Rabu, April 01, 2020

Ayo Lojon, Pak Presiden!

Pada suatu hari, entah senja atau bukan, gak penting, Kediri ambruk. Bukan di jaman ketika Dewi Kilisuci ngambek bertapa di Goa Selamangleng. Tapi kala itu, jaman SBY yang didesak meratifikasi UU Tembakau.
Waktu itu, para buruh pabrik rokok GG mogok selama 5 hari berturut. Saya nggak sebut buruh pabrik rokok Gudang Garam, nanti dikira promosi. Makanya cuma saya singkat inisialnya, karena bukan itusialnya.
Pemogokan itu, membuat bisnis sayuran, yang tiap sore menggelar dagangan di sekitar pabrik, menyongsong kepulangan para buruh, kehilangan pembeli. Demikian juga yang menyediakan rumah untuk parkir sepedamotor dan sepeda kayuh. Tak ada pemasukan.
Tak ada pemasukan, bagaimana dengan pengeluaran? Itu hanya bisa dilakukan mereka yang punya tabungan, yang tidak defisit tentu. Betapa nyeseknya mendengar suara yang sembunyi di kotak ATM, dengan nada sopan; “Maaf, saldo anda tidak punya empati,…”
Mereka yang hanya berpenghasilan pas-pasan, tiada kerja tiada duit, pasti meringis. Karena tak dapat memberi uang saku anak-anaknuya yang sekolah. Akibatnya, yang jualan makanan dan minuman di sekolah, juga kehilangan pembeli. Yang buka toko kulakan, juga terkena imbas. Teori yang sangat sederhana.
Mbak-mbak yang malam-malam jualan susu dan tempe goreng anget, juga manyun nunggu pelanggan yang sirna. Tak bisa ngirim duit ke ortu dan anaknya. Dan seterusnya.
Lalu, kenapa orang teriak “lojon, lojon, lojon, Pak Jokowi”? Karena lojon emang paling enak. Bagi yang pernah merasakan. Saya mah, belum pernah. Ini jaman ketika Jokowi Presiden, dan para politikus karir baper nggak sembuh-sembuh. Sejak dikalahkan si tukang kayu.
“Hai tukang kayu, bagaimana caranya menanam duit, sambil lojon?” begitu kalau tak salah, nyanyian anak-anak TK. Kalau salah, maafin. Bukankah pepatah Arab mengatakan ‘al insaanu nahaluk khatho’, seperti kutip Prov. Musni Umar? Jangan tidak percaya padanya. Kutipan beliau pasti benar, karena rektor Ibnu Chaldun bukan Ibnu Chadrun.
Bertanya pada Tukang Kayu, itu sungguh bikin nyesek. Bener-bener pecundang ‘kan, jauh-jauh sekolah sampai AS, dididik di akademi militer paling sohor, eh, kalah nasib dengan es-satu ilmu kehutanan. Dan tukang kayu spesialis meubel pula.
Tapi begitulah Indonesia Raya. Apa yang tak bisa terjadi? Sekarang tambah lagi, ada mayor pensiun dini jadi ketua umum parpol. Hebatnya, anak buahnya kebanyakan para jendral gaek. Jadi, tak perlu heroik macam Moammar Khadafy ‘kan?
Kemarin, beberapa kepala daerah meliburkan sekolah. Apa tujuannya? Tapi, bagaimana reaksi yang diliburkan? Produktif atau kontra-produktif? Majas atau Horison? Pertanyaan terakhir itu, hanya laku di kalangan Kurnia Effendi dekaka.
Sekali lagi, yang muncul bukanlah respons, melainkan reaksi. Wabah virus, lebih banyak disikapi dengan menghindari, bukan dihadapi. Atau jika pun dihadapi, caranya dengan menghindar. Khas kita (kita? Elu aja ‘kali). Yang banyak dilakukan bukan mengeksplorasi, untuk meningkatkan daya imunitas, merawat lingkungan, bersih tubuh dan makanan, dan sebagainya.
Alih-alih nyuruh antre beli sayur, malah antre beli masker, toh daya beli cukup. Bahkan, yang dulu rajin salaman, cipika-cipiki, kini ada salam Corona. Tidak melanggar syari meski bukan muhrim. Kalau senggama, mungkin model robot Artoo Detoo.
Digerakkan apakah ekonomi Indonesia? Terbesar adalah sektor non-formal, atau ekonomi mikro. Maka ketika WHO mengatakan virus Corona bisa menyebar lewat duit, para pedagang kaki-lima ketar-ketir, tak akan ada yang mau transaksi tunai. Bisnis online startup asing, pasti bergembira-ria. Meski senyampang itu, Corona memang sudah menguras duit negara. Atas alasan situasi darurat, pengawasan menjadi lengah.
Lojon pasti juga disukai orang kaya, kelas menengah atas. Apalagi elite partai atau politikus busuk anggota perlemen. Padal mau reses setengah tahun pun, Indonesia juga kagak bakal ambruk. Karena mau pro-pemerintah atau oposan, sama tak pentingnya.
Indonesia berlimpah pemikiran cerdas, antara lain sebagaimana Sukarno menemu kata ‘gotong-royong’ yang konon orisinal budaya Nusantara. Tapi toh justeru sekarang berbalik 180 derajat. Ini contoh bangsa paling tak bisa bergotong-royong. Alih-alih bersatu-padu. Yang ada malah padu dhewe-dhewe, satu-lawan-satu, di media.
Demokrasi memang menyesakkan. Karena terlalu banyak diskusi dan adu mulut. Karenanya, Clement Atle, mantan PM Inggris, pernah ngendika, “Demokrasi akan efektif bila engkau mampu membuat orang lain tutup mulut.” Mau? Kayak Soeharto?
Jadi, nasibmulah Pak Presiden. Maka, orang-orang, yang dulu mendukungmu pun, meneriakkan; “Pak Pesiden, ayo lojon! Lojon, Pak, cepetan. Barengan orgasme, nih!”
Karena lojon itu paling enak, bagi mereka yang tak bisa samen-werken atau bekerja sama, apalagi punya pasangan. Lojon bisa mencapai kepuasan sendiri, tak peduli orang lain puas atau tidak. Karena dikerjakan sendiri, di kamar tertutup. Tak perlu pasangan apalagi yang beda pandangan. Cukup main fantasi. Mau dengan Jihan Fahira atau Rizieq Shihab? Terserah selera!
Lojon is the best. Tanya anak-anak muda Yogya. Terutama mahasiswa yang siang-siang nutup kamar kos, takut virus Corona katanya. Ayo lojon, Pak Presiden! | @sunardianwirodono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...