Kepada siapakah kita harus memberi kepercayaan? Kepada orang yang
minta-minta kepercayaan kita, atau orang yang membuat kita percaya?
Tentu saja kepada yang membuat kita percaya. Karena meminta dan membuat,
berbeda nilai dan esensi, kecuali kita menyamakannya tanpa malu-malu.
Jika ada orang yang meminta kepercayaan kita, membuat tagar ‘percayai aku dong’, dalam dunia komunikasi itu dilakukan karena mereka membutuhkan identitas. Sedang berkampanye, sedang memperjuangkan sesuatu, di tengah rendahnya social trust kita dengan modal social branding. Untuk mendapat kepercayaan sosial, merk dagang sosialnya perlu dibuat dulu.
Jika ada orang yang meminta kepercayaan kita, membuat tagar ‘percayai aku dong’, dalam dunia komunikasi itu dilakukan karena mereka membutuhkan identitas. Sedang berkampanye, sedang memperjuangkan sesuatu, di tengah rendahnya social trust kita dengan modal social branding. Untuk mendapat kepercayaan sosial, merk dagang sosialnya perlu dibuat dulu.
Ups, nggak
usah sensi. Ini cerita sederhana, yang berulang sudah diceritakan. Tidak
sepenting dan seheroik cerita Anda hari-hari ini. Tapi saya percaya,
karena Anda memang terpercaya.
Hatta, adalah dua pasien, yang keduanya menderita sakit parah, dalam satu kamar di rumah sakit. Yang satu menderita penyakit yang mengharuskannya duduk saban sore di tempat tidur selama satu jam, untuk mengosongkan cairan dalam paru-parunya. Kebetulan, tempat tidurnya tepat di sisi jendela kamar. Pasien satunya, harus berbaring di atas bed dengan mata tertutup.
Setiap hari mereka saling bercakap selama berjam-jam. Membicarakan tentang rumah, pekerjaan, keluarga, interaksi sosial mereka, tempat-tempat yang pernah mereka kunjungi,....
Pasien yang tiap sore dibolehkan duduk dan memandangi jendela, selalu menceritakan apa yang dilihat di luar jendela. Sementara yang diharuskan terus berbaring, merasa begitu senang dan bergairah mendengarkan. Betapa indah semuanya itu. Tentang langit biru dan bunga merekah. Apalagi ketika cerita tentang karnaval, bahagianya para keluarga dalam car free day, meriahnya demo, dan sejenis itu.
Demikianlah, hingga waktu yang tak punya kaki itu pun berjalan. Pasien yang selalu duduk menatap luar jendela diperbolehkan pulang. Tentu saja karena dinyatakan sudah sembuh oleh dokter. Tak usah saya cerita kisah perpisahan keduanya. Sampeyan lebih bisa bikin yang mengharu-biru-hijau-kuning-kelabu.
Singkat cerita, pasien yang selama ini hanya berbaring di ranjang dengan mata tertutup, meminta pindah pada bed di sisi jendela. Demikianlah, akhirnya pasien itu dipindahkan. Dengan perlahan dan kesakitan, ia memaksa dirinya untuk bangun. Ia ingin sekali melihat keindahan dunia luar jendela.
Betapa senang akhirnya, ia bisa duduk menghadap jendela. Tapi, harapan untuk pemandangan indah, sebagaimana cerita temannya, tak ia dapatkan. Perlahan ia melongokkan kepala ke jendela. Apa yang dilihat? Grueeengngng, ternyata jendela itu menghadap ke sebuah tembok putih kosong melompong, bahkan berjamur dan retak-retak! Tembok yang hanya berjarak satu meter dari jendela!
Moral Dongeng: Undanglah seniman mural, untuk menggambari tembok Anda!
Hatta, adalah dua pasien, yang keduanya menderita sakit parah, dalam satu kamar di rumah sakit. Yang satu menderita penyakit yang mengharuskannya duduk saban sore di tempat tidur selama satu jam, untuk mengosongkan cairan dalam paru-parunya. Kebetulan, tempat tidurnya tepat di sisi jendela kamar. Pasien satunya, harus berbaring di atas bed dengan mata tertutup.
Setiap hari mereka saling bercakap selama berjam-jam. Membicarakan tentang rumah, pekerjaan, keluarga, interaksi sosial mereka, tempat-tempat yang pernah mereka kunjungi,....
Pasien yang tiap sore dibolehkan duduk dan memandangi jendela, selalu menceritakan apa yang dilihat di luar jendela. Sementara yang diharuskan terus berbaring, merasa begitu senang dan bergairah mendengarkan. Betapa indah semuanya itu. Tentang langit biru dan bunga merekah. Apalagi ketika cerita tentang karnaval, bahagianya para keluarga dalam car free day, meriahnya demo, dan sejenis itu.
Demikianlah, hingga waktu yang tak punya kaki itu pun berjalan. Pasien yang selalu duduk menatap luar jendela diperbolehkan pulang. Tentu saja karena dinyatakan sudah sembuh oleh dokter. Tak usah saya cerita kisah perpisahan keduanya. Sampeyan lebih bisa bikin yang mengharu-biru-hijau-kuning-kelabu.
Singkat cerita, pasien yang selama ini hanya berbaring di ranjang dengan mata tertutup, meminta pindah pada bed di sisi jendela. Demikianlah, akhirnya pasien itu dipindahkan. Dengan perlahan dan kesakitan, ia memaksa dirinya untuk bangun. Ia ingin sekali melihat keindahan dunia luar jendela.
Betapa senang akhirnya, ia bisa duduk menghadap jendela. Tapi, harapan untuk pemandangan indah, sebagaimana cerita temannya, tak ia dapatkan. Perlahan ia melongokkan kepala ke jendela. Apa yang dilihat? Grueeengngng, ternyata jendela itu menghadap ke sebuah tembok putih kosong melompong, bahkan berjamur dan retak-retak! Tembok yang hanya berjarak satu meter dari jendela!
Moral Dongeng: Undanglah seniman mural, untuk menggambari tembok Anda!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar