancing).
Istilah terakhir, physical distancing saya kira lebih tepat. Lebih teknis dan tidak multi-interpretable. Saya lebih mengartikan pada pen-jarak-an fisik, bukan pen-jarak-an sosial. Pen-jarak-an sosial, saya kira lebih mirip penjara-kan fisik (antara lain di rumah saja, jangan ke mana-mana).
Lho, katanya kita makhluk sosial, seperti kata para sosiolog dan budayawan? Lho, katanya kita harus menjaga silaturahmi, kata para kyai dan ustadz dan ustadzah? Meski pun ada yang nyolot, silaturahmi pada yang seiman saja. Celetukan semacam itu biasanya muncul dari penjahat agama. Agama apa saja, nggak usah baper.
Dari hal itu, yang acap banyak dilupakan, sebenarnya hampir semua ahli kesehatan dunia (setidaknya saya bacai dari medsos, media online kredibel, beberapa jurnal kesehatan, hingga buku manual Covid-19 dari Henan Provincial Center for Disease Prevention and Control --untuk ini terimakasih Heru Marwata atas informasinya), intinya bukan lockdown. Lebih tepatnya karantina, sebagaimana ketika Pemerintah Indonesia menangani korban Covid-19 pada awalnya. Yakni melakukannya isolasi atau karantina di wilayah Natuna. Masih ingat bukan Februari lalu, waktu terjadi penolakan masyarakat dan pemda setempat?
China sebelumnya juga melakukan, dengan cara mengunci (lockdown) Wuhan, untuk karantina khusus terwabah Corona. Indonesia, sebagai negara kepulauan, pasti akan kepingkel-pingkel, pusing delapan keliling, gimana cara lockdown? Tolong para penjahat agama dan penjahat politik, yang suka teriak-teriak lokdan-lokdon menjelaskan pemahaman dan konsep mereka. Kalau lojon, temen saya ngerti. Saya mah nggak ngerti, karena alim.
Beberapa negara yang melakukan lockdown, sama sekali tak bisa menahan laju virus Corona. Intinya, karena memang belum ketemu vaksinnya. Yang bisa menjawab hal itu, tentu dunia ilmu pengetahuan dan teknologi. Kita masih menunggu kerja keras mereka. Dunia politik, apalagi dunia agama, tak bisa berbuat apa-apa, selain menghimba-himbau. Himbauannya khas, menghindari bukannya menghadapi.
Padal negeri ini adaptif. Tidak hancur karena disrupsi teknologi digital. Walau pun adaptif yang tidak akseleratif, karena bukan bangsa produktif melainkan konsumtif. Dan tif-tif lainnya lagi, banyak. Tapi gara-gara virus Corona, Covid-19, hancur semua tatanan kehidupan kita. Bukan hanya mereka yang berbekal lembaga akademik, lembaga politik dan lembaga agama pun semuanya abyar. Mana yang bisa melawan kedigdayaan virus Corona? Italia, yang meniru strategi sepakbola mereka dulu, cattenacio, kebobolan juga dan membuat frustrasi sosial warganya.
Hidup kita di alam raya ini, dipenuhi berbagai virus yang tak kita ketahui. Hanya para ahli yang mengetahui. Virus Corona juga bukan barang baru. Hidup kita sendiri penuh virus. Bukan hanya disekitar kita, tapi bahkan dalam tubuh kita. Belum ada teori baru yang membantah, di dalam tubuh kita juga tersedia berbagai antibodi. Ada virus jahat ada virus budiman. Nyatanya, ada orang sehat ada orang sakit dalam situasi, waktu dan ruang yang sama. Kenapa? Karena antibodinya beda-beda. Imunitas individu ditentukan kondisi jiwa-raga masing-masing orang.
Bagi individu yang sudah terserang, atau terindikasi, itu bagian para ahli kesehatan. Masyarakat awam tak banyak bisa membantu, mestinya mempercayai otoritas mereka. Bagi yang tak percaya, sudah ada bukti. Mayat yang terkena Covid-19 dibongkar dan dimandikan sendiri oleh keluarganya yang awam. Hasilnya, mereka yang memandikan jenazah tertulari virus. Itu takdir? Tentu saja, karena takdir kesehatan dan kematian juga bisa dipercepat dengan kebodohan.
Persoalannya, terjadi penurunan kualitas anti-body manusia secara umum. Karena apa? Karena tumbuhnya gaya hidup dan berkembangnya pola konsumsi, yang mengakibatkan situasi makin tak sederhana. Banyak ditemu berbagai jenis penyakit baru, karena tumbuh varian baru dalam gejala ketubuhan manusia.
Orang miskin yang pola konsumsinya sederhana (sudah miskin, bodoh, tinggal di desa --untuk menyangatkan perbandingan), ternyata lebih kuat imunitasnya, daya tahan tubuhnya, antibodinya, dibanding orang kota yang berpendidikan, kaya, tetapi pola konsumsinya amburadul. Kalau mengenai orang gila, gelandangan gila terutama, kok sehat-sehat saja? Sok tahu. Jika ada dokter yang jadi relawan memeriksanya, bisa dipastikan lain lagi soalnya.
Dari berbagai himbauan pemerintah, juga para ahli medis, masyarakat perlu cara hidup sehat. Apa saja yang mesti dikonsumsi. Bagaimana gaya hidupnya. Namun mengapa soal penguatan kesadaran mengenai hal ini tak banyak disuarakan? Mengapa para pemimpin dan tokoh masyarakat seolah tak mau mengedukasi masyarakat, dalam melakukan perlawanan terhadap virus Corona dengan ajakan ola hidup dan makan sehat itu? Apakah nyuruh tinggal di rumah saja juga sehat? Gimana kalau makin stress?
Padal, jika yang dimunculkan penguatan daya tahan tubuh, imunitas, atau penguatan produksi anti-body di tubuh kita, hal ini lebih “mudah dilakukan”. Yang sudah terkena virus tentu hanya ahli yang bisa menangani. Jika tenaga mereka terbatas, karena masyarakat mengalami pandemi. Penderita muncul banyak dan serentak. Covid-19 hanya butuh berapa jam untuk menghentikan paru-paru manusia jika tanpa perlawanan.
Himbauan kegiatan di rumah saja, atau local lockdown, membatasi wilayah kemudian menjadi berlebihan. Sementara bagaimana antisipasi dari seruan yang “anti sosial” itu? Pemerintah bertanggungjawab? Sudah dihitung?
Jika gerakan melawan virus Corona juga mengedukasi masyarakat untuk peningkatan anti-body, masyarakat tidak perlu panik atau paranoid. Ketakutan berlebihan, juga bisa menimbulkan stress, dan itu artinya penurunan anti bodi yang makin menyukseskan virus Corona beraksi. Lagi pula, mengunci kehidupan sosial adalah juga pengkhianatan pada kemanusiaan kita. Achmad Yurianto sendiri, yang kayak malaikat Izrafil di TV itu, selalu ngomong mengkonsumsi buah dan sayuran adalah penangkal virus yang efektif, gitu kan?
Jangan sampai pemimpin hanya bisa ngajak gerakan cuci tangan mulu. Hanya karena mereka memang hobi cuci tangan, | @sunardianwirodono
Numpang promo ya Admin^^
BalasHapusingin mendapatkan uang banyak dengan cara cepat
ayo segera bergabung dengan kami di ionpk.club ^_$
add Whatshapp : +85515373217 || ditunggu ya^^