Sabam Sirait, politikus gaek Indonesia, menulis buku
dengan judul “Politik itu Suci”. Judul itu, bagi saya, ingin menunjuk betapa
tidak sucinya politik, utamanya politik dala praksisnya di negeri ini. Lihat
saja yang terjadi dalam peristiwa politik kita hari-hari ini. Politik seolah
hanya milik para politikus.
Padahal, ketidakpercayaan pada (partai) politik, tak hanya di negeri
ini. Kutipan-kutipan di bawah ini, menunjukkan hal itu:
“Politisi itu semuanya sama,” kata Nikita Kruschev (1894-1971) politikus
Uni Soviet, “Mereka berjanji membangun jembatan meskipun sebenarnya tidak ada
sungai di sana.”
Bahkan Groucho Marx, yang bukan marxist, mengatakan, “Politik adalah
seni mencari masalah, menemukan itu di mana-mana, mendiagnosis hal itu sebagai tidak
benar dan menerapkan solusi yang salah.”
Karena itu sebagaimana dikatakan Charles de Gaulle, presiden Perancis,
“Politisi tidak pernah percaya akan ucapan mereka sendiri, karena itulah mereka
sangat terkejut bila rakyat mempercayainya.”
Itulah sebabnya sang Adolf Hitler, pemimpin Nazi, Jerman dengan sinis
berujar, “Alangkah beruntungnya penguasa, bila rakyatnya tidak bisa berpikir. Aku
tidak perlu berpikir karena aku adalah pegawai pemerintah.”
Massa rakyat, sering hanya dianggap kumpulan otak kosong dalam
kampanye satu arah. Bagi Hitler, “Massa yang besar lebih menerima daya tarik
retorika daripada hal-hal lain.”
Dalam penilaian Garry Kasparov, master catur Rusia, “Memang
benar bahwa dalam catur seperti dalam politik, hanyalah tentang penggalangan
dana dan memberi kesenangan.”
Karena itu, “Politik itu mahal, bahkan untuk kalahpun kita harus
mengeluarkan banyak uang,” seperti kata seorang pelawak politik Will Rogers.
Walau pun sebagaimana direnungkan oleh Robert Louis Stevenson (1850-1894)
penulis Skotlandia: “Politik barangkali menjadi satu-satunya profesi yang tidak
membutuhkan persiapan pemikiran yang memadai.” Lugasnya, dalam politik
kebodohan bukanlah merupakan cacat seperti tudingan Napoleon Bonaparte.
Politisi juga tidak memiliki waktu luang, kata sang filsuf
Aristoteles, karena mereka selalu bertujuan sesuatu di luar politik kehidupan
itu sendiri, yakni lebih pada kuasa dan kemuliaan, atau kebahagiaan. Dalam
istilah George Orwell, novelis, “Bahasa politik dirancang untuk membuat
kebohongan terdengar jujur dan pembunuhan berlangsung secara terhormat, dan
memberikan penampilan soliditas angin murni.” Hingga kemudian Aristoteles pun
jauh sebelumnya sudah menyebut sinis; Manusia adalah binatang politik.
“Dia tahu apa-apa dan berpikir dia tahu segalanya,” kata George
Bernard Shaw. Dan semua itu, hanyalah menunjuk jelas untuk karir politiknya
semata. Atau dalam sebutan Milan Kundera, “Orang selalu berteriak mereka ingin
menciptakan masa depan yang lebih baik. Padahal menurut sang penyair itu, hal
tersebut tidaklah benar. “Satu-satunya alasan orang ingin menjadi tuan dari
masa depan adalah untuk mengubah masa lalu.”
“Dasar dari sistem politik kita adalah hak rakyat untuk membuat dan
mengubah konstitusi pemerintahan mereka,” demikian pendapat George Washington.
Namun menurut Clement Attlee, Perdana Menteri Inggris, “Demokrasi adalah
pemerintahan yang diisi dengan banyak diskusi.” Padahal lanjutnya, demokrasi
hanya efektif bila engkau mampu membuat orang lain tutup mulut. Makanya dalam
pendapat Jarod Kintz, “Jika saya harus memukul Anda untuk membuat Anda aman,
itulah yang akan saya lakukan. Ini semacam cara memperhatikan orang lain yang
membuat saya percaya,…”
Plato bahkan dengan sinis menyebut bahwa, “Demokrasi masuk ke dalam despotisme
(faham pemerintahan yang sewenang-wenang).” Itulah sebabnya; Kebutuhan politik
kadang-kadang berubah menjadi kesalahan politik, sebagaimana disimpulkan George
Bernard Shaw.
Lantas, bagaimana politik yang baik, yang tidak nampak hitam? Tinggal
membalik saja semua pendapat di atas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar