Konon
Indonesia turut merayakan hari buku. Semoga benar. Karena peringatan
itu (23/4) dekat dengan tanggal 21 April, maafkan saya teringat soal
Kartini. Sekarang ini, ada beberapa cibiran pada Kartini, dengan
membandingkan para pahlawan perempuan kita. Yang memiriskan hati,
perbandingan itu sering berujung pada pelecehan, penghinaan dan hujatan,
seakan Kartini adalah penjahat yang salah dan mesti dimusuhi.
Kalau saya membaca buku-buku sejarah, entah itu Cut Nya Dhien, Malahayati, Rohana Kudus, Dewi Sartika, Christina Marta Tiahahu (ini jarang disebut, entah kenapa), kebanyakan bersumber literacy dari Belanda juga. Namun itu pun tak mengurangi rasa hormat saya pada para hero tersebut, dan saya percaya konstruksi sejarah yang dibangun itu. Setidaknya aura nasionalisme saya secara subyektif terwakili. Dan itu lebih dari cukup, karena toh saya bisa belajar dari sana.
Konstruksi sejarah kita memang rada parah, karena tradisi ini belum cukup terbangun. Kalau membacai buku-buku sejarah itu, betapa hebatnya perjuangan mereka, heroik dan mencengangkan. Dan tak kurang kekaguman saya, tanpa merasa perlu membandingkan dengan ghirah meniadakan satu dan lainnya. Hanya sebagai pembelajar yang mencoba mengais-ngais buku, saya tak bisa temukan pokok pikiran dan gagasan para tokoh perempuan itu, selain her-story mereka yang mengagumkan. Tapi tetap patut disyukuri, setidaknya ada catatan sejarahnya.
Waktu saya mencoba menelusuri sejarah Aceh (untuk menulis novel "Syahie Panyang Atjeh" 2009), dari sejak Kasultanan Atjeh Darussalam, Samudera Pasai, era Tjut Nya Dhien, hingga perjanjian Helsinki, sumber-sumber sejarah tersebut kebanyakan dari Belanda. Demikian juga sejarah-sejarah para pahlawan lainnya di pelosok Nusantara. Historiografi kita lebih dikembangkan oleh para sejarawan/ilmuwan luar Indonesia (Belanda, Perancis, Inggris, dan belakangan Amerika). Apa boleh buat.
Ingin rasanya saya menelusri peri kehidupan para pahlawan itu satu-satu, sampai bisa bermuka-muka, dan ngomong pada mereka. Hingga bisa menjadikannya sebuah buku yang kaya, yang tak sekedar her-story dan his-story. Namun sebagai sebuah gambaran yang lebih utuh, untuk pembelajaran bagi anak cucu, tentang gagasan dan pikiran sang hero. Tapi terbayangkan, betapa itu membutuhkan kekuatan luar biasa dahsyat. Dan betapa menyedihkan misalnya, upaya Kraton Yogyakarta untuk mendapatkan karya-karya tulis leluhur mereka kembali, yang dirampas Raflles dulu, tak semudah omongan kebaikan hati, sebagaimana digagas oleh PBB tentang paradigma membangun sejarah peradaban dunia.
Karenanya, betapa dahsyatnya Pramoedya Ananta Toer, yang dengan upayanya pribadi, mengumpulkan segala macam data, membuat pola riset dengan gayanya sendiri. Dan kemudian muncullah novel-novelnya yang berdarah-darah, seperti Bumi Manusia (dengan tokoh sejarah Tirto Adisoerjo), Arus Balik, dan yang lainnya, dengan kemampuan literernya yang asyik punya. Dan betapa bengisnya, ketika kekuasaan Soeharto dulu membakar semua dokumentasi cetak yang dihimpun Pram, yang ditabung selembar demi selembar, berhari-hari, dengan kesetiaan seorang periset sejati. Saya juga kagum pada Remy Sylado (Japie Tambajong), yang mampu merekonstruksi sejarah Diponegoro dengan kekayaan literasinya, hingga membaca novel "Diponegoro" dilengkapi buku "Kuasa Ramalan" karya Dr. Peter Carey (sejarawan asal Inggris, yang sampai harus kost di dekat Puri Tegalrejo, Yogyakarta, bertahun-tahun), seolah bisa berbincang langsung dengan sang hero, dan mendengarkan kuliah kehidupan yang menghanyutkan, secara lebih otentik.
Terimakasih para pahlawan Indonesia, termasuk para penulis buku keren seperti Pak Pram, Bang Remy, dan Pak Peter. Jika kita mencintai buku, menghargai tradisi literacy, semoga bisa menjadi pembelajar yang bijak.
Kalau saya membaca buku-buku sejarah, entah itu Cut Nya Dhien, Malahayati, Rohana Kudus, Dewi Sartika, Christina Marta Tiahahu (ini jarang disebut, entah kenapa), kebanyakan bersumber literacy dari Belanda juga. Namun itu pun tak mengurangi rasa hormat saya pada para hero tersebut, dan saya percaya konstruksi sejarah yang dibangun itu. Setidaknya aura nasionalisme saya secara subyektif terwakili. Dan itu lebih dari cukup, karena toh saya bisa belajar dari sana.
Konstruksi sejarah kita memang rada parah, karena tradisi ini belum cukup terbangun. Kalau membacai buku-buku sejarah itu, betapa hebatnya perjuangan mereka, heroik dan mencengangkan. Dan tak kurang kekaguman saya, tanpa merasa perlu membandingkan dengan ghirah meniadakan satu dan lainnya. Hanya sebagai pembelajar yang mencoba mengais-ngais buku, saya tak bisa temukan pokok pikiran dan gagasan para tokoh perempuan itu, selain her-story mereka yang mengagumkan. Tapi tetap patut disyukuri, setidaknya ada catatan sejarahnya.
Waktu saya mencoba menelusuri sejarah Aceh (untuk menulis novel "Syahie Panyang Atjeh" 2009), dari sejak Kasultanan Atjeh Darussalam, Samudera Pasai, era Tjut Nya Dhien, hingga perjanjian Helsinki, sumber-sumber sejarah tersebut kebanyakan dari Belanda. Demikian juga sejarah-sejarah para pahlawan lainnya di pelosok Nusantara. Historiografi kita lebih dikembangkan oleh para sejarawan/ilmuwan luar Indonesia (Belanda, Perancis, Inggris, dan belakangan Amerika). Apa boleh buat.
Ingin rasanya saya menelusri peri kehidupan para pahlawan itu satu-satu, sampai bisa bermuka-muka, dan ngomong pada mereka. Hingga bisa menjadikannya sebuah buku yang kaya, yang tak sekedar her-story dan his-story. Namun sebagai sebuah gambaran yang lebih utuh, untuk pembelajaran bagi anak cucu, tentang gagasan dan pikiran sang hero. Tapi terbayangkan, betapa itu membutuhkan kekuatan luar biasa dahsyat. Dan betapa menyedihkan misalnya, upaya Kraton Yogyakarta untuk mendapatkan karya-karya tulis leluhur mereka kembali, yang dirampas Raflles dulu, tak semudah omongan kebaikan hati, sebagaimana digagas oleh PBB tentang paradigma membangun sejarah peradaban dunia.
Karenanya, betapa dahsyatnya Pramoedya Ananta Toer, yang dengan upayanya pribadi, mengumpulkan segala macam data, membuat pola riset dengan gayanya sendiri. Dan kemudian muncullah novel-novelnya yang berdarah-darah, seperti Bumi Manusia (dengan tokoh sejarah Tirto Adisoerjo), Arus Balik, dan yang lainnya, dengan kemampuan literernya yang asyik punya. Dan betapa bengisnya, ketika kekuasaan Soeharto dulu membakar semua dokumentasi cetak yang dihimpun Pram, yang ditabung selembar demi selembar, berhari-hari, dengan kesetiaan seorang periset sejati. Saya juga kagum pada Remy Sylado (Japie Tambajong), yang mampu merekonstruksi sejarah Diponegoro dengan kekayaan literasinya, hingga membaca novel "Diponegoro" dilengkapi buku "Kuasa Ramalan" karya Dr. Peter Carey (sejarawan asal Inggris, yang sampai harus kost di dekat Puri Tegalrejo, Yogyakarta, bertahun-tahun), seolah bisa berbincang langsung dengan sang hero, dan mendengarkan kuliah kehidupan yang menghanyutkan, secara lebih otentik.
Terimakasih para pahlawan Indonesia, termasuk para penulis buku keren seperti Pak Pram, Bang Remy, dan Pak Peter. Jika kita mencintai buku, menghargai tradisi literacy, semoga bisa menjadi pembelajar yang bijak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar