Selama ini, soal merokok (tentu saja oleh yang anti rokok) selalu hanya dilihat dari sisi kesehatan dan pemborosan.
Perdebatan mengenai efek sehat tak sehat, sebenarnya terlalu sumir, jika kita tidak memahami yang terjadi dalam industri rokok ini. Penelitian efek rokok dari sisi kesehatan, berapa persen dari perokok tembakau sintetis berapa persen perokok tembakau kretek? Tak pernah ada penjelasan. Kesimpulan dari dua hal berbeda tak bisa digeneralisasi.
Perokok pasif lebih berbahaya, ini juga hal aneh, karena cara penanggulangannya mudah, yakni jadilah perokok aktif. Kenyataannya, perokok pasif membutuhkan waktu 72-106 jam terus-menerus dibekap dalam satu ruangan berasap rokok untuk bisa disamakan dengan menghisap sebatang rokok. Sementara polusi udara dan asap kendaraan bermotor, jauh lebih berbahaya daripada asap rokok. Meski tak banyak yang tahu, ada jenis sayuran yang juga mengandung kadar nikotin seperti tembakau.
Jadi bagaimana? Nyatanya, dengan metode Pramoedya Ananta Toer, merokok adalah sebuah varian, bukan causa prima penyakit atau kematian. Kita sering merasa sok tahu, orang merokok akibatnya penyakitan, atau gampang mati. Sementara yang tukang cabut nyawa tak pernah menjelaskan, kenapa seseorang dicabut nyawanya. Padahal, selama ini orang sakit karena tak bisa hidup sehat, orang mati karena dia hidup.
Sisi lain, bagi yang berpandangan merokok adalah pemborosan. Dari barisan ini, biasanya akan dijabarkan; Jika harga rokok sekian rupiah, maka merokok sehari sekian batang, kalikan seminggu, sebulan, setahun, 14 tahun, 35 tahun, dan seterusnya; Berapa duit yang dibakar?
Mereka hanya melihat merokok adalah ‘upacara kesia-siaan’ karena membakar duit. Dengan segenap maaf, pandangan ini mewakili kaum yang berfikir materialis-pragmatis. Dua hal itu yang juga diajarkan oleh Soeharto.
Kaum pragmatis selalu melihat segala sesuatu dari sisi manfaat, kaum materialis melihat yang riel, tampak, nyata. Misal, menggunakan uang untuk beli meja, ada mejanya, beli jas ada jasnya, beli roti ada rotinya. Kalau ditanya beli kesenangan? Ribut berdalih. Gabungan materialis-pragmatis akan menilai hal yang bermanfaat harus terlihat nyata dan verbal. Maka Tuhan juga coba diverbalkan.
Ketika kita melihat Pramoedya, Joko Pinurbo, Emha Ainun Nadjib, Chairil Anwar, Bung Karno, Butet Kartaredjasa, KH Agus Salim, Yusril Ihza Mahendra, Afrizal Malna, Jonan, Gus Mus, Susi Pudjiastuti, apa yang kita lihat dan nilai dari mereka? Apakah hanya menilai mereka dari berapa bungkus rokok yang dihabiskan? Mereka dinilai karena arti kehadirannya. Jonan yang perokok berat, mampu mengubah kekumuhan stasiun dan kereta api menjadi public-area yang nyaman bagi bukan perokok. Apakah dia dicopot dari menteri gegara perokok?
Yang diabaikan, atau tidak dimengerti, oleh yang bukan perokok, adalah apa yang memang hanya dimengerti kaum perokok itu sendiri. Dan apakah semua hal harus dimengerti (secara material) oleh orang lain? Jangan ‘maksa’ atau ‘ngeden’ jika tak memahaminya, apalagi maksa orang lain memahami Anda.
Merokok adalah hak azasi manusia, meski dalam hidup masyarakat ramai, masing-masing individu merdeka dibatasi kemerdekaan individu lainnya. Sama-sama tentang perokok, mengapa seseorang bisa benci pada Yusril Ihza, tapi memuja Susi Pujiastuti (atau sebaliknya, misal)? Bukan karena rokok mereka tentu, tetapi karena nilai keberadaan dan nilai kemanusiaan mereka. Sama tidak relevannya dengan memparalelkan perokok dengan orang bodoh, kampungan, tidak sopan, tidak baik, tidak berpendidikan. Apa kaitannya?
Pada sisi lain, keberpihakan itu (pro-kontra rokok) adalah juga karena kepentingan. Apa kepentingan Anda? Yang penting adalah hargai kepentingan orang lain. Soal suka dan tidak, tidak relevan diperdebatkan di sini.
*
Tulisan di atas lebih difokuskan penilaian orang (anti rokok) pada perokok. Karena selama ini dikesankan atau diposisikan perokok itu negative, jorok, an-educated, nggak sehat, sehingga harus disingkiri kayak penyandang lepra atau paria. Tidak membicarakan perokok dari sisi kontribusi, yang ada adalah diskriminasi tanpa perlawanan.
Tulisan ini juga sengaja tak menyinggung soal perbedaan rokok tembakau sintetis dan tembakau kretek beserta efeknya. Soal petani tembakau, keuntungan pabrik rokok, nasib para buruh pabrik rokok. Apalagi soal perang global bisnis tembakau, yang akan percuma jadi debat kusir, eh, debat fastboker ding (fastboker = boker cepat, alias mencret).
Kalau soal harga rokok dinaikkan, dan pemerintah berani melakukan, saya kira juga akan baik, untuk mengubah system dan wajah industri rokok kita. Dengan kebijakan kenaikan harga sampai katakanlah 100ribu rupiah, maka pabrik rokok gulung tikar (nasib buruhnya biar ditanggung pemerintah). Asal petani tembakau menjadi pemain utama, mengendalikan harga tembakau (sepanjang mereka siap menanam, mengolah, meracik menjadi tembakau, dan bebas menjualnya). Mesin pelinting rokok gampang dibuat dan murah. Atau ngelinting pakai tangan (manual) juga tak mengurangi nikmatnya merokok. Beranikah Negara kehilangan target cukai sebesar Rp 156 trilyun?
Paling Jokowi, atau bisa jadi Dirjen Pajak, sekarang lagi mumet kalkulasi soal apa dampak phk bagi buruh pabrik rokok, sepadan nggak dengan resiko ekonomi dan politiknya. Apa yang terjadi pada efek domino ‘kutukan emas’ tembakau ini? Apakah menaikkan cukai rokok bisa menutup target pemasukan Tax Amnesty atau tidak, jika melihat capaiannya masih seret?
Nah, dari itu semua, apa salah perokok yang ‘diperhitungkan’ peran dan kontribusinya, tetapi didiskriminasi? Coba renungkan sejenak; Pemerintahan macam apa yang membiarkan aksi pembunuhan yang dilakukan oleh rokok, dan bahkan malah memungut cukai dari aksi pembunuhan itu? Dimana moralnya coba? Kalau saya perokok yang baik dan benar, saya tuntut tanggungjawab siapa yang bikin tulisan ‘merokok membunuhmu’ itu. YLKI mana melindungi kepentingan konsumen dalam hal ini, karena lembaga ini lebih pro modal asing yang mau mematikan tanaman tembakau di Indonesia.
Soal pemerintah membiarkan ‘aksi pembunuhan’ lewat rokok (dan bahkan mengutip cukai pembunuhan, ini pun kalau isu pembunuhan oleh rokok benar adanya), itu menunjukkan secara faktual dilema yang dihadapi. Semuanya tentu karena ketidakberanian melakukan terobosan dalam poleksosbud.
Itulah makanya yang pertama harus direvolusi mental adalah para penggagasnya, yang sampai sekarang (sudah dua tahun) tak menjelaskan bagaimana formulasi revolusi mental yang dimaksud. Kok sampai sekarang nggak ada kabarnya, padahal sudah makan honor gede tuh!
Jika ingin mengembangkan diskusi, kenapa soal tembakau hanya diproyeksikan ke rokok? Sementara ada penelitian ilmiah membuktikan tembakau mengandung kasiat sebagai obat dan juga bisa jadi bahan kosmetik? Tembakau sebagai tanaman istimewa di Indonesia, dengan potensi ekonominya yang besar, mengapai tidak direspons dari sisi ilmu-pengetahuan? Buat apa pemerintah membuat kementerian riset dan teknologi? Apa kerjanya? Atau kita semua memang menginginkan tanaman tembakau lenyap dari bumi Nusantara?
Kita terlalu mudah melakukan claiming. menyederhanakan masalah hanya karena melihat kepentingannya sendiri. Pandangan mikroskopik ini tidak proporsional dan tidak adil. Apalagi ada penggiringan pelan-pelan, merokok dikaitkan dengan moralitas, dituding pintu masuk narkoba. Kan persoalannya cuma suka tidak suka? Kan perokok sudah didemarkasi dalam berbagai aturan lingkungan hidup yang diskriminatif? Mau apa lagi? Naikin harga rokok semahal-mahalnya? Sudah putus asa?
Sementara, PKI memang perlu didirikan, Perokok Kretek Indonesia!
Perdebatan mengenai efek sehat tak sehat, sebenarnya terlalu sumir, jika kita tidak memahami yang terjadi dalam industri rokok ini. Penelitian efek rokok dari sisi kesehatan, berapa persen dari perokok tembakau sintetis berapa persen perokok tembakau kretek? Tak pernah ada penjelasan. Kesimpulan dari dua hal berbeda tak bisa digeneralisasi.
Perokok pasif lebih berbahaya, ini juga hal aneh, karena cara penanggulangannya mudah, yakni jadilah perokok aktif. Kenyataannya, perokok pasif membutuhkan waktu 72-106 jam terus-menerus dibekap dalam satu ruangan berasap rokok untuk bisa disamakan dengan menghisap sebatang rokok. Sementara polusi udara dan asap kendaraan bermotor, jauh lebih berbahaya daripada asap rokok. Meski tak banyak yang tahu, ada jenis sayuran yang juga mengandung kadar nikotin seperti tembakau.
Jadi bagaimana? Nyatanya, dengan metode Pramoedya Ananta Toer, merokok adalah sebuah varian, bukan causa prima penyakit atau kematian. Kita sering merasa sok tahu, orang merokok akibatnya penyakitan, atau gampang mati. Sementara yang tukang cabut nyawa tak pernah menjelaskan, kenapa seseorang dicabut nyawanya. Padahal, selama ini orang sakit karena tak bisa hidup sehat, orang mati karena dia hidup.
Sisi lain, bagi yang berpandangan merokok adalah pemborosan. Dari barisan ini, biasanya akan dijabarkan; Jika harga rokok sekian rupiah, maka merokok sehari sekian batang, kalikan seminggu, sebulan, setahun, 14 tahun, 35 tahun, dan seterusnya; Berapa duit yang dibakar?
Mereka hanya melihat merokok adalah ‘upacara kesia-siaan’ karena membakar duit. Dengan segenap maaf, pandangan ini mewakili kaum yang berfikir materialis-pragmatis. Dua hal itu yang juga diajarkan oleh Soeharto.
Kaum pragmatis selalu melihat segala sesuatu dari sisi manfaat, kaum materialis melihat yang riel, tampak, nyata. Misal, menggunakan uang untuk beli meja, ada mejanya, beli jas ada jasnya, beli roti ada rotinya. Kalau ditanya beli kesenangan? Ribut berdalih. Gabungan materialis-pragmatis akan menilai hal yang bermanfaat harus terlihat nyata dan verbal. Maka Tuhan juga coba diverbalkan.
Ketika kita melihat Pramoedya, Joko Pinurbo, Emha Ainun Nadjib, Chairil Anwar, Bung Karno, Butet Kartaredjasa, KH Agus Salim, Yusril Ihza Mahendra, Afrizal Malna, Jonan, Gus Mus, Susi Pudjiastuti, apa yang kita lihat dan nilai dari mereka? Apakah hanya menilai mereka dari berapa bungkus rokok yang dihabiskan? Mereka dinilai karena arti kehadirannya. Jonan yang perokok berat, mampu mengubah kekumuhan stasiun dan kereta api menjadi public-area yang nyaman bagi bukan perokok. Apakah dia dicopot dari menteri gegara perokok?
Yang diabaikan, atau tidak dimengerti, oleh yang bukan perokok, adalah apa yang memang hanya dimengerti kaum perokok itu sendiri. Dan apakah semua hal harus dimengerti (secara material) oleh orang lain? Jangan ‘maksa’ atau ‘ngeden’ jika tak memahaminya, apalagi maksa orang lain memahami Anda.
Merokok adalah hak azasi manusia, meski dalam hidup masyarakat ramai, masing-masing individu merdeka dibatasi kemerdekaan individu lainnya. Sama-sama tentang perokok, mengapa seseorang bisa benci pada Yusril Ihza, tapi memuja Susi Pujiastuti (atau sebaliknya, misal)? Bukan karena rokok mereka tentu, tetapi karena nilai keberadaan dan nilai kemanusiaan mereka. Sama tidak relevannya dengan memparalelkan perokok dengan orang bodoh, kampungan, tidak sopan, tidak baik, tidak berpendidikan. Apa kaitannya?
Pada sisi lain, keberpihakan itu (pro-kontra rokok) adalah juga karena kepentingan. Apa kepentingan Anda? Yang penting adalah hargai kepentingan orang lain. Soal suka dan tidak, tidak relevan diperdebatkan di sini.
*
Tulisan di atas lebih difokuskan penilaian orang (anti rokok) pada perokok. Karena selama ini dikesankan atau diposisikan perokok itu negative, jorok, an-educated, nggak sehat, sehingga harus disingkiri kayak penyandang lepra atau paria. Tidak membicarakan perokok dari sisi kontribusi, yang ada adalah diskriminasi tanpa perlawanan.
Tulisan ini juga sengaja tak menyinggung soal perbedaan rokok tembakau sintetis dan tembakau kretek beserta efeknya. Soal petani tembakau, keuntungan pabrik rokok, nasib para buruh pabrik rokok. Apalagi soal perang global bisnis tembakau, yang akan percuma jadi debat kusir, eh, debat fastboker ding (fastboker = boker cepat, alias mencret).
Kalau soal harga rokok dinaikkan, dan pemerintah berani melakukan, saya kira juga akan baik, untuk mengubah system dan wajah industri rokok kita. Dengan kebijakan kenaikan harga sampai katakanlah 100ribu rupiah, maka pabrik rokok gulung tikar (nasib buruhnya biar ditanggung pemerintah). Asal petani tembakau menjadi pemain utama, mengendalikan harga tembakau (sepanjang mereka siap menanam, mengolah, meracik menjadi tembakau, dan bebas menjualnya). Mesin pelinting rokok gampang dibuat dan murah. Atau ngelinting pakai tangan (manual) juga tak mengurangi nikmatnya merokok. Beranikah Negara kehilangan target cukai sebesar Rp 156 trilyun?
Paling Jokowi, atau bisa jadi Dirjen Pajak, sekarang lagi mumet kalkulasi soal apa dampak phk bagi buruh pabrik rokok, sepadan nggak dengan resiko ekonomi dan politiknya. Apa yang terjadi pada efek domino ‘kutukan emas’ tembakau ini? Apakah menaikkan cukai rokok bisa menutup target pemasukan Tax Amnesty atau tidak, jika melihat capaiannya masih seret?
Nah, dari itu semua, apa salah perokok yang ‘diperhitungkan’ peran dan kontribusinya, tetapi didiskriminasi? Coba renungkan sejenak; Pemerintahan macam apa yang membiarkan aksi pembunuhan yang dilakukan oleh rokok, dan bahkan malah memungut cukai dari aksi pembunuhan itu? Dimana moralnya coba? Kalau saya perokok yang baik dan benar, saya tuntut tanggungjawab siapa yang bikin tulisan ‘merokok membunuhmu’ itu. YLKI mana melindungi kepentingan konsumen dalam hal ini, karena lembaga ini lebih pro modal asing yang mau mematikan tanaman tembakau di Indonesia.
Soal pemerintah membiarkan ‘aksi pembunuhan’ lewat rokok (dan bahkan mengutip cukai pembunuhan, ini pun kalau isu pembunuhan oleh rokok benar adanya), itu menunjukkan secara faktual dilema yang dihadapi. Semuanya tentu karena ketidakberanian melakukan terobosan dalam poleksosbud.
Itulah makanya yang pertama harus direvolusi mental adalah para penggagasnya, yang sampai sekarang (sudah dua tahun) tak menjelaskan bagaimana formulasi revolusi mental yang dimaksud. Kok sampai sekarang nggak ada kabarnya, padahal sudah makan honor gede tuh!
Jika ingin mengembangkan diskusi, kenapa soal tembakau hanya diproyeksikan ke rokok? Sementara ada penelitian ilmiah membuktikan tembakau mengandung kasiat sebagai obat dan juga bisa jadi bahan kosmetik? Tembakau sebagai tanaman istimewa di Indonesia, dengan potensi ekonominya yang besar, mengapai tidak direspons dari sisi ilmu-pengetahuan? Buat apa pemerintah membuat kementerian riset dan teknologi? Apa kerjanya? Atau kita semua memang menginginkan tanaman tembakau lenyap dari bumi Nusantara?
Kita terlalu mudah melakukan claiming. menyederhanakan masalah hanya karena melihat kepentingannya sendiri. Pandangan mikroskopik ini tidak proporsional dan tidak adil. Apalagi ada penggiringan pelan-pelan, merokok dikaitkan dengan moralitas, dituding pintu masuk narkoba. Kan persoalannya cuma suka tidak suka? Kan perokok sudah didemarkasi dalam berbagai aturan lingkungan hidup yang diskriminatif? Mau apa lagi? Naikin harga rokok semahal-mahalnya? Sudah putus asa?
Sementara, PKI memang perlu didirikan, Perokok Kretek Indonesia!