Rabu, April 01, 2020

Lockdown, Lock Don't, atau Lojon?

Melihat operasi PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), Pak Polisi rasanya makin ganas. Tak ada kompromi. Malam-malam sebuah café yang kedapatan dipakai kumpul-kumpul, bisa langsung diminta tutup. Yang berkumpul disuruh bubar. Jangan lupa bayar dulu.
Mengenai bagaimana melindungi rakyatnya, saya sih setuja-setuju saja, apa keputusan Presiden atau pemerintah. Protes atau tak setuju keputusan itu, karena tak ikut rapat, dan kemudian koar-koar di medsos, adalah kelucuan yang biadab.
Mereka memakai istilah lucu dan menggelikan pun, saya diam saja. Tak mau protes soal tata-bahasa dan ejaan. Bukan itu prioritasnya. Prioritasnya adalah: Wahai para ahli Bahasa bikinlah protokol logika berbahasa. Didiklah rakyat bawahanmu, yang menurutmu bahasa Indonesianya buruk. Tak peduli bahwa Bahasa Indonesia memang buruk.
Saya membayangkan mengenai keluarga kami sendiri. Anak saya perempuan, tiap hari harus kerja, sebagai penyiar radio. Dia bisa kerja pagi atau bahkan malam hingga dini hari. Kalau tidak berangkat kerja? Tentu hariannya dikurangi. Sedang suaminya, juga bekerja dengan jam bisa siang atau malam, sebagai pengantar barang antarkota antarpropinsi.
Tetiba, Achmad Yurianto bilang kerja di rumah, produktif di rumah, mohon maaf, pale lu peyang! Ini hanya sekedar menunjukkan, sudut pandang pemerintah atau pemimpin acap hanya dari satu sisi. Suruhan di rumah saja, menjadi persoalan bagi sebagian besar kelompok masyarakat. Bukan takut pada virus, namun dampak ekonomi yang mengenainya.
Di situ kompleksias persoalan sosialnya, bagaimana ketika sampai pemerintahan di bawah (gubernur, bupati, walikota, camat, lurah, kepala desa, kepala dusun, bahkan RW dan RT)? Di situ ada semacam missing-link. Menjadi bagian terpisah, seolah tak ada sangkut paut. Seperti Kabupaten Sleman memunculkan smart-market, melayani kebutuhan sayur online diantar sampai rumah. Bagaimana nasib para pejuang sayur kelilingan yang kini menganggur, karena lokdan-lokdon beberapa dusun dan kompleks perumahan? Siapa yang bertanggung jawab?
Ini sekedar informasi rahasia, jangan bilang-bilang. Di lingkungan saya yang jauh-jauh hari sudah pasang portal, membatasi wilayah, pun semalam ada yang meninggal positif terpapar Covid-19. Beberapa waktu sebelumnya, pihak rumah sakit mengatakan tetangga tersebut dalam status PDP, dan diminta isolasi diri. Karena RS penuh maka dilakukan isolasi mandiri. Ini keluarga yang tertutup, jauh sebelum ada perintah ‘di rumah saja’ memang selalu di rumah saja. Tetangga saya itu mungkin meninggal ke-4 di DIY dengan status positif Covid-19, dari data formal di Pemda DIY, karena update status setiap jam 16.00.
Belum sebulan, ia bisnis makanan online dan laris. Di sini Anda tahu, konteks portal, local lockdown dan produktif di rumah? Tanpa mengurangi otoritas tuhan, saya kira dia meninggal karena tubuhnya tak kuat menahan derasnya arus virus. Kenapa daya tahan tubuhnya lemah? Cem-macem sebabnya. Tanyakan dokter ahli yang menangani, Saya bukan ahlinya, dan tidak mau menambah isu.
Yang saya persoalkan lebih pada protokol solusi masalah, protokol jalan keluar, protokol antisipasi. Bukan hanya fokus mengantisipasi merebaknya virus, melainkan bagaimana meningkatkan daya tahan sosial masyarakat atas pandemi itu.
Persoalan dasar adalah tumbuhnya kesadaran masyarakat warga, kesadaran civil society. Jika yang sakit ditangani ahlinya, maka yang belum sakit (jumlahnya jauh lebih besar dengan rasio perbandingan jumlah penduduk), bagaimana kalau malah makin lemah dengan di rumah saja?
Penguatan warga bukan hanya dengan mengisolasi diri di dalam rumah. Tetapi ngapain di dalam rumah itu? Kerja di dalam rumah, atau produktif di dalam rumah yang bagaimana? Tidak semua orang punya tabungan di dalam rumah, apalagi di dalam rekening bank. Bagaimana Pemerintah memfasilitasi kelompok marginal ini? Bagaimana system dan mekanismenya, pengawasannya? Bagaimana infrastruktur sosial kita? Di mana peran pemerintah dalam mengedukasi dan pemberdayaan masyarakat, selain menghimba-himbau?
Kalau saya sendiri, sebagai pengangguran, sudah terbiasa di rumah. Meski pun ketika ada anjuran ‘produktif di rumah’, saya tak tahu gimana cara produktif, karena di luar sana produktivitas juga turun? Ya, fesbukanlah. Mau menjual barang-barang pribadi, siapa mau membelinya sekarang ini? Atau Pak Bupati atau Pak Gubernur, mau beli? Gimana caranya ketemu mereka, nawarin barang bekas?
Apakah ini Apocalyso Now? Saya mendapat pertanyaan itu dari teman. Saya balik bertanya padanya, bagaimana kita memahami ‘pembunuhan’ Yesus’? Mengapa dalam Hindu ada Dewa Cyiwa yang perusak? Bagaimana kita meyakini hukum karma dalam Buddha? Bagaimana dengan teori the end of history, matinya kepakaran, pembusukan politik, the end of the world?
Sesungguhnya ini saat tepat, untuk me-reset tata sosial dan susila kita. Misal soal pengetahuan basis mengenai kesehatan tubuh, toleransi, saling menolong, peningkatan anti-body, pemanfaatan lahan kosong, manfaat tanaman sayuran, dan sebagainya? Agar yang sakit fokus ditangani ahlinya, dan yang sehat makin dikuatkan karena nalar dan kesadarannya. Jangan sampai maunya lockdown malah nulisnya lock don’t. Masih mending ding, bukan lojon! | @sunardianwirodono

1 komentar:

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...