Suatu hari, Benny Moerdani dibentak-bentak.
Oleh lelaki yang jauh lebih muda. Bukan dari militer. “Ayo jalan! Terus
angkat! Jangan diam,…!” teriaknya memberi aba-aba.
Saya menyaksikannya langsung. Di kawasan Jakarta Selatan. Waktu itu tahun 2002. Tentu Benny Moerdani sudah pensiun dari ketentaraan. Tak lagi berkuasa dan ‘mengerikan’. Ia saya temui sedang menjalani therapy untuk derita stroke-nya.
Memandangi sang jenderal, yang wajahnya sangat tentara, saya bayangkan tingkat keganasannya di medan perang. Ia punya reputasi baik. Juga disegani. Bahkan oleh Soeharto, yang mungkin menganggapnya sebagai anak macan. Berbahaya.
Saya menyaksikannya langsung. Di kawasan Jakarta Selatan. Waktu itu tahun 2002. Tentu Benny Moerdani sudah pensiun dari ketentaraan. Tak lagi berkuasa dan ‘mengerikan’. Ia saya temui sedang menjalani therapy untuk derita stroke-nya.
Memandangi sang jenderal, yang wajahnya sangat tentara, saya bayangkan tingkat keganasannya di medan perang. Ia punya reputasi baik. Juga disegani. Bahkan oleh Soeharto, yang mungkin menganggapnya sebagai anak macan. Berbahaya.
Menyaksikan Benny Moerdhani, yang susah payah mengangangkat kakinya,
meski cuma beberapa senti, saya ingat Soeharto. Bagaimana orangtua itu?
Lebih sentausa karena anak-anaknya konglomerat sukses? Soeharto baru
2008 meninggal, setelah empat tahun sebelumnya Leonardus Benjamin
Moerdani mendahului.
Tak terbayang. Dua tangan Pak Benny susah payah menyangga tubuh rentanya, di antara dua batang besi yang mengapit. Hampir satu jam saya menunggui, bagaimana ia berjalan setengah meteran saja.
Begitulah manusia. Dan mungkin semua yang hidup. Akan mengalami proses dari kemunculan, kelahiran, pertumbuhan. Hingga saat menua, untuk kemudian lampus. Menguap. Sirna. Mengeja tiga huruf, sebagaimana mantra Darmanto Jatman; Ra dipepet, ka, sa. Rekasa. Samsara. Meski kata ‘samsara’ adalah bagian tak terpisahkan dari ‘baraka’, sebagaimana tergambar dengan puitis dalam film dokumenter Ron Fricke.
Dan kematian senyatanya sungguh menakutkan, ketika disadari. Sebetapapun nalar dan iman mencoba gagah memahami. Apalagi ketika bayang-bayang kematian muncul dalam kesadaran. Ketika manusia mengetahui ketidaktahuannya. Termasuk bagaimana menghindarkan diri dari Corona Virus Disease 19.
Para kadrun yang berlagak jumawa pun, saya kira juga takut mati. Meski meyakini kematian adalah jihad. Sekalipun di sorga dijemput 77, atau 200.000 bidadari, atau berapalah suka-suka mereka. Tujuh juta juga boleh. Meski saya tak sampai hati, membayangkan Fahira Idris disambut 7 bidadari saja. Apa yang akan terjadi?
Dalam hal misteri kematian, Aristoteles pun mungkin putus asa. Sehingga dengan sedih ia berkata, “Doa memberikan kekuatan pada yang lemah. Membuat orang yang tak percaya menjadi percaya. Dan memberikan keberanian pada yang ketakutan!” Bila kau tetap cemas dan gelisah? “Masuklah ke dalamnya,” berkata Ali anak Pak Thalib. “Ketakutan menghadapinya, lebih mengganggu daripada rasa takut itu sendiri.”
Namun ketika agama tak bisa menjawab apa-apa? Politik bisu-tuli? Ilmu pengetahuan seolah lumpuh? Kemanusiaan pelahan beku? Lieben heißt, unser Glück in das Glück eines anderen zu legen, tulis Gottfried Wilhelm von Leibniz (1646 – 1716), ahli matematika dan diplomat Jerman. Tapi, masih adakah cinta untuk berbagi kebahagiaan? Demi kebahagiaan orang yang kita cintai? | @sunardianwirodono
Tak terbayang. Dua tangan Pak Benny susah payah menyangga tubuh rentanya, di antara dua batang besi yang mengapit. Hampir satu jam saya menunggui, bagaimana ia berjalan setengah meteran saja.
Begitulah manusia. Dan mungkin semua yang hidup. Akan mengalami proses dari kemunculan, kelahiran, pertumbuhan. Hingga saat menua, untuk kemudian lampus. Menguap. Sirna. Mengeja tiga huruf, sebagaimana mantra Darmanto Jatman; Ra dipepet, ka, sa. Rekasa. Samsara. Meski kata ‘samsara’ adalah bagian tak terpisahkan dari ‘baraka’, sebagaimana tergambar dengan puitis dalam film dokumenter Ron Fricke.
Dan kematian senyatanya sungguh menakutkan, ketika disadari. Sebetapapun nalar dan iman mencoba gagah memahami. Apalagi ketika bayang-bayang kematian muncul dalam kesadaran. Ketika manusia mengetahui ketidaktahuannya. Termasuk bagaimana menghindarkan diri dari Corona Virus Disease 19.
Para kadrun yang berlagak jumawa pun, saya kira juga takut mati. Meski meyakini kematian adalah jihad. Sekalipun di sorga dijemput 77, atau 200.000 bidadari, atau berapalah suka-suka mereka. Tujuh juta juga boleh. Meski saya tak sampai hati, membayangkan Fahira Idris disambut 7 bidadari saja. Apa yang akan terjadi?
Dalam hal misteri kematian, Aristoteles pun mungkin putus asa. Sehingga dengan sedih ia berkata, “Doa memberikan kekuatan pada yang lemah. Membuat orang yang tak percaya menjadi percaya. Dan memberikan keberanian pada yang ketakutan!” Bila kau tetap cemas dan gelisah? “Masuklah ke dalamnya,” berkata Ali anak Pak Thalib. “Ketakutan menghadapinya, lebih mengganggu daripada rasa takut itu sendiri.”
Namun ketika agama tak bisa menjawab apa-apa? Politik bisu-tuli? Ilmu pengetahuan seolah lumpuh? Kemanusiaan pelahan beku? Lieben heißt, unser Glück in das Glück eines anderen zu legen, tulis Gottfried Wilhelm von Leibniz (1646 – 1716), ahli matematika dan diplomat Jerman. Tapi, masih adakah cinta untuk berbagi kebahagiaan? Demi kebahagiaan orang yang kita cintai? | @sunardianwirodono
Depo 20ribu bisa menang puluhan juta rupiah
BalasHapusmampir di website ternama I O N Q Q
paling diminati di Indonesia,
di sini kami menyediakan 9 permainan dalam 1 aplikasi
~bandar poker
~bandar-Q
~domino99
~poker
~bandar66
~sakong
~aduQ
~capsa susun
~perang baccarat (new game)
segera daftar dan bergabung bersama kami.Smile
Whatshapp : +85515373217