SEBUAH MANIFESTO UNTUK 9 JULI 2014 | Masing-masing kita adalah pribadi merdeka. Masing-masing warga
Negara Indonesia pemegang hak suara dalam Pemilu 2014 ini, sama nilainya. One
man one vote.
Beda dengan dunia akademik (penganjur demokrasi dan akal sehat
yang anomali, yang dalam memilih rektor pun ternyata memakai kasta-kasta; satu
orang bisa bernilai 5 suara, 3 suara, dan seterusnya, tergantung pangkat, bukan
isi otak).
Dalam aturan demokrasi Pemilu kita; Ulama sama nilai
suaranya dengan tukang becak. Pelukis absurd yang bodoh dan sinis sama nilai
suaranya dengan pencopet yang cerdas. Mantan menteri sama nilai satu suara
dengan ibu penjual jamu. Budayawan dan penyair kenthir, juga masing-masing cuma
berhak satu kertas suara, sama dengan penggali makam atau pun aktivis
facebooker yang juga aktif boker. Dan sebagainya. Tak ada beda.
One man one vote, one women one vote, one nation,… “one
love, one peace, no woman no cry!” teriak Bob Marley ikut-ikutan kebelet
nyoblos.
Maka kita semua berhak menyatakan pilihan, siapa pun presiden
kita masing-masing. Di jaman ini, bukan hanya pensiunan tentara, aliansi dosen
independen tapi bermental budak, ormas tukang gertak dan kaum oportunis yang
boleh melakukan deklarasi dukungan. Siapa saja boleh membuatnya, gratis (kalau
agak petualang sedikit, bahkan bisa dapat duit, bilang saja deklarasi atau
manifesto itu didukung 500.000 orang beserta kutu kupretnya. Kasih tarif Rp
50.000 per-jidat, berapa coba?).
Dan karena itulah, ini manifesto rakyat jelata;
Prabowo berpengalaman bertahun-tahun dalam upaya menjadi
presiden. Namun, setelah membacai semua buku, majalah, koran, media online
abal-abal dan abil-abil, nonton tv merah atau biru, membacai status fesbuk
handai taulan, mencermati beratus testimoni dan statemen, akhirnya sampai pada
kesimpulan; Prabowo mesti dibela, apalagi untuk Pilpres tahun ini.
Jika melihat para mitra koalisinya, alangkah malang nian.
Prabowo bisa jadi bukan hanya kuda-troya, melainkan juga kuda kepang. Berbagai
parpol dan ormas yang ikut serta padanya, serasa dimanjakan oleh karakter
Prabowo yang pragmatis, Soehartois, dan karenanya inkonsisten. Sebagai kuda
troya ia jadi sasaran tembak yang empuk (sementara mitra koalisinya berlindung
di baliknya sembari berpesta-pora). Sementara sebagai kuda kepang, setelah para
penari jathilan trance dan kenyang ‘mangan pari lan beling’, biasanya ditinggal
begitu saja. Tergolek di tanah becek, diinjak-injak penonton.
Koalisi obar-abirnya adalah koalisi satu agenda kekuasaan
(yakni: Pokoknya Berkuasa, Urusan Belakang!). Padahal kodrat jurusan mereka berseberangan.
Pragmatisme mereka saja, berpola ‘tujuan menghalalkan segala isme’. Beda isme
boleh asal satu tujuan, yakni keuntungan masing-masing.
Manifesto ini tidak memilih Prabowo sebagai presiden, karena
tak ingin ikut-ikutan menjerumuskan dalam politik konformisme, yang lagi-lagi
menempatkan dirinya sebagai korban. Manifesto ini menolak agenda setting yang
mengajak kita menyingkirkan segala gossip politik paska Orba.
Terlalu lama Indonesia membiarkan diri diobok-obok, oleh
kaum komprador kiri dan kanan, dengan atas nama ekonomi liberal maupun semangat
ta’firi. Semua itu hanya membuat Indonesia sebagai Negara dan bangsa yang
dangkal, dan makin dangkal, makin verbal, dan banal. Kita dijebak dalam
involusi, macet, mandeg. Sibuk dengan perdebatan semu soal ideologi politik dan
ekonomi liberal beserta ideologisasi agama. Tapi ujung dari semua itu, hanyalah
angka-angka korupsi yang membubung. Betapa mencapekkan.
Biarkan Prabowo menikmati masa tuanya, sembari menunggu
presiden baru memikirkan rinci; bagaimana penyelesaian kekalutan masa-lalu,
agar diputuskan segera, dan kita tak jadi tawanan masa lalu terus-menerus.
Bosen tauk!
DUA | Memutus Mata
Rantai Sejarah Kelam. Terlalu lama kita disandera dengan luka lama, entah
itu bernama Tragedi 1965 atau pun 1998. Belum usai semua itu, sekarang datang
kelompok baru, membawa bendera baru yang sama tidak ramahnya. Radikalisme
syariah, yang mungkin bisa chemistry dengan soft-dictatorial. Stop sampai di
sini! Stop semuanya ini!
Karena Indonesia jadi abai apa yang mendesak bagi bangsa dan
Negara ini. Ayolah: Out of the box! Dan bertindak fresh from the oven! Joko
Widodo yang bebas tanpa-kendala, bisa menjadi pemutus mata-rantai masa lalu
yang ruwet.
Berbagai kasus pelanggaran Hukum, HAM dari masyarakat sipil
serta militer yang digantung presiden-presiden Indonesia sampai SBY, saatnya
bisa didesakkan pada Jokowi, type die hard yang berani hanya tunduk pada
konstitusi.
Singkirkan agenda setting masa lalu, gossip-gossip politik
murahan yang penuh tudingan agen sana-sini-situ, atau bergaya ahli teori
konspirasi. Stop kegagahan yang kerdil itu. Singkirkan para ortu yang belibet
Orba, dan mulai melangkah ke masa depan.
Di kubu Jokowi ada militer bermasalah, tapi bukan capresnya.
Di kubu Prabowo, justeru capresnyalah yang dipermasalahkan. Tapi betapa rugi bandar,
hanya karena nila setitik kita tumpahkan susu sebelanga berceceran sia-sia?
Biarkan saja susu sebelanga ini menyusui kehausan dan kekeringan rakyat jelata
akan pemimpinnya. Baru kemudian nila-nilanya yang setitik-demi-setitik-lama-lama-menjadi-bukit-itu,
nanti kita singkirkan beramai-ramai. Berfikirlah strategis, jangan seperti
katak merindukan bulan, sementara jika datang bulan katak tak punya softex.
Kita ingin, dengan Jokowi maka kasus-kasus masa lalu yang
jadi duri dalam daging, dan tidak produktif itu, bisa dibersihkan. Termasuk
jika JK menjadi wapres, dan bisa mempercepat penuntasan kasus Bank Century, dan
kita bisa mendesakkan Jakarta sebagai layak ibukota Negara, dengan Jokowi
sebagai presiden dan Ahok sebagai tandemnya di Jakarta. Keren abies (manifesto
politik kok bahasanya ndesit).
Memilih Jokowi sebagai presiden Indonesia adalah memutus
mata-rantai masa silam nan kelam menghunjam anak ayam dan induk-induknya, dam,
dam, dam.
Indonesia butuh manajer piawai sekaligus hardworker yang
mampu menginspirasi, memotivasi, menumbuhkan, dan memeratakan kesejahteraan
dalam gerakan kebersamaan.
Kita butuh seorang die hard yang tangguh, berani memutuskan
dan mengambil resiko serta konsisten pada prinsip kebenaran dan keadilan,
konsistensi, dan menjadi boneka rakyat daripada membonekakan rakyat.
Kebencian kita pada korupsi sudah sampai ke ubun-ubun. Dan
kejahatan korupsi benar-benar akan menenggelamkan bangsa dan Negara ini. Fakta
hukum sudah jelas, bukan hoax, semuanya ngantri dapat giliran di kubu yang
kecebur lautan lumpur masa lalu. Bagaimana logikanya kita hendak
melanjutkannya?
Jokowi adalah anti-tesis, anti-hero, anti-teori, tetapi ia
mengenalkan kita pada system, pola, manajemen, aturan, numerical, proporsionalisme,
sensitivitas, dan sensibilitas. Dan itu adalah kekuatan dahsyat dari dalam diri
kita. Semua itu tak ada kaitannya dengan sosok fisik atau soal militer dan
sipil. Itu soal sikap keberpihakan, yang manifestasinya dalam
kebijakan-kebijakan terukur dan konsisten. Itu. Mana? Ya, itu!
Pemimpin seperti itu, seperti yang telah ditunjukkan Jokowi,
lebih nyata, lebih jelas, lebih tegas, dan lebih berwibawa. Karena bukan sedang
dijanjikan, melainkan telah dibuktikan.
Kita butuh pemimpin masa kini dengan mistik masa depan,
bukan mistik masa lalu. Rakyat yang berdaulat, pers yang independen, adalah
jauh lebih baik daripada parlemen yang korup. Lebih baik daripada rakyat yang
sok bijak dan media yang berkata netral tapi tidak independen (dengan
pengingkaran pada azas-azas keadaban publik).
Pilihan dengan semangat kedaulatan rakyat adalah kemestian.
Bukan bagian dari transaksi politik, melainkan sebuah bentuk dukungan bagi
terbukanya presiden pilihan rakyat. Dan itulah kritik rakyat atas kinerja
partai politik yang bullshits.
Bagaimana jika Jokowi sudah terpilih jadi presiden? Kita bersama
undur diri, menjaga jarak sebagaimana bunyi nasehat Juki Hiphop dalam lyric lagu
kampanyenya. Kembali ke harkat kita menjadi rakyat yang merdeka, berdaulat, dan
berani menyatakan pendapat.
Pada saatnya kita membentuk parlemen jalanan, parlemen
rumahan, parlemen lapangan. Untuk mengawasi, mengritik, memprotes apabila presiden
melenceng, atau pura-pura lupa. Rakyat yang berdaulat bebas memilih dan
menentukan, juga bebas sinis meskipun lucu dan menyedihkan. Tapi memilih Jokowi
adalah upaya terdekat, yang bisa kita lakukan, untuk menolak lupa bangkitnya
elitisme Orde ‘Soehartoisme’ Baru.
Tampak sebagai sebuah manifest yang genit, dan berupaya
untuk heroik. Biarin. Namun pentingkah, dibanding berlagak netral, tidak
menganggap penting, tapi diam-diam pasang taruhan, dan sibuk menduga-duga?
Orang yang pura-pura netral adalah tidak netral, dan tidak
berani meski hanya untuk dianggap salah. Sama seperti orang yang pura-pura
tidak tahu, adalah benar-benar tidak tahu, dan itu sama nilainya dengan sok
tahu. Tak berani mengambil resiko, tak mau menunjukkan keberpihakan, lebih
karena takut jika ketahuan, bahwa hanya segitulah kedalaman pemikirannya, yakni
memikirkan keselamatan dirinya, khas kaum priyayi. Takut memilih Prabowo karena
nanti dinilai begini. Takut memilih Jokowi karena nanti dinilai begitu. Tapi
diam-diam suka melecehkan mereka yang berani memilih, karena merasa cara
berfikirnya yang benar, khas pemikiran Soehartoisme. Cari aman!
Padahal, negeri ini membutuhkan pemikir yang berani
menyatakan, pekerja yang berani bicara, seniman yang berani berekspresi, rakyat
yang berani tunjuk hidung, tukang bikin tempe yang berani tahu, agar terjadi
vibrasi, untuk selalu mengingatkan kekuasaan, tanpa bermimpi harus menjadi
bagian dari kekuatan.
Membiarkan kekuatan lama dan ketinggalan jaman
bersimaharajalela kembali, sama halnya menghina diri-sendiri dan anak-cucu.
Mendukung seseorang tidak harus kemudian menghamba. Karena
mental baru kita bukan mental budak, juga bukan mental feodal. Hanya mereka
yang bermental budaklah yang takut perubahan. Hanya mereka yang bermental
feodallah yang takut kehilangan kekuasaan.
Dan, kalau beda jangan korupsi!
Kalau cinta, ayo nikah!
Coblos Jokowi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar