Apakah yang bisa membuat kita berhubungan, berkomunikasi, berteman, atau sebaliknya, bermusuhan, di dunia maya (dunia maya yang dimaksudkan tentu, ketika kita bisa ‘bertemu’ tidak secara fisik, melainkan menggunakan perantara media komunikasi), seperti medsos?
Jawaban sementara: Bisa jadi kesamaan. Entah itu kesamaan pikiran, kesukaan, minat, partai, ras, profesi, atau kepentingan yang bisa dipertemukan dari hal itu. Maka tak heran, meski belum pernah bertemu fisik, berjabat tangan, beradu muka, kita bisa temenan atau berantem.
Kita tidak berada dalam jaman ketika Zhuang Zi, filsuf dari China,
mengatakan; Kodok di dasar sumur tidak bisa diibaratkan sebagai laut,
ulat di musim panas tidak bisa diibaratkan sebagai es. Mungkin mirip
banyak rumput belukar di dalam hatinya, seperti kata Mark Zuckerbergh,
mereka enggan membuka hati agar bisa menerima sinar matahari yang begitu
elok.
Saat ini zaman internet. Walapun ulat musim panas belum pernah merasakan musim dingin, kita bisa menggunakan teknologi untuk membuat mereka merasakan musim dingin. Begitupun kodok yang belum pernah melihat lautan, kita mampu membuat mereka merasakan seperti apa lautan. Saat ini berbagai hal dapat diwujudkan dengan teknologi.
Tapi Mark hanya melihat kebisaan teknologinya, belum pada persoalan tingkat akselerasi penggunanya. Kalau melihat proses perubahan sosial di lingkungannya, wajar Amerika bisa melahirkan medsos bernama fesbuk, atau apalah. Tapi di Indonesia? Fesbuk adalah medsos yang lahir sebagai produk pakai dengan latar belakang sejarah yang beda di Indonesia.
Orang Indonesia suka ngerumpi, bergosip, mungkin Mark benar dan optimis dengan pasar medsos di Indonesia. Apalagi Negara dengan 250 juta manusia yang sangat beragam budayanya, tingkat ekonominya, pendidikannya, dan sebagainya. Kenapa lalu-lintas di Jakarta macet? Hanya karena over-loaded? Bagaimana tingkat kesadaran pengguna, tingkat ketaatan aturan untuk kepentingan bersama? Pelanggar di sini bisa mengatakan pelanggaran dilakukan oleh orang lain pula. Dan penegak aturannya juga melanggar.
Masing-masing orang akan punya argumen, apalagi bagi yang tidak setuju, tidak sependapat, dan berlawanan kepentingan. Kita tidak terlatih untuk berbagai-bagai pandangan yang berbeda. Medsos yang sebenarnya bisa menjadi penguatan civil society, bisa berbalik arah. Menyitir pendapat Max Lane; “Pada tahun 1965 Sukarno masih berpesan bahwa Revolusi (Nasional) Belum Selesai, nation-building dan character-building belum selesai. Apakah revolusi tersebut terus berkembang selama Orde Baru? Tidak. Selama Orde Baru Indonesia mengalami kontra-revolusi dengan politik a-nasional,…”
Penguatan Negara, tak bisa hanya berharap pada Negara hadir, tetapi juga rakyat yang hadir. Yakni, rakyat yang kuat, berani, kritis, mampu menghargai keberagaman dan sabar memprosesnya. Kita sering tak sabar dalam hal ini. Apalagi kalau sudah mendaku paling benar, dan paling penting. Selamat bermedsos.
Saat ini zaman internet. Walapun ulat musim panas belum pernah merasakan musim dingin, kita bisa menggunakan teknologi untuk membuat mereka merasakan musim dingin. Begitupun kodok yang belum pernah melihat lautan, kita mampu membuat mereka merasakan seperti apa lautan. Saat ini berbagai hal dapat diwujudkan dengan teknologi.
Tapi Mark hanya melihat kebisaan teknologinya, belum pada persoalan tingkat akselerasi penggunanya. Kalau melihat proses perubahan sosial di lingkungannya, wajar Amerika bisa melahirkan medsos bernama fesbuk, atau apalah. Tapi di Indonesia? Fesbuk adalah medsos yang lahir sebagai produk pakai dengan latar belakang sejarah yang beda di Indonesia.
Orang Indonesia suka ngerumpi, bergosip, mungkin Mark benar dan optimis dengan pasar medsos di Indonesia. Apalagi Negara dengan 250 juta manusia yang sangat beragam budayanya, tingkat ekonominya, pendidikannya, dan sebagainya. Kenapa lalu-lintas di Jakarta macet? Hanya karena over-loaded? Bagaimana tingkat kesadaran pengguna, tingkat ketaatan aturan untuk kepentingan bersama? Pelanggar di sini bisa mengatakan pelanggaran dilakukan oleh orang lain pula. Dan penegak aturannya juga melanggar.
Masing-masing orang akan punya argumen, apalagi bagi yang tidak setuju, tidak sependapat, dan berlawanan kepentingan. Kita tidak terlatih untuk berbagai-bagai pandangan yang berbeda. Medsos yang sebenarnya bisa menjadi penguatan civil society, bisa berbalik arah. Menyitir pendapat Max Lane; “Pada tahun 1965 Sukarno masih berpesan bahwa Revolusi (Nasional) Belum Selesai, nation-building dan character-building belum selesai. Apakah revolusi tersebut terus berkembang selama Orde Baru? Tidak. Selama Orde Baru Indonesia mengalami kontra-revolusi dengan politik a-nasional,…”
Penguatan Negara, tak bisa hanya berharap pada Negara hadir, tetapi juga rakyat yang hadir. Yakni, rakyat yang kuat, berani, kritis, mampu menghargai keberagaman dan sabar memprosesnya. Kita sering tak sabar dalam hal ini. Apalagi kalau sudah mendaku paling benar, dan paling penting. Selamat bermedsos.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar