Oleh Sunardian
Wirodono
PENGANTAR. Kemunculan Jokowi dalam pentas kepolitikan tanah
air, menarik untuk dicermati. Dan Jokowi, Joko Widodo, ternyata mampu menjadi
pelopor bagi sosok serta figur fenomenal yang ‘dicemplungkan’ dalam politik
praktis itu. Nama Jokowi menjadi begitu menarik, justeru karena ia adalah anak
paria dalam tradisi elitisme politik Indonesia yang lebih dikuasai oligarki
partai.
Nama Jokowi melayang-layang dan akhirnya melambung dalam
banyak warna. Pada awalnya siapa yang menganggapnya? Ia dinilai sama sekali
tidak pantas, tidak credible, bodoh
(bahkan dalam masa kampanye pilpres, kompetitornya mendefinisikan Jokowi
manusia lugu, lucu dan guoblog).
Sebagai anak kost PDIP, ia dianggap masih anak bau kencur,
pepesan kosong. Bahkan Jusuf Kalla, sebelum menjadi cawapresnya, pernah
meragukan sebagai belum saatnya untuk mencapreskan diri. Sebagaimana Ruhut
Sitompul juga pernah mengatakan; Indonesia akan hancur jika Jokowi presidennya,
karena ia hanyalah tukang meubel.
Namun dalam perkembangannya, Jokowi justeru semakin popular
karena ia menjadi sasaran tembak. Ia seolah common
enemy bagi siapapun, dan masing-masing pihak seolah berlomba untuk
menjatuhkan popularitasnya. Senyampang dengan itu, popularitas Jokowi ini pada
akhirnya menjadikannya sebagai santapan empuk pers, bukan hanya dalam negeri
melainkan juga di luar negeri. Kemunculannya sebagai calon presiden Republik Indonesia
2014-2019, yang merupakan simbol kemenangan ‘arus bawah’, juga menambah
popularitasnya.
Lebih dari itu, Jokowi bahkan kemudian oleh sebagiannya dianggap
sebagai tumbal bagi lahirnya sebuah simbol perubahan sekaligus simbol
perlawanan terhadap kemapanan, status quo,
baik oleh sebagian kalangan kritis, kelompok masyarakat umum, kalangan muda,
rakyat jelata, hingga bisa jadi sebagian para petualang politik lainnya. Dan
Jokowi kini, kemudian adalah sebuah sosok yang berbeda jauh sebelum ia menjadi
gubernur Jakarta, walikota Solo, dan bahkan sebagai warga masyarakat biasa.
Mengamati fenomena Jokowi adalah cerminan dari kehidupan
politik itu sendiri. Sehingga sangat mungkin banyak orang ingin mengetahui
lebih jauh, siapa Jokowi itu sesungguhnya. Dan demikian seterusnya, Jokowi
berada dalam pusaran arus yang menjadikannya pusat dari arus pusaran itu
sendiri.
Tulisan ini didedikasikan untuk memahami arus perubahan itu,
dengan melihat Jokowi sebagai par of
exelence. Ia menjadi tanda-tanda zaman.
Memahami Politik.
Apakah politik itu? Pertanyaan sederhana ini ternyata membutuhkan jawaban yang
tidak sederhana. Sangat tidak sederhana, karena politik sebagaimana sebuah
tanah lapang yang terbuka, bagi siapa saja untuk datang bertandang ke sana.
Belum tentu yang bertandang akan bermain sepakbola, melainkan mungkin ada yang
berolahraga lari, jogging, senam, atau bahkan hanya duduk-duduk manyun. Dalam lapangan yang berbeda, seperti lapangan
hukum, lapangan ekonomi, sebagai sebuah lapangan dengan aturan dan hukum-hukumnya
yang relatif pasti, lapangan politik sebagaimana lapangan sepakbola. Apalagi dalam
lapangan politik tersedia ‘kekuasaan’ sebagai komoditi yang memungkinkan
siapapun mewujudkan keinginannya.
Pertanyaannya, apakah perwujudan kehendak itu memang tiada
batasnya? Kehendak siapa yang hendak diwujudkan?
Sejauh kehendak masyarakat yang hendak diwujudkan, rasanya
tiada yang keberatan atau memprotes sepak terjang yang hendak dilakukan
pemegang kekuasaan, atau bahkan yang hendak meraih kekuasaan sekalipun. Di dalam
politik, transformasi kehendak pribadi menjadi kehendak masyarakat bukanlah
perkara yang sulit-sulit amat. Apalagi dalam masyarakat yang masih hidup dalam
takhayul politik, yang masih menghargai kepemimpinan kharismatik, masih
merindukan datangnya ksatria piningit, Ratu Adil, menyulap kehendak pribadi
menjadi kehendak masyarakat sangatlah mudah dilakukan.
Selama ini lapangan politik yang sangat terbuka, telah
melahirkan serangkaian definisi mengenai politik. Salah satunya, seperti
disebut dalam buku Karl. W. Deutsch (The
Nerves of Governement, 1963), ‘steering
and manipulating human behavior’. Mengendalikan dan memanipulasi tingkah
laku manusia. Maksudnya mempengaruhi orang lain untuk mau melakukan sesuatu
bagi keuntungan kita, tanpa orang tersebut merasa terpaksa melakukannya. Dalam
pengertian ini, terlihat bahwa politik sangat mengandalkan persuasi. Politik
tidak menyukai hal-hal yang represif.
Politikus yang ulung, adalah yang mampu menyihir orang lain
dengan argumentasi yang logis disertai dengan retorika yang menawan. Ini
preferensi konvensional berkait dengan syarat daya persuasi seorang pemimpin
atau politikus. Namun dalam perkembangannya, karena begitu banyaknya manipulasi
janji-janji politik, daya persuasi tidak lagi dan hanya bersandar pada
kemampuan retorika.
Sederet syarat yang harus dipenuhi adalah konsistensi dalam
bersikap, memiliki integritas pribadi, memiliki kualitas intelektual yang
memadai, memiliki personalitas terbuka (extrovert),
hingga bersedia dan mampu mendengarkan sekaligus mengakumulasikan argumentasi
orang lain, dan kesediaan untuk berkorban (Political
Stability and Conflict Management, Dennis C. Pirages dalam Ted Robert Gurr,
Handbook of Political Conflict, London, 1980).
Harus disadari bahwa sepak terjang seorang politikus tidak
terjadi dalam ruang hampa. Ia terikat oleh ruang dan waktu, diselimuti norma
sosial, hukum, budaya, ekonomi dan sebagainya. Politikus dituntut untuk pandai
membaca angin, mengetahui persis tindakan apa yang harus dilakukan dalam satu
situasi tertentu. Politikus tidak hanya sekedar membuat isu, melainkan ia juga
dikendalikan oleh isu yang dibuatnya sendiri (Irving Crespi, Public Opinion, Polls and Democracy,
1988).
Sebelum pencapresan Jokowi, ia hanyalah dikatakan sebagai
riak-riak kecil. Namun kemunculan namanya dalam berbagai survey nasional, yang
memproyeksikan sebagai pemimpin alternatif, dan bahkan kemudian menginti pada
pencapresannya, telah menjadikan Jokowi sebagai gelombang pasang. Ia menjadi
idaman atas nama kepemimpinan dan sekaligus simbol bagi siapa saja yang masih
percaya pada prinsip-prinsip moral dan etika politik. Melalui Jokowi, rakyat
merasa bisa mengartikulasikan kepentingannya secara langsung, untuk menjawab
kebuntuan partai-partai politik itu sendiri, dalam melakukan rekrutmen
kepemimpinan masyarakat sipil.
Rakyat selama ini merasa lelah, karena dikhianati oleh
politikus yang selama ini datang padanya lima tahun sekali, untuk mendapatkan mandat
atau amanah dan kepercayaan rakyat. Namun begitu duduk di kursi kekuasaan,
dalam menjalankan mandat itu, mereka seolah menjadi zombie yang melupakan
asal-muasalnya. Para politikus seperti Gatotkaca atau Superman, yang
membentangkan tangan ke kiri untuk berbelok ke kanan, dan sebaliknya. Tidak
sebagaimana ketika kita berlalu-lintas, membentangkan tangan ke kiri karena
memang hendak berbelok ke kiri.
Logika terbalik ini melahirkan kesulitan serius. Rakyat
terbiasa dengan fakta bahwa apa yang dibantah oleh para elite itu adalah yang
sebernarnya terjadi. Oleh karena itu, Pramoedya Ananta Toer pernah mengatakan;
Jika penguasa mengatakan kiri, itu artinya kanan. Ketika SBY mengatakan
Demokrat akan netral, dan tidak berkoalisi ke mana pun, sebagian besar dari
kita justeru mengartikan Demokrat pasti tidak akan netral, dan dia akan
berkoalisi. Sebagaimana kemudian hal itu memang terjadi, apapun istilah yang
dipakai para elite partainya untuk berkilah.
Pada sisi lain, Jokowi sebagai persona, menjadi simbol
kepasrahan dan ketulusan yang terasa mengering dalam etika politik kita
akhir-akhir ini. Dia mencanangkan sikap tegar, ora papa, bahwa kita boleh kehilangan segalanya kecuali harapan dan
harga diri. Jokowi menjadi sosok yang
mengisi ruang-ruang kosong dalam rancang bangun etika politik Indonesia.
Banyak kalangan elite politik yang paranoid. Mereka takut akan bayang-bayang yang mereka ciptakan
sendiri. Padahal apa yang mereka pikirkan, belum tentu benar-benar terjadi di
masyarakat. Mereka terkena sindrom orang kaya, yang curiga pada seseorang yang
berada di teras rumahnya di waktu hujan. Mereka menduga, dan menetapkan, bahwa
orang itu sebagai maling, padahal hanya menumpang berteduh.
Paranoia itu bisa jadi muncul karena benturan dari pemahaman
akan kekuasaan. Di satu sisi ada elite yang terisolasi dengan ide bahwa
kekuasaan itu datangnya dari Tuhan (yang dalam elaborasinya begitu bias dan tak
terukur, karena bersifat absolute dan demagog). Kekuasaan itu satu dan tak bisa
dibagi-bagi. Karena itu mereka percaya
bahwa legitimasi politik berjalan dengan kedekatannya dengan pusat kekuasaan. Oleh
karena itu ada capres yang berkoalisi dengan membabi-buta dengan siapapun,
karena slogannya; Satu musuh terlalu banyak, seribu kawan terasa kurang. Mereka
percaya bahwa mendapatkan cantolan ke atas lebih penting daripada pijakan di
bawah.
Sejalan dengan kemajuan yang kita capai, dan kedewasaan
rakyat itu sendiri dalam pengalamannya sebagai obyek politik, muncul dan
berkembang pemahaman baru, bahwa legitimasi politik itu datangnya dari rakyat.
Rakyat bertambah pintar dan sadar akan hak-haknya. Mereka sadar bahwa nilai
dasar dari demokrasi adalah rotasi kepemimpinan. Mereka tahu persis pemimpin
yang mereka butuhkan, yakni yang menyatu dengan rakyatnya, bukan yang mencantol
ke atas. Inilah bibit awal dari lahirnya generasi kritis dalam politik
Indonesia.
Paham baru ini oleh para elite dianggap berbahaya. Apapun
bentuk pemikiran baru selalu dibaca sebagai upaya mengganti nilai-nilai yang
ada dan berlaku selama ini. Menyikapi manifesto ‘Revolusi Mental’ misalnya,
buru-buru dianggap bahwa hal itu sama dengan pemikiran komunis, yang di Indonesia
komunis adalah identik PKI, dan PKI adalah haram. Padahal pemahaman itu
sebenarnya justeru upaya memperkaya dan mengaktualisasikan nilai-nilai yang
kita sepakati bersama.
Di sisi lain, merosotnya ketidakpercayaan rakyat pada partai
politik (lihat hasil Pileg 2014, di mana Golput menang mutlak dari perolehan suara
PDIP sekali pun), membuat rakyat mencari jalannya sendiri, untuk melahirkan
pemimpinnya sendiri. Wakil rakyat yang mestinya mendengarkan aspirasi
masyarakat, justeru menjadi bagian dari eksekutif yang elitis, dan bahkan
terlibat dalam korupsi sistemik.
Hal-hal semacam itu antara lain yang menyebabkan Jokowi
muncul. Dan ketika nama yang mereka harapkan itu mendapatkan tekanan dan
hinaan, hal itu dibaca sebagai tekanan terhadap politik arus bawah. Bahkan ada
pula yang menerjemahkan sebagai ketidaksukaan kaum elite terhadap arus bawah.
Dan ketika pada akhirnya Partai Demokrat berlabuh ke poros Gerindra, melengkapi
bergabungkan poros-poros kekuatan lama seperti Golkar, PAN, PPP, PKS, dan klaim
Titiek Soeharto bahwa Cendana 100% mendukung Prabowo, maka peta pertarungan itu
menjadi Jokowi di kubu partai oposisi plus PKB dan Nasdem, melawan koalisi
pemerintahan lama (SBY) dengan poros Gerindra minus PKB. Jika Prabowo menjadi simbol
dari gaya lama yang stagnan, pro status quo, maka Jokowi menjadi simbol
pemimpin rakyat dari rakyat untuk perubahan.
Namun jangan lupa, politik merupakan sejarah masa kini,
sementara sejarah sebenarnya merupakan politik masa lampau. Politics is the present history, history is
the past politics. Dan kita masih terus perlu menyimaknya.
Merayakan Demokrasi.
Pemilu adalah kependekan dari Pemilihan Umum. Masyarakat umum, warga Negara,
atau rakyat, menentukan pilihannya atas wakil-wakil mereka di parlemen, atau
pun presiden sebagai pemimpin nasional bagi negaranya. Dalam sebuah Negara demokrasi,
yang berfaham republik seperti Indonesia ini, rakyat adalah pemegang
kedaulatan. Rakyat yang menentukan arah dan jalannya sebuah Negara, dengan
jalan memilih wakil dan pemimpinnya untuk mengurus dan menjalani kebutuhan dan
kepentingan-kepentingan bersama. Intinya, rakyat yang berdaulat itulah yang
menentukan.
Namun dalam Negara yang sedang tumbuh dan berkembang proses
demokrasinya, kedaulatan dan kemandirian rakyat menjadi persoalan-persoalan
klasik yang seolah tidak terselesaikan. Demokrasi kemudian bukan hanya jalan
untuk menuju kesentausaan Negara, kesejahteraan rakyat. Demokrasi juga bisa
berbelok atau dibelokkan, dengan berbagai alasan dan dialektikanya, menjadi
kepentingan kelompok-kelompok kepentingan. Pada sisi itu, demokrasi bisa menjadi
jalan pengkhianatan atas pemuliaan kepentingan bersama, dengan berbagai bingkai
alasan yang terlihat logis ataupun tidak.
Partai politik yang dimanifestasikan untuk menjadi wadah
kepentingan masyarakat sipil, dalam demokrasi yang masih rapuh, tidak selalu
merepresentasikan aspirasi dan kepentingan masyarakat sipil atau rakyat jelata.
Yang muncul kemudian juga elite politik, kelompok kekuatan, yang satu sama lain
mendaku merepresentasikan kepentingan-kepentingan kelompoknya, mendahului
kepentingan-kepentingan umum.
Dengan logika masing-masing, elite politik dan kelompok
kepentingan mendesakkan agenda-agenda kepentingannya, lebih daripada
kepentingan umum yang lebih luas. Sudah barangtentu, semua itu dilakukan dengan
meminjam logika-logika umum. Dengan memunculkan interpretasi dan siasat politik,
untuk meyakinkan bahwa mereka adalah yang benar, bisa dipercaya, dan pantas
untuk mendapatkan kepercayaan.
Pada titik kritis itulah, pemilu justeru lebih dekat
maknanya secara semantik, yakni membuat pilu. Pemilu telah mencerai-beraikan
rakyat menjadi berbagai kelompok kepentingan, yang secara bersama-sama
mendesakkan agenda masing-masing, untuk diakui sebagai yang paling penting,
paling mendesak, dan bahkan paling benar, dengan mengundurkan atau bahkan
menghilangkan kepentingan pihak lain. Pemilu seolah menjadi peperangan yang
harus dimenangkan dengan cara mengalahkan, membunuh, melenyapkan, kepentingan
yang lain.
Dalam pemerintahan yang otoriter dan hegemonik, kita pernah
mempunyai pengalaman di masa Orde Baru. Soeharto menjadi monster yang
menakutkan, di mana proses transisi demokrasi harus melalui serangkaian
peristiwa yang memilukan. Pada situasi itu terjadi chaos, masyarakat sipil berhadapan dengan militer, dan bahkan
muncul kerusuhan sosial, pemberangusan pers, penculikan aktivis demokrasi oleh
tentara, dan sebagainya.
Politik, yang selama Orde Baru dijauhkan dalam kehidupan
keseharian kita, tiba-tiba mendapatkan muaranya dalam apa yang disebutkan oleh
Jokowi sebagai sebuah kegembiraan yang perlu dirayakan beramai-ramai oleh
rakyat. Jokowi membawa pemahaman yang bukan baru, tetapi otentik; Bahwa
demokrasi adalah mendengarkan suara rakyat.
Pemilu dan
Kepemimpinan Nasional. Dalam pemilihan legislatif 9 April lalu, polarisasi
rakyat masih belum terasakan, karena tersebar merata sebanyak pilihan-pilihan
yang tersedia. Meski pun kemenangan golput (suara tidak sah baik sengaja maupun
tidak, mencapai 24% suara) tidak tertandingi oleh perolehan angka pemenang
pemilu (PDIP sebagai pemenang hanya beroleh 18% suara).
Hal itu menunjukkan betapa tinggi ketidakpercayaan mayoritas
rakyat. Pergesekan yang terjadi secara horizontal
dan vertical, tidaklah cukup
mengkhawatirkan. Setidaknya, masing-masing kelompok kepentingan terpolarisasi
secara merata.
Namun begitu sampai pada pemilihan presiden, yang hanya
menyodorkan dua calon (Prabowo Subianto dan Joko Widodo), segera terasa
pengelompokan kepentingan terbelah dalam dua kelompok, yang polarisasinya
menjadi sangat tajam. Lebih-lebih ketika dua capres ini merepresentasikan
perbedaan yang juga sangat nyata, yakni dari sisi latar belakang, pokok-pokok
pemikiran, karakter dan track-record-nya.
Pada beberapa Negara yang menganut demokrasi, pemilihan
pemimpin mereka tentu saja relatif sama dengan di Indonesia. Pada sesi
terakhir, dari banyak calon kemudian akan terseleksi untuk hanya memilih satu
di antaranya. Namun pada faktanya, rakyat Indonesia “baru” memilih presidennya sendiri
sejak 15 tahun lalu, dari sekian panjang usia kemerdekaannya yang telah
mencapai 68 tahun. Dari sejak pemilu pertama kali (1955), rakyat Indonesia baru
bisa memilih presiden secara langsung pada 2004, atau setengah abad perjalanan
kemerdekaan sebagai bangsa yang berdaulat.
Pada sisi itu, interpretasi dan apresiasi rakyat akan
seiring dengan pengalaman-pengalaman batinnya dalam memformulasikan
kepemimpinan ideal. Dan senyatanya, hingga hari ini, sebagian rakyat masih
percaya pada dalil-dalil masa lalu. Yang mendefinisikan pemimpin adalah seorang
superhero, pahlawan, ksatria, dengan berbagai aksesorisnya. Hingga sampai pada
mitologisasi dan mistifikasi, bahwa pemimpin adalah keturunan ini dan itu,
dengan berbagai gelar seperti ksatria piningit, ksatria kesandung-kesampir. Ada juga yang memakai teori dan ramalan-ramalan
masa lalu seperti ‘jangka Jayabaya’, raja Kediri pada abad 14, dengan teori
‘Natanagara’.
Bukan saja rakyat jelata, tetapi kaum cerdik-pandai, dengan
pemahaman agama yang diamini banyak orang (sekelas Amien Rais, Anis Matta,
serta bahkan Said Aqil Siradj), mendefinisikan pemimpin yang pantas dipilih
adalah yang tampan, banyak harta, dan tidak klemar-klemer.
Tentu saja, semua definisi itu mengarah pada jagoan yang mereka dukung, karena
mereka adalah tim-sukses dan tim-pemenangan dari capres yang secara fisik
memenuhi syarat itu. Definisi itu, tentu saja subyektif dan tidak bisa menjadi
ukuran umum. Namun anehnya, itulah yang muncul dari pikiran pribadi, dari orang
yang selama ini dipercaya sebagai ‘tokoh masyarakat’.
Artinya, sampai hari ini, rakyat masih disodori hal-hal yang
irrasional. Sesuatu yang tidak bisa
di-elaborasi atau di-breakdown, untuk
melihat apa kepentingan dan kemanfaatannya bagi rakyat. Karena pada
kenyataannya, gambaran subyektif dan moralitas tokoh, tidak terbuktikan dan
termanifestasikan dalam tindakan mereka sebagai pemimpin.
Pada kenyataannya, munculnya elite tokoh, elite pemimpin,
yang digambarkan sangat mulia karena kecerdasan otak dan ketakwaannya secara
Illahiah, tidak termanifestasikan dalam tindakannya. Pelaku-pelaku korupsi di
Negara ini, paska Reformasi 1998, adalah mereka kaum terdidik dan manusia
beragama. Tentu saja, karena bukankah ketika mereka berkampanye (untuk
mendapatkan suara dan kepercayaan) harus memakai dua label itu, terdidik dan
beragama? Kalau tidak, mengapa dalam setiap pilkada, pileg dan pilpres,
masing-masing kontestan berjuang untuk mendapatkan dua pengakuan itu, dan
menghancurkan lawan dengan dua isyu itu pula?
Cobalah, apa kriteria kita tentang kepemimpinan ideal, pada
apa yang ada pada Prabowo dan Jokowi? Prabowo di-idealisasi-kan sebagai pintar,
menguasai beberapa bahasa asing, tegap, tampan, kaya, terdidik. Sementara
Jokowi, tidak meyakinkan, klemar-klemer,
ora papa, tidak bisa ngomong, bahasa
Inggris diragukan, keturunan China, agamanya Kristen. Itu semuanya adalah
tipologi-tipologi yang sesungguhnya tidak relevan, dan karenanya tidak menjadi
syarat utama layak-tidaknya seorang capres.
Apakah keterdidikan (educated)
dan agama, bisa menjadi pegangan? Semestinya iya. Tetapi pada kenyataannya,
tidak. Kenapa bisa terjadi? Karena sistem pendidikan kita, sistem ekonomi kita,
sistem politik kita yang dicanangkan oleh Orde Baru, lebih bertumpu pada
formalisme dalam berfikir (dan juga beragama), pragmatisme dalam bertindak, dan
akhirnya vandalisme dalam praksis kekuasaan.
Itulah trilogi pembangunan Soehartoisme, yang dipraktikkan
secara otoriter, hegemonik, mutlak-mutlakan, dan menempatkan rakyat sebagai
obyek pembangunan semata. Tidak ada partisipasi publik, dan bahkan rakyat
dijauhkan dari yang dinamakan politik. Segala sesuatunya ditentukan oleh
Negara, atau pemerintah, yang dalam hal ini elite pemimpin.
Kebenaran mutlak dan kesalahan mutlak, bukanlah muncul dari
dialektika, melainkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan sudut pandang
pemerintah. Soeharto secara absolut mendidik rakyat untuk menurut pada pandangan
elite. Tidak ada dialog di dalamnya, tidak ada diskusi, dan karena itu rakyat
juga tidak terlatih untuk berbeda pendapat, serta tidak bisa mencari solusinya
jika terjadi konflik.
Dalam formalisme itulah, maka kita tidak perlu heran, ketika
justeru pelaku-pelaku korupsi adalah mereka yang terdidik, mereka yang tampak
santun serta religius. Karena syarat untuk duduk di kursi-kursi kekuasaan yang
terhormat, memang hanya dua itu. Mempunyai ijazah sekolah formal dan mempunyai
agama. Itu dua syarat mutlak, tetapi tidak ada alat ukur lain tentang substansi
dan esensi, dari dua hal yang harusnya dimanifestasikan dalam tindak dan
perilaku kepemimpinan.
Memang ada aturan dan ukuran dalam bentuk hukum perundangan,
namun jalannya kekuasaan yang elitis, menutup diri dari pengawasan, dan menutup
ruang partisipasi, membuat segala sesuatunya berjalan tanpa kritik dan kontrol.
Belum lagi jika media, sebagai pilar demokrasi ke-empat, yang diharap sebagai
pemain netral, masuk dalam ruang-ruang kepentingan mereka sendiri. Rakyat
betul-betul menjadi yatim-piatu, paria, dan tidak mempunyai wakil sama sekali.
Reformasi 1998, akhirnya juga tidak membawa apa-apa, kecuali
lahirnya generasi kepemimpinan yang tanpa arah dan kontrol. Dalam lemahnya
bangunan sistem dan struktur kepolitikan kita, korupsi menjadi makin meruyak
bukan saja kalangan eksekutif dan yudikatif, melainkan juga legislatif, yang
ketiganya bisa berkolaborasi (secara sistemik) sejak awal. Dan kita mengetahui
kemudian, berapa nilai utang luar negeri kita, berapa persen yang dikorup oleh
anggota parlemen kita. Demikian pula kita bisa melihat, bagaimana Kementrian
Pendidikan Nasional dan Kementrian Agama, bisa menjadi lembaga pemerintah yang
paling korup dibanding lainnya.
Itu semua karena definisi kepemimpinan di Negara kita masih
dalam tahap elementer. Sebagaimana dalam jaman pra-sejarah, yang lebih percaya
pada mitos-mitos ketokohan, entah itu ksatria yang sakti, ratu adil, dan
sebagainya. Setelah era Sukarno sebagai solidarity
maker untuk membangunan kedaulatan bangsa dan Negara, Soeharto justeru
memakai sebagai kepentingan kelompoknya selama 32 tahun. Dan hasilnya; sebuah
bangsa dan Negara yang belum siap tinggal landas.
Tertinggal dibanding pencapaian yang terjadi di berbagai
Negara. Di mana bukan saja perekonomian mereka tumbuh menyalip Indonesia,
melainkan kualitas SDM mereka yang kompetetif meninggalkan Indonesia, yang jauh
sebelumnya telah menjadi Negara yang disegani. Republik Indonesia di kawasan
Asia Pacifik, bahkan di kawasan ASEAN sendiri, kini menjadi Negara yang kurang
mendapat apresiasi.
Kampanye di Ruang
Maya. Pada bagian ini, tulisan akan menyimak bagaimana politik menyangkut
ruang-ruang media, dan interaksinya dengan masyarakat, melalui terjadinya
perubahan dalam teknologi komunikasi dan informasi. Karena pada sisi ini pula,
politik mendapatkan warnanya yang lain. Yang terasa begitu hingar bingar, dan
penuh cakar-cakaran. Maraknya kampanye hitam, black campaign, adalah juga penanda, bagaimana kita sendiri masih
gagap dalam perubahan itu.
Gambaran paling paradoksal, bisa kita temui dalam kemampuan
literasi masyarakat kita. Meski tidak secara meyakinkan dalam memberikan
gambaran seutuhnya, namun munculnya media sosial dalam teknologi komunikasi dan
informasi, sedikit banyak bisa memberikan gambaran.
Dengan adanya media sosial seperti situs blog, facebook, dan
twitter, masyarakat Indonesia di berbagai pelosok mempunyai akses untuk
mendapatkan informasi dan menyampaikan opininya. Dan Indonesia yang pertumbuhan
industri bukunya masih tertinggal 50 tahun dibanding Negara-negara modern dan
lebih maju, tiba-tiba disodori media-media komunikasi dan informasi yang
memaksa kita memakai ‘tulisan’.
Dengan kemampuan terbatas dalam bidang literasi, namun
tiba-tiba mengalami loncatan teknologi, dengan jelas bisa kita lihat. Bagaimana
bahasa tulisan masyarakat dalam bermedia, lebih dikuasai bahasa lisan.
Sementara kita tahu, bahasa tulisan dan lisan, tentu berbeda karena komunikasi
tulisan dan lisan mempunyai hukum, karakter, serta tuntutan berbeda pula.
Bukan berarti semua orang harus menjadi ‘penulis’. Melainkan
berkomunikasi tertulis dalam komunikasi in-direct,
membutuhkan kemampuan literer yang berbeda. Komunikasi langsung di mana
afirmasi dan konfirmasi bisa dilakukan secara segera dan serentak, tak bisa
dilakukan pada interaksi tak langsung. Komunikasi tertulis membutuhkan akurasi
baik data maupun fakta, serta keterampilan menulis, agar tidak memunculkan bias
komunikasi atau salah interpretasi.
Dalam kemampuan yang terbatas itu, daya kritis juga menjadi
persoalan. Facebook misalnya, yang popularitasnya lebih tinggi dibanding blog
atau twitter, justru memberi ruang interaksi tidak berjalan fairness. Media ini
masih memberikan ruang bagi pemiliknya, untuk bermain dengan menggunakan ‘identitas’
orang lain (nabok nyilih tangan, atau
bahkan lempar batu sembunyi tangan).
Postingan status-status mereka, bahkan pada pemilu 2014 ini,
jauh lebih dipenuhi dengan posting tautan dari tulisan-tulisan yang dengan
mudah didapatkan di internet. Facebooker cukup memberi komentar pendek, untuk
kemudian mempostingkan tautan tulisan yang ada di media online, atau tulisan
yang ada di wall teman mereka.
Tidak penting apa isinya, akurasi atau validitasnya. Karena
yang penting adalah tulisan itu memenuhi kepentingannya berpendapat. Apa pendapatnya?
Tentu saja yang sesuai dengan pilihan postingannya tersebut.
Sementara itu banyaknya media online yang muncul dalam
Pemilu kali ini, dengan berbagai kepentingannya, memposisikan diri mereka
sebagai media propaganda. Media semacam ini bisa leluasa hadir, karena daya
kritis masyarakat yang lemah, karena minimnya pemahaman atau literasi medianya.
Akibat dari semua itu, kita bisa melihat bagaimana media sosial
menjadi ajang kampanye yang jauh lebih seru dan seram, bahkan menjadi ajang
kampanye hitam paling leluasa. Ruang media yang semula dihasratkan untuk
menjadi ruang partisipasi masyarakat, dalam melakukan kontrol publik, justeru
menjadi corong-corong yang lebih leluasa, untuk melakukan hate-speech dan bukan lagi free-speech.
Kebebasan berpendapat, free speech, adalah pendapat pribadi
dalam menginterpretasikan fakta dan peristiwa. Apapun itu. Opini pribadi
menjadi ukuran. Perkara orang lain setuju atau tidak, lebih pada persoalan
kemampuan individu, apakah ia menyampaikan dengan baik dan benar sesuai kaidah
komunikasi tertulis, dengan berbagai prasyaratnya atau tidak. Hal itu masih
bisa dikategorikan sebagai free speech yang dijamin oleh perundang-undangan dan
hak azasi manusia.
Apa yang dilakukan Tasniem Fauzie, anak Amien Rais, dengan
surat terbukanya di facebook, yang menilai Jokowi tidak amanah dan meragukan
kemampuan, adalah bagian dari free speech. Toh pada akhirnya, ada pihak yang
tidak setuju dengan pendapatnya. Sebagaimana juga Fahri Hamzah berkata dalam
twitternya, bahwa ‘sinting jika Jokowi menjanjikan 1 Muharram sebagai hari
santri’, adalah interpretasi dan pendapatnya soal itu. Lepas dari setuju tidak
setuju, ruang perdebatan bisa dibuka. Jika pun hal itu masuk pelanggaran, maka
ranahnya masuk pada aturan yang diberlakukan pada proses pemilu (di mana FH
adalah timses capres tertentu, dan untuk itu ada aturan khusus bagi mereka).
Namun ketika free speech itu telah sampai pada pemutarbalikan
fakta, bahkan menciptakan fakta rekaan, dengan tujuan untuk melakukan
insinuasi, pembunuhan karakter, fitnah, ia telah menjadi hate speech yang tentu
merupakan ancaman tersendiri untuk terjadinya social disorder. Untuk kasus-kasus ini, misalnya membangun opini
bahwa salah satu capres adalah beragama tertentu, keturunan bangsa tertentu,
bahkan sampai pada tudingan bahwa capres itu anggota PKI (dan berbagai predikat
yang mempunyai efek negatif, untuk mereduksi kepercayaan rakyat). Yang demikian
itu adalah hate speech, secara prinsipil masuk dalam pengaturan pelanggaran hak-hak
azasi manusia, dan pelanggaran hukum pidana.
Pada sisi itu, kita melihat bagaimana masyarakat kita masuk
dan terjebak dalam ketidaktahuan mengenai hal itu. Bahkan sesungguhnya bukan
hanya masyarakat awam, tetapi nama-nama orang yang dianggap sebagai tokoh publik,
orang pintar, elite politik, bisa melakukan hal-hal tersebut, sadar dan tidak
sadar. Semuanya bisa terjadi karena dorongan kepentingan bawah sadar mereka.
Termasuk apa yang dilakukan oleh capres itu sendiri, dan apalagi timses dan
timnangnya, yang biasanya lebih galak dan lebih menjijikkan.
Pada sisi itu, tak ada lagi pertimbangan, apakah mereka
orang pintar dan paling tawadu’ dalam hidupnya. Mereka bisa kehilangan akal
sehat, kehilangan proporsionalitasnya, dan bahkan tentu kredibilitasnya yang
selama ini dipercaya oleh masyarakat. Padahal, kredibilitasnya itu yang
menjadikan mereka menduduki posisinya sekarang.
Faktor kepentingan, bahkan bisa kita lihat lebih konkret
lagi, jauh sebelum pileg dan pilpres berlangsung. Bagaimana seorang tokoh
semula ngomong begini, kemudian jadi ngomong begitu. Bagaimana mereka bisa
tidak konsisten, bisa molak-malik,
dan bisa terlihat begitu pikun serta linglung, hanya oleh karena dorongan
kepentingan-kepentingannya sendiri. Contoh paling jelas, bagaimana Amien Rais
dengan kapasitasnya sebagai tokoh nasional yang disegani, bisa menafikan dan
menghina Jokowi, namun kemudian bisa mengatakan bahwa Hatta Radja pas jika
dipasangkan sebagai cawapres Jokowi, akan sebagaimana Sukarno-Hatta. Namun
akhirnya kita tahu, Amien Rais kembali mencibir kemampuan Jokowi, ketika
akhirnya Hatta menjadi cawapres Prabowo. Dan semua itu berlangsung hanya dalam
waktu 3 bulan berturut-turut. Bagaimana bisa? Semuanya karena faktor
kepentingan. Kepentingan apa? Kepentingan kekuasaan.
Semua berita itu menjadi santapan empuk media mainstream.
Dan semua isi berita itu menjadi sasaran lebih empuk lagi untuk diposting dalam
tautan-tautan mereka. Apalagi jika memenuhi syarat histeria mereka. Ada yang
merasa gembira ketika Amien Rais menghantam Jokowi, tapi ada pihak lain lagi
yang bersorak-sorai ketika Amien Rais harus memenuhi janji jalan kaki
Yogya-Jakarta PP.
Pada sisi itu kita bisa menilai, media sosial justeru turun
derajat menjadi media amplifier, yang bertugas untuk mereproduksi isyu-isyu
yang dibangun oleh media mainstream. Tautan-tautan
itu dipasang pada wall mereka masing-masing, untuk memenuhi hasrat kebenaran
dan kemenangannya. Secara psikologis, belum tentu secara politis, mereka
merasakan kepuasan tersendiri.
Media sosial di Indonesia, telah gagal menjadi media alternatif,
karena produktivitas rakyat sendiri rendah dalam menyampaikan
informasi-informasi pilihannya.
Rakyat pada akhirnya lebih memilih menjadi konsumen media
daripada memposisikan sebagai produsen, walaupun kebebasan bermedia dijamin
oleh karakter teknologi media itu sendiri. Dengan media sosial, rakyat bisa
berkata apa saja, tentang siapa saja, dan kapan saja, dan tetap bisa pula
menyembunyikan identitasnya. Tinggal copy-paste atau tag tautan dari berbagai
penjuru dunia. Mereka kemudian memilih medianya sendiri, karena media-media
online tampak jelas keberpihakannya, tanpa tedeng aling-aling.
Pada awalnya, memang kehadiran media sosial ini (seperti
blog, FB) menjadi alternatif. Bahkan menjadi jawaban atas titik jenuh yang
dialami media mainstream, di mana media sosial pernah menjadi rujukan media
mainstream karena kemandiriannya dinilai mampu memunculkan otentisitas. Media sosial
mampu memunculkan isyu-isyu, juga pahlawan-pahlawan lokal, yang selama ini
tidak menjadi sorotan media. Hingga kemudian media mainstream mengadopsi dan
bahkan kemudian mengembangkannya.
Pada perkembangan itu, facebook sebagai media sosial
kemudian berkembang benar-benar menjadi media personal. Lebih berurusan dengan masalah
domestik masing-masing. Sangat privat dan mengabaikan urusan-urusan sosial,
karena merasa sudah ada media yang mengurusinya. Facebook pada akhirnya tidak
sebagaimana dirancangkan semula, berbeda dengan twitter dan situs blog.
Ketika kita sampai pada peristiwa politik, seperti pemilihan
presiden, para facebooker kemudian seolah merasa penting untuk menyuarakan
pilihan dan mendesakkan agendanya. Namun senyampang dengan itu, dengan
kematangan literasi dan pemahaman politiknya, para facebooker adalah pemilik
suara yang paling rentan. Berbeda dengan kaum blogger dan twitter, yang lebih
mampu menjadi netizen sosial media yang mandiri, facebooker berada dalam dilema
pilihan, yang justeru karena karakter medianya yang berbeda.
Pada situs blog, tentu blogger dituntut dengan sadar untuk
memproduksi tulisan, demikian juga twitter, yang arah komunikasi keduanya
justeru lebih dominan. Sementara karakter facebook yang two-way traffic, pada praktiknya tidak digunakan maksimal. Kenapa?
Karena kita memang cenderung kurang terbuka, dan tidak terlatih untuk
berdialog, berdebat, berdiskusi, dengan framing
yang berbeda. Itu sebabnya, pada akhirnya, facebook justeru menjadi media
pengelompokan dengan homogenitasnya. Facebook memberi pilihan untuk me-remove
atau mem-blokir ‘kawan’, yang artinya media ini memberi outlet untuk escape
jika terjadi konflik atau ketidaksukaan atas komentar dan postingan ‘kawan’
tersebut.
Kita bisa melihat pada postingan facebooker, dengan ‘like’ dan komentarnya. Tanda like tentu saja merupakan persetujuan
pendapat (dan sayangnya tak ada tanda ‘un-like’).
Sementara komentar-komentar di bawahnya, tentu lebih sering merupakan dukungan,
pembenaran atas postingan yang disukainya. Peng-iya-an itu tentu lebih dominan,
karena dalam 10 komentar, bisa jadi hanya 1-2 yang berbeda pendapat, itu pun
komentator minoritas yang bisa tenggelam dan hilang karena di-bully.
Pada sisi itulah, facebook memang benar-benar menjadi media
sosial dalam pengertian seperti yang terjadi di pos ronda, ruang tamu, beranda,
atau pasar, di mana orang berkomunikasi (secara lisan) karena kesamaan-kesamaannya.
Media tertulis yang memungkinkan orang berbeda pendapat, belum menjadi praksis
komunikasi keseharian kita. Karena impresi dialog lisan dan dialog tertulis,
memang berbeda, apalagi dengan kualitas literasi media yang belum tumbuh.
Pada sisi itu, media massa kita juga menjadi bagian dari
permainan. Media televisi mempunyai sumbangan terbesar sebagai media
audio-visual dengan tingkat penetrasi tertinggi. Media ini, bahkan dengan jelas
menyesuaikan diri begitu rupa menjadi bagian dari permainan. Metro TV milik
Surya Paloh, dengan sendirinya menjadi corong kampanye Jokowi. TV One dan ANTV
milik Aburizal Bakrie sebagai mitra Gerindra, sebagaimana Harry Tanoesudibyo
mendedikasikan MNC Group (RCTI, Global TV, MNC TV) untuk pemenangan Prabowo.
Meski pun dibandingkan TV One, Metro TV masih lebih proporsional dengan
memberikan kesempatan dua belah pihak.
Sementara televisi seperti Indosiar, SCTV, Trans TV dan
Trans 7, memposisikan televisi yang netral, dalam pengertian tidak menjamah
wilayah politik dan tetap bertaniah sebagai “televisi hiburan”. Dalam hal ini,
posisi Kompas TV, TVRI, RTV (Rajawali TV), cukup memberi ruang yang seimbang,
dalam kaitan pilpres ini.
Semuanya itu menggambarkan bagaimana ruang-ruang komunikasi
maya kita benar-benar lebih merupakan ruang-ruang pencitraan, namun dalam
bentuk dan teknis pengemasan yang masih mempunyai banyak masalah. Ialah
bagaimana media-media tersebut menyodorkan pemaparan dan pemahaman yang
memenuhi syarat-syarat komunikasi itu sendiri. Bagaimana sebuah data atau fakta
disampaikan sesuai dengan kaidah-kaidah yang melingkupinya (sebut misalnya
jurnalisme), yang tujuannya tentu untuk kepentingan bersama.
Apa itu kepentingan bersama? Di situ media menghadapi
pertanyaan klasik; Dimana ia berdiri dan mengabdi. Ketika kepentingan bersama
itu disisihkan, karena harus mengabdi pada kepentingan pemilik media atau owner, maka ia akan melakukan berbagai
penyiasatan agar kepentingan-kepentingan pemilik media terpenuhi. Dan ketika
kepentingan pemilik media berkait orientasi politiknya bertabrakan, maka mau
tak mau akan terjadi berbagai distorsi, sebagaimana hal itu sudah ditunjukkan
pada kekisruhan atau konflik kepentingan di vivanews.com, RCTI, TV One, dan
seterusnya.
Hal tersebut masih harus ditambah bagaimana dengan maraknya
media-media online, yang memang jauh lebih murah dan mudah, yang juga dilakukan oleh kaum vested-interest. Ada begitu banyak
situs-situs media yang sejak awalnya memang dilahirkan untuk kelompok
kepentingan. Media-media ini menjadi alat propaganda, yang sudah barang tentu
pula lebih berisi kebaikan kelompoknya dan keburukan kelompok lawan
kepentingan, atau bahkan melulu pada keburukan kelompok lawan (sebagaimana
halnya Obor Rakyat). Media online seperti ini dikelola professional maupun
amatiran, oleh para jurnalis dan penulis terkenal, senior, maupun para anonimus
dengan para ghost writer).
Sudah barang tentu apa yang terjadi pada media sosial dan
media mainstream itu, hanyalah cerminan dari apa yang terjadi di lapangan. Yang
memang demikian pula adanya. Kemudahan dalam mengakses teknologi komunikasi dan
informasi, memungkinkan siapapun untuk terlibat dalam permainan media. Media
kemudian hanyalah penyangatan dari kenyataan di lapangan, dan hal itu dengan
sendirinya mereduksi kekuatannya sebagai pilar ke-empat dalam Negara demokrasi.
Bukan hanya karena berpihak, melainkan karena ikut aktif bermain.
Kampanye di ruang-ruang maya, yang bernama media itu,
membuat masyarakat kita terbelah dan terlibat lebih jauh dalam perdebatan tanpa
arah. Pada akhirnya, masyarakat hanyut dan kehilangan daya kritisnya. Tak ada
yang mendidik dan mengajar mereka, untuk melakukan internalisasi dan mengambil
jarak.
Rakyat Menghukum
Elite. Media telah merampas ruang publik untuk mendiskusikan kebenaran
secara tidak fair dan tidak imbang. Bahkan media telah melakukan set-up untuk
menggiring opini publik, dengan mengundang nara-sumber yang kompeten untuk
tendensi itu. Kompetensi diukur karena nilai kemanfaatannya. Maka yang muncul
dalam ‘berita’ di koran, majalah dan media TV, hanyalah banyaknya kutipan
statemen. Ruang peristiwa kemudian dialihkan pada peristiwa dalam pikiran,
bukan pikiran dalam peristiwa. Media dipenuhi wawancara narasumber. Siapa
mereka? Yang mendukung pendapat atau mindset
politik media itu tentunya. Jika ingin menjatuhkan Jokowi, media tinggal
mencari narasumber ahli yang pemikirannya berlawanan dengan Jokowi, dan begitu
sebaliknya.
Itu pula sebabnya, kampanye hitam benar-benar
bersimaharajalela pada pemilu kali ini, jauh lebih dahsyat daripada
pemilu-pemilu sebelumnya. Munculnya media sosial bukannya mereduksi, melainkan
justru mengompori. Kampanye politik kita kali ini, justeru menjadi terasa
semakin kasar, tak terkendali, dan bahkan menjijikkan.
Fitnah, kampanye hitam, bahkan pernyataan-pernyataan yang
kasar dan insinuatif, begitu marak. Tanpa tedeng
aling-aling (karena bisa dilakukan dengan menembunyikan identitas kita,
atau lempar batu sembunyi tangan).
Teknologi informasi dan komunikasi, tanpa kematangan media
literasi, telah mendorong pada kualitas komunikasi yang cenderung bar-bar. Mungkin
hal itu tak seberapa terasa ketika disampaikan pada ruang-ruang terutup dan
terbatas, namun revolusi teknologi komunikasi dan informasi, kita mengubah
segalanya. Tak ada ruang tersisa dan bisa disembunyikan. Publik bisa mengetahui
apa saja, bahkan pada hal-hal yang paling privat. Hingga publik dan media
kemudian bisa berkata tentang apa saja, seolah tanpa aturan.
Meski pun serentak dengan itu, kita tak mudah percaya pada
dalil lama: Yang menguasai media adalah menguasai dunia. Dalam keberpihakan dan
kebebasan, yang terjadi justru mereduksi kredibilitas media itu sendiri.
Senyatanya, hal itu sudah dipraktikkan dalam Pemilu 2014,
setidaknya pileg 9 April lalu. Aburizal Bakrie dengan berbagai media yang
dimilikinya, pada kenyataannya juga tidak mengantarkan pada kursi kekuasaan
yang ingin diraihnya. Jauh hari sebelum ia mencapreskan diri, iklannya gencar
ditayangkan di media miliknya, namun perolehan suara Golkar rontok hanya
mencapai angka 14% suara. Bahkan perjalanan politik ARB pun berakhir tragis.
Golkar sebagai pemenang kedua, namun tak bisa menjadi poros kekuatan. Dan lebih
dari itu, jangankan capres, tiket cawapres pun tidak didapatkan ARB. Sementara
jika nanti jagoan koalisinya kalah, ia pun terancam akan dicopot dari posisi
sebagai ketua umum Golkar.
Hal yang sama terjadi pada Win-HT dari Partai Hanura. Dengan
kekuatan MNC Group milik Harry Tanoe Soedibyo sebagai penopangnya, toh tak
mampu memenangkan Partai Hanura. Padahal Win-HT sudah jungkir balik bukan hanya
menayangkan iklan dirinya secara massif, melainkan juga membuat berbagai
program untuk mengkampanyekan Wiranto dan Harry Tanoe. Toh pada akhirnya, yang
terjadi adalah pecah kongsi Win dan HT. HT kemudian masuk ke koalisi Gerindra,
dan kini juga gencar beriklan di berbagai televisi memberikan pernyataan bahwa
Prabowo capres yang patut dipilih. Sementara kita tahu, Win dan partainya
memilih berkoalisi dengan PDIP.
Pada sisi lain, jangan dilupakan, masifnya iklan Prabowo,
sejak dua tahun sebelum Pemilu 2014, juga tidak memberikan capaian yang
meyakinkan. Tentu jika diukur dari capaian Gerindra, 12% suara adalah perolehan
suara yang penting, apalagi Gerindra menjadi tiga besar.
Bandingkan perolehan masing-masing jika kita korelasikan
dengan medianya. Golput tak punya media dan tak beriklan, namun ‘memperoleh’
24% suara. PDIP mempunyai Jokowi dan mampu beriklan di TV mendapat 18%. Golkar
yang ketua umumnya mempunyai dua stasiun televisi dan beberapa media online,
mendapat lebih kecil 14% suara. Hal yang sama berlaku bagi Nasdem yang ketua
umumnya pemilik Metro TV, dan juga sudah disebut sebelumnya, Harry Tanoe
pemilik MNC Group yang mengkampanyekan kepentingan Partai Hanura, mereka
masing-masing beroleh suara jauh lebih kecil sekitar 6% saja.
Itu semua bukti bahwa penguasaan media tidak sangat
signifikan. Bagaimana pun juga, adagium yang mengatakan “siapa menguasai media
adalah menguasai dunia”, melecehkan logika publik. Mungkin jaman dulu kala,
ketika mitologi kuno masih berkuasa dan akses informasi terbatas, rakyat bisa
dibodohi. Namun tidak untuk sekarang, meski masih saja ada ruang-ruang untuk
tumbuh suburnya berita hoax dan kampanye hitam.
Semuanya akan kembali pada seberapa tingkat preferensi dan
kualitas dari para jagoan, yang meminta-minta dipilih oleh rakyat. Pada sisi
itu, kemunculan Jokowi, memang sama-sama melalui media, namun ia adalah
representasi kebutuhan publik akan tokohnya. Artinya, sama-sama melalui media,
tetapi preferensi kemunculan di media berangkat dari kriteria dan preferensi berbeda.
Jika kemunculan Jokowi karena media ingin memenuhi kebutuhan publik, sementara
kemunculan kepentingan owner media adalah untuk memenuhi kebutuhan
eksistensialnya kepada publik.
Pada sisi itu, siapa yang menguasai media, jika hendak
dielaborasi sebagai kebenaran, adalah dalam pengertian menguasai kriteria media
yang bertaniah pada kepentingan publik. Memang akhirnya tetap saja pada
preferensi awal, siapa yang menguasai preferensi publik (dalam menjawab
kepentingan-kepentingan mereka), namun “pemenangan dunia” yang terjadi karena
kualitas personal yang dimilikinya. Karena kualitas personalnya ia bisa ‘nglurug tanpa bala’, menguasai media
tanpa harus memiliki media.
Pada sisi itulah, rakyat tak bisa dilawan, dan rakyat bisa
melahirkan kepentingannya sendiri, dengan mendesakkan kepentingan atau menjadi pressure group, sehingga Megawati
Soekarnoputri mau tak mau memunculkan Jokowi sebagai calon presiden.
Jokowi menjadi personifikasi rakyat yang menginginkan
pemimpinnya. Ia tidak lahir dari partai politik (Jokowi bukan pengurus partai,
bukan politikus, tetapi dia masyarakat sipil yang direkrut partai politik untuk
menjadi walikota dan kemudian gubernur oleh PDIP, dan dengan sendirinya
kemudian menjadi anggota partai politik itu). Ia berbeda dengan Aburizal
Bakrie, yang menjadi ketua umum, dan mendisain diri sebagai capres dengan
berbagai manuver politik yang tidak kecil biayanya. Demikian pula Jokowi
berbeda dengan Prabowo Subianto, yang sejak lama mendirikan partai politik
untuk kendaraan pencapresannya bertahun-tahun, bahkan sebelum Pemilu 2009. Jokowi
tidak mengiklankan diri, apalagi mau mencapreskan diri. Namun ia menjadi
fenomena sosial-politik kita, dan kemudian menggoda berbagai lembaga survey
untuk memunculkan namanya menjadi salah-satu calon pemimpin nasional alternatif.
Dan hasilnya, Jokowi merajai berbagai survey. Elektabilitasnya bukan hanya
melebihi Megawati, sebagai ketua umum partai pemenang Pemilu, melainkan bahkan
melebihi Prabowo yang sebelum kemunculan Jokowi, memiliki tingkat elektabilitas
tertinggi dibanding tokoh-tokoh lainnya.
Pada sisi itu, diam-diam rakyat berhasil mendesakkan
kepentingannya kepada partai politik, untuk mengambil Jokowi. Megawati yang
lebih memiliki peluang untuk mencapreskan diri, memberikan ruang itu, hingga
PDIP memenangkan pertarungan Pemilu 2014. Tentu kita tak bisa membandingkan
bagaimana jika PDIP tidak memajukan Jokowi sebagai capres sebelum pileg, karena
memang tidak terjadi. Namun, menarik membandingkan pertanyaan; mana lebih
benar, PDIP ‘bisa mendapat’ 18% suara
karena mencapreskan Jokowi, atau ‘hanya mendapat sebesar itu’ karena telah
mencapreskan Jokowi? Bagaimana kalau kenyataannya PDIP ambrol perolehan
suaranya (kalah Pemilu) karena tidak mencapreskan Jokowi? Ini membutuhkan
penelitian tersendiri.
Namun fakta keseluruhannya tak berubah, besarnya angka
Golput melebihi suara perolehan parpol-parpol peserta pemilu, adalah indikasi
nyata rendahnya kepercayaan rakyat pada partai politik. Pada sisi itu, Jokowi
adalah representasi kemenangan rakyat. Bagaimana menguraikan semua ini?
Kita melihat perbandingan perolehan masing-masing partai
politik peserta pemilu. Jika kita mengambil pengandaian bahwa masing-masing
partai politik adalah personifikasi dari masing-masing ketua umum sebagai
capresnya (Hatta Radjasa diproyeksikan sebagai capres PAN, Anis Matta PKS,
Yusril Ihza Mahendra dari PBB, Suryadharma Ali dari PPP, Prabowo dari Gerindra,
ARB dari Golkar, Wiranto dari Hanura) memang hanya PDIP yang mencapreskan nama
di luar ketua umum atau pun elite partainya.
Jokowi bukan darah biru partai, bahkan di PDIP ia hanyalah
anak kost, anak kemaren sore, yang artinya bukan dari jalur partai politik.
Bahwa ia diajukan oleh partai politik (koalisi) iya, karena memang demikianlah
aturannya. Namun majunya Jokowi, dan kemudian hanya memunculkan Prabowo sebagai
capres dari jalur parpol, membuktikan bagaimana parpol-prapol itu tidak mampu menghasilkan
para elitenya untuk menjadi calon pemimpin nasional yang kredibel dan tingkat
elektabilitasnya tinggi. Dalam hal itu kita bisa menengarai, terjadi persoalan
dalam sistem rekrutmen dan penyiapan pemimpin nasional melalui parpol,
sebagaimana parpol selama ini lebih suka mengambil orang-orang profesional dari
luar daripada internal partai.
Nama-nama tokoh ketua umum atau elite partai itu, tidak
cukup meyakinkan tingkat elektabilitasnya? Oligarki partai dilongsorkan oleh
rakyat yang telah menghukum parpol-parpol itu dengan perolehan suara yang
minim. Megawati, Wiranto, ARB, Hatta Radjasa, Anis Matta, bahkan mungkin para
peserta kovensi presiden dari Partai Demokrat, juga misalnya Mahfud MD atau
Rhoma Irama bagi PKB, semuanya berada di bawah perolehan elektabilitas Jokowi.
Bahwa kemudian ketika Jokowi head to head dengan Prabowo, muncul berbagai penafian (pelecehan)
atas elektabilitas Jokowi, adalah hal wajar. Karena satu sama lain kontestan
dan timses-timnangnya, berupaya untuk mengalahkan kompetitor.
Lebih-lebih ada situasi psikologis yang berbeda antara
Prabowo dan Jokowi. Prabowo mendirikan partai untuk kendaraan politiknya, ia
bahkan dalam berbagai kampanye politik secara jelas “meminta mandat” dari
rakyat. Secara verbal hal itu menunjukkan bagaimana ia ingin mendapatkan itu. Ia
mewakili politikus arus atas. Sangat berbeda dengan Jokowi, sebagai politik
arus bawah, yang memang sama sekali ‘ora mikir’. Karena ia hanyalah ‘petugas
partai’, yang saat itu sedang ditugaskan oleh PDIP menjadi gubernur, dan mayoritas
rakyat DKI Jakarta waktu itu memilihnya.
Ambisi-ambisi Prabowo ini kemudian berakumulasi pada citraan-citraan
yang hendak dibangun. Dalam konteks itu, maka akhirnya pertarungan menginti
pada simbol-simbol. Bahkan simbol-simbol yang paling primitif sekali pun, yang
memparadoksalkan antara Prabowo dan Jokowi. Yakni Prabowo sebagai wakil dari
arus besar, kebagusan, kepantasan, memenuhi syarat, dengan prognosa-prognosa
modernitas, dan bahkan tampan, banyak harta, tegas, berwibawa. Sementara Jokowi
menjadi antithesis dari semua itu, dengan ketidakpantasan, un-developed, un-educated, klemar-klemer, ‘ora papa’, dan
sejenisnya.
Tidak salah jika kemudian yang terjadi adalah polarisasi
kedua pendukungnya. Karena pada akhirnya juga tampak, pendekatan kedua capres
ini berbeda tajam. Prabowo lebih top down,
sementara Jokowi dengan revolusi mental lebih membuka ruang partitipsasi dengan
model bottom-up. Model kepemimpinan
mereka secara diametral memang berbeda. Hingga akhirnya kita juga bisa melihat
keberpihakan pada masing-masing pendukungnya.
Dari kaum intelektual, agama, dan para seniman, terlihat bagaimana
terjadi pengelompokan itu. Meminjam istilah Anies Baswedan, orang baik
berkumpul dengan orang baik. Meski pun ukuran baik-jelek sangat relatif. Tetapi
setidaknya terlihat bagaimana visi dan misi mereka kemudian kelak dijabarkan.
Kepemimpinan Prabowo, berangkat dari dunia militer, jelas
tampak berbeda. Bahkan Prabowo dalam kampanyenya mempertontonkan itu. Sampai
pada pernyataan bahwa akan menggunakan sistem komando, dibutuhkan kepemimpinan diktator
untuk Indonesia, meski dikatakan yang soft (kita tidak tahu bagaimana diktatorial
yang soft itu, apakah selembut softex atau selembut salju).
Konsep Kepemimpinan.
Pada Prabowo, pemimpin adalah sang superhero. Konsep-konsep kepemimpinan masa
lalu, dengan berbagai pernyataannya yang menekankan aspek moralitas, dengan
pidato-pidato normatif. Karena itu juga tampak dalam kampanyenya, muncul
klaim-klaim rakyat yang bodoh, rakyat yang tukang berantem, makannya banyak, tidak
bisa diatur. Maka ia datang untuk memberikan arah, untuk tidak memilih pemimpin
boneka, tidak memilih maling, tidak memilih tukang tipu, dan seterusnya.
Sesuatu yang ditujukan pada kompetitornya, meski secara normatif tentu bisa
juga berlaku padanya.
Berbeda dengan Jokowi yang tidak mempersoalkan siapa Prabowo
(sekali pun yang bersangkutan adalah militer yang diberhentikan dengan hormat
oleh lembaga kedinasannya).
Jokowi terus konsisten pada bagaimana mestinya sistem
ditegakkan, patuh dan disiplin pada konstitusi, dan bagaimana menggerakkan
rakyat untuk bersama-sama dalam proses pembangunan itu. Ia kemudian bicara yang
kecil-kecil, praktis, teknis. Karena sebetulnya persoalan kita adalah bagaimana
semua aturan dilaksanakan, dengan sungguh-sungguh dan konsisten.
Dan performance
Jokowi sudah ditunjukan pada Solo, dan kemudian Jakarta. Banyak disain, konsep
dan acuan pembangunan di Jakarta misalnya, namun sama sekali tidak muncul dalam
implementasinya. Dalam waktu dua tahun, Jokowi mampu menggerakkan Jakarta
menjadi berbeda. Memang belum tuntas, sebagaimana macet dan banjir yang krusial,
tetapi karena keterkaitan dengan daerah lain, dan DKI Jakarta adalah daerah
khusus yang berkait dengan kebijakan pemerintah pusat, tentu akan menjadi
maksimal jika Jokowi menjadi presiden kepala pemerintahan.
Pada sisi ini, kita bisa melihat secara lebih tajam,
mengenai track record masing-masing capres. Bagaimanapun, Prabowo belum pernah teruji
dalam kepemimpinan sipil. Capaiannya dalam karir militer adalah sebagai Danjen
Kopassus, yang kemudian dialihkan ke komandan pendidikan dan latihan, dan
akhirnya diberhentikan dengan hormat. Lepas dari kasus apakah yang menimpanya,
fakta yang tak bisa dibantah Prabowo diberhentikan. Dengan hormat atau tidak, sama
saja akibatnya. Berhenti karirnya. Dan tentu itu sebuah cacat, jika
dibandingkan dengan karir mereka yang tidak diberhentikan.
Sementara itu, kepemimpinan di militer, tentu berbeda dengan
masyarakat sipil. Dalam dunia militer,
pimpinan atau komandan adalah segalanya. Sementara memimpin masyarakat sipil,
jauh lebih rumit. Semua orang boleh punya pikiran, interpretasi dan kemauannya
sendri. Tak ada garis kendali dan garis komando untuk itu.
Memindah atau menertibkan pedagang kakilima dari satu ke
lain tempat, tentu lebih mudah jika dilakukan dengan memaksa mereka, memakai sistem
komando dengan menggerakkan tentara misalnya. Namun dalam masyarakat sipil,
berhasil memindahkan mereka tanpa gejolak sosial, membutuhkan kualitas
kepemimpinan yang berbeda dengan dunia kemiliteran.
Demikian juga ukuran ketegasan dalam kepemimpinan sipil,
ditunjukkan dengan ukuran yang berbeda. Yakni kepatuhannya atau tunduk pada
aturan perundang-undangan dan konstitusi.
Dikatakan demikian, karena ia berada dalam masyarakat sipil, yang kemauannya
beragam.
Jokowi menjadi sangat tegas ketika tetap mempertahankan
lurah perempuan beragama Kristen, meski masyarakat mayoritas muslim mendesaknya
untuk diganti. Jokowi kukuh dan konsisten, karena dalam peraturan perundangan
pemerintah, tak ada yang dilanggarnya. Mendagri sempat membujuk Jokowi untuk mempertimbangkan
itu, tapi Jokowi tetap tegas pada konstitusi, dan akhirnya toh masyarakat
berhenti sendiri, karena kinerja lurah tersebut bisa memenuhi kebutuhan
masyarakatnya.
Demikian juga ketegasannya untuk menghukum anak buah,
merotasi jabatan, menegakkan sistem birokrasi pemerintahan, membebaskan diri
dari KKN, adalah bukti-bukti bagaimana Jokowi tegas dan konsisten. Dan ini yang
kemudian diapresiasi oleh masyarakat luas. Media kemudian menangkapnya, dan
memberinya vibrasi sebagai inspirasi bagi yang lainnya. Jokowi menjadi contoh,
dan Jokowi kemudian berwibawa serta bermakna. Semuanya adalah karena bukti akan
kinerjanya.
Bahwa ada kritik, bahkan juga fitnah, dengan mudah bisa
ditelusur. Hampir semua muncul dari ‘lawan politik’ atau lawan kepentingan yang
tidak sejalan dengan Jokowi. Beberapa tokoh politik nasional, yang menjadi pengritik
Jokowi paling keras, pada dasarnya bukannya tidak pernah berbaik sangka dan
menginginkan kerja sama dengan Jokowi. Golkar, PKS, PPP, PAN, Gerindra, bahkan
Demokrat sendiri, punya harapan bergabung dengan PDIP untuk mengusung Jokowi
sebagai capres. Namun karena konsep kerjasama yang tidak bertemu, membuat
kepentingan kelompok-kelompok itu mentah. Coba saja jika mereka terakomodasi
oleh Jokowi, pasti lain lagi bicaranya.
Itu sama halnya dengan Jusuf Kalla yang dulunya menilai
Jokowi belum pantas jadi presiden, atau Ruhut Sitompul yang mengatakan Indonesia
bakal hancur jika Jokowi jadi presiden. Semuanya bisa berubah karena
kepentingan.
Demokrasi yang Buta
Tuli. Dengan bergabungnya Partai Demokrat, partai milik SBY, pemegang
pemerintahan yang sedang berjalan, justeru semakin menjelaskan polarisasi antara
Prabowo dan Jokowi. Apalagi dengan munculnya pernyataan Titiek Soeharto, bahwa
keluarga Cendana 100% mendukung Prabowo. Pada titik ini, Prabowo yang tampaknya
dominan, dengan berbagai dukungan dari berbagai elemen, hanyalah menjadi
sandaran atau perisai bagi ‘musuh-musuh’ atau elemen-elemen yang tidak
terakomodasi oleh model kepemimpinan Jokowi, yang menawarkan konsep kerjasama
yang berbeda.
Jokowi menjadi common
enemy, dan bahkan kemudian diubah menjadi public enemy. Sementara Prabowo di sisi lain, adalah kendaraan bagi
kepentingan untuk menyingkirkan atau mengalahkan Jokowi.
Prabowo dengan pragmatisme politiknya, tentu akan mengakomodasi
sebesar-besarnya elemen atau kelompok masyarakat, karena dengan itulah ia
merasa bisa mengalahkan elektabilitas Jokowi.
Kalau dari sisi kebijakan politik dan visi-misinya, dengan
jelas Prabowo tidak menunjukkan konsistensinya. Pragmatismenya menunjukkan
bagaimana ia bisa berubah-ubah. Ia bisa membuat manifesto politik untuk
meluruskan agama murni, namun di sisi lain ia akan melindungi kaum minoritas
(yang tentu belum tentu sejalan dengan PPP, PKS, PBB, FPI, yang mendukungnya).
Ia akan menasionalisasi, menolak kerja sama asing, mengritik
kebocoran-kebocoran ekonomi periode SBY, tetapi kemudian ia mengatakan bahwa
akan meneruskan konsep pembangunan SBY, tanpa merinci mana yang mau diteruskan
dan mana yang tidak. Mulanya ia menolak pencabutan subsisi BBM, kenaikan TDL,
namun pelan-pelan bisa memahami hal itu. Di dalam negeri mengatakan anti asing
dan menolak intervensi asing, namun ia mengutus Hashim Djojohadikusumo untuk
melakukan lobi ekonomi ke AS, dan berjanji menjamin serta melindungi bisnis
mereka di Indonesia.
Sementara itu apa yang hendak dilakukan dengan konsep-konsep
ekonomi dan pembangunannya, adalah gabungan pemikiran konsep ekonomi Gerindra
2004 dan konsep ekonomi Hatta Radjasa dalam kabinet SBY, yang oleh Prabowo
dikatakan banyak bocornya itu.
Kita melihat paradoks-paradoks yang membingungkan dalam
koalisi Prabowo. Konsep yang normatif dan pragmatis itu mempunyai potensi sama
dengan tersanderanya SBY oleh koalisi setgab. Sementara kita tahu, latar
belakang ideologis dan kepentingan praktis masing-masing partai di kubu Prabowo,
sangat beragam. Bagaimana Prabowo mengelolanya? Dengan soft dictatorial? Bagaimana dia menjabarkannya, karena ia sendiri
mengaku bukan politikus murni, dan secara terbuka sering menyatakan pusing
berhadapan dengan politikus sipil?
Jokowi relatif mempunyai keleluasaan karena tidak terikat
dengan masa lalu. Bahwa di dalam Jokowi juga terdapat belasan jenderal-jenderal
militer bermasalah, namun tentu mereka adalah hanya sekedar timses atau
pun timnang, beda dengan Prabowo yang adalah
capres itu sendiri.
Jokowi adalah capres dari masyarakat sipil. Bukan bagian
dari masa lalu dalam dunia politik dan kelompok kepentingan elite. Pada sisi
itu, Jokowi akan lebih punya keleluasaan bertindak. Bahkan, karena ia bukan
bagian dari masalah, ia bisa lebih berani memutuskan kekusutan masa lalu yang
dibiarkan oleh SBY. Presiden SBY yang militer, tidak punya keberanian karena ia
adalah juga bagian dari benang kusut, yang dibangun oleh budaya politik Orde
Baru yang sangat Soehartois itu.
Jika Jokowi Presiden, dia akan lebih mampu untuk
menyelesaikan konflik elite militer, termasuk memutuskan kasus-kasus hukum yang
mengambang karena pelanggaran HAM dan sebagainya itu.
Indonesia harus menyadari, bahwa selama ini tersandera oleh
berbagai konflik elite politik dan militer, yang membuatnya tak mampu bergerak
ke mana-mana. Indonesia disandera oleh kelompok-kelompok kepentingan, yang
bermain-main dalam ranah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Negara demokrasi
hanya menjadi alasan, tetapi rakyat terus menerus dibohongi oleh kaum elitenya.
Sejak Orde Baru hingga Orde Reformasi, kita mengetahui elite
pemerintahan, dan kemudian elite politik melalui parlemen, menggerogoti
kemampuan Indonesia menjadi bangsa dan Negara yang paria.
Rakyat selama ini hanya menjadi obyek pembangunan, hanya
menjadi alasan, hanya menjadi alamat dan atas nama. Namun tidak mendapatkan
ruang untuk mengawasi atau mengontrol, dan apalagi berpartisipasi menjadi
subyek pelaku pembangunan itu sendiri.
Indonesia, sudah saatnya meninggalkan konsep kepemimpinan
top-down sebagaimana ditawarkan oleh Prabowo. Sekarang ini, yang lebih
dibutuhkan memang manajer, pemimpin yang yang bisa mengelola, mengakomodasi,
mengatur, bagaimana semua pemain dan potensi bisa digerakkan dalam sebuah
orkestrasi kebersamaan. Pemerintah hanya memberi ruang dan mengawasi. Tidak
hanya memposisikan rakyat untuk terlibat, melainkan bagian penting dari proses
pembangunan itu sendiri.
Oleh karena itu, konsep perlunya revolusi mental menjadi
relevan, karena rakyat Indonesia selama ini dininabobokkan dan diperlakukan sebagai
boneka oleh para elite. Daya saing yang rendah, tidak kompetetif dan tidak
produktif, karena pemerintah Orde Baru membuat mereka lebay, karena sistem pendidikannya, sistem ekonominya, sistem
politiknya membuat rakyat tidak berdaya saing. Rakyat menjadi a-politis,
konsumtif, tidak kreatif, dan tidak memiliki inisiatif.
Revolusi mental tentu penting untuk mengubah cara pandang
kita selama ini. Bahwa kekuatan Negara ini ada pada SDM. Seberapa kaya pun SDA
(sumberdaya alam, yang selalu dipakai pendekatan oleh Prabowo), akan menjadi
hancur lebur dan bocor jika SDM-nya korup, dan sistemnya tidak dibuat serta
dijalankan secara benar.
Pada sisi itulah, Jokowi menjadi lebih relevan.
Meski untuk revolusi mental tantangan terbesarnya akan
mendapat hambatan pada kelompok yang takut kehilangan lahan basah. Dan mereka
akan melakukan penghambatan, agar Jokowi tidak terpilih sebagai presiden.
Namun, hal itu tak akan bisa dibendung, kecuali warga bangsa ini ingin
menenggelamkan bangsa dan negaranya sendiri.
Sementara pada sisi yang lain, kekhawatiran akan kembalinya
Indonesia di masa lalu, dengan mengelompoknya kepentingan lama pada satu kubu
(dari SBY, kekuatan Orde Baru dan Soehartois, Golkar, dan partai serta ormas
yang eksklusif seperti PKS dan FPI), membuat profil dan karakter Prabowo
menjadi kurang familiar. Karena pada dasarnya, kita semakin membutuhkan
keterbukaan dan kebersamaan. Dan keterbukaan serta kebersamaan itu, disinyalir
tak akan terjadi jika berada di tangan pemimpin dengan simbol-simbol militernya
yang seragam, represif, serta hendak menerapkan sistem diktatorial (sekali pun
yang berjenis soft).
Kita membutuhkan kepemimpinan yang toleran, kepemimpinan
yang mendengar, dan hanya dengan begitu ruang partisipasi publik terjadi.
Dengan demikian pertumbuhan perekonomian rakyat secara cepat lebih realistis
digulirkan. Perputarannya akan lebih kencang, untuk segera mengatasi
kesenjangan sosial kita yang makin melebar. Karena ujung persoalan kita selama
ini, pertumbuhan ekonomi yang selalu abai dengan pemerataan.
Pengabaian itu terjadi, karena elite politik kita hanya
melihat rakyat sebagai angka-angka. Kemiskinan hanya sebagai angka-angka, namun
tidak pernah kita dengar dengus nafas dan tangis penderitaan mereka.
Sudah terlalu lama, demokrasi kita berada dalam bisu-tuli.
Penutup. Banyak
sekali alasan mengapa Jokowi dicalonkan sebagai presiden. Di antara sejumlah alasan
itu, masing-masing punya muatan politik yang berlainan satu dengan lainnya.
Namun yang menarik adalah isu apa yang berkembang di balik
pencalonan Jokowi itu sendiri. Yakni, adakah sebab-sebab khusus yang mempengaruhi
situasi sehingga mengakibatkan warga masyarakat (melalui lembaga survey) berani
menampilkan Jokowi sebagai calon presiden, dan kemudian Megawati mengamininya?
Pencalonan Jokowi lebih didasari oleh adanya sejumlah
perubahan penting bahwa Jokowi adalah produk sebuah rezim yang tersisih. Bergabung
dalam partai politik oposisi, memberinya kekuatan moral untuk berhadapan vis a vis dengan rezim yang sedang
berkuasa. Tanpa merasa terbelenggu oleh sikap paternalisme, yang selama ini
melingkupi elite politik dan oligarki partai.
Ketangguhan Jokowi, dalam menghadapi rekayasa dan teror
politik, sudah sangat teruji. Dua kali menang dalam pilwakot Solo, dan satu
kali dalam pilkada DKI Jakarta, menunjukkan bahwa dia memiliki kekuatan psikologis
yang terlatih untuk ditampilkan. Tanpa terlalu banyak membuat kalkulasi
menang-kalah, hingga resiko politik di belakangnya. Tampilnya Jokowi bahkan
menjadi bentuk teror lain. Dalam bahasa lugas, Jokowi memiliki daya ancam yang
kuat mengenai tatanan politik yang ada.
Kronologi perjalanan politiknya sudah membuktikan, Jokowi
sosok politisi yang berani tampil dalam situasi penuh intrik dan pertentangtan.
Kehidupan masyarakat sipil, tentu berbeda dengan masyarakat kolong dalam dunia
militer kita.
Sebagai politisi yang muncul dari lingkar luar politik darah
biru, membuat setidaknya Jokowi relatif jauh lebih bersih dari berbagai isu negatif
berupa korupsi, penyalahgunaan wewenang, kolusi (yang menjadi sisi gelap pada
umumnya birokrat) yang membangkitkan kejenuhan publik.
Jokowi menjadi figur politik yang sinkron dengan tuntutan publik
akan clean governement. Bahwa namanya
sering disebut-sebut media (terutama TV One dan media-media online yang sulit
diverifikasi), terlibat kasus korupsi dan tindak pidana lainnya; semuanya baru
berupa statemen masing-masing pribadi yang lebih suka berbicara di media,
daripada mengajukan tuntutan ke proses-proses hukum.
Resonansi tuntutan publik akan perubahan sudah melampaui tuntutannya
akan publik figur. Dengan demikian, pertimbangan publik akan kapabilitas calon
presiden, tidak lagi diletakkan pada dimensi personal, tetapi lebih pada
dinamika perubahan itu sendiri, searah dengan amanat konstitusi.
Pada sisi ini, pencapresan Jokowi bisa dimengerti bukan dalam konteks berambisi atau tidak,
amanah atau tidak (karena dianggap meninggalkan DKI Jakarta), tidak lagi berada
dalam isu murahan yang dilatarbelakangi tindakan spekulatif. Ada arus gerak intensi
publik yang merindukan sebuah perubahan dalam kepemimpinan nasional.
Pada sisi lain, keberanian masyarakat yang kemudian
diluluskan Megawati, untuk mencalonkan Jokowi, disebabkan oleh tuntutan
demokratisasi. Sebagaimana diketahui, hasil yang diperoleh rakyat dalam proses
demokratisasi selama ini, menyebabkan mereka semakin sadar makna demokrasi.
Mereka kemudian mencoba mengaplikasikannya, dalam segala spektrum kehidupannya.
Hal itu bukan saja menampilkan sikap terbuka, melainkan juga memajukan proses
demokratisasi dalam pemilihan presiden, yang memang dari rakyat, oleh rakyat,
untuk rakyat. Dan itu artinya, presiden adalah manusia biasa saja. Kehebatannya
adalah justeru karena ia mendengar dan bersama rakyat.
Ini juga sebuah tanda-tanda zaman yang biasa saja, sekali
pun menyakitkan bagi mereka yang ingin mempertahankan kekuasaan dan status quo.
Yogyakarta, 1 Juli 2014
Sunardian Wirodono, penulis
perasaanku seperti gelombang yang timbul dan tenggelam ketika membacanya
BalasHapusPak Sunardian boleh sy minta alamat email/nomor telepon.. ridwan.lensa@gmail.com
BalasHapussunardianwirodono@yahoo.com
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus