My father used to play with my
brother and me in the yard. Mother would come out and say, ‘You’re tearing up
the grass’; ‘We’re not raising grass,’ Dad would reply. ‘We’re raising boys.’
Demikian dituliskan oleh seorang anak bernama Harmon Killebrew, yang kemudian
menjadi penulis dan menuturkan pengalaman masa kanaknya itu. Kita sering melarang anak-anak
bermain, karena merasa sayang tempat bermain-mainnya akan rusak. Padahal, kita
tak hendak menumbuhkan tempat itu, karena orangtua yang baik adalah menumbuhkan
anak-anak.
Sering karena rasa sayang pada hal-hal kenampakan, duniawiyah,
materialism, kita mengabaikan dunia ajaib yang bernama ‘jiwa’, ‘karakter’,
sesuatu yang oleh Kartini dianggap dasar dari pertumbuhan manusia.
Ijinkan saya (dengan terpaksa)
menulis tentang JIS, Jakarta International School, yang menghebohkan itu.
Sebetulnya, malas dan enggan, apalagi jika menyangkut hal-hal yang bersifat
kasus pelecehan dan kejahatan seksual serta yang sejenisnya. Apalagi jika
kemudian ternyata kita hanya mengutuk-kutuk, menyalahkan ini-itu, menuntut
ini-itu, bubarkan, hancurkan, bakar,…
Jika media-media personal seperti
fesbuk dan twitter hanya memantulkan peristiwa-peristiwa semacam itu, maka
atmosfir yang terbangun justeru berupa pengembang-biakan. Membesarkan isyu itu
semata, akan melupakan kita pada substansinya. Dan kita akan terus-menerus
capek menjadi pemadam kebakaran (dan akhirnya, memang, hanya tinggal onggokan
debu belaka). Nanti ada kebakaran lagi, ribut lagi. Dan seterusnya.
Apa yang terjadi pada JIS, adalah
cerminan apa yang dikatakan oleh Harmon Killebrew sebagai pembuka tulisan ini.
Pandangan materialism yang diam-diam tumbuh dalam system social yang dibangun
oleh Orde Baru, yang lebih menekankan pertumbuhan fisik, akibat dari system
ekonomi yang kapitalistik. Lho Orde Baru ‘kan sudah mati? Sebuah system social
yang dibangun massif, dan berlangsung lama (selama lebih dari 30 tahun), akan
mengkerak setidaknya dalam otak dua generasi, karena generasi berikutnya akan
dan masih bertarung dengan limbah sebelumnya.
Kapitalisme Orde Baru
mengembangbiakkan suatu system dan pranata social yang pada akhirnya berakar
pada filsafat pragmatism, segala sesuatu dipandang dari sudut kemanfaatan,
kepentingan. Maka dalil yang dikembangkan, ekonomi yes politik no. Dan itu
merambah ke segala sendi kehidupan ketika kita lebih mementingkan formalism.
Berfikir formal menjadi modus. Yang penting sekolah, tapi bagaimana bersekolah
itu? Yang penting lulus, tapi bagaimana kualitas kelulusan? Sampai akhirnya,
yang penting punya agama, tapi bagaimana keber-agama-annya? Yang penting naik
haji, tapi bagaimana kualitas ukhuwahnya? Yang penting jadi presiden, tetapi bagaimana
caranya? Akhirnya, tanpa pendidikan proses, tujuan menghalalkan cara.
Kenapa di Indonesia, Jakarta,
bisa muncul JIS dengan segala keistimewaannya? Karena system pendidikan negeri
ini membuat kita menjadi bangsa minder. Jika JIS hanya untuk expatriaat, masih
bisa dimaklumi. Namun ketika ada banyak anak dari keluarga Indonesia, yang mau
membiayai exlusivisme JIS, pastilah bukan tanpa sebab.
Misal, karena menganggap kualitas
pendidikan “kita sendiri” mutunya rendah. Atau, bisa jadi juga karena kebodohan
dalam bersikap, yakni sikap rendah-diri yang outputnya adalah menganggap semua
yang bau luar negeri itu ruar-biasa bermutu. Lihat, gedungnya bermutu, steril,
wangi, kayak di film-film luar negeri (nggak salah lihat Lu?).
Padahal, apa yang standar di
Indonesia ini? Tak ada sesuatu ukuran yang pasti. Tak ada jaminan yang kukuh.
Buktinya? Belum lama lalu, beberapa polisi aktif tertangkap sebagai komplotan
perampok. Seorang anggota dewan dengan gelar doktor dan haji divonis karena
korupsi. Seorang ketua majelis ulama, membuat video bokep 3some dengan bukan
muhrimnya. Seorang guru begini dan begitu.
Kenapa terjadi social-dissorder
ini? Karena memang tak ada orde dan
order yang jelas. Salah satu point kenapa Malaysia cepat melampaui Indonesia,
adalah karena hukum ditegakkan (meski orang Indonesia akan bilang, di sana
kaku, nggak asyik). Di kota kecil Leiden yang sunyi, ketika jalanan sepi pun
tak ada pelanggaran lalu-lintas. Merah berhenti, meski lain arah kosong tak ada
kendaraan. Tak ada penyerobotan, walau tak ada polisi. Kita mungkin saja tak
sabar, menerobos apalagi tak ada polisi. Tak nyadar, ada CCTV yang merekamnya.
Tapi jangan persoalkan CCTV, melainkan bagaimana aturan ditegakkan tanpa
kompromi. Tak ada perdamaian di situ.
Memang hanya di Indonesia ini
hidup terasa asyik, damai, boleh seenaknya. Bahkan menjadi disiplin saja malu
ditertawakan. Menjadi orang jujur takut diasingkan. Ngomong baik-baik dan
benar-benar, jadi ledekan sok alim dan sok pintar. Dalam masyarakat kita
sendiri, nilai-nilai kemuliaan digerus oleh pelecehan-pelecehan nilai. Bikin
status yang serius dan religious, bisa diledek-ledek; Cieee, cieee,...
Menjadi negative, melanggar
aturan, menjadi penjahat sosial, bangga banget. Menjadi caleg yang bisa
bagi-bagi duit, seolah sudah menjadi jagoan.
Dan tiba-tiba, kita ngamuk dengan
pelecehan seks yang terjadi di JIS, atau di mana saja. Tetapi kita memproduksi
terus-menerus pelecehan pada banyak hal, dan kita pura-pura tidak tahu, atau memang
bego.
Kita terjebak pada cara-cara
berfikir materialism. Seolah kalau gedungnya bagus, dari luar negeri, kita akan
aman. Kalau bayarannya mahal, pastilah kualitasnya bagus. Itu ciri khas bangsa
kacung yang membeli kemewahan dan kemegahan dengan jiwa rombengan. Dan baru
menuntut-nuntut ketika dirugikan. Kita lebih melihat siapa daripada apa. Siapa
yang ngomong, seolah menjadi jauh lebih penting daripada apa yang
diomongkannya. Feodalisme itu bukan sikap khusus orang kraton (yang sering kita
ejek sebagai fosil), tetapi sikap manusia yang tidak punya tanah berpijak namun
seolah kakinya kokoh menantang langit. Tanpa sadar kita sendiri amat suka
melecehkan diri-sendiri
Kurang apa Indonesia
sesungguhnya? Kita dikaruniai kekayaan alam luar biasa. Kebudayaan yang sangat
heterogen. Bahkan, ini negeri di mana orang Islamnya jauh lebih banyak
dibanding kumpulan Negara-negara Timur Tengah sekali pun. Tapi, kenapa agama
pun juga tidak operated? Ya, karena formalism tadi. Atau dalam istilah Rumi;
Kita menggotong tangga itu ke mana-mana, tetapi tidak terbang bersamanya (nya
dari nilai-nilai yang dikandung dalam ajaran itu).
Makanya sekali pun disumpah
dengan 7 eksemplar kitab suci di atas kepala, kagak ada ngaruhnya, kecuali terlihat
sebagai tontonan komedi yang menggelikan. Padahal menyedihkan.
Dan kita akan terus-terusan
jasjisjus, casciscus.
Cerah!
BalasHapus