Benarkah jalur perseorangan lebih ribet dibanding jalur parpol? Dalam
Pilkada DKI Jakarta 2017, fakta membuktikan sebaliknya. Itu semua
setidaknya gegara Ahok.
Gerindra akhirnya menentukan Sandiaga Uno menjadi bacagub (bakal calon gubenur) DKI Jakarta. Tapi, partai Prabowo ini, masih pedekate pada PDIP. Kata petingginya, jika PDIP mau berkoalisi dan menginginkan posisi calon gubernur, Sandiaga akan diposisikan sebagai cawagub.
Itu menunjukkan Gerindra tak punya keyakinan atas calonnya. Padahal, dengan PKS sohib kentalnya, koalisi mereka sudah bisa mengusung calon. Kenapa masih mendekati PDIP? Harus diakui, elektabilitas Sandiaga tak sebanding Ahok. Dan filosofi kemenangan mereka; Keroyok Ahok beramai-ramai!
Gerindra akhirnya menentukan Sandiaga Uno menjadi bacagub (bakal calon gubenur) DKI Jakarta. Tapi, partai Prabowo ini, masih pedekate pada PDIP. Kata petingginya, jika PDIP mau berkoalisi dan menginginkan posisi calon gubernur, Sandiaga akan diposisikan sebagai cawagub.
Itu menunjukkan Gerindra tak punya keyakinan atas calonnya. Padahal, dengan PKS sohib kentalnya, koalisi mereka sudah bisa mengusung calon. Kenapa masih mendekati PDIP? Harus diakui, elektabilitas Sandiaga tak sebanding Ahok. Dan filosofi kemenangan mereka; Keroyok Ahok beramai-ramai!
Faktor Ahok inilah masalah kepusingan hampir semua partai (kecuali
Nasdem, Hanura dan Golkar tentu). Rasanya semua partai ingin
menenggelamkan Ahok. Tapi mereka tak tahu caranya. Palingan tetap dengan
dagangan lama, yang bau rasis, atau soal gaya kepemimpinan Ahok, dan
berbagai tudingan miring lain.
Sementara PDIP dengan 28 kursi sesungguhnya tak butuh koalisi. Tapi kenapa partai banteng mendengus masih juga kelimpungan? Karena memang tak punya tokoh. Kalau pun membuat konvensi, sebagaimana banyak parpol lain, semuanya hasilnya sama. Tak yakin dengan hasil konvensi. Lagi-lagi, gegara Ahok sialan.
Tapi untuk berkoalisi dengan partai-partai anti Ahok, juga tidak mudah. Koalisi antarparpol begitu ribet. Tentu kaitannya dengan kalkulasi politik. Masing-masing akan berhitung. Bikin skema 1 sampai 9. Bikin simulasi begini-begitu. Di situlah demokrasi transaksional dipraktikkan. Itu semua karena elitisme partai dengan segala kepentingannya, yang tak berjalan linier dengan konstituennya.
Berbeda dengan jalur perseorangan. Calonnya jelas, menjadi magnet soliditas pendukungnya. Dari sisi penguatan demokrasi, sesungguhnya jalur perseorangan tidaklah buruk. Jalur perseorangan bukan pula deparpolisasi. Aneh saja mengomentari langkah Ahok yang akhirnya memilih jalur parpol, dinilai oleh petinggi PDIP, bahwa Ahok sudah sadar. Apakah memakai jalur perseorangan salah, melanggar aturan? Jika begitu, buat apa UU Pilkada membuka jalur perseorangan?
Jalur perseorangan, untuk saat ini, sesungguhnya efektif sebagai otokritik parpol. Penguatan parpol, justeru bisa dimulai dari sini. Senyatanya, gerakan anak-anak muda Teman Ahok, membuat parpol yang anti Ahok pusing tujuh keliling. Di situ parpol diingatkan, untuk menyodorkan yang diinginkan mayoritas calon pemilih, konstituen, atau rakyat. Dan itu tak mudah bukan? Karena kalian tidak menjalankan fungsi parpol, sebagai pusat penggemblengan rakyat sipil!
Sayangnya, diujung perjalanan, uji-coba demokrasi melalui jalur perseorangan di DKI Jakarta itu, tak berlanjut. Lagi-lagi kita melihat, dalam proses negosiasi itu, kembali elite parpol mempraktikkan demokrasi transaksional, yang sering abai dengan pertimbangan kepentingan rakyat pemilihnya.
Sementara PDIP dengan 28 kursi sesungguhnya tak butuh koalisi. Tapi kenapa partai banteng mendengus masih juga kelimpungan? Karena memang tak punya tokoh. Kalau pun membuat konvensi, sebagaimana banyak parpol lain, semuanya hasilnya sama. Tak yakin dengan hasil konvensi. Lagi-lagi, gegara Ahok sialan.
Tapi untuk berkoalisi dengan partai-partai anti Ahok, juga tidak mudah. Koalisi antarparpol begitu ribet. Tentu kaitannya dengan kalkulasi politik. Masing-masing akan berhitung. Bikin skema 1 sampai 9. Bikin simulasi begini-begitu. Di situlah demokrasi transaksional dipraktikkan. Itu semua karena elitisme partai dengan segala kepentingannya, yang tak berjalan linier dengan konstituennya.
Berbeda dengan jalur perseorangan. Calonnya jelas, menjadi magnet soliditas pendukungnya. Dari sisi penguatan demokrasi, sesungguhnya jalur perseorangan tidaklah buruk. Jalur perseorangan bukan pula deparpolisasi. Aneh saja mengomentari langkah Ahok yang akhirnya memilih jalur parpol, dinilai oleh petinggi PDIP, bahwa Ahok sudah sadar. Apakah memakai jalur perseorangan salah, melanggar aturan? Jika begitu, buat apa UU Pilkada membuka jalur perseorangan?
Jalur perseorangan, untuk saat ini, sesungguhnya efektif sebagai otokritik parpol. Penguatan parpol, justeru bisa dimulai dari sini. Senyatanya, gerakan anak-anak muda Teman Ahok, membuat parpol yang anti Ahok pusing tujuh keliling. Di situ parpol diingatkan, untuk menyodorkan yang diinginkan mayoritas calon pemilih, konstituen, atau rakyat. Dan itu tak mudah bukan? Karena kalian tidak menjalankan fungsi parpol, sebagai pusat penggemblengan rakyat sipil!
Sayangnya, diujung perjalanan, uji-coba demokrasi melalui jalur perseorangan di DKI Jakarta itu, tak berlanjut. Lagi-lagi kita melihat, dalam proses negosiasi itu, kembali elite parpol mempraktikkan demokrasi transaksional, yang sering abai dengan pertimbangan kepentingan rakyat pemilihnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar