India adalah fenomena peradaban. Yang ajaib dari negeri ini, salah satunya adalah industri film. India, dengan Bollywood, satu-satunya negara yang bisa mengalahkan Hollywood dalam angka produksi. Dan yang menarik, film produksi luar, dari Amerika sekalipun, tak bisa nembus pasar umum India. Tentu saja, BM banyak. Namun negeri ini protektif dengan produk asing. Mungkin terinspirasi ajakan swadeshi Gandhi.
Produksi film India memang terbesar di dunia. Betapapun Anda mungkin akan ngetawain gaya-gaya filmnya. Penuh nyanyi dan tarian, kejar-kejaran di antara pepohonan dan tiang listrik. Tahun 70-80an, nonton film India identik dengan; ‘sudah murah, panjang, penuh nyanyi dan tari’. Juga pamer wudel.
Berpenduduk terbanyak kedua (setelah China), India adalah peradaban yang kokoh. Karya sastranya terbangun sejak lama. Bahkan menjadi referensi bangsa lain negara. Mengenai film, boleh dikata di semua kota kecamatan (distrik) India terdapat perusahaan film. Pada distrik yang miskin sekali pun. Tak hanya satu, bisa 5 s.d 10 perusahaan film. Film apa saja mereka produksi. Semua ada penontonnya, meski mungkin di bioskop kecil dan kumuh. Orang India, meski penarik becak (rickshaw) dan pengemis, mereka rela menabung untuk menonton film bioskop.
Menonton film, bagi masyarakat miskin India, memungkinkan bertemu pahlawannya. Dalam film India, tuan tanah dan polisi bisa dikalahkan orang miskin. Meski pun kalau mau melihat film-film realis India, agak susah menemu dari sutradara India aseli. Lihat saja misal film seperti City of Joy (Roland Joffe, 1992), A Passage to India (David Lean, 1984), bahkan Gandhi (Richard Attenborough, 1982). Disamping City of Joy, kalau mau melihat realitas sosial India, Slumdog Millionaire (Danny Boyle, 2009) menarik ditonton sebagai komedi pahit India.
Ada nama keren seperti Mira Nair, dengan film-filmnya seperti Monsoon Wedding (2001), Kama Sutra: A Tale of Love (1997), atau Salaam Bombay (1988, yang saya duga menjadi acuan penting film ‘Daun di Atas Bantal’ Garin Nugroho, yang diproduksi 10 tahun setelah film Nair itu). Tapi Nair perempuan India yang tinggal, sekolah dan berkarya di London, Inggris. Meski pun sekarang ada beberapa sutradara muda India, dengan genre model-model Nair, seperti Deepa Mehta yang bertema kontroversial ('Water' dan 'Fire').
Dari produktifnya perfilman India, dengan banyaknya film kelas sampah, pastilah muncul barang bagus di sana. Alah bisa karena biasa. Ada misal film PK (Rajkumar Hirani, 2014) yang menghebohkan. Atau My Name Is Khan (Karan Johar, 2010), disamping generasi baru macam Deepa Mehta, yang berani mengguncang-guncang tema sensitive, seperti agama dan gender.
Juga kalau kita lihat serbuan mereka, dengan membanjiri iklan-iklan platform medsos seperti Youtube dan Netflix. Idiom-idiom visualnya sangat keren dan menunjukkan kelas peralatan teknologinya. Apalagi India juga mampu mengembangkan Mumbai, sebagai pesaing Silicon Valey dalam pengembangan teknologi digital.
Dengan pengantar ini, saya sebetulnya cuma ingin bercerita tentang Madras Cafe. Sebuah film dengan genre berbeda dari India. Sebuah film bergenre action thriller, dengan tema spionase, tetapi setting kejadian nyata. Berlatar perang etnik di Sri Lanka, antara Sinhala dengan Tamil, yang berimbas ke India.
Secara visual, ini film cukup dahsyat. Mengingatkan pada film-film perang model Apocalypse Now (Francis Ford Coppola, 1979), Heaven and Earth (Oliver Stone, 1993), The Killing Fields (Roland Joffe, 1984), yang saya yakin menjadi referensi Madras Cafe (melihat kutipan dialog para birokrat India tentang Vietnam yang lain).
Meski posisi India (dalam soal perang etnis itu), sebenarnya nanggung juga. Bukan wilayahmya, dan “hanya” terimbas karena sebagian suku Tamil, mengungsi ke India. Rajiv Gandhi mencoba ikut campur, dengan menginisiasi pemilihan dewan propinsi. Celakanya, Perdana Menteri India ini menjadi korban pertikaian etnis itu. Belum jelas hingga kini, sebab kematiannya. Tapi banyak dugaan Rajiv tewas dibunuh milisi Tamil, persis meniru pembunuhan Mahatma Gandhi.
Sebagai film tontonan, yang memanjakan mata, film ini keren. Kolosal dan panoramic. Meski tentang perang dan getir, gambar-gambarnya “indah”. Walau pun Sircar mengaku terinspirasi film Munic (Spielberg, 2005), sayangnya tak meniru bagaimana riset untuk Munich jauh lebih detail, dan berani dalam pernyataan sikap. Pernyataan sikap, adalah hal penting untuk mengukur karya seorang seniman.
Namun meski gambar-gambarnya memukau (sandingkan dengan Apocalyse Now Coppola), film dengan durasi 2 jam 10 menit ini, hanya menarik di separoh bagian depan. Setelah terbongkarnya spionase Vikram Singh, apalagi setelah kematian Anna Bhaskaran, pemimpin LTF (bandingkan dengan komandan militer Macan Tamil; Velupillai Prabakharan dari The Liberation Tigers of Tamil Eelam, LTTE), ceritanya kedodoran. Kalau mau sebagai film tutorial cara kerja spionase, kok kayaknya enggak banget. Karena keinginan terlalu mau menjelaskan persoalan, tapi dengan akurasi data belepotan dan masih sumir, jadinya khas sutradara dan penulis skenario film Indonesia. Bertele-tele, dan suka menjelas-jelaskan secara tak jelas.
Memang cerita Madras Cafe adalah karangan, fiktif, meski berdasar kisah nyata. Tetapi ketika menyangkut dokumen sejarah yang masih gelap (atau kalau terang abu-abu), kayaknya para penulisnya lebih membelokkan ke cerita spionase yang (lagi-lagi menurut saya) terlalu menjelas-jelaskan tapi tak meyakinkan. Harus banyak membaca novel-novel Ian Fleming nih!
Tapi mungkin juga karena posisi dan sikap politik yang tidak jelas, persis posisi PM Rajiv Gandhi, yang justeru jadi korban. Film ini juga menjadi tidak meyakinkan siapa hero dan pecundangnya. Wajar jika menjadi kontroversi dan menimbulkan amarah etnis Tamil, yang dituding berada di belakang pembunuhan Rajiv Gandhi. Sementara persoalan suku Kinshala (Buddha) yang menjadi majoritas di Sri Lanka (75%), dengan etnis Tamil (dengan latar Hindu dan Islam, 25% penduduk Sri Lanka), sampai kini belum selesai. Apalagi kemudian konflik seperempat abad lebih itu berkembang menjadi konflik agama.
Namun di luar kesan (saya) di atas, film ini memberikan bukti India tak bisa dianggap remeh dalam industri film. Mereka memiliki sumberdaya luar biasa, di samping dukungan pemerintah yang memadai. Indonesia sebagai bangsa ‘terbanyak’ ke-4, mestinya bisa belajar dari hal ini. | @sunardianwirodono