Terpesona pada tokoh, ciri dari masyarakat yang tumbuh dalam sistem
dan struktur sosial yang masih lemah. Ketergantungan pada pemimpin,
dengan segala glorifikasi dan mistifikasinya, selalu memposisikan rakyat
lebih menjadi objek daripada subjek.
Tentu saja itu wajar, kata para sosiolog, jika melihat bagaimana ‘revolusi yang belum selesai’ dipatahkan oleh Orde Soeharto Baru, selama hampir satu generasi. Pragmatisme yang diajarkan oleh sistem yang kapitalistik dan sentralistik, menjadikan rakyat Indonesia dididik oleh management by product daripada by process.
Tentu saja itu wajar, kata para sosiolog, jika melihat bagaimana ‘revolusi yang belum selesai’ dipatahkan oleh Orde Soeharto Baru, selama hampir satu generasi. Pragmatisme yang diajarkan oleh sistem yang kapitalistik dan sentralistik, menjadikan rakyat Indonesia dididik oleh management by product daripada by process.
Kebutuhan akan pemimpin pun, lebih banyak karena condition sine qua
non. Tak ada asap tanpa api. Tugas-tugas warga Negara, diambil alih
Negara atau elite Negara. Proses yang mestinya digodog pada masyarakat
pun, diambil alih oleh pejabat-pejabat Negara, sebagai pemilik dan
sumber nilai.
Meski sudah muncul partai politik, namun di tangan politikus pragmatis (artinya bukan negarawan), rakyat hanya sebagai obyek permainan dari elite parpol yang memang cenderung oligarkis.
Untuk mencari pemimpin pun, rakyat begitu mudah diombang-ambingkan oleh kerinduan akan tokoh. Bukan memprosesnya, tetapi maunya jadi. Sehingga tak terhindarkan tragedi atau kelucuannya. Tokoh seperti Risma, ditorak-tarik oleh masyarakat Jakarta dan masyarakat Surabaya. Meski pun kata ‘masyarakat’ tidak tepat, karena yang ada adalah gerombolan orang dengan keinginan masing-masing.
Tentu bukan hanya Risma, tetapi mungkin banyak lagi lainnya. Meski pun dalam dunia politik yang culas, kita juga harus berhati-hati dengan kata ‘mewakili masyarakat’. Lewat system apa sehingga segerombolan orang bisa dikatakan mewakili masyarakat? Belum lagi kalau masyarakat tadi ternyata bukan sesuatu yang murni, tapi digerakkan oleh kelompok kekuatan tertentu, dan diberi baju-baju yang seolah mewakili masyarakat. Tidak nyadar, bahwa diadakannya sistem demokrasi, dengan pemilu atau pilkada, adalah untuk mereduksi agar tidak memunculkan social-chaostic.
Nyatanya, jika sekarang terjadi situasi sosial yang membingungkan, karena kita sendiri memang belum siap dengan pranata sistem sosial-politik yang sudah disepakati, melalui berbagai UU dan peraturan pemerintah. Tak usah di lapangan politik, di lapangan sepakbola atau di jalan raya pun. Kekacauan muncul karena tingkat kepatuhan, kedisiplinan, pengetahuan, sering masih menjadi persoalan. Apalagi kualitas penegakan aturan dan hukum juga masih lemah.
Apa yang dulu tampak wajar-wajar saja, ketika Jokowi dari Solo ke Jakarta dan terus ke Istana Negara, kini menuai tulahnya. Dan kita tak bisa menganggap situasi darurat terus-menerus, hanya karena tidak mampu menemukan sistem pembelajaran demokrasi yang baik dan benar. Kita terus berbandul antara pokok dan tokoh, dengan pokok bukan sebagai bahasan. Pokoknya tokoh!
Meski sudah muncul partai politik, namun di tangan politikus pragmatis (artinya bukan negarawan), rakyat hanya sebagai obyek permainan dari elite parpol yang memang cenderung oligarkis.
Untuk mencari pemimpin pun, rakyat begitu mudah diombang-ambingkan oleh kerinduan akan tokoh. Bukan memprosesnya, tetapi maunya jadi. Sehingga tak terhindarkan tragedi atau kelucuannya. Tokoh seperti Risma, ditorak-tarik oleh masyarakat Jakarta dan masyarakat Surabaya. Meski pun kata ‘masyarakat’ tidak tepat, karena yang ada adalah gerombolan orang dengan keinginan masing-masing.
Tentu bukan hanya Risma, tetapi mungkin banyak lagi lainnya. Meski pun dalam dunia politik yang culas, kita juga harus berhati-hati dengan kata ‘mewakili masyarakat’. Lewat system apa sehingga segerombolan orang bisa dikatakan mewakili masyarakat? Belum lagi kalau masyarakat tadi ternyata bukan sesuatu yang murni, tapi digerakkan oleh kelompok kekuatan tertentu, dan diberi baju-baju yang seolah mewakili masyarakat. Tidak nyadar, bahwa diadakannya sistem demokrasi, dengan pemilu atau pilkada, adalah untuk mereduksi agar tidak memunculkan social-chaostic.
Nyatanya, jika sekarang terjadi situasi sosial yang membingungkan, karena kita sendiri memang belum siap dengan pranata sistem sosial-politik yang sudah disepakati, melalui berbagai UU dan peraturan pemerintah. Tak usah di lapangan politik, di lapangan sepakbola atau di jalan raya pun. Kekacauan muncul karena tingkat kepatuhan, kedisiplinan, pengetahuan, sering masih menjadi persoalan. Apalagi kualitas penegakan aturan dan hukum juga masih lemah.
Apa yang dulu tampak wajar-wajar saja, ketika Jokowi dari Solo ke Jakarta dan terus ke Istana Negara, kini menuai tulahnya. Dan kita tak bisa menganggap situasi darurat terus-menerus, hanya karena tidak mampu menemukan sistem pembelajaran demokrasi yang baik dan benar. Kita terus berbandul antara pokok dan tokoh, dengan pokok bukan sebagai bahasan. Pokoknya tokoh!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar