Dengan sesungguh-sungguhnya, kita, rakyat
Republik Indonesia, sudah menggunakan hak konstitusional kita, memilih
Presiden Republik Indonesia 2014-2019 pada 9 Juli lalu. Tapi kita tahu
apa yang terjadi? Ngitung kertas suara yang tak lebih dari 200 juta pun ternyata ribet. Dan itu mengecewakan.
Siapa yang jadi korban para pemuja suara-suara itu, jika bukan kita semuanya yang telah menggunakan hak pilih? Kita yang sebagian besar belum siap dan tidak dididik para elite abal-abal kita untuk berbeda, menjadi seperti api dalam sekam. Dan persaudaraan kita tercabik-cabik. Kita jadi mudah terluka karena kalah dan menang. Kita butuh waktu menyembuhkan luka hati melihat kekalahan Brazil, dan ada yang masih juga tak percaya Jerman main jujur hingga jadi juara Piala Dunia 2014. Kita marah dan sakit hati ketika kesenangan kita tak terpenuhi, ketika boneka Panda kita terlepas dari pelukan, dan bertekad bulat merebutnya habis-habisan. Kita kemudian merekayasa, kasak-kusuk, mengancam-ancam, dan tega memfitnah saudara sendiri.
Demokrasi ini benar-benar memerihkan, dan mencapekkan. Sampai ada teman atau saudara kita yang mau-maunya dijadikan alat provokasi, diprovokasi atau terprovokasi dan kemudian memprovokasi, dan terpaksa berbenturan pendapat dengan kita. Hingga kata-katanya berdarah-darah, penuh caci-maki, hilang akal, gelap mata, gelap hati.
Itu semua tentu bagian dari demokrasi yang buruk di masa lalu, yang membuat kita apolitis tapi kurang mampu bernegosiasi dan berdiskusi. Sehingga wacananya asal debat dan babat karena beda pilihan, padahal belum tentu mereka tahu yang dikatakan dan diyakininya. Dan golongan yang demikian ini, adalah makanan empuk politikus busuk, yang jalan kekuasaannya hanya melalui intrik dan adu-domba. Dan kita seperti keramik yang indah, enak dilihat, halus diraba, namun mudah retak, dan tak mudah merekatkannya kembali.
Politik kekuasaan memang kejam. Juga remeh. Mereka yang tidak siap kalah, sesungguhnya ialah mereka yang tidak siap menang. Dan apa yang kita dapatkan?
Namun, mereka yang kaya, mereka yang cerdas, mereka yang beruntung, mereka yang terberkati, ialah mereka yang mampu mengambil segala hikmah dari perjalanan yang meletihkan ini. Hanya dengan demikian, kita mampu mengolah keburukan menjadi ilmu, untuk kebaikan masa depan.
Dengan massifnya pemberitaan, dan makin mudahnya akses informasi sehingga muncul pressure group yang gegap-gempita, kita optimis semuanya berjalan normal. Kita semuanya sudah tahu apa hasil akhirnya, sekiranya semua berjalan normal di KPU pada 22 Juli 2014. Dan sebagaimana pemilu yang sudah-sudah, riak-riak itu toh bisa teratasi. Indonesia tetap tegak, dan kita bukan bangsa yang bodoh untuk mengorbankannya bagi sesuatu yang tidak pada tempatnya.
Rakyat selalu punya kontrol, untuk kembali ke jalan yang benar, sekali pun dengan banyak kompromi. Tapi, itu cara lebih genuine menuju kesempurnaan kelak. Walaupun tentu membutuhkan ketekunan dan kesabaran luar biasa.
Rakyat adalah kita, jutaan tangan yang mengayun dalam kerja, di bumi di tanah tercinta, kata sang penyair Hartojo Andangdjaja (1930 - 1991). Rakyat adalah jutaan tangan mengayun bersama, membuka hutan-hutan lalang jadi ladang-ladang berbunga, mengepulkan asap dari cerobong pabrik-pabrik di kota, menaikkan layar menebar jala, meraba kelam di tambang logam dan batubara. Rakyat ialah tangan yang bekerja. Rakyat ialah suara beraneka. Rakyat ialah kita, puisi kaya makna di wajah semesta. Darah di tubuh bangsa. Debar sepanjang masa.
Hidup adalah puisi kaya makna. Rakyat, seperti biasanya sabar, karena itu, jangan hilang kesabaran untuk menjadi bagian dari perubahan, dan mendorong perubahan itu sendiri terjadi. Karena hanya rakyat yang berdaulat yang akhirnya menentukan merah-putihnya negeri ini, bukan siapa presidennya.
Salam jutaan jari. Jika pun berbeda kita tetap bersaudara. Kalau pun sensi, pastilah itu hanya sementara. Meski kadang agak menjengkelkan. Tapi pasti karena kita kurang latihan. Dan ini latihan yang menarik bukan? Lima tahun lagi, semoga lebih baik. Selamat, dan teruslah, berlatih!
Siapa yang jadi korban para pemuja suara-suara itu, jika bukan kita semuanya yang telah menggunakan hak pilih? Kita yang sebagian besar belum siap dan tidak dididik para elite abal-abal kita untuk berbeda, menjadi seperti api dalam sekam. Dan persaudaraan kita tercabik-cabik. Kita jadi mudah terluka karena kalah dan menang. Kita butuh waktu menyembuhkan luka hati melihat kekalahan Brazil, dan ada yang masih juga tak percaya Jerman main jujur hingga jadi juara Piala Dunia 2014. Kita marah dan sakit hati ketika kesenangan kita tak terpenuhi, ketika boneka Panda kita terlepas dari pelukan, dan bertekad bulat merebutnya habis-habisan. Kita kemudian merekayasa, kasak-kusuk, mengancam-ancam, dan tega memfitnah saudara sendiri.
Demokrasi ini benar-benar memerihkan, dan mencapekkan. Sampai ada teman atau saudara kita yang mau-maunya dijadikan alat provokasi, diprovokasi atau terprovokasi dan kemudian memprovokasi, dan terpaksa berbenturan pendapat dengan kita. Hingga kata-katanya berdarah-darah, penuh caci-maki, hilang akal, gelap mata, gelap hati.
Itu semua tentu bagian dari demokrasi yang buruk di masa lalu, yang membuat kita apolitis tapi kurang mampu bernegosiasi dan berdiskusi. Sehingga wacananya asal debat dan babat karena beda pilihan, padahal belum tentu mereka tahu yang dikatakan dan diyakininya. Dan golongan yang demikian ini, adalah makanan empuk politikus busuk, yang jalan kekuasaannya hanya melalui intrik dan adu-domba. Dan kita seperti keramik yang indah, enak dilihat, halus diraba, namun mudah retak, dan tak mudah merekatkannya kembali.
Politik kekuasaan memang kejam. Juga remeh. Mereka yang tidak siap kalah, sesungguhnya ialah mereka yang tidak siap menang. Dan apa yang kita dapatkan?
Namun, mereka yang kaya, mereka yang cerdas, mereka yang beruntung, mereka yang terberkati, ialah mereka yang mampu mengambil segala hikmah dari perjalanan yang meletihkan ini. Hanya dengan demikian, kita mampu mengolah keburukan menjadi ilmu, untuk kebaikan masa depan.
Dengan massifnya pemberitaan, dan makin mudahnya akses informasi sehingga muncul pressure group yang gegap-gempita, kita optimis semuanya berjalan normal. Kita semuanya sudah tahu apa hasil akhirnya, sekiranya semua berjalan normal di KPU pada 22 Juli 2014. Dan sebagaimana pemilu yang sudah-sudah, riak-riak itu toh bisa teratasi. Indonesia tetap tegak, dan kita bukan bangsa yang bodoh untuk mengorbankannya bagi sesuatu yang tidak pada tempatnya.
Rakyat selalu punya kontrol, untuk kembali ke jalan yang benar, sekali pun dengan banyak kompromi. Tapi, itu cara lebih genuine menuju kesempurnaan kelak. Walaupun tentu membutuhkan ketekunan dan kesabaran luar biasa.
Rakyat adalah kita, jutaan tangan yang mengayun dalam kerja, di bumi di tanah tercinta, kata sang penyair Hartojo Andangdjaja (1930 - 1991). Rakyat adalah jutaan tangan mengayun bersama, membuka hutan-hutan lalang jadi ladang-ladang berbunga, mengepulkan asap dari cerobong pabrik-pabrik di kota, menaikkan layar menebar jala, meraba kelam di tambang logam dan batubara. Rakyat ialah tangan yang bekerja. Rakyat ialah suara beraneka. Rakyat ialah kita, puisi kaya makna di wajah semesta. Darah di tubuh bangsa. Debar sepanjang masa.
Hidup adalah puisi kaya makna. Rakyat, seperti biasanya sabar, karena itu, jangan hilang kesabaran untuk menjadi bagian dari perubahan, dan mendorong perubahan itu sendiri terjadi. Karena hanya rakyat yang berdaulat yang akhirnya menentukan merah-putihnya negeri ini, bukan siapa presidennya.
Salam jutaan jari. Jika pun berbeda kita tetap bersaudara. Kalau pun sensi, pastilah itu hanya sementara. Meski kadang agak menjengkelkan. Tapi pasti karena kita kurang latihan. Dan ini latihan yang menarik bukan? Lima tahun lagi, semoga lebih baik. Selamat, dan teruslah, berlatih!
Kalau beda jangan sensi, jikalau sensipun hanya sementara. Setuju banget. Salam usus 12 jari.
BalasHapus