Rabu, April 01, 2020

Masyarakat Sebagai Pelaku, Lawan Corona

Jika kita mendadak mati, selesai persoalan. Tak ngerti apa-apa lagi. Tidak ngerasa apa-apa lagi. Setidaknya mereka yang telah mati tak pernah bikin review atas kematiannya. Bukan soal ‘gimana rasanya mati, tapi kenapa mati?
Para ahli ketubuhan, mungkin bisa menjelaskan. Setidaknya post-factum mengenai sebab dan akibat. Namun kenapa ada dokter meninggal, saat menangani pasien terkena Covid-19? Mengapa ada tenaga medis mati bunuh diri, karena stress menangani pasien Covid-19, dan dia sendiri terkena virus itu?
Kecemasan paling menggelisahkan, juga kegelisahan paling mencemaskan, adalah kegamangan kita menjalani hari-hari ke depan. Baik bagi yang memiliki deposito pembagian ortu dan leluhur, memiliki tabungan minimal 12 bulan ke depan, apalagi bagi yang hidup day for day, jobless, yang proyek-proyek pekerjaannya mengalami cancel (dibatalkan) mulu.
Terbayang teman-teman saya, di sektor paling tak jelas. Tanpa asosiasi profesi. Tak ada aturan pasti. Terbiasa dalam improvisasi. Demikian pula mereka yang berdagang umroh, sorga, kata-kata, juga mengalami penurunan pendapatan. Meski saya kira untuk teman-teman ini jika menjalani lock-down 12 bulan, tak apa. Sebagaimana Mardani Ali Sera, yang tak lelah menyeru lokdan-lokdon, karena lima tahun hidupnya dijamin negara, sebagai anggota parlemen.
Tapi pasti orang seperti itu akan mencak-mencak, kalau Pemerintah melakukan utang luar negeri. Padal ia tahu anggaran negara sangat rentan gara-gara virus. Padal kita tahu, berapa persen rakyat yang mesti jadi tanggungan negara, dengan biaya langsung tunai, jika lokdon dilakukan. Hanya kurang dari 0,01 persen manusia seperti Budi Hartono, boss Djarum, yang konon merugi 72 trilyun rupiah gegara Covid-19, tapi toh masih senyam-senyum sembari main bridge.
Membacai “arah ekonomi” (bukan makro, tapi soal kendil sendiri), bisa bikin gamang. Membacai fenomena Covid-19, bukan hanya Indonesia. Negara-negara yang lebih baik ekonomi dan sosial-politiknya pun, terdampak. Tapi hanya di Indonesia orang bangga menjadi oposan, dengan memanfaatkan situasi. Namanya oposan ecek-ecek.
Sementara di beberapa negara yang tingkat kebahagiaannya tinggi (Nordik, Finlandia, Denmark, Norwegia, Swedia dan Islandia), tingkat penyebaran Covid-19 tak seganas negara lain. Di negara-negara itu, tingkat kepercayaan publik begitu tinggi. Juga relasi sosial mereka. Kepercayaan pada liyan, membuat relasi sosial menjadi penguatan imunitas mereka.
Memang menurut dokter ahli, pembacaan yang berlebihan (atas berbagai informasi Covid-19), bisa menimbulkan ketegangan tersendiri. Amygdala kita akan bekerja ekstra keras, menyebabkan stress. Akibatnya daya imunitas kita justeru menurun karena psikosomatik yang ditimbulkan. Sensasi (atau fantasi) rasa sakit, jadi seolah nyata.
Dalam masyarakat kita, himbauan untuk “menghindari” jauh lebih tinggi. Entah dengan social distancing, phisycal distancing, jaga jarak, di rumah saja, dan seterusnya. Tapi di mana sektor-sektor penguatan diri, daya imunitas, dan ketahanan sosial ekonomi kita menjadi himbauan bersama? Itu masalahnya. Karena menyangkut karakter, perilaku sosial, life-style, dan tingkat pengetahuan serta kepatuhan, berkait aturan dan disiplin masyarakat.
Festival Film Canes yang mestinya dihelat 12-23 Mei, diundur karena lockdown. Tapi pengurus festival, membuka venue-venue yang telah didirikan untuk para tunawisma (gelandangan). Setiap malam mereka menampung 50 hingga 70 orang di Cannes Town Hall. Dampak Covid-19 di Italia, bisa menimpa 12.000 gelandangan, yang tak punya akses sanitasi dan kondisi kesehatan mereka.
Andrew Wong, seorang koki di London, Inggris, terpaksa menutup restorannya karena Covid-19. Tapi kemudian dia menyiapkan kotak makan khusus, dan dibagikan secara khusus bagi masyarakat yang membutuhkan. "Apa pun yang bisa kami lakukan di masa depan, jika kami bisa membantu mereka dengan makanan dan mereka tersenyum, itu sudah cukup," kata dia. Wong mengatakan, dirinya bekerja sama dengan gereja maupun komunitas lokal untuk menyalurkan boks ke bank makanan atau tunawisma. "Ada hal di dunia yang jauh lebih penting dari pada untung atau uang. Jika kita hendak membantu, maka lakukanlah dengan sepenuh hati," katanya (reuters, 23/3).
Di Kanada, pengungsi asal Suriah membalas perempuan yang pernah membantu mereka dengan mengirim parsel makanan, saat si perempuan itu mengisolasi diri karena terdampak Covid-19. Robin Stevenson mengungkapkan, dia menerima telepon dari keluarga yang pernah dia bantu pada 2016, "Mereka menaruh berkat makanan di teras saya. Mereka melambai dari trotoar, dan menyebut bisa membawakannya dalam beberapa hari jika saya membutuhkannya," ujar dia.
Di AS, bintang film sekaligus mantan Gubernur California, Arnold Schwarzenegger, mendonasikan 1 juta dollar AS, atau Rp 16,1 miliar, untuk pemenuhan kebutuhan perlengkapan tim medis. Tulisanya di twitter, dia percaya masing-masing harus menjalankan bagiannya, daripada hanya duduk dan sekadar mengeluh.
Di Indonesia, mungkin juga banyak. Seperti di Jakarta, Buddha Tzu Chi Indonesia, memberikan bantuan 100 ribu alat rappid test dan 50 ribu masker. Semoga dibagikan gratis oleh Pemda DKI Jakarta. Kita meyakini, orang baik di Indonesia jauh lebih banyak. Hanya sering disingkirkan oleh media, yang sibuk mencermati persoalan-persoalan teknis semata.
Lupa mengabarkan persoalan-persoalan substansial, yang bisa mengajak masyarakat menjadi pelaku perubahan. Karena hanya diperalat terus-menerus sebagai bagian dari teori pressure group. Atau sebagai panggung belaka, untuk sekedar mengatakan mereka ahli. Meski tak tahu agenda dan prioritas.
Semoga dikuatkanlah Indonesia, dengan berbagi kebaikan dan bergotong-royong. “Rakyat kuat, Negara kuat,” gitu teriak Bung Karno. Asal jangan diperalat! | @sunardianwirodono

1 komentar:

  1. Numpang promo ya Admin^^
    ingin mendapatkan uang banyak dengan cara cepat
    ayo segera bergabung dengan kami di ionpk.club ^_$
    add Whatshapp : +85515373217 || ditunggu ya^^

    BalasHapus

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...