Setiap
21 April, beberapa tahun ini, selalu kita dijebak turbulensi pikiran
dengan pertanyaan mengapa Kartini, dan mengapa bukan lainnya? Pertanyaan
klasiknya, apakah Kartini lebih hebat dari pejuang-pejuang wanita kita
lainnya? Dan pertanyaan itu diulang-ulang, tiap tahun tiap April, tanpa
perkembangan wacana. Dari sini, saya takjim pada pikiran Plato (428-348
SM) yang mengatakan; “Orang bijak
berbicara karena mempunyai sesuatu untuk dikatakan, orang bodoh
berbicara karena mereka ingin mengatakan sesuatu.” Mengatakan sesuatu,
apa saja, yang penting mengatakan. Aku mengatakan maka aku ada.
Upaya untuk mendelegitimasi Kartini, sebenarnya muncul sejak lama, bahkan mungkin sejak awal Orde Baru, dimulai dari pandangan primordial Prof. Harsya W. Bachtiar. Namun paska Reformasi, “gugatan” terhadap eksistensi Kartini kembali mengerucut. Dengan cara yang aneh, membandingkan pikiran (apa yang ditulis dan digagas) Kartini dengan perjuangan fisik dan nyata para pahlawan perempuan lainnya, seperti Cut Nya' Dhien, Dewi Sartika, Nyi Ageng Serang, Cut Meutia, Tengku Fakinah, Pecut Baren, Cutpo Fatimah, Rohana Kudus, Siti Aisyah We Tenriolle, dan lain sebagainya (tapi anehnya jarang disebut Christina Martha Tiahahu, misalnya).
Menurut saya, logikanya aneh. Disamping hal itu mengesampingkan pikiran-pikiran Kartini yang ditulis. Itu mirip dengan perbandingan siapa yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia? Para pejuang fisik/militer atau para politisi yang berdiplomasi dengan penjajah dulu? Soeharto dengan kekuasaannya menjawab: Militerlah yang berjasa, dengan perjuangan fisiknya. Makanya pahlawan, makam pahlawan, sampai nama jalan, kebanyakan adalah militer. Nama Kartini, sebagai nama jalan, susah ditemui di Indonesia, termasuk ibukota Negara. Tetapi di Belanda, ada nama jalan memakai nama Kartini.
Serangan lawas yang diulang, dan tak segera dibuktikan penyerang dan penggugatnya: Adalah soal surat-surat Kartini, yang disebut hasil rekayasa Belanda dan bahkan surat-surat itu palsu, bukan Kartini yang menulisnya, dan sejenisnya. Tapi tak pernah ada upaya mereka untuk membuktikan secara ilmiah, akademis, fisika dan kimia sekali pun. Dan tudingan itu diulang-ulang terus.
Salah satu point “kelemahan” Kartini yang sering jadi bulan-bulanan dan dibully; Jika dia pelopor pergerakan perempuan, kenapa dia memilih kawin muda, memilih dimadu, menjadi bangsawan, dan apa yang diperjuangkannya wong hanya sebagai perempuan domestic? Untuk ini, sila baca buku Pramoedya Ananta Toer, “Panggil Aku Kartini Saja”. Saya kira jawabannya akan ditemu di sana, siapa Kartini sebenarnya, dan apa itu artinya perjuangan gagasan (bukan gagasan perjuangan).
Kalau mempermasalahkan peringatan Kartini malah sibuk dengan aksesoris baju kebaya Jawa, pakaian etnik, jangan salahkan Kartini. Kartini tidak terlibat dalam soal penentuan itu, karena Kartini sudah wafat sebelum Indonesia merdeka. Jadi dia tidak ikut-ikutan, bahkan untuk dijadikan pahlawan sekali pun. Tanyakan pada Sukarno, kenapa dia ingin bangsa Indonesia meneladan pada Kartini, hingga presiden Indonesia pertama itu menulis sebagai SK. Tapi kemudian juga, tanyakan pada Soeharto, yang melakukan rekayasa politik simbol-simbol untuk mereduksi daya kritis rakyat. Substansi pendidikan dan upaya literasi, yang mau dibangun Sukarno, dibelokkan Soeharto dengan symbol-simbol kebaya, pakaian daerah, dan domestifikasi peran perempuan.
Dalam segala keterbatasannya pun (karena kungkungan adat waktu itu), apa yang dilakukan Kartini sudah luar biasa. Karena ia juga melakukan aksi sosial bersama dua adiknya, kepada masyarakat lingkungannya. Dia juga manusia sosial yang berbuat untuk lingkungannya, bukan sekedar filantropi. Ruang lingkup, harus dilihat dari konteks keberadaannya dengan ruang dan waktu, agar adil.
Anehnya, delegitimasi pada pikiran Kartini sekarang bukan hanya dilakukan para perempuan idealis (untuk tidak menyebut liberalis), melainkan juga oleh kelompok hidayatullah yang fundamentalis. Kelompok ini juga bahkan mempermasalahkan tentang kualitas keislaman Kartini.
Bagi saya, bangsa ini benar-benar sudah keterlaluan. Jika saya dalam posisi Kartini, saya akan menjawab; Kalianlah yang ribut, saya tak hendak dihormati sebagai pahlawan, ambil itu semua jika kalian kehendaki. Bahkan tidak dianggap ada pun, tak ada kepentingan saya, kecuali apa yang saya yakini sebagai kebaikan sesama. Mau diperingati atau tidak, Kartini tidak ikut-ikutan, karena memang sudah meninggal.
Celakanya, orang sudah meninggal pun dipersoalkan agamanya. Makdirodok. Di mana hati nurani kita sebagai bangsa, sebagai manusia? Apa hak kita menilai tingkat keimanan manusia lainnya? Kartini manusia jujur, ia mengaku beragama Islam karena keturunan. Tetapi ia ingin tahu, mencari, hingga meminta tolong pada guru ngajinya, untuk menerjemahkan Alquran dalam bahasa Jawa. Apa salahnya? Bukankah Kanjeng Nabi Ibrahim juga bertanya dan mencari tahu siapa tuhannya?
Sayang penerjemahan itu baru berlangsung dalam 13 juz, karena yang menerjemahkan wafat (nanti yang klenik ngutipnya gini: Nah tuh, gara-gara menerjemahkan Alquran ke bahasa Jawa, mampus ‘kan?). Namun 13 juz itu yang mengubah Kartini total, hingga ia menulis suratnya kepada Ny Van Kol, 21 Juli 1902: “Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama disukai.” Dengan sedikit pengetahuannya, dia menjadi pembela Islam di mata Barat. Bagaimana kalau banyak?
Kartini menuliskan pikirannya. Dan pikiran-pikirannya itu, sampai kini tetap visioner dan jauh lebih keren dibanding aktivis-aktivis perempuan Indonesia liberal sekali pun. Pikirannya, tetap lebih maju dibanding mayoritas manusia Indonesia masa kini. Dan itu fakta yang bisa diperdebatkan secara akademik.
Maka tak salah sebagaimana Sayidina Ali mengatakan; Ikatlah ilmu dengan menulis. Itulah sebabnya founding father kita dulu keren-keren karena menulis buku, seperti Sukarno, Hatta, Tan Malaka, Syahrir, HOS Tjokroaminoto, dan lain sebagainya. Membandingkan satu dan lain "nama" (pejuang, pahlawan, atau apapun) dengan melepaskan konteks ruang dan waktunya, adalah wujud ketidakadilan pertama dalam berfikir. Kartini keren karena menulis, apapun yang ditulisnya.
Lagi-lagi menurut Plato dikatakan; Berfikir, jiwa yang berbicara dengan dirinya sendiri. Tapi kita lebih suka berbicara dengan orang lain, sekali pun tak tahu apa yang dibicarakan. Bangsa ini akan menjadi bangsa yang cethek, kata Bung Karno, jika tidak mengerti arah dan tujuan negara ini. Sementara, kembali ke kutipan Plato, ketidaktahuan akar dan batang dari segala kejahatan.
Bangsa Indonesia ini benar-benar dalam anomali. Disuruh belajar tidak mau, padahal ditinggali buku-buku karya tulis anak bangsa sendiri para founding father itu. Tetapi malah orang meninggal dipermasalahkan agamanya. Apakah kalian yang menggugat Kartini sudah membaca surat-surat Kartini dalam hening dan bening pikiran? Apakah kalian tahu persis? Jika Kartini menurut kalian tidak layak jadi pahlawan, buatlah petisi pada pemerintah mengenai hal itu, tapi jangan reduksi pikiran orang, dan apalagi kelak melarang orang membaca kumpulan surat-surat Kartini. Bayangkan, meski pun hanya menulis surat, kenapa isinya bisa mengguncangkan pikiran? Karena gagasan yang ada dalam pergulatan pikirannya. Daripada menulis buku tebal tentang 33 Tokoh yang Berpengaruh tapi nyatanya nggak ada ngaruhnya? Kartini lebih keren. Apakah pahlawati lainnya, di luar Kartini tidak lebih hebat? Sangat hebat, jauh lebih hebat dari Kartini mungkin. Tapi, saya membaca Kartini, karena Kartini menuliskan pikirannya. It’s very simple. Dan Karena Kartini lahir 21 April, wajar mereka yang cinta Kartini memperingatinya hari-hari itu. Wong ponakan saya yang tidak ada dalam sejarah Indonesia saja, diperingati hari lahirnya oleh saudara-saudaranya.
Saya ingin kutipkan renungan Wolfgang Amadeus Mozart (1756-1791), komposer legendaris Austria, untuk menutup tulisan ini. “Berbicara dengan baik dan fasih adalah seni yang hebat, tapi mengetahui saat yang tepat untuk berhenti berbicara juga tindakan yang sama-sama hebat.”
Kalau ada gerakan melawan lupa, apakah sekarang kita juga melawan ingat?
Upaya untuk mendelegitimasi Kartini, sebenarnya muncul sejak lama, bahkan mungkin sejak awal Orde Baru, dimulai dari pandangan primordial Prof. Harsya W. Bachtiar. Namun paska Reformasi, “gugatan” terhadap eksistensi Kartini kembali mengerucut. Dengan cara yang aneh, membandingkan pikiran (apa yang ditulis dan digagas) Kartini dengan perjuangan fisik dan nyata para pahlawan perempuan lainnya, seperti Cut Nya' Dhien, Dewi Sartika, Nyi Ageng Serang, Cut Meutia, Tengku Fakinah, Pecut Baren, Cutpo Fatimah, Rohana Kudus, Siti Aisyah We Tenriolle, dan lain sebagainya (tapi anehnya jarang disebut Christina Martha Tiahahu, misalnya).
Menurut saya, logikanya aneh. Disamping hal itu mengesampingkan pikiran-pikiran Kartini yang ditulis. Itu mirip dengan perbandingan siapa yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia? Para pejuang fisik/militer atau para politisi yang berdiplomasi dengan penjajah dulu? Soeharto dengan kekuasaannya menjawab: Militerlah yang berjasa, dengan perjuangan fisiknya. Makanya pahlawan, makam pahlawan, sampai nama jalan, kebanyakan adalah militer. Nama Kartini, sebagai nama jalan, susah ditemui di Indonesia, termasuk ibukota Negara. Tetapi di Belanda, ada nama jalan memakai nama Kartini.
Serangan lawas yang diulang, dan tak segera dibuktikan penyerang dan penggugatnya: Adalah soal surat-surat Kartini, yang disebut hasil rekayasa Belanda dan bahkan surat-surat itu palsu, bukan Kartini yang menulisnya, dan sejenisnya. Tapi tak pernah ada upaya mereka untuk membuktikan secara ilmiah, akademis, fisika dan kimia sekali pun. Dan tudingan itu diulang-ulang terus.
Salah satu point “kelemahan” Kartini yang sering jadi bulan-bulanan dan dibully; Jika dia pelopor pergerakan perempuan, kenapa dia memilih kawin muda, memilih dimadu, menjadi bangsawan, dan apa yang diperjuangkannya wong hanya sebagai perempuan domestic? Untuk ini, sila baca buku Pramoedya Ananta Toer, “Panggil Aku Kartini Saja”. Saya kira jawabannya akan ditemu di sana, siapa Kartini sebenarnya, dan apa itu artinya perjuangan gagasan (bukan gagasan perjuangan).
Kalau mempermasalahkan peringatan Kartini malah sibuk dengan aksesoris baju kebaya Jawa, pakaian etnik, jangan salahkan Kartini. Kartini tidak terlibat dalam soal penentuan itu, karena Kartini sudah wafat sebelum Indonesia merdeka. Jadi dia tidak ikut-ikutan, bahkan untuk dijadikan pahlawan sekali pun. Tanyakan pada Sukarno, kenapa dia ingin bangsa Indonesia meneladan pada Kartini, hingga presiden Indonesia pertama itu menulis sebagai SK. Tapi kemudian juga, tanyakan pada Soeharto, yang melakukan rekayasa politik simbol-simbol untuk mereduksi daya kritis rakyat. Substansi pendidikan dan upaya literasi, yang mau dibangun Sukarno, dibelokkan Soeharto dengan symbol-simbol kebaya, pakaian daerah, dan domestifikasi peran perempuan.
Dalam segala keterbatasannya pun (karena kungkungan adat waktu itu), apa yang dilakukan Kartini sudah luar biasa. Karena ia juga melakukan aksi sosial bersama dua adiknya, kepada masyarakat lingkungannya. Dia juga manusia sosial yang berbuat untuk lingkungannya, bukan sekedar filantropi. Ruang lingkup, harus dilihat dari konteks keberadaannya dengan ruang dan waktu, agar adil.
Anehnya, delegitimasi pada pikiran Kartini sekarang bukan hanya dilakukan para perempuan idealis (untuk tidak menyebut liberalis), melainkan juga oleh kelompok hidayatullah yang fundamentalis. Kelompok ini juga bahkan mempermasalahkan tentang kualitas keislaman Kartini.
Bagi saya, bangsa ini benar-benar sudah keterlaluan. Jika saya dalam posisi Kartini, saya akan menjawab; Kalianlah yang ribut, saya tak hendak dihormati sebagai pahlawan, ambil itu semua jika kalian kehendaki. Bahkan tidak dianggap ada pun, tak ada kepentingan saya, kecuali apa yang saya yakini sebagai kebaikan sesama. Mau diperingati atau tidak, Kartini tidak ikut-ikutan, karena memang sudah meninggal.
Celakanya, orang sudah meninggal pun dipersoalkan agamanya. Makdirodok. Di mana hati nurani kita sebagai bangsa, sebagai manusia? Apa hak kita menilai tingkat keimanan manusia lainnya? Kartini manusia jujur, ia mengaku beragama Islam karena keturunan. Tetapi ia ingin tahu, mencari, hingga meminta tolong pada guru ngajinya, untuk menerjemahkan Alquran dalam bahasa Jawa. Apa salahnya? Bukankah Kanjeng Nabi Ibrahim juga bertanya dan mencari tahu siapa tuhannya?
Sayang penerjemahan itu baru berlangsung dalam 13 juz, karena yang menerjemahkan wafat (nanti yang klenik ngutipnya gini: Nah tuh, gara-gara menerjemahkan Alquran ke bahasa Jawa, mampus ‘kan?). Namun 13 juz itu yang mengubah Kartini total, hingga ia menulis suratnya kepada Ny Van Kol, 21 Juli 1902: “Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama disukai.” Dengan sedikit pengetahuannya, dia menjadi pembela Islam di mata Barat. Bagaimana kalau banyak?
Kartini menuliskan pikirannya. Dan pikiran-pikirannya itu, sampai kini tetap visioner dan jauh lebih keren dibanding aktivis-aktivis perempuan Indonesia liberal sekali pun. Pikirannya, tetap lebih maju dibanding mayoritas manusia Indonesia masa kini. Dan itu fakta yang bisa diperdebatkan secara akademik.
Maka tak salah sebagaimana Sayidina Ali mengatakan; Ikatlah ilmu dengan menulis. Itulah sebabnya founding father kita dulu keren-keren karena menulis buku, seperti Sukarno, Hatta, Tan Malaka, Syahrir, HOS Tjokroaminoto, dan lain sebagainya. Membandingkan satu dan lain "nama" (pejuang, pahlawan, atau apapun) dengan melepaskan konteks ruang dan waktunya, adalah wujud ketidakadilan pertama dalam berfikir. Kartini keren karena menulis, apapun yang ditulisnya.
Lagi-lagi menurut Plato dikatakan; Berfikir, jiwa yang berbicara dengan dirinya sendiri. Tapi kita lebih suka berbicara dengan orang lain, sekali pun tak tahu apa yang dibicarakan. Bangsa ini akan menjadi bangsa yang cethek, kata Bung Karno, jika tidak mengerti arah dan tujuan negara ini. Sementara, kembali ke kutipan Plato, ketidaktahuan akar dan batang dari segala kejahatan.
Bangsa Indonesia ini benar-benar dalam anomali. Disuruh belajar tidak mau, padahal ditinggali buku-buku karya tulis anak bangsa sendiri para founding father itu. Tetapi malah orang meninggal dipermasalahkan agamanya. Apakah kalian yang menggugat Kartini sudah membaca surat-surat Kartini dalam hening dan bening pikiran? Apakah kalian tahu persis? Jika Kartini menurut kalian tidak layak jadi pahlawan, buatlah petisi pada pemerintah mengenai hal itu, tapi jangan reduksi pikiran orang, dan apalagi kelak melarang orang membaca kumpulan surat-surat Kartini. Bayangkan, meski pun hanya menulis surat, kenapa isinya bisa mengguncangkan pikiran? Karena gagasan yang ada dalam pergulatan pikirannya. Daripada menulis buku tebal tentang 33 Tokoh yang Berpengaruh tapi nyatanya nggak ada ngaruhnya? Kartini lebih keren. Apakah pahlawati lainnya, di luar Kartini tidak lebih hebat? Sangat hebat, jauh lebih hebat dari Kartini mungkin. Tapi, saya membaca Kartini, karena Kartini menuliskan pikirannya. It’s very simple. Dan Karena Kartini lahir 21 April, wajar mereka yang cinta Kartini memperingatinya hari-hari itu. Wong ponakan saya yang tidak ada dalam sejarah Indonesia saja, diperingati hari lahirnya oleh saudara-saudaranya.
Saya ingin kutipkan renungan Wolfgang Amadeus Mozart (1756-1791), komposer legendaris Austria, untuk menutup tulisan ini. “Berbicara dengan baik dan fasih adalah seni yang hebat, tapi mengetahui saat yang tepat untuk berhenti berbicara juga tindakan yang sama-sama hebat.”
Kalau ada gerakan melawan lupa, apakah sekarang kita juga melawan ingat?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar