Pemilu 2014
adalah pemilu yang paling mengembirakan sekaligus menyedihkan. Mengembirakan
karena antusiasme rakyat sangat luar biasa. Tapi senyampang itu, pemilu kali
ini juga menyedihkan, apalagi berkait pilpres, karena dipenuhi dengan fitnah
keji berkait SARA. Itu jelas sebuah kemunduran, meski bukan tanpa alasan, walau
pun alasan itu sangat remeh, yakni karena nafsu atas kekuasaan.
Ketika KPU
sudah menetapkan dua capres, semua sudah menempuh prosedur, dan sah memenuhi secara
konstitusional, formal-prosedural, dan sesuai hukum yang diatur dalam
undang-undang.
Namun kenyataannya,
black-campaign yang memojokkan salah satu calon (Jokowi), berkait agama, suku,
ras, terjadi begitu massif. Bahkan, di beberapa daerah (berdasar korespondensi
dengan teman-teman di seluruh Nusantara, dan juga monitoring media) upaya
black-campaign itu sampai pada insinuasi karakter, pembunuhan karakter, dengan
fitnah-fitnah tak terperi.
Padahal jika
kita mau adil, fitnah itu sangat menggelikan. Jokowi yang Islam, justru menjadi
bulan-bulanan dan bahkan kubunya dituding sebagai PKI. Sementara pada
kompetitornya, ibarat kata “semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk
mata tak tampak”.
Fakta-fakta
terbolak-balik itu, di masyarakat yang bisa dengan mudah mengakses informasi,
mungkin tak begitu mengkhawatirkan. Informasi dan dis-informasi bisa diundang
serentak dan di-crosscheck. Tapi menurut
laporan teman-teman, di pelosok dan wilayah terpencil se Nusantara ini,
pembunuhan karakter itu berlangsung massif.
Yang
menonjol di sana, Jokowi itu non-muslim, Yahudi, merugikan Islam, dan komunis.
Informasi ini sangat merata, tanpa mendapatkan counter. Apalagi hal tersebut
kadang disertai dengan intimidasi melalui berbagai jalur formal.
Yang
menarik, kenapa capres kompetitor Jokowi tidak mendapatkan perlakuan serupa?
Benarkah dia Islam dan lebih Islam? Kalau seseorang yang di media mengaku tidak
tertib dalam beribadah, dan sebagai lelaki meminta seorang perempuan menjadi
imam shalat, apakah itu bukan cacat (ini kalau kita mau ribet ‘ngomongin’ agama
capres)?
Pendukung
Jokowi, misalnya, juga sering dikritik memperlakukan capresnya sebagai ‘nabi’.
Tapi kenapa ketika di masjid Sunda Kelapa, Jakarta, ada kutbah Jumat yang
menyamakan capres nomor satu dengan Rasulullah, tak diprotes beramai-ramai?
Menurut istilah pelawak Wisben; timbul pertanyaan.
Islam Garis Keras. Dalam sebuah acara Pengajian Politik
Indonesia (PPI) di Masjid Agung Al Azhar, Jakarta (23/2/14), Imam Besar Front
Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Shihab mengatakan bahwa Pemilu 2014 sudah di
pelupuk mata. Maka sebaiknya umat Islam lebih fokus pada pemenangan Pemilu,
agar bisa meraih kekuasaan. Habib Rizieq menganjurkan umat Islam merapatkan
barisan dan berperan dalam Pemilu 2014. Jika umat tidak segera mengambil alih,
maka pihak lainnya yang justru tidak ingin syariat Islam ditegakkan, yang
berkuasa. PDIP-lah yang diintrodusir dalam hal ini.
“Rebut ini
kekuasaan! Umat Islam wajib untuk berkuasa di Republik ini,” katanya berapi-api.
“Ini Pemilu
sudah dekat, ini negeri harus kita direbut. Kekuasaan harus ada ditangan umat
Islam. Maka itu saudara, jangan sia-siakan kesempatan! Besok, di dalam Pemilu, baik
pemilihan calon legislatif maupun calon presiden yang akan datang, umat Islam
hanya boleh pilih yang siap menangkan syariat Islam, saudara. Takbiir! Siap
menangkan Islam? Siap menangkan Syariat?”
Apa hubungan
kutbah Habib Rizieq ini? Seperti kita tahu, FPI akhirnya mendukung Prabowo
sebagai presiden, sebagaimana kita tahu demikian pula PKS, PPP, PBB, dan
tentunya jangan dilupakan faktor Amien Rais, yang menggoreng isyu lama ‘poros
tengah’ dalam bentuk baru bersama PAN, PPP, PKS, PBB, dan pada pada akhirnya
juga Golkar dan Demokrat, disamping ormas-ormas seperti FBR dan GRIB.
Kata kunci
yang mesti dicermati dalam pidato Habib Rizieq adalah “rebut dulu baru ribut
nanti”, dan bukan sebaliknya. Karena itu ia tak mau ribut di depan. Bahwa
koalisi PPP, PAN, PKS, PBB tentu bukan tanpa masalah nantinya jika berkuasa, menurut
Rizieq itu soal belakangan. Baru setelah berkuasa (Prabowo menang), bolehlah
ribut kemudian.
Baru setelah
‘kerebut’, itu logika kalimatnya, barulah kita ribut soal bagi-bagi hadiah atau
malah Prabowo disingkirkan (ingat modus Poros Tengah ketika Amien Rais
menaikkan Gus Dur, dan kemudian menyingkirkannya).
Pada pilpres
kali ini, skenario ‘poros tengah’ juga tak bisa ditutupi sebagai modus. Dalam realitas
politiknya, hanya ada Prabowo yang (dalam elektabilitas survey) mampu menyaingi
Jokowi. Sementara itu, perolehan angka suara ‘partai-partai Islam’, sama sekali
sulit untuk menjadi kendaraan menuju kursi pilpres, kecuali memajang Prabowo.
Sementara dengan memancangkan bendera “Perang Badar”, isyu-isyu yang dimainkan
untuk menghantam Jokowi semuanya adalah soal SARA. Dari berbagai penjuru,
capres Jokowi dihantam habis dengan isyu ini. Sampai soal teknik fotoshop pun
berperanan penting dalam munculnya berbagai berita hoax Jokowi.
Prabowo dan Islam. Sementara sama sekali data mengenai Prabowo tidak
muncul ke permukaan. Meski pada faktanya Prabowo dari ibu yang benar-benar
Kristen, dan bahkan Hashim Djojohadikusumo memimpin organisasi sayap Kristen
Gerindra. Itu semua, anehnya, dinafikan oleh pendukung Prabowo yang cenderung
ke Islam garis keras dengan diakomodasinya FPI di sana.
Manifesto
Perjuangan Gerindra, menunjukkan kebijaksanaan yang sama antara PKS dan FPI,
yang dinilai intoleran dengan agama minoritas. Tapi mereka tutup mata mengenai
hal itu. “Saya bukan orang yang terlalu taat menjalankan
ritual,” kata Prabowo
pada Tempo Oktober 2013. Ia yang
dulunya malas salat dan puasa, kini mulai terlihat sering salat berjamaah.
Kabarnya kewajiban umat islam ini baru dijalankan kembali setelah berhasil
merayu partai-partai Islam mengusung dirinya menjadi calon presiden.
Saksi lain yang mengetahui keseharian Prabowo, selama di
militer juga, menyebut anak pemberontak PPRI (Pemerintah Revolusioner 1958) ini
jarang menjalankan ibadah puasa di Bulan Ramadhan. “Saya tahu itu, tapi wajar
aja, kan semua keluarganya Kristen. Cuma dia yang Islam,” kata salah seorang
rekan sejawat di militer.
Selain itu, kehajian Prabowo bersama rombongan Soeharto kala
itu, juga karena terpaksa. Ia masuk Islam setelah menikah dengan Titiek
Soeharto. Setelah itu dia tak pernah lagi naik haji. Sebagai orang yang sangat
mampu, dan punya kekayaan triliunan rupiah (capres terkaya), jika memang
berniat dan tak punya pertentangan batin, pastinya dia terpanggil untuk pergi haji
lagi. Paling tidak umrah.
Ihwal keyakinan Prabowo juga sempat
ditanyakan Partai Keadilan Sejahtera, ketika Prabowo meminta Partai Dakwah itu
untuk bergabung ke dalam koalisi. Anggota Majelis Syuro PKS, Refrizal,
membenarkan pertanyaan soal agama ini. Refrizal menjelaskan jawaban Prabowo,
tetapi meminta tak dikutip kepada Tempo.
Fakta lainnya seperti disampaikan Putra tokoh NU, KH
Salahuddin Wahid, Irfan Asyari Sudirman, menulis di Twitter dan membuat heboh.
Gus Ipang biasa disapa menuliskan bahwa ada capres yang berkunjung ke PBNU dan
diminta jadi imam shalat. Tetapi capres itu meminta Yenny Wahid jadi imam
shalat dengan alasan anak kiai. Gus Ipang mengutarakan di Twitter, berdasarkan
mazhab Syafi‘i dan kesepakatan ulama, tidak ada imam shalat seorang wanita.
Tapi apakah hal itu pernah dipersoalkan kubu Jokowi,
segencar orang menyalahkan cara wudhu, atau bahkan cara memakai kain ihram-nya
saat umrah, di mana yang terakhir itu hasil editan photoshop? Sampai Fahrie
Hamzah pun ketipu dan berkomentar ngawur soal foto editan itu?
Capres
dan Antek Asing. Sementara itu soal isu antek asing, antek Yahudi, Zionis
dan sebagainya, adalah ciri tudingan kelompok kalap yang tak bisa lagi
mendapatkan dalil pembenaran. Dan itu juga menjadi aneh. Karena dari sisi track
record, sebagai pejabat pemerintah, Jokowi terbukti tegas dari tekanan asing.
Ia berani menolak Bank Dunia, dan tidak mau diatur oleh kedutaan AS dalam
kebijakan publiknya, adalah bukti tak terbantah. Bahkan dengan ketegasannya
itu, ia dihormati di mata internasional.
Sementara sebaliknya, kita bisa melihat pernyataan Hashim Djojohadikusumo soal Prabowo
yang pro-Amerika yang beredar di media sosial. Video itu merupakan rekaman
pidato Hashim di acara Usindo Washington Special Open Forum Luncheon, yang
berlangsung di Washington DC pada 17 Juli 2013. Usindo akronim dari The United
States–Indonesia Society, forum lobi kalangan pengusaha, yayasan, dan individu
dalam mengembangkan hubungan Indonesia-Amerika Serikat, berkantor pusat di
Washington DC, Amerika Serikat.
Dalam video
tersebut, Hashim tampak berbicara dalam bahasa Inggris: "Bapak dan ibu
sekalian, Prabowo Subianto lulus, mungkin hanya satu-satunya kandidat, mungkin
juga Gita, yang lulus dari sekolah di Amerika. Oke, jadi Gita, yang juga akan
mencalonkan diri menjadi presiden, Prabowo adalah kandidat lain yang lulus
sekolah di Amerika. Jadi, Prabowo adalah seseorang yang sangat pro-Amerika, dia
sekolah SMA di Amerika, sekolah sebelum SMA juga Amerika. Dia mengambil sekolah
komando pasukan khusus di Fort Benning, Fort Bragg. Saya juga pro-Amerika.
Sampai beberapa saat yang lalu, saya seorang investor di California, investor
besar, bisnis minyak. Jadi, ya, Amerika Serikat akan menjadi partner yang
mendapat perlakuan khusus di dalam pemerintahan yang dipimpin oleh Partai
Gerindra,…"
Inkonsistensi Pemimpin. Bagaimana kita melihat hal ini? Mengapa dulu
alasan Prabowo mendirikan Partai Gerindra adalah untuk kritik total pada
pemerintahan SBY, tetapi akhirnya ia selalu mengatakan mendukung kebijakan, dan
akan melanjutkan konsep pembangunan SBY? Bagaimana kita melihat seorang pemimpin
jika pandangan-pandangan politiknya inkonsisten seperti ini?
Akan sangat
berbahaya, karena oportunisme dan pragmatism sebagai garis kebijaksanaan
politik akan menyeret berbagai persoalan serius ke depannya. Termasuk bagaimana
nanti, misalnya Prabowo menang, akan berhadapan dengan tarik-menarik
kepentingan, seperti diisyaratkan oleh Habib Rizieq.
Mengapa
perlu muncul kekhawatiran semacam ini? Alasan paling logis mendukung Jokowi,
karena kalau hanya Prabowo versus Jokowi, jelas menang Jokowi. Dari track
record dan karakterisasi, Jokowi ‘seng ada lawan’. Tapi NKRI akan berada dalam
ancaman, jika niatan Habieb Riziq (atau juga Amien Rais) jadi kenyataan,
melalui kuda troya Prabowo.
Adalah Amien Rais yang membuat jelas yang
dirasakan oleh garis keras itu: Ia secara eksplisit menempatkan Prabowo –
Jokowi dalam konteks perang Badar, perang suci Nabi Muhammad melawan kaum
Quraisy kafir, dan menyerang ke Madinah untuk menghancurkan umat Islam yang
masih kecil. Ini bukan slip of the tongue Amien Rais, tetapi memang itulah
bagaimana mereka melihat pemilihan presiden kali ini.
Mereka melihat Prabowo sebagai panglima
dalam perang melawan kafir. Entah Prabowo sendiri menghendakinya atau tidak.
Ada sekelompok ulama dan masjid-masjid di mana dikhotbahkan bahwa coblos Jokowi
adalah haram. Mengapa sampai sedemikian?
Kalau Prabowo nanti menjadi presiden, karena
dukungan pihak-pihak garis keras itu: Bukankah akan tiba pay-back-time? Bukankah
akan tiba saatnya di mana ia harus bayar kembali hutang itu? Bukankah rangkulan
itu berarti bahwa Prabowo sudah tersandera oleh kelompok-kelompok garis keras
itu?
Sesudah Manifesto Perjuangan Gerindra diprotes
Dr. Andreas Yewangoe, Ketua PGI, Hashim, yang seorang new born Christian mengaku,
bahwa kalimat itu memang keliru. Bahwa Prabowo 2009 sudah mengatakan harus
diperbaiki, dan sekarang sudah dihilangkan. Namun fakta sampai akhir Juni 2014
lalu, kalimat itu tetap ada di Manifesto itu di website resmi Gerindra.
Garis pemikiran Prabowo terasa begitu
eklektik. Apa yang bermanfaat untuk mendapat dukungan ia ambil begitu saja.
Sementara kita tahu, karier kemiliterannya kandas dalam surat DKP (Dewan
Kehormatan Perwira), yang tentu mempunyai pertimbangan-pertimbangan khusus.
Berbagai tudingan pelanggaran hukum dan HAM, memang belum mendapat keputusan
hukum, namun berbagai rekomendasi Komnas HAM sudah berusia 17 tahun dan belum
ditindaklanjuti oleh pemerintahan SBY.
Keutuhan NKRI. Mempertahankan keutuhan NKRI terasa jauh
lebih penting, daripada mengembangkan oportunisme Prabowo. Bahwa tak ada capres
sempurna, memang. Di kubu Jokowi juga ada AM Hendropriyono, Wiranto, dan
mungkin Sutiyoso yang bermasalah. Tetapi, dibanding Prabowo (capres itu sendiri
yang terkena masalah), Jokowi lebih bisa diharap menyelesaikan sengkarut masalah
warisan pemerintahan Orba. Demikian juga pada kasus-kasus permafiaan di
Indonesia, dan kasus-kasus korupsi yang meruyak ke seluruh sendi birokrasi
pemerintahan.
Pandangan
Jokowi sama persis dengan pandangan rakyat kecil mayoritas. Apa sih yang kurang
di Indonesia? Orang pinter ada, UU dan aturan pemerintah ada. Tetapi kenapa
masalah KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) tidak selesai-selesai, dan bahkan makin
akut? Karena tidak ada niatan untuk mengubah semua itu. Karena banyaknya mafia
dan pelaku ekonomi rente di negeri ini. Dan tak ada pemimpin yang mau, serta berani,
membebaskan dari jeratan semuanya itu.
Figur Jokowi
menghadirkan wajah kekuasaan dan pemerintahan yang sama sekali berbeda
dibanding sebelumnya. Untuk pertamakalinya, sejak Bung Karno dulu, kekuasaan
yang selalu berjarak jauh kini justru terasa akrab. Langsung menyapa dan
menyentuh masyarakat. Ia sudah melakukannya di Solo, lalu di Jakarta, lewat
gaya blusukan
yang menjadi trade
marknya dan kemampuannya mendengarkan.
Dalam
kampanye Pilpres, gagasan itu berulang kali digarisbawahi. Demokrasi bagi
Jokowi, seperti ditandaskan sejak debat pertama Capres, adalah “mendengar suara
rakyat dan melaksanakannya”. Tema ini diulangi dalam debat terakhir, maupun
saat ia membacakan "Manifesto Jokowi-JK" di hadapan puluhan ribu pendukung yang
memadati stadion Gelora Bung Karno saat Konser Salam 2 Jari; “Kami berdemokrasi
untuk mendengar. Kami datang untuk ikut menyelesaikan masalah, bukan menambah
masalah. Kami hadir untuk ikut memberi rasa damai, bukan jadi pemicu konflik.”
Prinsip
sederhana itu, “berdemokrasi untuk mendengar”, rupanya bergema kuat dalam
kesadaran public, dan mampu mengundang simpati. Setelah sekian lama “rakyat”
hanya jadi pembicaraan lima tahunan, wajah kekuasaan terasa dingin dan
berjarak, hanya digenggam segelintir elite, figur Jokowi menyodorkan alternatif
segar.
Demokrasi
yang ditawarkan adalah “demokrasi partisipatoris”. Seluruh komponen masyarakat
ikut serta menentukan masa depan. Dan itu prinsip kedaulatan rakyat yang mesti
digenggam oleh Negara demokrasi yang berpaham republik ini. Kekuasaan dari
rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.
Kini
saatnya, elitisme kita kritik dan sudahi. Oligarki partai mesti diwaspadai,
agar kekuasaan bisa dikontrol lebih baik lagi. Rakyat yang berdaulat itu
kuncinya. Para elite dari berbagai kelompok masyarakat dan agama, tak bisa lagi
menjadi judgment, karena mereka sendiri sebagai elite juga mempunyai
kepentingan tersembunyi.
Itu
sebabnya, demokrasi kali ini menggairahkan, karena kedaulatan rakyat akan kita
ujikan, untuk menyudahi absolutisme kaum elite, yang korup dan manipulatif.
Tinggal pilihan kita, mau melawan atau tunduk. Ini pertaruhan rakyat versus yang ingin mempertahankan kekuasaan usang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar