Pengguna
internet di Indonesia hingga akhir 2013, menurut data BPS, mencapai angka 71,19
juta orang. Dibanding tahun sebelumnya, naik sebesar 12%. Dengan angka itu,
bisa diartikan, penetrasi internet di Indonesia sekitar 28 persen. Untuk
menyesuaikan tuntutan Millennium Development Growth (MDGs), yang juga
disepakati International Telecom Union (ITU), maka tuntutan melek internet 50
persen belum tercapai.
Namun pada
sisi lain, jika dibandingkan dengan pertumbuhan buku (media cetak) di
Indonesia, dunia internet di Indonesia sangat cepat pertumbuhannya. Bahkan
melebihi pertumbuhan internet di beberapa Negara kawasan Asia Pacifik. Bahkan,
Indonesia masuk 10 besar pengakses internet. Luar biasa?
Sementara
pertumbuhan buku di Indonesia, hanya sekitar 6%, itu pun dengan data buku yang
terjual dalam tahun 2013, hanya mencapai 33.199.557
eksemplar dari rata-rata 30.000 judul buku yang bisa diterbitkan. Terbesar
adalah buku anak-anak (23%), buku fiksi dan sastra, agama, serta pendidikan
masing-masing 13%, buku referensi dan kamus 9%, lain-lain 31%. Unesco menetapkan kriteria negara maju
adalah penerbitan jumlah judul buku setahun bagi negara tersebut adalah 1%
daripada jumlah populasi rakyatnya. Jika
diukur dengan hal itu, menurut Unesco, Indonesia tidak masuk Negara maju.
Dengan
pertumbuhan 6% pertahun, kapan kita bisa menerbitkan 2,4 juta judul dalam
setahun? Jangankan dibandingkan Korea dan Jepang, dengan Taiwan saja, dengan 26
juta penduduk, mereka mampu menerbitkan sebanyak 30,000 judul setahun (sama dengan capaian Indonesia, tapi dengan jumlah penduduk hampir 10 kali lipat). Tapi di
sisi lain, dalam tuntutan MDGs dan ITU, Indonesia juga belum memenuhi syarat
sebagai Negara modern. Belum lagi jika kita pakai data World Bank, bahwa 40%penduduk Indonesia masih tergolong miskin. Gimana dong?
Itulah
jika Indonesia sebagai bukan Negara yang independen dalam relasi globalnya.
Tidak mandiri secara ekonomi, politik, dan kebudayaan. Agenda-agendanya, lebih
ditentukan oleh Negara luar, yang notabene tentu melihat Indonesia sebagai
pasar potensial dengan jumlah penduduknya.
Fakta
lain yang juga harus disodorkan. Bahwa 7 juta penduduk Indonesia masih
buta huruf. Sementara tingkat melek huruf (literasi) anak-anak sekolah, belum
sampai pada tahap yang memungkinkan berpartisipasi efektif dan produktif dalam
hidup sehari-hari. Pertumbuhan ekonomi semakin jauh meninggalkan produksi
barang dan jasa kebutuhan riil sehari-hari. Ekonomi Indonesia lebih berkait
transaksi produk-produk finansial, yang pada satu sisi dapat menyebabkan seseorang
meraih laba besar di bursa-bursa efek, hanya dengan mengandalkan rumor bahwa
akan terjadi transaksi.
Dan
tiba-tiba, makbedunduk, masyarakat mendadak internet. Pada sisi lain, hasil
riset Kemeninfo yang didanai UNICEF, menemukan
fakta sebanyak 30 juta anak dan remaja Indonesia merupakan pengguna internet. Media
digital kini menjadi pilihan utama saluran komunikasi mereka.
Studi lebih
lanjut menemukan, 80% responden yang disurvei merupakan pengguna internet
dengan bukti kesenjangan digital yang kuat, antara mereka yang tinggal di
wilayah perkotaan dan lebih sejahtera di Indonesia, dengan mereka yang tinggal
di daerah perdesaan (dan kurang sejahtera). Di Daerah Istimewa Yogyakarta dan
Jakarta, misalnya, hampir semua responden merupakan pengguna internet.
Sementara di Maluku Utara dan Papua Barat, kurang dari sepertiga jumlah
responden telah menggunakan internet.
Studi ini
mengungkapkan bahwa 69 persen responden menggunakan komputer untuk mengakses
internet. Sekitar sepertiga atau 34 persen menggunakan laptop dan sebagian
kecil atau hanya 2 persen terhubung melalui video game. Lebih dari setengah
responden (52 persen) menggunakan ponsel untuk mengakses internet, namun kurang
dari seperempat (21 persen) untuk smartphone dan hanya 4 persen untuk tablet.
Persoalannya,
apa yang diakses oleh para pengguna internet, dalam berbagai bentuknya itu? Dalam
dunia kontemporer kita hari-hari ini, salah satu sumber kenikmatan terbesar
berasal dari teknologi digital. Inilah revolusi teknologi yang melahirkan dunia
maya. Dan Indonesia berada di dalamnya. Negeri dengan 240 juta penduduknya ini,
adalah salah satu dari sepuluh negara pengguna terbanyak internet. Namun
penggunaan terbanyak (95%) masih untuk media sosial. Indonesia juga merupakan
negara pengguna aktif facebook nomor empat di dunia. Lebih menakjubkan lagi, tuitan
terbanyak, ternyata berasal dari Jakarta. Termasuk di dalamnya tentu dari SBY,
Tifatul Sembiring, TrioMacan, dan sejenisnya itu. Dalam satu detik, Jakarta memproduksi
15 tuitan, dan dengan begitu merupakan kota tertinggi di dunia dalam penggunaan
twitter.
Kenyataan itu menunjukkan, sebuah budaya baru hadir di tengah kita bernama teknologi digital. Budaya selalu terhubung, budaya berkomentar, dan kecenderungan untuk selalu berbagi, menjadi begitu massif (Geert Lovink, “Networks without a Cause: A Critique of Social Media”, Cambridge: Polity Press, 2011).
Segala sisi ruang-ruang sosial kita, berkembang melesat ke media sosial yang secara paradoksal, penuh kontradiksi, dan kegetiran, mengarah ke perilaku a-sosial. Tentu saja, hal tersebut bagian dari ketiadaan arah dan grand-design, ke mana Indonesia menuju.
Kenyataan itu menunjukkan, sebuah budaya baru hadir di tengah kita bernama teknologi digital. Budaya selalu terhubung, budaya berkomentar, dan kecenderungan untuk selalu berbagi, menjadi begitu massif (Geert Lovink, “Networks without a Cause: A Critique of Social Media”, Cambridge: Polity Press, 2011).
Segala sisi ruang-ruang sosial kita, berkembang melesat ke media sosial yang secara paradoksal, penuh kontradiksi, dan kegetiran, mengarah ke perilaku a-sosial. Tentu saja, hal tersebut bagian dari ketiadaan arah dan grand-design, ke mana Indonesia menuju.
Gejala itu membawa kita ke situasi yang
saling bertolak-belakang. Karena senyampang dengan itu, kita menyadari bahwa
masalah-masalah yang mendera makin membutuhkan pemikiran yang mendalam. Pada
kenyataannya, sebagaimana ditulis Sherry Turkle, peneliti media sosial dalam “Alone
Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other”
(New York: Basic Books, 2011), “Kita menciptakan budaya berkomunikasi yang
justru mengurangi waktu kita untuk berpikir tanpa tersela, di bawah godaan
untuk segera melontar komentar, (dan) kita tidak lagi punya cukup waktu untuk
memikirkan problem-problem yang rumit.” Hasrat untuk segera berkomentar, atau
menyimak komentar orang lain tentang kita, membuat kita menjadi mahluk
pauseable, bisa dijeda, seperti tape atau video recorder, kata Turkle. Dan
bersamaan dengan itu, sebagai makhluk multi-akses, kita menjadi manusia
multi-fokus, multi tasking, dengan berbagai dampaknya.
Lihat dalam kaitan Pemilu 2014, betapa meriah
dan gegap gempitanya Indonesia. Tiadanya aturan (yang artinya juga tiada norma,
etika) membuat kita hidup dalam simpang siur informasi, dan kemungkinan
merancang diri secara baru meski dalam kegagapan begitu nyata, mudah ditebak ke
mana arahnya dengan teknik rendah.
Celakanya, juga dengan tingkat rendah
literasi kita, informasi dengan gampang mengambil wujud kebenaran. Promosi
iklan mengambil bentuk komunikasi intim. Dan citra menggantikan realitas. Kalau
hermeneutik berisiko menggusur kebenaran ke permainan kosa kata, teknologi
digital merancang isi kebenaran dan menciptakan dunia makna dalam bentuk baru.
Tanpa ketersediaan waktu untuk menakar
informasi (dan juga karena kemampuan literasi yang elementer), citra hadir
silih ganti. Tumpang tindih berkelindan, sebagai potongan-potongan realitas
yang berisi pernyataan sepotong-sepotong. Dunia maya merupakan sebuah dunia
tidak teraba, namun menimbulkan efek nyata dan dialami sebagai ruang, relasi,
pencipta nilai-nilai baru (Rob Shields, “The Virtual”, Routledge: London,
2003).
Tentu saja, dunia internet adalah sebuah
ruang atau media, garbage in garbage out. Semua akan sangat tergantung siapa
penggunanya. Pemaknaan kepentingan, kemudian jadi lebih mudah terdeteksi. Media
massa itu sudah mati. Yang ada kemudian media personal, yang tingkat biasnya
jauh lebih tinggi, karena peran subyektifnya jauh lebih menonjol disbanding
peran obyektif sebagai media bagi semua orang (massa). Di tangan penjahat, dia
membuka ruang kejahatan yang luar biasa. Dan tampaknya, itu jauh lebih menarik
serta mudah. Apalagi dalam keterhubungan personal yang maya, dimana identitas
bisa dikamuflase dan disembunyikan. Hingga akhirnya, seseorang bisa memaki-maki
orang lain, meski bisa jadi mereka berada di ruang yang sama. Hanya berjarak 1
meter, dan hanya dipisahkan dinding bilik warnet, yang hanya setinggi 1 meter
pula.
Tak bisa dipungkiri, internet merupakan media
komunikasi yang efektif dan efisien. Salah
satu efek dari internet, membuat komunikasi lebih mudah dan murah. Ada banyak
media yang bisa kita gunakan untuk berkomunikasi dengan perantara jaringan
internet, seperti Facebook (social network), Twitter (microblogging), Skype
(video calling), dan sebagainya.
Salah satu
dampak positif internet, dapat membantu mereka yang menjalankan bisnis
penjualan. Bisa meningkatkan omset penjualan, yang tentunya ini akan berimbas
langsung terhadap meningkatnya pendapatan. Hadirnya teknologi internet membuat
proses pemasaran menjadi lebih mudah dan murah. Kita bisa membuat blog gratis
di Blogspot atau WordPress, atau kita mempromosikannya di Facebook atau
Twitter.
Pada sisi
lain, dan ini yang penting, internet juga menyediakan berbagai macam saluran sebagai
media hiburan. Dengan internet, kita bisa menonton video online, mengunduh
lagu-lagu kesukaan, menonton tv streaming, memainkan game online, dan lain
sebagainya.
Efek positif
lainnya, bisa memperoleh informasi yang begitu melimpah tak terbendung. Ini
tentu memudahkan dalam menyelesaikan sesuatu. Kemudahan ini sangat dirasakan
utamanya untuk para pelajar. Namun kita juga harus hati-hati, karena tidak
semua informasi di internet valid, atau yang biasa disebut hoax.
Saat ini
kecenderungan orang untuk bersosialisasi dengan orang lain berubah. Orang lebih
sering bersosialisasi di dunia maya, ketimbang bersosialisasi di dunia nyata.
Kita bisa melihat dari begitu besarnya pengguna jejaring sosial Indonesia. Pengguna
Facebook di Indonesia lebih 65 juta pengguna, pengguna Twitter telah mencapai 20
juta pengguna. Bukankah ini potensi (atau petaka) yang luar biasa? Tergantung
sudut pandang dan kepentingannya.
Salah satu hal yang penting diketahui, tidak semua informasi yang ada didalam
jaringan internet dapat difilter. Hal ini memungkinkan para pengguna internet
di Indonesia, dapat mengkonsumsi dan bahkan memproduksi konten-konten sesuai
pilihan dan kepentingan masing-masing.
Secara tak
sadar, kadang kita menghabiskan waktu yang begitu lama, ketika sedang
berinteraksi dijejaring sosial seperti Facebook atau Twitter. Padahal waktu
tersebut seharusnya bisa digunakan untuk kegiatan-kegiatan lainnya dalam
interaksi sosial, seperti bermain dan belajar bersama, bekerja, dan lain-lain. Di
dalam game online, misalnya, dengan mudah orang bisa tertular kecenderungan untuk
bersifat keras, kasar, bahkan anti-sosial.
Belum lagi
berbagai modus penipuan via internet. Kejahatan dunia maya, bukan hanya sekedar
tipu-menipu dalam bisnis online, atau hadirnya para spammer yang mengajak
berkenalan, namun berujung penipuan (biasanya via facebook dan twitter). Namun
dunia tipu-menipu di dunia politik, juga tak kalah keras, sadis, dan kasarnya.
Termasuk tentunya dalam soal pemahaman ideologi lainnya seperti dalam hal
keber-agama-an. Sorga dan neraka di dunia maya, seolah sudah menjadi rahasia
umum, bukan lagi otoritas Tuhan.
Masih ingat
kata-kata Rhoma Irama dulu, menjelang pilkada DKI Jakarta? Beliau mengatakan
bahwa ibunda Jokowi beragama Kristen. Dari mana informasinya? Dari internet,
jawab Bang Haji, yang mengatakan karena info itu dari internet maka menurutnya sahih.
Untung Bang
Haji tidak jadi presiden Indonesia dalam pilpres Indonesia. Bisa haram jadah
nanti yang namanya begadang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar