Pak Jokowi, ijinkan saya menyampaikan kritik untuk sampeyan.
Saya telah dan terus membacai seluruh informasi yang berkait dengan sampeyan. Entah itu yang baik maupun yang buruk. Dari berbagai media, cetak, online, media audio-visual. Sampai juga saya mendengarkan cerita-cerita rakyat jelata pengagum dan penghujat sampeyan. Bagi saya itu penting untuk pembanding, tapi tak penting lagi ketika saya yakin dengan otoritas saya dalam memilih.
Tapi tolonglah lebih menghibur, lebih enjoy, karena itu otentisitas sampeyan yang belakangan ini agak tergerus. Yah, saya tahu, sampeyan tidak hidup di ruang hampa. Saya tahu berat menyandang beban itu. Tapi jangan lupa, Sukarno itu juga digerakkan eksentrisisme. Jadi nggak usah sok gagah dan pahlawan.
Biarin aja. Ngapain jadi mati gaya? Tetaplah jadi penghiburan rakyat kecil, yang jumlahnya jauh lebih banyak dan tak terdeteksi. Tetaplah cengingisan dan ndesit, saya dan rakyat miskin pada umumnya yang tidak internetan, butuh identitas dan keberpihakan. Biarkan saja kaum menang untuk berbusa-busa. Tapi ini saatnya, rakyat kecil sebagian besar butuh sebuah pertunjukan sirkus, sebuah akrobat yang nohok saraf. Bombonglah rakyat yang capek dengan teori-teori untuk anti-teori. Koalisi nggak penting, yang penting kuali isi.
Menurut saya, sampeyan kini jadi terlampau hati-hati, jadi tidak otentik, jadi sok politikus, jadi nggak asyik. Itu nggak penting, percayai saya! Saya merasa kehilangan itu. Karena dari sampeyan itu, terjadi turbulensi kaum bawah sadar dengan spirit alter-ego, semangat anti hero, yang bisa mendelegitimasi simbol-simbol yang mengerak jadi mitos, dalam sistem Soehartoisme.
Tentu saya paham, posisi sampeyan tidak mudah. Saya bisa mengerti, anak kampung kemaren sore, mendapatkan kepercayaan dari ketua umum parpol anak Soekarno. Kegendengan Ibu Megawati itu spiritnya.
Rakyat kecil seperti saya dan para kaum pinggiran, membutuhkan identitas perlawanan, untuk penyemangat menghadapi kehidupan. Dan dalam involusi mental bangsa ini, hanya kekuatan anti-ideologi, anti-tesis, anti mainstream, yang bisa merangkum kemarau identitas bangsa ini, yang bisa memunculkan antipati atas kemapanan nan beku dan palsu.
Jangan terlalu melodrama. Salah satu harapan anti-tesis saya, enjoy aja. Cobalah benar-benar jadi generasi baru kepemimpinan Indonesia. Putus hubungan dengan penyakit pragmatism yang dibangun dan disisakan oleh Soeharto. Jangan terlalu mbentoyong dengan teori positivistic yang manipulatif. Saya (dan atas saran anak saya), akan memilih sampeyan kalau sampeyan bisa membuat saya berdesis, “he is very terible different, terible schock!”
Sejak lulus SD, saya bosen dengan Indonesia yang involutif ini. Tonton lagi film Forrest Gump, waktu dia ditolak Jenny, dan apa yang terjadi? Perubahan itu perbedaan, sementara continuum itu sama aja, alias omong kosong. Ini saat main-main pikiran jungkir-balik, karena unpredictable itu ngalah, bukan kalah. Ngalah itu menginti ke jalan anti teori, jalan mestakung. Kalau sampeyan bisa jadi tukang meubel yang mengguncang-guncang ‘taste of Europe’, ini saatnya dan saya akan pilih sampeyan. Tetapi tetap naiflah, karena itu keberpihakan total. Jangan hilangkan ketawa-ketiwi. Rakyat lebih membutuhkan itu, daripada kesucian yang sumir dan penuh komodifikasi. Ini era jungkir balik. Dan itu hukumnya. Berada di sebuah titik jenuh, membuat kita terjebak kayak katak dalam tempurung yang diduduki raksasa hiphop. Pecahkan batu es itu, sebelum kepala kita dibenamkan dalam air es bernama lupa.
Kalau sesuai selera, 9 Juli kelak saya coblos jidat sampeyan.
Saya telah dan terus membacai seluruh informasi yang berkait dengan sampeyan. Entah itu yang baik maupun yang buruk. Dari berbagai media, cetak, online, media audio-visual. Sampai juga saya mendengarkan cerita-cerita rakyat jelata pengagum dan penghujat sampeyan. Bagi saya itu penting untuk pembanding, tapi tak penting lagi ketika saya yakin dengan otoritas saya dalam memilih.
Tapi tolonglah lebih menghibur, lebih enjoy, karena itu otentisitas sampeyan yang belakangan ini agak tergerus. Yah, saya tahu, sampeyan tidak hidup di ruang hampa. Saya tahu berat menyandang beban itu. Tapi jangan lupa, Sukarno itu juga digerakkan eksentrisisme. Jadi nggak usah sok gagah dan pahlawan.
Biarin aja. Ngapain jadi mati gaya? Tetaplah jadi penghiburan rakyat kecil, yang jumlahnya jauh lebih banyak dan tak terdeteksi. Tetaplah cengingisan dan ndesit, saya dan rakyat miskin pada umumnya yang tidak internetan, butuh identitas dan keberpihakan. Biarkan saja kaum menang untuk berbusa-busa. Tapi ini saatnya, rakyat kecil sebagian besar butuh sebuah pertunjukan sirkus, sebuah akrobat yang nohok saraf. Bombonglah rakyat yang capek dengan teori-teori untuk anti-teori. Koalisi nggak penting, yang penting kuali isi.
Menurut saya, sampeyan kini jadi terlampau hati-hati, jadi tidak otentik, jadi sok politikus, jadi nggak asyik. Itu nggak penting, percayai saya! Saya merasa kehilangan itu. Karena dari sampeyan itu, terjadi turbulensi kaum bawah sadar dengan spirit alter-ego, semangat anti hero, yang bisa mendelegitimasi simbol-simbol yang mengerak jadi mitos, dalam sistem Soehartoisme.
Tentu saya paham, posisi sampeyan tidak mudah. Saya bisa mengerti, anak kampung kemaren sore, mendapatkan kepercayaan dari ketua umum parpol anak Soekarno. Kegendengan Ibu Megawati itu spiritnya.
Rakyat kecil seperti saya dan para kaum pinggiran, membutuhkan identitas perlawanan, untuk penyemangat menghadapi kehidupan. Dan dalam involusi mental bangsa ini, hanya kekuatan anti-ideologi, anti-tesis, anti mainstream, yang bisa merangkum kemarau identitas bangsa ini, yang bisa memunculkan antipati atas kemapanan nan beku dan palsu.
Jangan terlalu melodrama. Salah satu harapan anti-tesis saya, enjoy aja. Cobalah benar-benar jadi generasi baru kepemimpinan Indonesia. Putus hubungan dengan penyakit pragmatism yang dibangun dan disisakan oleh Soeharto. Jangan terlalu mbentoyong dengan teori positivistic yang manipulatif. Saya (dan atas saran anak saya), akan memilih sampeyan kalau sampeyan bisa membuat saya berdesis, “he is very terible different, terible schock!”
Sejak lulus SD, saya bosen dengan Indonesia yang involutif ini. Tonton lagi film Forrest Gump, waktu dia ditolak Jenny, dan apa yang terjadi? Perubahan itu perbedaan, sementara continuum itu sama aja, alias omong kosong. Ini saat main-main pikiran jungkir-balik, karena unpredictable itu ngalah, bukan kalah. Ngalah itu menginti ke jalan anti teori, jalan mestakung. Kalau sampeyan bisa jadi tukang meubel yang mengguncang-guncang ‘taste of Europe’, ini saatnya dan saya akan pilih sampeyan. Tetapi tetap naiflah, karena itu keberpihakan total. Jangan hilangkan ketawa-ketiwi. Rakyat lebih membutuhkan itu, daripada kesucian yang sumir dan penuh komodifikasi. Ini era jungkir balik. Dan itu hukumnya. Berada di sebuah titik jenuh, membuat kita terjebak kayak katak dalam tempurung yang diduduki raksasa hiphop. Pecahkan batu es itu, sebelum kepala kita dibenamkan dalam air es bernama lupa.
Kalau sesuai selera, 9 Juli kelak saya coblos jidat sampeyan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar