Kemarin seorang teman dikeluhi ‘tukang
go-food’, gegara pesen makanan; bahwa di pintu gerbang perumahan dia
diinterograsi sampai satu jam. Si ‘tukang go-food’ tetap bersikeras
mengantar ke tujuan, karena kalau pesanan itu cancel, dia nombok. Padal,
dalam sehari baru dua kali dia dapat pesanan.
Cerita lain lagi, seorang bakul gethuk di daerah Kulon Progo, sampai sore dagangannya masih utuh. Gara-gara ia tak bisa lagi keluar masuk pemukiman, karena di beberapa tempar ia biasa berdagang tak boleh masuk. Dan yang melarang masuk tak membeli dagangannya. Cerita ini mirip di pemukiman saya, menimpa bakul sayuran keliling yang jauh sebelum Nadiem Makarim dan Ali Baba bisnis online, dia sudah bisnis jemput bola.
Drama-drama itu bisa sangat panjang. Lantas, apa kebijaksanaan Anda? Saya ingin melemparkan bahan diskusi remeh, dan sangat teknis. Tanpa harus ngomong politik atau teori konspirasi. Karena apapun, dampaknya sudah mewabah, berantai, dan nyata.
Jika daerah Anda melokalisasi (atau mengisolasi) dari lalu-lintas “orang asing” (orang dari luar wilayah Anda), sebaiknya buatlah SOP yang manusiawi. Menutup wilayah tak seharusnya menutup pula pintu hati, apalagi menutup nalar dan empati Anda.
Buatlah protokol yang kreatif, inovatif, inklusif, dengan beberapa pengembangan:
(1) Jika ada “orang asing” masuk daerah Anda, tanyakan identitas dan keperluannya. Dia bisa saja ojek online yang dipesan tetangga Anda, atau bakul sayur keliling yang menolong tetangga Anda tanpa perlu ke pasar. Jangan sampai kehati-hatian yang paranoid, justeru mencelakakan tetangga Anda sendiri, yang karena tak boleh keluyuran jadinya mati kelaparan disebabkan kebutuhannya Anda hambat.
(2) Setelah jelas persoalannya, periksa atau cek kesehatan “orang asing” tersebut. Artinya Anda mesti punya alat untuk memeriksa tubuh “orang asing” itu. Jika diketahui suhu badan “orang asing” itu di atas normal (lha, ini ngerti nggak ukuran-suhu manusia normal dan abnormal? Apa saja indikator orang terpapar virus Corona?), rujukkan ke tempat pemeriksaan kesehatan terdekat (dokter atau Puskesmas), untuk memastikan. Alangkah mulia, jika di pintu gerbang pemeriksaan dilengkapi tenaga ahli atau medis. Sehingga “orang asing” yang terperiksa bisa tertolong lebih dini. Kalau tak mau susah, “orang asing” itu tetap dilarang masuk, tapi sampeyan tolong mengantar barang pesanan tetangga Anda, atau jadi calo penjual sayuran keliling. Siapa tahu kebaikan Anda mendapatkan balasan setimpal. PS: Jangan lupa, nuntut Presiden Jokowi menyediakan APD. Kalau mau yang modis, minta ke Anie Avantie.
(3) Misal dari pemeriksaan si “orang asing” dinyatakan sehat, tak terpapar Corona, ijinkan masuk, dengan mekanisme standar; Suruh cuci tangan, jangan Anda doang yang suka cuci tangan. Sediakan hand sanitizer, atau pancuran air dengan sabun. Virus itu takut sabun. Makanya orang yang suka lojon, eh lockdown ding, katanya sehat karena suka ngabisin sabun.
(4) Setelah Anda memeriksa dengan canggih (seperti nomor 2), sudilah memberikan keterangan tertulis, mengenai data atau kondisi “orang asing terperiksa itu. Bahwa tanggal sekian, di sini, si anu yang terperiksa itu, kondisinya begini-begini-begini. Berikan surat keterangan itu padanya. Bubuhkan nama Anda sebagai abdi masyarakat yang baik dan mulia, sertakan nama lembaga kalau ada, otoritas pejabat setempat, sertakan stempel atau cap jempol. Agar sejarah punya bukti betapa bijaksananya Anda. Nggak usah sinis, jika dengan surat itu mungkin “orang asing” tadi karena luas teba-nya, bisa punya bertumpuk surat keterangan, seandainya semua wilayah punya SOP sama.
(5) Tapi juga nggak usah baper, kalau sampeyan yang penguasa daerah sampeyan, ketika mau berkunjung ke wilayah lain, entah ngunjungi orangtua atau mau nganter obat, atau apalagilah, juga akan diperlakukan sama sebagaimana Anda memperlakukan orang lain.
Hati-hati itu baik, tapi paranoid dan menutup wilayah, tak harus dengan menutup nurani, menutup nalar, menutup empati pada liyan. Kecuali pada dasarnya emang nggak punya nalar atau empati, apa yang mau ditutup?
Syukur bage, nggak perlu nutup wilayah. Buka wilayah Anda, dengan syarat dan ketentuan berlaku berkait pandemic Corona ini. Buka dapur umum, bagikan sembako atau makanan higienis untuk masyarakat terdampak karena semua orang disuruh di rumah saja. Para sahabat dan saudara kita yang mengais nafkah di jalanan atau ruang-ruang publik, mungkin pihak pertama yang stress, setelah Anda.
Nggak usah malu, di New York dan Washington DC pun, terjadi hal yang sama, juga ada dapur umum serta bagi-bagi makanan serta sembako. Sementara Anda tahu, di India yang baru seminggu lockdown, terjadi kekacauan massal.
Semoga Anda dan keluarga sehat sentausa. Jangan lupa bahagia dan bersyukur.
Cerita lain lagi, seorang bakul gethuk di daerah Kulon Progo, sampai sore dagangannya masih utuh. Gara-gara ia tak bisa lagi keluar masuk pemukiman, karena di beberapa tempar ia biasa berdagang tak boleh masuk. Dan yang melarang masuk tak membeli dagangannya. Cerita ini mirip di pemukiman saya, menimpa bakul sayuran keliling yang jauh sebelum Nadiem Makarim dan Ali Baba bisnis online, dia sudah bisnis jemput bola.
Drama-drama itu bisa sangat panjang. Lantas, apa kebijaksanaan Anda? Saya ingin melemparkan bahan diskusi remeh, dan sangat teknis. Tanpa harus ngomong politik atau teori konspirasi. Karena apapun, dampaknya sudah mewabah, berantai, dan nyata.
Jika daerah Anda melokalisasi (atau mengisolasi) dari lalu-lintas “orang asing” (orang dari luar wilayah Anda), sebaiknya buatlah SOP yang manusiawi. Menutup wilayah tak seharusnya menutup pula pintu hati, apalagi menutup nalar dan empati Anda.
Buatlah protokol yang kreatif, inovatif, inklusif, dengan beberapa pengembangan:
(1) Jika ada “orang asing” masuk daerah Anda, tanyakan identitas dan keperluannya. Dia bisa saja ojek online yang dipesan tetangga Anda, atau bakul sayur keliling yang menolong tetangga Anda tanpa perlu ke pasar. Jangan sampai kehati-hatian yang paranoid, justeru mencelakakan tetangga Anda sendiri, yang karena tak boleh keluyuran jadinya mati kelaparan disebabkan kebutuhannya Anda hambat.
(2) Setelah jelas persoalannya, periksa atau cek kesehatan “orang asing” tersebut. Artinya Anda mesti punya alat untuk memeriksa tubuh “orang asing” itu. Jika diketahui suhu badan “orang asing” itu di atas normal (lha, ini ngerti nggak ukuran-suhu manusia normal dan abnormal? Apa saja indikator orang terpapar virus Corona?), rujukkan ke tempat pemeriksaan kesehatan terdekat (dokter atau Puskesmas), untuk memastikan. Alangkah mulia, jika di pintu gerbang pemeriksaan dilengkapi tenaga ahli atau medis. Sehingga “orang asing” yang terperiksa bisa tertolong lebih dini. Kalau tak mau susah, “orang asing” itu tetap dilarang masuk, tapi sampeyan tolong mengantar barang pesanan tetangga Anda, atau jadi calo penjual sayuran keliling. Siapa tahu kebaikan Anda mendapatkan balasan setimpal. PS: Jangan lupa, nuntut Presiden Jokowi menyediakan APD. Kalau mau yang modis, minta ke Anie Avantie.
(3) Misal dari pemeriksaan si “orang asing” dinyatakan sehat, tak terpapar Corona, ijinkan masuk, dengan mekanisme standar; Suruh cuci tangan, jangan Anda doang yang suka cuci tangan. Sediakan hand sanitizer, atau pancuran air dengan sabun. Virus itu takut sabun. Makanya orang yang suka lojon, eh lockdown ding, katanya sehat karena suka ngabisin sabun.
(4) Setelah Anda memeriksa dengan canggih (seperti nomor 2), sudilah memberikan keterangan tertulis, mengenai data atau kondisi “orang asing terperiksa itu. Bahwa tanggal sekian, di sini, si anu yang terperiksa itu, kondisinya begini-begini-begini. Berikan surat keterangan itu padanya. Bubuhkan nama Anda sebagai abdi masyarakat yang baik dan mulia, sertakan nama lembaga kalau ada, otoritas pejabat setempat, sertakan stempel atau cap jempol. Agar sejarah punya bukti betapa bijaksananya Anda. Nggak usah sinis, jika dengan surat itu mungkin “orang asing” tadi karena luas teba-nya, bisa punya bertumpuk surat keterangan, seandainya semua wilayah punya SOP sama.
(5) Tapi juga nggak usah baper, kalau sampeyan yang penguasa daerah sampeyan, ketika mau berkunjung ke wilayah lain, entah ngunjungi orangtua atau mau nganter obat, atau apalagilah, juga akan diperlakukan sama sebagaimana Anda memperlakukan orang lain.
Hati-hati itu baik, tapi paranoid dan menutup wilayah, tak harus dengan menutup nurani, menutup nalar, menutup empati pada liyan. Kecuali pada dasarnya emang nggak punya nalar atau empati, apa yang mau ditutup?
Syukur bage, nggak perlu nutup wilayah. Buka wilayah Anda, dengan syarat dan ketentuan berlaku berkait pandemic Corona ini. Buka dapur umum, bagikan sembako atau makanan higienis untuk masyarakat terdampak karena semua orang disuruh di rumah saja. Para sahabat dan saudara kita yang mengais nafkah di jalanan atau ruang-ruang publik, mungkin pihak pertama yang stress, setelah Anda.
Nggak usah malu, di New York dan Washington DC pun, terjadi hal yang sama, juga ada dapur umum serta bagi-bagi makanan serta sembako. Sementara Anda tahu, di India yang baru seminggu lockdown, terjadi kekacauan massal.
Semoga Anda dan keluarga sehat sentausa. Jangan lupa bahagia dan bersyukur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar