PURA-PURA
TAHU DEMOKRASI | Pura-pura tahu demokrasi, sejatinya adalah tidak tahu
demokrasi. Demokrasi adalah demokrasi, tidak dengan pura-pura. Siapa yang
berpura-pura, bisa dipastikan tidak tahu demokrasi, atau setidaknya
demokrasinya tidak tulus, tidak jujur, tidak transparan. Bagaimana rasa
demokrasi seperti itu?
Tentu saja
tidak enak. Pilpres Indonesia 2014 sebenarnya sudah selesai. Sudah diketahui
siapa pemenangnya. Tetapi kita semua pura-pura tidak mengetahuinya, atau
pura-pura sabar, agar terlihat konstitusional menunggu 22 Juli 2014. Dan
tiba-tiba Ketua KPU sendiri ngomong aneh, bahwa keputusan (penghitungan suara
di) KPU belum tentu berarti final. Apa pula maksudnya? Itulah demokrasi
pura-pura, demokrasi semu.
Kalau
demikian, ngapain kita mengadakan komisi Negara bernama KPU, penyenggara sah
pemilihan umum? Apa takut karena digertak oleh Burhanuddin Muhtadi?
Sampai kapan
kita berpura-pura menghabiskan energi untuk ini semua? Dan menjadi aneh, ketika
komisi Negara yang bernama KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) melarang televisi
menayangkan hasil quickcount beberapa lembaga survey. Kurang kerjaan, atau
kurang cerdas? Apakah mereka bisa menghentikan kehendak publik untuk terus
memproduksi hasil quickcount itu? Kenapa tiba-tiba sumber kesalahan, dan kekalahan
mungkin, justru ditimpakan pada lembaga survey?
Apa yang
dilakukan oleh KPI, sama dengan yang dilakukan oleh teman-teman kita yang bijak-bestari:
Jangan ngomong politik terus deh, hidup kita bukan hanya untuk itu. Apa kalau
jagoanmu terpilih, hidupmu akan nikmat? Berhentilah ngoceh politik, dan uruslah
dirimu sendiri. Dst. Dst.
Abaikan
himbauan semacam itu, dan kita bebas mengekspresikan diri kita. Negara juga tak
bisa melarang hadirnya media social seperti fesbuk ini. Himbauan itu biasanya
disampaikan oleh mereka yang sudah tahu, bahwa jagoannya kalah. Mereka berusaha
netral dan sok bijaksana. Kadang juga, orang seperti itu sebelum hasil pilpres
muncul, biasanya juga pura-pura netral, golput alim, menunggu wangsit, tetapi
terus mencermati status orang lain, dan memunculkan nasehat-nasehat bijak
bagaimana berdemokrasi itu. Tak mau ikut arus, dan mau bikin arus sendiri,
tetapi jadinya persis seperti orangtua yang kesepian.
Inilah
demokrasi semu kita. Setelah kemarin 9 Juli suara rakyat sudah diberikan dan
lagi-lagi kini dikhianati para elite, upaya-upaya untuk menjaga dan mendorong
demokrasi yang sehat dan terkontrol juga coba diciderai. Lembaga survey
dilarang berpartisipasi, dan itu artinya memutus akses public untuk turut
mengontrol jalannya demokrasi itu sendiri.
Seolah
pilpres itu sesuatu yang wingit, seperti jaman baheula orang mencari seorang
raja. Karena tak punya ukuran jelas, kemudian pakai legitimasi langit yang
misterius. Bahwa harus dapat wahyu-makutharama, bisikan ghaib, dan hal-hal
mistik lainnya. Sampai kita hidup di jaman teknologi gadeget ini, preferensinya
masih satria piningit. Padahal, pilpres ya peristiwa biasa saja, regulasi
kepemimpinan dalam alam demokrasi. Intinya, siapa yang dapat suara lebih banyak
itu yang menang.
Jika lembaga
survey salah, atau bohong atau apalah dengan quickcount-nya, adakan penghakiman
dan penghukuman untuk itu, dengan menyuruh mereka mempertanggungjawabkan
pekerjaannya, bukan dengan menyingkirkannya.
Bahwa
Burhanuddin Muhtadi terlihat jumawa, tegur dia sesuai standar etika kalian, tetapi
jangan kemudian menisbikan lembaga survey sebagai pengganggu demokrasi (padahal
yang terganggu sebenarnya siapa? Demokrasi atau kepentinganmu?).
Tentu saja
kita tahu, KPU adalah official-count (bukan real-count) untuk hasil pemilu.
Sebagaimana dikatakan ketua KPU sendiri, hasil penghitungan KPU tidak bersifat
final. Tetapi karena ia yang memiliki
otoritas sebagai penyelenggara Pemilu, maka dialah yang berhak memutuskan hasil
penghitungan suara.
Sementara
coba saja lihat, banyak postingan di media menyebut-nyebut real-count (apapun
metodenya), benarkah real? Yang hendak mereka bangun berdasar persepsi
masing-masing, yang semuanya juga belum tentu benar-benar real. Bahkan ada yang
realitas imaginer atau realitas sotoshop. Itulah demokrasi yang kebanyakan
daging sapi, maunya nyotoshop terus.
Negeri yang
aneh. Yang rumors, klenik, nyotoshop (bahkan situs yang dikelola oleh yang
mengaku sebagai Nabi Muhammad Baru –seperti voaislam--) dipercaya, tetapi yang
bisa dinalar dengan logika biasa malah tidak dipercaya. Bener-bener tidak
logis.
Banyak orang
tidak tahu apa itu quickcount, tetapi sok tahu, menyalah-nyalahkan, dan
menghakimi. Bahkan berupaya menyingkirkan lembaga survey untuk terlibat dalam
proses demokrasi ini. Ketika kekuatan sipil menggeliat dalam proses
demokratisasi, justeru ancamannya adalah ketidakpahaman kita tentang demokrasi.
Atau, karena ketidakdewasaan kita dalam berpolitik?
Pura-pura
demokrasi adalah sama arti dengan tidak tahu. Dan kemudian jadinya sok tahu.
Dan pandangannya menghakimi. Padahal
demokrasi itu yang mendengarkan, kehendak untuk terus belajar.
PENGANTAR | Quickcount,
pada tujuan dan sejarah, dilakukan untuk menekan manipulasi suara yang
dimungkinkan dilakukan oleh elite kekuasaan dalam setiap penyelenggaraan
pemilu. Elite kekuasaan, biasanya tidak percaya pada quickcount, terutama jika
hasilnya mengganggu kepentingan dan mereduksi posisinya.
Baru dalam 10 tahun kita mengenal adanya quickcount, elite politik kita
sudah menyingkirkannya. Ketika mayoritas lembaga survey dalam Pilpres 2014
memenangkan Jokowi-JK, pasangan Prabowo-Hatta dalam waktu tak lama kemudian,
mengklaim bahwa dirinya juga meyakini bahwa kemenangan ada pada kubunya, karena
ada beberapa lembaga survey yang memenangkannya.
Sontak, dengan cepat, legitimasi lembaga survey rontok. Kemenangan
Jokowi-JK pun tertunda. Dan ruang diskusi, dibuka kembali, sembari menunggu
perhitungan manual oleh KPU, sebagai penyelenggara pemilihan umum. Namun tak
urung, persoalan deligitimasi ini tak hanya meruyak pada lembaga survey,
melainkan juga pada KPU.
Situasi ini membuka ruang chaostic yang seolah disengaja dilakukan oleh
mereka-mereka yang tidak siap untuk kalah, dan bahkan mungkin juga tidak siap
untuk menang.
Dan sayangnya, bangsa Indonesia bangsa yang mudah diombang-ambingkan oleh
kekuasaan.
Partisipasi Publik Menekan
Elit. Pemilihan presiden secara langsung pada 2004, berjalan dalam situasi
yang relatif lebih demokratis dibanding masa-masa Orde Baru. Pada saat itu pula,
demokrasi Indonesia mengenal apa yang disebut sebagai ‘quickcount’ atau
penghitungan cepat.
Kegiatan
hitung cepat merupakan sistem pemantauan hasil pemilu, yang dapat mendorong
hasil pemilu yang jujur dan relatif bersih. Dengan metode ini, hasil pemilu
dapat dilihat pada hari itu juga setelah penghitungan suara di TPS usai.
Untuk melakukan
semua itu, tentu diperlukan ilmu pengetahuan yang bisa dipertanggungjawabkan secara
akademis. Bukan sekedar perkiraan atau dugaan, melainkan membutuhkan pengamatan
lapangan yang tidak mudah.
Kita
mengetahui dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia, sebuah Negara kepulauan
yang satu-sama lain bukan hanya dipisahkan lautan, melainkan juga kondisi geografis
serta infrastruktur sangat beragam.
Litbang
Kompas misalnya, yang terlibat dalam quickcount Pilpres 2014, mengerahkan lebih
dari 2.500 orang sebagai surveyor, interviewer, dan sukarelawan. Tersebar pada
hampir separoh jumlah seluruh TPS di seluruh Indonesia. Dalam menjalankan
tugasnya, mereka kadang harus melintasi kampung-kampung, hutan, menyeberangi
sungai, naik-turun hamparan bukit-bukit savanna, untuk mencapai TPS desa
terpencil. Perjalanan berjam-jam yang tidak mudah, medan berat, dan terkadang
berbahaya, harus mereka jalani.
Hambatan tak
hanya di perjalanan. Sampai di TPS tujuan, mereka pun harus mendapatkan izin
dari kelurahan hingga RT, mencari akomodasi, dan tentu saja mencari spot sinyal
telepon genggam yang terkuat. Karena memang "jantung" proses hitung
cepat adalah kecepatan pengiriman data hasil pemungutan suara di TPS, yang
dikirim surveyor di lapangan kepada pusat data. Data yang terkirim itu,
kemudian dikonfirmasi validitasnya melalui proses cek dan ricek ke petugas atau
surveyor, yang bertugas di TPS.
Survei
quickcount Puslitbang RRI, menjadi salah satu yang paling kredibel pada Pileg dan
Pilpres 2014 kali ini. Bahkan Presiden SBY mengumbar pujian keakuratan hasil
quickcount Puslitbang RRI ini.
Apa
yang mereka lakukan, tak jauh beda engan para relawan Litbang Kompas. Beberapa
sukarelawan yang tergabung dalam survey RRI ini, juga mesti menembus desa
terpencil di Papua, Nias, NTT, Cianjur, hingga di Banjarnegara, Entikong, Aceh,
dan lain sebagainya.
Jika
Litbang Kompas banyak menggunakan tenaga mahasiswa, sukarelawan RRI jauh lebih
beragam karena juga menyertakan pelajar SMA, karyawan swasta, dan bahkan ibu
rumah tangga. Quickcount Puslitbang RRI dilakukan secara mandiri oleh RRI, mengerahkan
73 korlap dan 2.000 relawan.
Para petugas lapangan itu tidak hanya mencatat hasil perolehan suara di TPS, dan kemudian melaporkan atau meng-sms-kan begitu saja. Tetapi mereka juga harus melakukan aktivitas sebagai surveyor dan interviewer.
Para petugas lapangan itu tidak hanya mencatat hasil perolehan suara di TPS, dan kemudian melaporkan atau meng-sms-kan begitu saja. Tetapi mereka juga harus melakukan aktivitas sebagai surveyor dan interviewer.
Pendataan
pemilih dan pilihannya, akan menjadi bahan analisi dalam sistem tabulasi dan metodologi
yang diterapkan dengan kaidah-kaidah ilmu statistika (selengkapnya baca: “APA BENAR KITA HARUS MENUNGGU KPU SAJA? Menyoal
Real Count, Official Count, dan Quick Count”, oleh Merlyna Lim., dan tulisan Burhanuddin Muhtadi di kolom Majalah TEMPO tentang 'Hitung Cepat dan Tepat' pada bagian bawah
artikel ini).
Untuk apa
semua itu dilakukan? Ialah untuk mereduksi kemungkinan manipulasi data yang
akan diolah KPU. Rentang waktu dan jarak tempu kartu suara, dari dicoblos
hingga di rekapitulasi KPU di Jakarta, rentan dengan berbagai pelanggaran dan manipulasi.
Quickcount adalah bentuk partisipasi public untuk mereduksi, atau bahkan
mengunci agar manipulasi suara tidak terjadi.
Elite Politik Dirugikan. Maka, jika tiba-tiba para elite
politik menafikan hasil quickcount, harap dilihat seberapa kepentingannya
dirugikan. Semakin dirugikan kepentingannya, semakin tinggi ketidakpercayaannya
pada quickcount.
Dan
kita melihat, bagaimana ada elite politik, yang sebelumnya juga akademisi,
menganggap bahwa RRI telah melanggar aturan dan tidak kredible dalam survey
pilpres ini. Tanpa tahu bahwa RRI mempunyai litbang yang secara sah terdaftar
di KPU untuk ikut dalam quickcount Pemilu 2014 ini.
Demikian
juga Prabowo Subianto misalnya, mengaku bahwa 16 lembaga survey kredible
memenangkannya, namun senyampang dengan itu juga ia menyatakan banyak lembaga
survey bayaran yang hanya menyenangkan pemesannya. Tapi, sayangnya, penilaian
itu tidak disertai penjelasan, lembaga survey mana yang dimaksudkan.
Kredibilitas, bagi elite politik, lebih tergantung pada dirinya berkenan atau
tidak.
Padahal
quickcount semula diadakan adalah upaya untuk mendorong demokratisasi dalam
pemilu bisa dijalankan lebih jujur, menekan angka kecurangan, dan melibatkan
masyarakat dalam pengawasan. Hal itu perlu dilakukan karena jangka waktu antara
saat pencoblosan, penghitungan suara, dan terutama pengesahan perolehan suara
secara terpusat membutuhkan rentang yang panjang dan rawan manipulasi. Apalagi
mengingat kondisi geografis masing-masing daerah.
Sementara
dari sejak pertama penyelenggaraan quickcount di Indonesia, selama ini bisa
dipertanggungjawabkan dan memiliki reputasi baik. Penghitungan cepat dalam
Pemilu 2004 dan 2009 tidak pernah meleset jauh dari penghitungan manual.
Berbagai lembaga survey melangsungkan pekerjaannya dengan tanpa pretensi, dan
bisa dipertanggungjawabkan secara akademis sebagai sebuah kerja scientific, keilmuan.
Tapi,
kenapa Pemilu 2014 ini ihwal quickcount dipermasalahkan? Karena tiba-tiba, ada
dua kelompok survey yang menghasilkan angka berbeda. Sekelompok lembaga survey
“memenangkan” capres yang satu, sementara sekelompok lembaga survey lainnya
menunjukkan hasil sebaliknya. Dan kedua belah pihak capres, sama-sama mengklaim
kemenangan mereka.
Sudah
barang tentu hal itu memunculkan kebingungan. Dan tentu saja tidak logis,
benarkah ada dua kebenaran yang ditunjukkan, dengan munculnya dua presiden
dalam sebuah kompetisi demokrasi?
Pada
sisi itu, kita akan sampai pada persoalan esensi kontestasi, yang satu dan
lainnya saling meniadakan. Dan ketika politik dilupakan esensinya
sebagai tiap usaha, ikhtiar, dan aksi perjuangan untuk mengusahakan
kesejahteraan bersama (dalam sebuah tata sosial agar hidup bersama sesama warga
negara menjadi lebih baik), dia berubah menjadi pertikaian. Rebut kekuasaan,
dan adu kepentingan, untuk memenangkan hasrat berkuasa. Baik bagi individu atau
pun kelompoknya, dengan menghalalkan semua cara.
Homo homini lupus, dalam istilah Thomas Hobbes, manusia
merupakan serigala bagi sesama manusia yang lainnya, sudah dilampaui. Insting
atau hasrat mempertahankan hidup, sudah dinalarkan dan dikuasai dengan tata
konsensus untuk hidup bersama sebagai warga beradab.
Ranah etika menjadi medan dan wilayah diskresi. Keputusan
untuk memilih hidup atau mati, sikap mau memilih nilai-nilai atau yang menopang
dan merawat kehidupan atau penghancuran, adalah pemilihan etis.
Revolusi
Teknologi Komunikasi. Di sinilah teori-teori sosial dan etika bernegara
mensyaratkan harus ada komunikasi terbuka untuk dua hal. Pertama, agar tiap
orang tulus menyatakan kepentingannya pribadi dan nilainya. Kedua, dibuat
konsensus untuk menyatukan perbedaan kepentingan dengan menaruh ke nomor dua
lebih dahulu kepentingan diri sendiri dan menyepakati kepentingan bersama (common interest) untuk mulai menata dan
mengatur hidup bersama itu.
Etos kebersamaan
dalam budaya dan tradisi
pertanian, perlahan tergeser, dalam budaya bahari yang lebih egaliter, hingga
kemudian ketika berada dalam tahapan membangun komunitas-komunitas di kampung
atau tempat mukim kota kecil atau polis, harkat manusia dihormati dan dijaga
melalui musyawarah dan mufakat . Namun semuanya itu mengalami pergeseran
penting dan genting, ketika politik tanpa etika menjadi gejala tajam dalam
beberapa fenomena ini. Revolusi teknologi informasi yang sadar ataupun bawah
sadar dipersepsi, mengacaukan dunia riil nyata indrawi dan dunia maya
konstruksi IT yang serba digitalisasi.
Kesadaran distingtif rasional yang awalnya mampu membedakan
antara yang pribadi dan yang publik, menjadi tiada dan dilanggar. Kita masuk
dalam ruang publik yang ditonton semua orang tanpa membedakan lagi mana yang
rahasia dan mana yang konfidensial.
Karakter media interaksi manusia modern, sebagaimana sosial
media memberikan ruang yang leluasa untuk meluncaskan tabiat turunan bernama
dendam itu. Gejala saling menghancurkan
ini menghalalkan semua cara. Semua hasrat death
culture dalam bumi hangus di sejarah kelam bangsa ini memberi bukti fakta
pada kita.
Dan kini modal-modal kultural dan sosial ini dihantam lebih
telak dengan perilaku berpolitik tanpa etika. Apakah bisa keluar mengatasinya
dengan seruan moralitas? Apakah jalan keluarnya bisa hanya dengan instruksi-instruksi?
Apakah jalan keluarnya cukup dengan menyampaikan etika kenegarawanan secara
normatif, seperti dipidatokan SBY pada dua capres itu?
Situasi kritis itu bukan lagi masalah structural atau pun
kultural, melainkan telah merambah ke krisis karakter. Politik kemudian menjadi
hanya persoalan kekuasaan. Ia bukan lagi dipakai sebagai alat kekuasaan untuk
bekerja, melainkan politik bekerja untuk kekuasaan.
Dalam situasi itu, kekuasaan cenderung tidak mau dikontrol, dan
akan melepaskan diri dari berbagai aksesoris yang menjebaknya. Demokrasi
kemudian coba dicopot dan dipisahkan dari public. Partisipasi dinilai menjadi
kontra-produktif dan membelenggu politik elite yang cenderung absolut.
Kekuasaan adalah kekuasaan, bersifat mutlak. Oleh karena itu, jika kekuasaan
diawasi, maka itu bukan kekuasaan.
Dan Soeharto dengan Orde Baru mengajari kepolitikan
Indonesia hanya menjadi milik kaum elite dan oligarki partai. Rakyat dijauhkan
dari persoalan politik. Hingga ketika tiba-tiba dicemplungkan dalam situasi
kebebasan, mereka pun menjadi binatang liar politik. Karena memang tidak tahu,
apa itu politik ketika berhadapan dengan orang atau pihak lain. Dalam bangsa
terbelakang, politik hanya dimengerti sebagai bagian kepentingan diri-sendiri,
tetapi bukan untuk orang lain sebagai pihak lain.
Yang dinamakan kebenaran dan ketidakbenaran, sangat
ditentukan oleh sudut pandang dan kepentingan. Orde Baru telah dengan akutnya
mendidik anak bangsa ini dengan pandangan-pandangan kemutlakannya. Padahal,
kebenaran adalah kebenaran. Penentunya bukan yang berkuasa atau dikuasai, namun
pemerintahan otoritarian selalu mendaku penguasalah pemilik tunggal kebenaran.
Fungsi
Quickcount. Elite politik dan penguasa, selalu mencoba melakukan
mistifikasi politik dalam rekrutmen kepemimpinan. Di situ informasi dan
disinformasi menjadi tidak jelas, karena demokrasi dicoba dilepas dari akal
sehat, dan bahkan tanpa nalar. Pemilihan presiden yang merupakan regulasi
pergantian kepemimpinan biasa, dilebih-lebihkan dengan mitologisasi dan
mistifikasi, seolah seperti memilih nabi atau manusia suci, yang hanya Tuhan
yang tahu.
Padahal pemilihan umum, seperti pemilihan legislative dan
pemilihan presiden, adalah aktivitas duniawi mengenai orang memilih yang
disukai dan tidak disukainya. Siapa yang mendapat suara lebih banyak, itulah
yang menang atau terpilih. Esensi demokrasi pada suara terbanyak itu (yang
kemudian diasumsikan sebagai ‘suara rakyat suara tuhan’), pada sisi lain yang
hendak dimanipulasi. Proses penghitungan menjadi pertaruhan dan karenanya rawan
kecurangan, apalagi jika hanya menjadi urusan mereka semata.
Fungsi
quickcount dalam kaitan ini adalah untuk menekan sudut pandang penguasa, yang
sering bias karena factor kepentingan kekuasaan yang tidak mau diganggu. Quiccount
pada dasarnya memberikan legitimasi, bahwa penghitungan suara berlangsung
jurdil, atau menjadi control, sekiranya proses penghitungan manual di KPU
berlangsung curang.
Pada
sisi itu akan terbuka ruang dialog.
Jika hasil KPU dan quickcount tidak berbeda signifikan, dapat dipastikan bahwa penghitungan suara KPU sudah berlangsung dengan jujur. Tapi jika hasil KPU berbeda dengan hasil quickcount, menjadi wajar mempersoalkan hasil KPU, mengapa hasilnya bisa berbeda.
Jika hasil KPU dan quickcount tidak berbeda signifikan, dapat dipastikan bahwa penghitungan suara KPU sudah berlangsung dengan jujur. Tapi jika hasil KPU berbeda dengan hasil quickcount, menjadi wajar mempersoalkan hasil KPU, mengapa hasilnya bisa berbeda.
Kaum
intelektual dan aktivis, yang ‘pernah’ hidup di masa Orde Baru, tentu faham
betul bahwa yang resmi belum tentu benar. Sementara itu, justeru pada saat ini,
terjadi upaya yang sadar, untuk sengaja mendelegitimasi lembaga survei maupun
hasil quickcount. Dan dengan bijaknya kemudian menyilakan kita menunggu hasil
perhitungan resmi KPU pada 22 Juli.
Pada
kenyataannya, belum pernah ada perbedaan significan, hasil quickcount dengan
hitung manual KPU. Setidaknya, itu yang terjadi sejawak awal pilpres langsung
oleh rakyat pada Pemilu 2004.
Sementara
ini, dengan adanya hasil suara yang berbeda antara satu dan lain lembaga survey,
dengan sendirinya mendelegitimasi lembaga survey. Hasilnya, salah seorang
capres bisa menunda kemenangan pihak lain, dan pihak yang kalah bisa membuka
ruang perjuangan ketika perolehan suara itu dihitung secara manual.
Di
situ pendelegitimasian bukan soal percaya atau tidak percaya, namun lebih upaya
menyingkirkan lembaga survey untuk terlibat melakukan partisipasi dan kontroling.
Kekuasaan biarlah tetap hanya menjadi urusan orang penting semata.
Padahal
penyingkirkan partitipasi dan pengawasan publik itu, apalagi hanya untuk membenarkan seseorang jadi
Presiden, hanya akan merusak perkembangan demokrasi Indonesia. Menghilangkan
kepercayaan rakyat kepada lembaga quickcount, yang menyumbang sejarah perkembangan
demokrasi Indonesia, membuat demokrasi kita berjalan mundur.
Semestinya,
terutama kaum cerdik-pandai, janganlah sampai loyalitas politik membuat kita menolak
kebenaran dan obyektivitas ilmiah. Termasuk bagaimana KPI (Komisi Penyiaran
Indonesia) tiba-tiba merasa sok pahlawan, untuk menyelamatkan bangsa dan
Negara, agar tayangan hasil quickcount dihentikan dari media publik. Kenapa KPI
sangat sensitive soal ini, tapi tidak untuk siaran-siaran seperti YKS, OVJ,
Bukan Empat Mata atau Fesbuker (yang kalau pun ada tindakan karena public sudah
menekannya begitu rupa)?
Padahal
penayangan hasil quickcount itu sesungguhnya menjadi penting, karena bisa
menjadi alat control dan perbandingan.
Politik Tanpa Perbandingan. Ketidakpercayaan publik, yang dibangun
oleh sentiment elite politiknya kepada lembaga survey (penyelenggara quickcount),
adalah gambaran betapa biasnya nafsu kuasa mereka.
Mereka
tidak tahu bagaimana angka-angka presentase dalam quickcount itu dihasilkan
dari sebuah proses kerja yang luar biasa? Bahkan, berpuluh tahun lamanya para
ilmuwan bekerja dengan statistik. Dokter, akuntan, sosiolog, crime scientist,
ekonom, dan lain-lain, semua bekerja dengan statistik. Hingga akhirnya lahir
teori mengenai pengambilan sampel, yaitu agar sampel yang diambil bisa mewakili
populasinya.
Sampling
dasar bagi science amat penting. Setiap kali ada penemuan ilmu baru, para ahli
selalu menguji kebenaran. Selain menguji hasil, yang diuji adalah
metodologinya. Bahkan boleh direplikasi untuk melihat konsistensinya pada
sampel yang berbeda. Para ahli juga
menguji metode pengajuan pertanyaan, pengumpulan data, pengolahan data dan seterusnya.
Statistik,
termasuk quickcount basisnya adalah science. Tentu saja kecuali yang abal-abal,
dan sesungguhnya bisa segera ketahuan. Dalam
statistik kita juga melakukan uji reliabilitas dan validitas, sehingga
dijauhkan dari hasil yang bias. Kenapa bukan itu yang dimasalahkan, secara kritis,
melainkan malah ditiadakan saja quickcount itu karena dianggap bisa memicu
konflik horizontal? Omong kosong politik kita yang tak mau adanya perbandingan.
Penghitungan
cepat atau pun penghitungan manual, semuanya sama punya potensi bias. Bahkan
upaya menamakan hitung manual sebagai ‘real count’ adalah upaya pengelabuan.
Karena apakah real count itu memberikan kenyataan? Tidak selalu.
Di tangan
orang bias, statistik bisa dimanipulasi. Disitu ada kepentingan, baik karena sikap
tidak ilmiah, tidak objectif, dan mungkin faktor uang. Maka menguji sistem adalah
penting, memeriksa sikap etis adalah mutlak. Namun bagaimana mengukur sikap
etis itu? Sebagaimana memeriksa niat juga sangat penting, tapi bagaimana
caranya? Sangat tidak mudah. Tapi kita bukan orang bodoh.
Inilah
sikap kritis dan scientific yang harus dibangun bangsa ini, dalam dunia
kepolitikan. Agar tak menjadi bangsa yang bodoh, rasis, dan mudah dimanipulasi kaum elite, kelompok
kepentingan, kaum oligarki partai, yang selalu mengatakan politik itu sesuatu
yang suci mulia namun mereka praktikkan dengan cara-cara kotor.
Pada
sisi itu, semakin banyak lembaga survey melakukan quickcount, akan lebih baik. Justru
sangat berbahaya kalau hanya ada satu hasil quickcount. Beberapa hasil quickcount itu akan melatih kita jadi kritis,
sekaligus untuk mengontrol penguasa agar tak memanipulasi "suara
Tuhan". Jika ada suara yang berbeda, tinggal diuji bagaimana kesahihannya
dalam metodologi surveynya. Karena siapa yang berbohong dan memanipulasi data,
sama saja menghancurkan keberadaannya. Lembaga survey yang kehilangan
kredibilitasnya, tentu kehilangan kepercayaan public, dan pasti ia akan
tersingkir.
Statistik
adalah metode ilmiah untuk mencari kebenaran. Dan bagi anda yang mengatakan
"tunggu saja hasil real count" berhati-hatilah. Justru di tangan
orang bias, realcount itu bisa dimanipulasi. Statistik sebaliknya, kalau
dilakukan dengan metode yang benar justru bisa dipakai untuk memeriksa sebuah
kebenaran.
Bahkan
dengan itu pula lembaga survey bisa beradu nalar, untuk mementahkan seorang
capres yang bermain-main dengan lembaga survey dengan tujuan mementahkannya.
Karena bukan tidak mungkin, dalam persaingan ketat, seorang capres melakukan
scenario "muddy the statistical
waters' atau kacaukan statistik dengan mekakai pollsters yang tidak kredibel.
Quickcounts dari beberapa lembaga survei yang sangat kredibel (yang dalam kasus
ini semuanya memenangkan Jokowi), dikacaukan oleh 'temuan' abal-abal dan
kemudian dikampanyekan lewat TV, yang bukan kebetulan dikuasai Aburizal Bakrie
dan Hari Tanoe, para sekutu dari capres Prabowo.
Pada saat
public, mungkin juga pemerintah, pelaku bisnis dikacaukan preferensiya, dan
menjadi tidak percaya pada lembaga survey, maka agenda yang didesakkan adalah
“kita tunggu saja hasil penghitungan KPU’. Padahal diadakannya quickcount
memang untuk mendelegitimasi KPU, bukan sebaliknya. Delegitimasi dalam hal itu
bukan dalam konteks meniadakan atau tidak mempercayai, melainkan untuk
mereduksi kecurangan dan menuntut pada KPU untuk bertindak jujur dan adil.
Karena
ketika harapan ditunjukan pada KPU, maka upaya kedua melakukan 'steal the
results" atau mencuri hasil pilpres ini, bisa dilakukan dalam ruang-ruang
yang terbuka antara capres satu dan lainnya dengan KPU.
Pengacauan
hasil quick counts itu pada awalnya, memang bertujuan untuk memunculkan
kebingungan di kalangan pemilih. Yang dalam hal itu, juga akan memberikan
mereka waktu untuk menggoreng hasil pemilihan versi mereka.
Mereka akan
mengumumkan realcount versi mereka, sehingga ketika KPU mengumumkan hasil
resminya, mereka sudah punya 'opini' yang terbentuk di masyarakat. Dengan kata
lain, tujuan mereka mengumumkan hasil real count versi mereka adalah
mendelegitimasi hasil yang akan diumumkan oleh KPU. Dan kita jadi tidak
mempercayai semua.
Tapi,
itulah, rakyat yang sok demokratis adalah rakyat yang tidak demokratis. Apalagi
rakyat yang sok politis tapi a-politis, tidak tahu apa itu politik, hanya
karena merasa terganggu kepentingannya. Dan karena ketidaktahuannya itu, alat
untuk mengukur politik (seperti quickcount) pun justeru mereka emohi, karena
dinilai mengganggu. Dan kita membiarkan kaum elite penguasa kembali menguasai
panggungnya sendiri, tanpa kita bisa mengontrolnya.
APA BENAR
KITA HARUS MENUNGGU KPU SAJA?
Menyoal Real
Count, Official Count, dan Quick Count
Oleh Merlyna
Lim (Princeton)
Kenapa sih ngga tunggu real count KPU saja? Banyak pihak, termasuk akademisi, mengimbau
kita semua untuk tidak mengindahkan hasil2 Quick Count (QC) dan menunggu
"Real Count" dari KPU pada tanggal 22 Juli nanti. Apakah imbauan ini
tepat dan bijak? Ini tanggapan saya.
Tentang "Real Count" (RC). Sebetulnya tak ada yang namanya real count jika real dianggap sebagai hitungan
yang benar-benar BENAR yang merujuk pada keabsolutan kebenaran empiris.
Walaupun data bisa diambil dari semua TPS (yang jumlahnya setengah juta), tak
ada pihak yang bisa memastikan bahwa hitungan2 yang mengklaim "real count"
tak luput dari kesalahan.
Nah, kalau ada yang bilang melakukan "real count" tapi ternyata tak mencakup seluruh TPS dan penghitungannya dilakukan dengan % tanpa bobot populasi, itu mungkin lebih tepat dinamakan "Surreal Count" (apalagi jika dilakukan sebelum pemilu itu berlangsung).
Apakah perhitungan KPU adalah RC?
Hasil KPU adalah "Official Count" (OC), yakni hasil hitung resmi. Tentunya kita semua mengharapkan bahwa OC dari KPU akan sangat dekat dengan realita empiris. Namun, dengan perjalanan panjang sebuah suara dari TPS ke kantor KPU yang dihitung manual dengan rantai penghitungan yang cukup panjang (TPS, Kelurahan, Kecamatan, dst.), OC ini sangat rentan terhadap masalah dan kesalahan, baik yang disengaja maupun tidak disengaja.
Nah, kalau ada yang bilang melakukan "real count" tapi ternyata tak mencakup seluruh TPS dan penghitungannya dilakukan dengan % tanpa bobot populasi, itu mungkin lebih tepat dinamakan "Surreal Count" (apalagi jika dilakukan sebelum pemilu itu berlangsung).
Apakah perhitungan KPU adalah RC?
Hasil KPU adalah "Official Count" (OC), yakni hasil hitung resmi. Tentunya kita semua mengharapkan bahwa OC dari KPU akan sangat dekat dengan realita empiris. Namun, dengan perjalanan panjang sebuah suara dari TPS ke kantor KPU yang dihitung manual dengan rantai penghitungan yang cukup panjang (TPS, Kelurahan, Kecamatan, dst.), OC ini sangat rentan terhadap masalah dan kesalahan, baik yang disengaja maupun tidak disengaja.
Dalam
sejarah2 pemilu di dunia, terbukti bahwa OC bisa merupakan keputusan politis. Proses penghitungan bisa
dibebani muatan politis sehingga OC bisa bergeser (sedikit atau banyak) dari
kebenaran empiris. Maraknya kasus2 Pilkada di Indonesia merupakan bukti bahwa
OC seringkali merupakan keputusan politis. Sudah menjadi rahasia umum bahwa di
jaman Orde Baru, hasil Pemilu bukanlah cerminan kebenaran empiris yang
terjadi di TPS-TPS. Patut diakui bahwa sejak Pemilu tahun 1999, KPU sudah lebih
baik dalam menjalankan tugasnya sebagai penyelenggara pesta demokrasi. Kita
berharap bahwa OC kali ini netral, bebas dari kepentingan politis, dan
lebih-lebih, bebas dari permasalahan teknis perhitungan.
Namun
berharap saja tidak cukup. Jadi bagaimana caranya agar OC ini mendekati
kebenaran empiris? Tak ada jalan lain selain memonitor dan mengawal perhitungan tersebut.
Penerbitan
formulir C1 di http://pilpres2014.kpu.go.id/c1.php dan
pengecekan massa terhadap formulir2 tsb n di merupakan salah satu upaya
tersebut. Terbukti ada kesalahan2 'teknis' seperti C1 yg kosong, pengunggahan
C1 yang salah, dan hitungan yang bermasalah. Belum lagi jika dibandingkan
dengan C1 asli yang diambil relawan2 di TPS, ternyata banyak formulir yang
sudah berubah angka2nya ketika tiba di website KPU.
Contoh2 C1
bermasalah: http://c1yanganeh.tumblr.com/ dan http://on.fb.me/VUx2E9
Selain mass monitoring seperti itu, ada hal
lain yang bisa dilakukan secara ilmiah. Di sinilah guna Quick Count (QC).
Apakah Quick Count (QC) itu?
QC adalah
metoda ilmiah untuk memverifikasi hasil pemilihan dengan memprojeksikan dari
sampel yang diambil dari TPS-TPS. Menggunakan azas random sampling dari ilmu statistik, metoda ini terukur dan
teruji secara ilmiah, dapat memberikan perkiraan hasil akhir yang terpercaya (reliable).
Random sampling ini ibarat mencicipi sop sepanci, kan cukup 1-2 sendok saja. Kalau mencicip sampe 2 mangkok namanya doyan. Kalau sampe sepanci, namanya rewog!
QC biasanya menggunakan Stratified Random Sampling yakni cara mengambil sampel dengan memperhatikan strata di dalam populasi. Data dari seluruh populasi dikelompokkan ke dalam tingkat-tingkatan tertentu, seperti: tingkatan tinggi, rendah, sedang, jenjang pendidikan, dll, dan kemudian sampel diambil dari tiap tingkatan tersebut. Maka dari itu, 2000 TPS bisa menjadi acuan dalam pengambilan sampling.
Random sampling ini ibarat mencicipi sop sepanci, kan cukup 1-2 sendok saja. Kalau mencicip sampe 2 mangkok namanya doyan. Kalau sampe sepanci, namanya rewog!
QC biasanya menggunakan Stratified Random Sampling yakni cara mengambil sampel dengan memperhatikan strata di dalam populasi. Data dari seluruh populasi dikelompokkan ke dalam tingkat-tingkatan tertentu, seperti: tingkatan tinggi, rendah, sedang, jenjang pendidikan, dll, dan kemudian sampel diambil dari tiap tingkatan tersebut. Maka dari itu, 2000 TPS bisa menjadi acuan dalam pengambilan sampling.
Hasil QC
tentunya bukan RC. QC menyodorkan range dimana
RC akan jatuh. Untuk menjadi alat yang efektif, harus lebih dari 1 QC
(beberapa) yang dijadikan acuan. Jika dilakukan dengan metoda yang benar,
hasil2 QC akan berada pada range
yang mirip. Jika berada jauh dari range
ini, ada indikasi permasalahan metoda.
Tentang QC Pilpres 2014 -- bagaimana membaca hasilnya?
Di Pilpres
2014, ada 12 pollsters yang
terlacak melakukan QC. Margin of Error (MoE) atau tingkat kesalahan
dari QC seharusnya tidak lebih dari 1%.
Nilai % yg
dicantumkan di QC bukan perkiraan absolut. Toleransi kesalahan atau margin of error (MOE) mengukur
seberapa jauh hasil QC mungkin meleset, dengan tingkat kepercayaan (confidence level) tertentu (misal
95%).
catatan: MoE yang tidak diketahui (n/a) dihitung 1%
Ambil contoh
hasil QC RRI. Dengan angka2 47.48% (Prabowo-Hatta) vs 52.52% (Jokowi-JK), bukan
berarti angka real prosentase suara Jokowi-JK adalah 52.52%, tapi dalam selang
52.52% +/- 1%, yakni antara 51.52% - 53.52%. Jadi, menurut QC RRI, Jokowi-JK
menang.
Jadi apa kesimpulan 12 hasil QC yang ada?
Jadi apa kesimpulan 12 hasil QC yang ada?
Apakah benar
8 pollsters memenangkan
Jokowi-JK dan 4 memenangkan Prabowo-Hatta? Tidak benar!
Dari chart di atas bisa kelihatan bahwa setelah MoE diperhitungkan, bisa disimpulkan bahwa:
7 QC
yang menunjukkan kemenangan Jokowi-JK dengan perolehan suara Jokowi-JK lebih
dari 50% (bisa dilihat bahwa bar biru melebihi 50%) -- overlapped bandwidth 51-53%
4 QC
yang memberikan peluang 50%-50% pada Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta, dan
1 QC
yang memenangkan Prabowo-Hatta (Puskaptis saja)
Nah, seperti
sudah diungkap di atas, QC hanya akan berguna jika ada beberapa hasil yang
dilakukan oleh pelbagai pihak. QC-QC yang selaras dengan kaidah ilmiah akan berada
pada range prosentase yang
mirip dan bertumpang-tindih (overlapped).
QC yang dimanipulasi sesuai dengan kehendak tertentu tentunya (misalnya dengan
sengaja memilih sampling yang
berpihak, tidak stratified dan random) tentunya bisa menghasilkan range yang berbeda.
Kembali ke masalah monitoring
OC, jadi apa fungsi QC? QC adalah
metoda yang sangat powerful untuk
memonitor proses pemilihan dan penghitungan suara. QC bisa dipakai untuk
mengevaluasi kualitas sebuah pemilihan, dan memproyeksikan dan memverifikasi OC
(Official Count). Tujuan QC adalah untuk menghalangi penipuan, mendeteksi
kecurangan, menawarkan perkiraan hasil yang tepat, menanamkan kepercayaan dalam
proses pemilihan dan OC, serta mengukur kualitas proses. Dengan kata lain, QC
adalah kontribusi keilmuan terhadap penyelenggaraan negara agar pesta demokrasi
dapat dilakukan dengan jujur, adil, dan bertanggungjawab.
Jika dilakukan dengan benar dan bertanggung jawab, QC bisa:
a. memberdayakan masyarakat: karena lewat QC masyarakat bisa mengkritisi jalannya sebuah prosedur demokrasi dan mengecek akuntabilitas para penyelenggara negara.
b. membangun kapasitas masyarakat lokal lewat partisipasi masyarakat secara aktif dalam proses demokratisasi.
c. memberi informasi yang terpercaya: masyarakat berhak memiliki akses terhadap informasi yang akurat
Ada banyak bukti kegunaan QC. Tahun 1986 di Filipina, "Operation Quick Count" dari NAMFREL (the National Citizens Movement for Free Elections) berhasil mengungkap kecurangan besar (massive fraud) yang dilakukan oleh Presiden Marcos dan pendukung2nya. QC juga menolong masyarakat Chili untuk melawan kecurangan Pinochet di tahun 1988 dan masyarakat Peru di putaran pertama pemilu tahun 2000. Dan banyak contoh kecurangan pemilu2 lain di banyak negara yang bisa diungkap dan diperangi karena adanya QC.
a. memberdayakan masyarakat: karena lewat QC masyarakat bisa mengkritisi jalannya sebuah prosedur demokrasi dan mengecek akuntabilitas para penyelenggara negara.
b. membangun kapasitas masyarakat lokal lewat partisipasi masyarakat secara aktif dalam proses demokratisasi.
c. memberi informasi yang terpercaya: masyarakat berhak memiliki akses terhadap informasi yang akurat
Ada banyak bukti kegunaan QC. Tahun 1986 di Filipina, "Operation Quick Count" dari NAMFREL (the National Citizens Movement for Free Elections) berhasil mengungkap kecurangan besar (massive fraud) yang dilakukan oleh Presiden Marcos dan pendukung2nya. QC juga menolong masyarakat Chili untuk melawan kecurangan Pinochet di tahun 1988 dan masyarakat Peru di putaran pertama pemilu tahun 2000. Dan banyak contoh kecurangan pemilu2 lain di banyak negara yang bisa diungkap dan diperangi karena adanya QC.
Dalam kasus2
tersebut OC ternyata jatuh di luar range
mayoritas hasil2 QC. Jadi bisa disimpulkan jika OC lembaga penyelenggara pemilu
(misal KPU) jatuh di luar range yang diperkirakan
mayoritas QC, OC tersebut terindikasi
bermasalah.
Jadi, jika
dilakukan dengan mengindahkan kaidah ilmiah, QC adalah alat yang netral, terpercaya, dan diperlukan untuk mengawal
suara rakyat, supaya satu suara dihitung satu suara. One vote one count!
Jadi kembali
ke pertanyaan awal: Kenapa sih
ngga tunggu real count KPU saja? Sudah tahu toh jawabannya?
Kita memang
tak punya pilihan selain menunggu. Tapi bukan berarti QC tidak kita indahkan,
justru bisa dan harus kita manfaatkan dengan bertanggung-jawab. Dan jangan
lupa, hitungan KPU bukan real count tapi
official count, dan harus ketat
dikawal supaya hampir sama dengan real
count. Semoga!
KOLOM
Majalah TEMPO, Edisi 14 Juli 2014
Hitung Cepat dan Tepat
Burhanuddin Muhtadi
SEJAK diperkenalkan dalam pemilihan presiden 2004 hingga pemilihan legislatif 2014, hitung cepat (quick count) yang dilakukan lembaga-lembaga survei belum pernah sekali pun hasilnya berbeda dengan hasil penghitungan suara oleh Komisi Pemilihan Umum. Baru pada hitung cepat pemilihan presiden 2014 ini terjadi split decision.
Tujuh lembaga (SMRC, Indikator, CSIS-Cyrus, Poltracking, Lingkaran Survei Indonesia, RRI, dan Litbang Kompas) menemukan keunggulan Joko Widodo-Jusuf Kalla di atas margin of error plus-minus 1 persen. Adapun empat lembaga lain (LSN, JSI, IRC, dan Puskaptis) memenangkan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa meski dalam selisih yang sangat tipis.
Setidaknya ada dua penjelasan mengapa terjadi perbedaan hasil hitung cepat. Pertama, argumen teknis-metodologis. Argumen teknis terkait dengan metodologi yang digunakan, proses penarikan sampel, margin of error (toleransi simpangan antara prediksi dan hasil sebenarnya, dalam confidence interval tertentu), dan analisis hasil. Argumen teknis-metodologis jauh lebih mudah dideteksi karena setiap tahapan hitung cepat pasti meninggalkan jejak. Inilah kaveling dewan etik asosiasi pollsters untuk melakukan audit metodologi kepada semua penyelenggara hitung cepat yang menjadi anggotanya.
Sebelum melakukan investigasi, dicek dulu apakah penyelenggara hitung cepat terdaftar di KPU atau tidak. Baru kemudian ditelaah jejak kerjanya di lapangan. Hitung cepat Indikator, misalnya, mewajibkan enumerator mendapatkan tanda tangan dari KelompokPenyelenggara Pemungutan Suara setempat dalam lembar catat yang harus dikembalikan ke koordinator. Selain itu, perlu daftar nama enumerator berikut nomor telepon seluler yang digunakan untuk mengirim hasil penghitungan di tempat dia bertugas ke pusat data. Lembaga survei yang memanipulasi hitung cepat akan sulit berkelit dari prosedur audit metodologi dan investigasi seperti ini.
Kedua, argumen nonteknis, baik yang bersifat afiliasi politik, bisnis, maupun kepentingan tertentu. Seorang peneliti bisa salah, tapi tidak boleh berbohong. Salah atau benar itu berkaitan dengan kompetensi dan kapabilitas, latar belakang pendidikan, serta pengalaman. Sedangkan bohong atau jujur terkait dengan integritas. Periset bisa saja tak sempurna melakukan tahapan-tahapan hitung cepat yang rumit. Tapi, selama dia tidak merekayasa hasil, masih bisa dimaklumi. Yang mengkhawatirkan adalah adanya indikasi lembaga yang melakukan hitung cepat telah melakukan kebohongan sistematis untuk menyenangkan klien atau pemilik. Untuk itu, publik berhak tahu apakah penyelenggara hitung cepat bagian dari tim konsultan calon presiden tertentu atau tidak.
Penyelenggara hitung cepat juga diwajibkan menyebutkan siapa penyandang dananya. Hitung cepat adalah kegiatan akademis yang membutuhkan sumber daya dan dana yang besar. Kecil kemungkinan lembaga survei bekerja tanpa sponsor. Dalam kode etik asosiasi lembaga survei dibolehkan bekerja sama dengan sponsor tertentu asalkan tidak mengganggu independensi akademis. Ketika hasil hitung cepat dirilis, publik berhak tahu siapa penyandang dananya.
Adalah hak publik untuk kemudian mengaitkan atau memisahkan antara hasil hitung cepat dan sponsornya. Di samping itu, bisa saja seorang peneliti memiliki pilihan etis-politis tertentu. Namun peneliti yang baik pasti bisa memisahkan opini dan sikap pribadi dengan fakta dan data yang hendak dicari. Ketika prosedur dan metodologi sudah dilakukan secara benar, apa pun temuan hitung cepat harus disampaikan, meskipun berbeda dengan afiliasi politik si peneliti.
Banyak pihak yang tidak tahu bahwa tujuan hitung cepat pertama kali diadakan justru sebagai alat kontrol untuk mencegah atau mendeteksi potensi kecurangan dalam pemilu. Hitung cepat, yang juga disebut parallel vote tabulation, digunakan sebagai mekanisme pengumpulan data perolehan suara dalam pemilu dengan pengamatan secara langsung di tempat pemungutan suara terpilih agar pemilu jujur dan adil bisa ditegakkan. Bahwa kemudian hitung cepat juga mampu memprediksi pemenang pemilu lebih cepat, itu sekadar bonus. Adalah ironis jika hitung cepat yang ditujukan untuk memberikan data pembanding kepada KPU dan mencegah terjadinya kecurangan justru malah menjadi alat buat memanipulasi hasil pemilu.
Sejarah hitung cepat bermula ketika hasil pemilu yang disampaikan Presiden Filipina Ferdinand Marcos pada 1984 mendapat penolakan banyak pihak. Ketika Marcos menggelar pemilihan presiden yang dipercepat pada 1986, gerakan civil society yang menamakan diri National Citizens Movements for Free Elections (Namfrel) melakukan kegiatan quick count. Saat itu Namfrel menggelar hitung cepat di 90 ribu TPS dengan melibatkan setengah juta relawan di seluruh Filipina. Presiden Marcos mendeklarasikan diri sebagai pemenang berdasarkan penghitungan Komisi Pemilihan Filipina, tapi prediksi hitung cepat Namfrel justru menahbiskan kemenangan Corazon Aquino. Rakyat lebih percaya quick count Namfrel sehingga memantik Revolusi EDSA, yang menumbangkan Marcos dari singgasananya.
Hitung cepat juga berhasil membongkar kecurangan secara sistematis, terstruktur, dan masif dalam pemilu di Yugoslavia pada 2000. Hitung cepat yang digelar Committee for Free Elections (CEL) juga sukses mencegah praktek curang dalam pemilihan langsung di Cile pada 1988 dan pemilihan putaran pertama di Peru pada 2000 (Estok, Nevitte and Cowan, 2002). Proses hitung cepat menjaga kedaulatan rakyat agar tidak dirampok oleh penyelenggara pemilu yang nakal. Terlebih jika hitung cepat juga diikuti dengan pemantauan pemilu yang sistematis untuk mendeteksi praktek kecurangan sehingga bisa dibongkar sebelum hasil perolehan suara dibawa ke proses rekapitulasi berikutnya. Setiap keganjilan dalam proses penghitungan suara dan praktek money politics di sekitar TPS bisa diungkap melalui kegiatan hitung cepat dan pemantauan.
Dalam sistem proporsional, potensi kecurangan jauh lebih masif ketimbang dalam sistem distrik ketika proses penghitungan langsung diselesaikan di distrik yang bersangkutan. Dalam sistem proporsional, hasil penghitungan suara di tingkat TPS harus dibawa ke tingkat desa/kelurahan, kemudian direkapitulasi di tingkat kecamatan, kabupaten/kota, hingga provinsi dan berakhir di tingkat pusat. Setiap jenjang rekapitulasi suara potensial menimbulkan kecurangan, dari penggunaan kertas suara sisa, perampokan suara, hingga hilangnya dukungan bagi calon tertentu. Terlebih jika integritas penyelenggara pemilu di tingkat lokal lemah. Absennya saksi dari partai atau calon presiden turut memperparah kondisi yang menunjang bagi praktek kecurangan.
Populasi dalam quick count adalah semua suara pemilih dalam pemilu. Sampel adalah sebagian dari anggota populasi sebagai landasan dalam membuat kesimpulan untuk mewakili populasi. Seberapa besar ukuran sampel yang harus diambil? Tergantung seberapa presisi yang kita inginkan dan tergantung seberapa dana yang kita punya. Presisi hasil hitung cepat dilihat dari margin of error, dan tugas kita: meminimumkan error. Bagaimana agar sampling error minimum? Tergantung ukuran sampel. Prinsipnya adalah semakin besar ukuran sampel hasilnya akan semakin presisi. Di samping itu, error juga terkait dengan teknik sampling yang kita gunakan. Dalam kasus Indonesia, sampel dari 2.000 TPS cukup mewakili jutaan pemilih dengan metode kombinasi stratified-cluster sampling.
Keunggulan quick count jika dilakukan dengan prosedur ilmiah yang ketat, sampel dari 2.000 TPS akan mampu merepresentasikan secara nasional. Bukan hanya itu, proses hitung cepat yang didasarkan pada pengumpulan data di tingkat TPS juga akan menjaga kemurnian dan otentisitas perolehan suara sebelum dibawa ke tingkat yang lebih tinggi. Karena itu, metode hitung cepat jika dilakukan sesuai dengan standar akademik yang tinggi akan menghasilkan prediksi yang kurang-lebih sama, meski dilakukan oleh berbagai macam lembaga survei. Kalaupun ada perbedaan, tidak akan melampaui margin of error.
Pada titik ini, saya cukup yakin untuk mengatakan hasil hitung cepat yang dilakukan lembaga-lembaga survei yang kredibel lebih bisa saya percaya karena sumber datanya diambil langsung dari tangan pertama, yaitu TPS. Tentu saya tidak sedang mendelegitimasi KPU, yang memiliki kewenangan untuk menetapkan hasil resmi penghitungan suara. Justru dengan kehadiran penyelenggara hitung cepat yang kredibel, potensi kecurangan dalam rekapitulasi suara yang berjenjang-jenjang bisa dicegah. Hasil hitung cepat lembaga-lembaga tepercaya bisa menjadi data pembanding hasil real count KPU. Dan, sejauh pengalaman hitung cepat sejak 2004 hingga pemilihan legislatif 2014, belum pernah sekali pun ada perbedaan hasil secara signifikan antara prediksi quick count dan real count KPU.
Lembaga survei yang menyelenggarakan hitung cepat seharusnya lebih akurat dalam memprediksi hasil pemilu karena datanya sudah tersedia di TPS. Hitung cepat berbeda dengan survei opini publik, yang bersifat dinamis. Dalam proses quick count, sumber datanya sudah tersedia dan pasti, yakni hasil penghitungan suara yang tinggal dikirim ke pusat data lewat pesan pendek (SMS) melalui telepon seluler yang sudah terverifikasi. Selama ini tak ada lembaga survei yang berani memanipulasi hasil hitung cepat karena mudah sekali terdeteksi. Lembaga survei yang berani merekayasa hasil quick count pada dasarnya sedang menggali lubang kuburnya sendiri. l
*) Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia dan Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar