Setelah Prabowo menunjuk Sandiaga Uno sebagai bakal calon gubernur
DKI Jakarta 2017, Waketum DPP Gerindra Sufmi Dasco Ahmad memberi
keterangan tertulis, (30/7) begini:
“Partai Gerindra menyatakan siap untuk berkoalisi dengan siapa pun, kecuali terhadap petahana Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).” Selanjutnya; "Dengan demikian, terbukalah peluang koalisi untuk Sandiaga Uno dengan calon mana pun yang diusung partai partai politik yang tidak mendukung Ahok."
“Partai Gerindra menyatakan siap untuk berkoalisi dengan siapa pun, kecuali terhadap petahana Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).” Selanjutnya; "Dengan demikian, terbukalah peluang koalisi untuk Sandiaga Uno dengan calon mana pun yang diusung partai partai politik yang tidak mendukung Ahok."
Ini pernyataan serius, bukan lelucon. Tapi dari struktur kalimat yang
mengundang tawa itu, terlihat konstruksi berfikirnya. Kita tahu bahwa
jauh sebelumnya, Ahok adalah kandidat gubernur DKI Jakarta. Di luar
Teman Ahok yang mengumpulkan sejuta KTP, ada tiga partai politik
mendukungnya.
Jadi, jika kemudian Sandiaga Uno juga maju jadi calon gubernur, melalui Gerindra, koalisi macam apa yang bisa dilakukan dengan partai pendukung Ahok? Aneh bin ajaib, alias ngehek. Meski pun kita tentu juga tahu, Gerindra butuh koalisi, karena di DPRD DKI hanya punya 15 kursi, masih kurang tujuh. Palingan dengan PKS, PPP, dan PKB. Mosok mau PDIP ikut berkoalisi?
Sementara Ahok, didukung Nasdem, Hanura dan kemudian Golkar, mengantongi 24 kursi. Sekiranya PDIP tak mau gabung, karena kata Bu Mega punya mekanisme sendiri, Ahok tetap bisa maju. Lha, yang punya mekanisme sendiri, dan punya 28 kursi macam PDIP?
Sampai hari-hari terakhir akan tetap bertumpu pada impuls politik Bu Mega. Padahal anak buahnya sudah pating creblung tak karuan, menepuk air didulang.
Akibatnya, PDIP seolah gajah mati di tengah gencetan dua pelanduk. Bukan pelanduk mati karena digencet gajah, wong Ahok dan Sandiaga Uno sama-sama kurus kok. Nggak ndut-ndut banget gitu lho.
Jadilah PDIP seperti kehilangan momentum. Kalau tak gengsian amat, mungkin mendukung Ahok, karena mendukung Sandiaga Uno hil yang mustahal, kecuali Sandiaga Uno mau jadi wakil gubernur. Itu hil yang lebih mutahal lagi.
Tapi, siapa calon PDIP? Padahal bukankah Ahok dikawinkan dengan Sandiaga Uno sebagai wakil, bakal win-win solution, dan semuanya dapet? Nggak ada yang kehilangan muka? Nggak ada yang sudi dengan skenario ini. Tapi, masih adakah stok calon?
Bagaimana dengan Yusril, Adyaksa, Syafrie, Wanita Emas, Haji Lulung? Masih mau membajak Tri Rismaharani, yang berkomitmen sampek-matek pada rakyat Surabaya? Atau Ridwan Kamil, yang akhir tahun kelak akan berhitung ke kontestasi Pilkada Jawa Barat? Bijimana, Bu Mega, hallo?
Tapi, bijimana pula dengan Demokrat? Jangan usik macan tidur, apalagi tidurnya ngorok. Modal 10 kursi juga lumayan untuk investasi kelak. Atau mau main teka-teki silang sendiri, bikin simulasi menyaingi game pokemon?
Dengan 22 kursi, parpol bisa mengajukan calonnya. Berikut perolehan kursi 10 partai politik untuk DPRD DKI Jakarta: PDIP (28 kursi), Gerindra (15), PPP (10), PKS (11), Golkar (9), Demokrat (10), Hanura (10), PKB (6), NasDem (5), PAN (2). Selamat berhitung, untuk ngalahin Ahok.
Jadi, jika kemudian Sandiaga Uno juga maju jadi calon gubernur, melalui Gerindra, koalisi macam apa yang bisa dilakukan dengan partai pendukung Ahok? Aneh bin ajaib, alias ngehek. Meski pun kita tentu juga tahu, Gerindra butuh koalisi, karena di DPRD DKI hanya punya 15 kursi, masih kurang tujuh. Palingan dengan PKS, PPP, dan PKB. Mosok mau PDIP ikut berkoalisi?
Sementara Ahok, didukung Nasdem, Hanura dan kemudian Golkar, mengantongi 24 kursi. Sekiranya PDIP tak mau gabung, karena kata Bu Mega punya mekanisme sendiri, Ahok tetap bisa maju. Lha, yang punya mekanisme sendiri, dan punya 28 kursi macam PDIP?
Sampai hari-hari terakhir akan tetap bertumpu pada impuls politik Bu Mega. Padahal anak buahnya sudah pating creblung tak karuan, menepuk air didulang.
Akibatnya, PDIP seolah gajah mati di tengah gencetan dua pelanduk. Bukan pelanduk mati karena digencet gajah, wong Ahok dan Sandiaga Uno sama-sama kurus kok. Nggak ndut-ndut banget gitu lho.
Jadilah PDIP seperti kehilangan momentum. Kalau tak gengsian amat, mungkin mendukung Ahok, karena mendukung Sandiaga Uno hil yang mustahal, kecuali Sandiaga Uno mau jadi wakil gubernur. Itu hil yang lebih mutahal lagi.
Tapi, siapa calon PDIP? Padahal bukankah Ahok dikawinkan dengan Sandiaga Uno sebagai wakil, bakal win-win solution, dan semuanya dapet? Nggak ada yang kehilangan muka? Nggak ada yang sudi dengan skenario ini. Tapi, masih adakah stok calon?
Bagaimana dengan Yusril, Adyaksa, Syafrie, Wanita Emas, Haji Lulung? Masih mau membajak Tri Rismaharani, yang berkomitmen sampek-matek pada rakyat Surabaya? Atau Ridwan Kamil, yang akhir tahun kelak akan berhitung ke kontestasi Pilkada Jawa Barat? Bijimana, Bu Mega, hallo?
Tapi, bijimana pula dengan Demokrat? Jangan usik macan tidur, apalagi tidurnya ngorok. Modal 10 kursi juga lumayan untuk investasi kelak. Atau mau main teka-teki silang sendiri, bikin simulasi menyaingi game pokemon?
Dengan 22 kursi, parpol bisa mengajukan calonnya. Berikut perolehan kursi 10 partai politik untuk DPRD DKI Jakarta: PDIP (28 kursi), Gerindra (15), PPP (10), PKS (11), Golkar (9), Demokrat (10), Hanura (10), PKB (6), NasDem (5), PAN (2). Selamat berhitung, untuk ngalahin Ahok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar