31 | “Pulau
Papua mempunyai banyak keragaman, flora, fauna, jasad renik, serta budaya,”
berkata Dor yang duduk berhadapan dengan Mbambang, di sebuah rumah makan pinggir
danau Jayapura. Sebuah rumah makan apung yang eksotis, dengan aneka ikan yang
menyodok selera.
Lampu kota Jayapura berasa bintang abyor di langit
hitam.
Suara Rumombor, perempuan ndut penyanyi di warung itu, menambah suasana jadi sangat
Papua. Suaranya jernih dan lantang, menyanyikan lagu-lagu daerah.
“Papua disebut pula pulau yang ‘Punya Apa-apa’. Dan
memang semuanya ada di sini. Namun dilihat dari SDM-nya, sangat disayangkan,”
Dor berkata lagi. “SDM di sini sangat mengkhawatirkan. Sejak tahun 1960-an,
sebelum Papua dianeksasi ke NKRI, jumlah penduduk saat itu sekitar 5.800 jiwa.
Lebih besar dari penduduk Papua Nugini. Tapi sekarang sebaliknya, dan hampir
punah,…”
“Oh, ya?” Mbambang hampir tersedak. Ia tenggak bir
hitam dingin dalam gelas.
“Kabupaten Jayapura beriklim tropis dengan
temperatur rata-rata 25-35 °C. Di daerah pantai temperaturnya 26 °C, tapi di
daerah pedalaman temperaturnya bervariasi, sesuai ketinggian dari permukaan
laut. Perbedaan musim hujan dan musim kering hampir tidak ada karena pengaruh
angin. Pada bulan Mei-November angin bertiup dari tenggara, kurang mengandung
uap air. Sedangkan bulan Desember-April bertiup angin musim barat laut, banyak
mendatangkan hujan. Curah hujan berkisar antara 1.500-6.000 mm/tahun. Dengan
jumlah hari hujan dalam setahun rata-rata 159-229 hari. Curah hujan tertinggi
terjadi di pesisir pantai utara, sedangkan di daerah pedalaman lebih rendah. Di
sekitar wilayah Kemtuk, Gresi, Nimboran,…” Dor terus saja bicara.
“Kulihat banyak pendatang di Papua ini,” Mbambang
menukas.
“Ya, kebanyakan dari Makassar. Dan orang-orang
pribumi tak bisa melawan mereka. Kalah dalam ilmu dan pengetahuan. Bukan karena
soal kurang tangguh. Mereka belum bisa mengolah, padahal banyak kemungkinan
bisa dilakukan. Tapi siapakah yang mau mengajari mereka?”
“Tadi siang, kulihat ibu-ibu tua berjualan pinang
di pinggir jalan,…”
“Dan itu menyedihkan,” Dor menukas, “karena orang
Papua sendiri tak banyak mengkonsumsi lagi. Sementara di Pasar Mama-Papa, hanya
menarik di kunjungi orang-orangtua Papua. Anak mudanya sama sekali tak mau
masuk ke pasar yang katanya untuk melindungi budaya Papua. Hasilnya lebih
menyedihkan.”
“Apa yang kau lakukan di sini?”
“Besok Abang akan melihatnya.”
Tak sabar Mbambang menunggu besok. Baginya Dor
makin misterius. Apakah itu penyebabnya, hingga Kanjeng Ratu Kalinyamat
memerintahkan untuk mengikuti?
Namun Mbambang merasa bersyukur bisa meninggalkan
Jawa untuk saat ini. Setidaknya ia bisa melihat Indonesia dari sisi lain. Di
Jawa terasa sangat kleniknya. Apalagi saat-saat Pemilu seperti ini. Ahok yang
biasanya rasional, pun mulai klenik, dengan menyebut-nyebut Prabowo keturunan
Pangeran Diponegoro.
Keturunan, seperti sesuatu yang penting di
Indonesia. Asal bukan keturunan Cina, karena itu bisa berarti semua keburukan
ada di sana, meski Kanjeng Nabi Muhammad menyuruh ummatnya untuk belajar sampai
negeri Cina. Beda nabi dan ummat. Itu soal kualitas manusia.
Lepas dari cengkeraman Soeharto, ketika bermunculan
nama-nama calon presiden seperti Gus Dur, Amien Rais, Megawati, semuanya sama
saja. Gus Dur pernah disebut-sebut sebagai keturunan Sunan Giri, Megawati masih
turun Raden Patah, bahkan dalam Pemilu 2004, Amien Rais yang maju sebagai
capres saat itu, disebut-sebut sebagai keturunan Prabu Brawijaya V, raja paling
sohor dari Majapahit.
Belum lagi otak-atik soal ‘hanacaraka’ tentang
Satrio Kinunjara, Satrio Piningit, Satrio Kewirangan, Satrio Kewudan, Satrio
Konangan, Satrio Beruang, dan seterusnya dan sebagainya.
Memangnya Indonesia cuma Jawa? Katanya negara
kesatuan, dengan lagu-lagu nasionalnya yang menyebut dari Sabang sampai
Merauke, dari Miangas sampai pulau Rote?
Di Papua, setidaknya warna-warni pemilu tak
segencar di Jawa. Dan itu pasti sebagaimana daerah-daerah luar Jawa yang
penduduknya tak sebanding sebagai kantong suara penting untuk mendapatkan tiket
kekuasaan. Dan itu berdampak pada segalanya, termasuk perhatian pemerintah
pusat untuk daerah-daerah kering tersebut. Jika pun penting, daerah-daerah itu
hanya sebagai kantong-kantong korupsi, dengan mengatasnamakan anggaran
pembangunan. Atau hanya sebagai taktik untuk dapat tiket ke Senayan, dengan
menjadi caleg di daerah-daerah terpencil, untuk mendapatkan angka pembagi suara
yang kecil. Maka caleg-caleg pertahana seperti Fahri Hamzah, Yani, Suding,
meski ber-KTP Jakarta, memilih dapil daerah terpencil, agar dengan sedikit
suara mereka bisa melenggang kembali ke Senayan. Lagi pula, masyarakat daerah
terpencil yang tidak mengakses internet, tak bakalan tahu sepak-terjang mereka.
Yang penting berbekal janji dan sedikit uang.
Bahkan konsep pembangunan yang sentralistis, dengan
cara pandang Jakarta, menunjukkan ketidakcermatan dalam melihat konteks
masalah. Program KB yang sedang diterapkan oleh Negara di daerah Papua, tanpa
melihat jumlah penduduk yang semakin berkurang, seolah justeru seperti program
genocide untuk melenyapkan satu generasi. Belum lagi praktek kekerasan yang
dilakukan oleh Negara, secara sistematik melalui TNI dan POLRI.
Pada sisi lain, pembiaraan yang dilakukan oleh TNI
dan Polri kepada perusahaan-perusahaan asing yang ada di Papua, tanpa melihat
keadaan ekonomi masyarakat lokal, seolah makin menyempurnakan pembangunan
sebagai program penindasan Jakarta pada Papua.
Dor mengajak Mbambang berkeliling kota. Udara
dingin terasa menggigit.
Kota seakan mati di malam hari. Kecuali
tempat-tempat hiburan, seperti karaoke, bar, dan rumah-rumah bilyar. Dan Papua
seolah hanya kepunyaan para lelaki. Jika pun ada perempuan di sana, pada malam
hari, tentulah hanya dalam posisi sebagai obyek. Obyek seks lebih tepatnya.
“Sesungguhnya, ada perputaran uang di sini,…”
Mbambang membuka pembicaraan.
“Ya, dan cukup kencang,” sahut Dor yang memegang
kemudi. Mereka hanya berdua saja. “Tapi, uang itu bukan untuk masyarakat Papua.
Orang-orang Papua seolah hanya ketempatan saja. Para pekerja dan professional
di sini, kebanyakan kaum urban. Hampir semuanya laki-laki tentu. Mereka datang
sendirian, sebagai lajang. Di perantauan, jauh dari keluarga, jauh dari isteri,
ada duit di kantong. Atas alasan kesepian mereka kemudian meramaikan daerah ini
dengan hiburan. Jika bukan urusan perut, urusan di bawah perut,…”
“Kelamin?”
“Apalagi jika bukan urusan kelamin?”
“Kelamin memang bedebah!” Mbambang memaki-maki.
Dor ketawa, “Memangnya Abang tak punya kelamin?”
“Tentu saja punya. Tapi, seks itu seperti kuda
liar. Kalau kita tidak bisa menjinakkan, kita bakal jatuh terseret olehnya.
Kalau kita bisa menjinakkan, ia bisa seperti kuda tunggang, berguna untuk
mengantar kita.”
“Mengantar ke mana?”
“Ke cita-cita kemanusiaan itu.”
“Prabowo bisa menunggang kuda, makanya merasa
pantas ngaku-aku sebagai keturunan Pangeran Diponegoro.”
“Para penunggang kuda yang baik belum tentu
penunggang kemuliaan. Nyatanya, joki-joki yang berjaya dalam adu balap kuda
itu, lebih banyak hanya punya pengetahuan teknis menguasai kuda. Tapi tidak
mampu mereka transformasikan dalam kehidupan keseharian. Transformasi nilai.
Itulah yang menyebabkan kecerdasan otak tidak paralel dengan kemuliaan sikap.
Kaum elite yang konton berpendidikan tinggi, bisa saja mulutnya bau busuk dan
isinya sampah. Lihat saja kampanye politik kita, lebih dipenuhi sumpah-serapah,
caci-maki, fitnah, saling menyalahkan,…”
“Aha, dialognya terlalu serius. Terlalu tinggi dan
kurang mesum,” Dor mulai menggoda.
Di tepi danau Sentani, bulan penuh naik di tengah
langit. Tak pernah di pinggir, karena tidak tahu mana itu pinggir.
Mobil yang dikendarai Dor menepi, dan berhenti
tepat di tepian danau Sentani, yang kinclong bagai pengilon memantulkan sinar
rembulan.
“Dibanding dengan ketersediaan sumber daya alam
yang dimilikinya, ibarat tuaian banyak tapi tak ada yang mengolahnya,” Dor
menghembuskan asap rokok melalui hidungnya.
Mbambang duduk bersebelahan Dor, pada sebuah batang
kayu yang banyak bergeletakkan di pinggir danau.
32 | Dalam
pada itu, demikian kalimat pembuka SH Mintarja dalam cersil seri Api di Bukit
Menoreh, Susilo uring-uringan sendiri. Tak seorang pun bisa memberi informasi
yang jelas dan pasti tentang Mbambang.
“Tapi, sepertinya ia memang sudah tak ada di Yogya,
Boss,” kata perempuan sopir berusaha meyakinkan.
Susilo diam saja. Kalau sedang demikian, artinya ia sedang berfikir. Karena ia tak bisa berfikir jika
tidak diam. Sedikit bergerak saja, pikirannya buyar. Mungkin karena otaknya
sudah koplak.
“Boss, boleh bertanya?” perempuan sopir lagi-lagi
membuyarkan pikiran Susilo.
“Tanya apa?”
“Soal Kitab Pararaton,…”
“Kamu tahu, di mana kitab itu?”
“Apakah itu sesuatu yang penting banget?”
“Kalau tidak ngapain mesti ke Blitar, Surabaya,
Yogya,…”
“Iya, untuk apa?”
“Semua capres mencarinya!”
“Boss mau nyapres?”
Susilo diam saja. Artinya dia sedang berpikir.
“Terus, kenapa mesti mencari-cari Mbambang segala?”
perempuan sopir itu lagi-lagi bertanya.
Dan lagi-lagi, Susilo diam membisu.
Perempuan sopir itu agaknya jengkel juga.
“Saya pergi dulu, Boss,...” perempuan sopir itu
melangkah ke pintu.
“Mau ke mana kamu?”
“Dugem!”
Susilo hanya memandangi perempuan sopir hilang di
balik pintu kamar hotel.
Tak beranjak dari duduknya, pikiran Susilo makin
penuh. Ia sangat mengkhawatirkan kitab itu jatuh ke tangan Mbambang. Negeri ini
bisa kacau kalau Kitab Pararaton jatuh ke tangan Golput. Indonesia harus
diselamatkan dari pikiran-pikiran anarkis. Karena kalau Mbambang menguasai
kitab itu, dan menjadi presiden Indonesia, bisa dibayangkan akan jadi negeri
apa Indonesia ini.
Negeri ini harus tetap ditegakkan oleh nilai-nilai
demokrasi Pancasila. Dan kaum Golput yang tidak mau berperanserta dalam pemilu,
adalah pengkhianat bangsa dan negara. Huh!
“Tapi, 65 persen anggota Dewan Perwakilan Daerah
berusia di atas 50 tahun, sementara anggota DPR justeru lebih tua. Rata-rata
berusia 55 tahun. Sembilanpuluh delapan persen, kini mereka mencalegkan dirinya
kembali. Padahal dari 200 juta lebih penduduk Indonesia, jumlah anak muda atau
yang berumur di bawah 40 tahun ada 157 juta orang. Negeri kita ini jauh lebih
banyak dihuni anak-anak muda, di atas 60 persen. Tapi kenapa caleg-calegnya
gaek semuanya?” begitu alasan Mbambang waktu berdebat soal pemilu di Warung
Daun, Cikini.
“Kenapa anak-anak muda tidak mau ke partai politik,
malah mau jadi Golput?” Susilo menyanggahnya.
“Ini politik gerontologi. Siapa bilang anak-anak
muda tidak tertarik ke politik?” Mbambang balik bertanya. “Tapi partai politik
dikuasai orang-orangtua. Peluang anak-anak muda itu sengaja ditutup. Mereka
dikalahkan dengan isyu senioritas, kekuatan finansial, dan karena itu partai
juga tidak menjalankan kaderisasi!”
“Berjuanglah dari dalam,...”
“Menjadi Golhit? Ogah! Banyak orang-orang muda yang
masuk ke partai jadi rusak moralnya. Jadi koruptor, jadi penghuni ruang-ruang
tahanan KPK.”
“Bagaimana kalian dari luar bisa memperbaiki
situasi ini?”
“Nyatanya perbaikan lebih banyak dilakukan oleh
orang-orang di luar partai. Banyak gubernur, bupati, walikota, yang terbaik di
negeri ini, adalah orang-orang non-partai. Perubahan undang-undang, yang
merupakan kewenangan Presiden dan Parlemen, jauh lebih besar karena peran
orang-orang di luar lembaga negara. Parpol tidak mengembangkan kompetensi,
kompetisi, dan aksesibilitas kalangan anak-anak muda. Kacrut!”
“Dengan senioritas, Jepang menjadi negeri yang
maju.”
“Karena mereka dibimbing moralitas dan etika. Di
sini, keteladanan tidak ada. Debat mulu, bergunjing mulu. Hanya bisa ngomong
bagus di iklan TV, karena yang nulis teksnya anak-anak copy-writer. Orangtua di
sini selalu menanyakan apa yang sudah dilakukan. Padahal, mereka sendiri telah
melakukan apa? Bagaimana melakukannya, dan untuk apa serta siapa? Belum-belum
sudah. Belum apa-apa, sudah curiga dulu. Anak muda selalu lebih menawarkan
harapan, sementara orangtua hanya membanggakan masa lalu dan track record yang
sudah ketinggalan jaman,...”
Dering handphone membuyarkan lamunan Susilo. Ia
melihat nama Pakde Karwo di monitor handphonenya.
“Ini informasi penting,...” terdengar suara Pakde
Karwo dari speaker handphone Susilo. “Kau harus ke Imogiri. Beberapa orang Ical
agaknya masih ada di sana.”
“Ngapain Ical di sana?”
“Seorang Kyai di Jawa Timur tidak mengijinkan Ical
mendapatkan keris Kyai Bajraradya.”
“Apa hubungannya?” Susilo terheran-heran.
“Itu keris milik Brawijaya V dari Majapahit. Ical
mau membayar berapa milyar pun untuk mendapatkannya. Dan karena ditolak, maka
dia ke Imogiri untuk bisa menyedot keris itu.”
“Iya, tapi apa hubungannya dengan Kitab Pararaton?”
“Lho, memangnya nggak ada?”
“Nggak ada!”
Percakapan terhenti beberapa saat.
Kalau tak ada hubungannya, ngapain juga dituliskan
dalam cerita ini?
Susilo tampak kesal. Katanya informasi penting.
Tapi jika tak ada hubungannya, di mana pentingnya? Di dengkul?
“Tapi,...” Pakde Karwo masih berusaha meyakinkan,
“coblosan tinggal beberapa hari lagi. Kalau Kitab Pararaton itu dikuasai musuh,
habis sudah kita. Habis semuanya!”
Susilo tampak puyeng, “Nanti Pakde Karwo hubungi
lagi kalau ada perkembangan menarik.”
“Kalian harus pantau Ical di Imogiri,” Pakde Karwo
menyahut pendek, dan kemudian mematikan handphonenya.
Susilo mondar-mandir di kamar. Itu tandanya dia
sedang tak bisa berpikir. Ia kemudian menelpon ke room service.
“Ada tukang pijet nggak?”
“Bisa, Bapak. Sekarang?”
“Service komplit, luar dalam,...”
“Cowok apa cewek, Bapak?”
Susilo terdiam.
Sialan!
“Cewek, dua!”
Susilo kemudian meletakkan horn telpon dengan
dongkol.
Tapi baru saja hendak rebahan, pintu di ketuk dari
luar. Cepet banget, gumam Susilo keheranan.
Buru-buru ia buka pintu.
Di depan pintu, perempuan sopir berdiri lunglai.
Wajahnya bersimbah darah.
Perempuan sopir itu ambruk di depan Susilo.
Segera ia seret perempuan sopir itu masuk ke dalam
kamar.
33 | Susilo
puyeng. Bagaimana jika perempuan sopir itu mampus? Siapa kemudian yang
mengantarnya kesana-kemari? Tapi, siapa yang melakukan semua ini? Susilo
teringat pertarungan di depan Gedung DPRD-DIY. Golput kelompok Mbambang? Bisa
jadi.
Susilo tak tahan dengan rintihan perempuan sopir yang
menyayat. Dicabutnya pestol dari pinggangnya. Diarahkan ke jantung perempuan sopir itu.
Jep!
Dan matilah perempuan sopir.
Susilo segera menghubungi seseorang untuk segera
datang ke hotel tempatnya menginap.
“Aku butuh segera hari ini, segera kirim.”
“Siap, Boss.”
Susilo menarik bedcover dan kemudian dipakainya
membungkus mayat perempuan sopir itu. Diseretnya ke pojok ruangan.
Gelisah menunggu, waktu jadi terasa begitu lambat
berjalan. Padahal semua mesti bergerak cepat. Jika persoalan ini kecium polisi,
masalahnya menjadi sedikit agak ribet. Susilo males untuk berurusan dengan itu
semua.
Susilo menghubungi Pakde Karwo, “Hallo, kita
kehilangan satu cacing. Pakde cari tahu, siapa di belakang ini semua. Tangkap
tikusnya, hidup-hidup!”
Bel pintu kamar hotel berbunyi. Susilo membukakan
pintu. Seorang lelaki berwajah Brad Pitt berdiri di depan pintu. Bisa jadi
memang Brad Pitt. Atau anggap saja demikian.
Susilo menyuruhnya untuk cepat masuk.
“Bungkus yang rapi. Bawa ke luar,...” perintah
Susilo pada Brad Pitt.
Mobil super-deluxe Susilo kini dikemudikan oleh
Brad Pitt. Melaju ke arah selatan, ke daerah Parangtritis.
“Siapa saja yang bermain di sini?” Susilo bertanya
pada Brad Pitt.
“Banyak, Boss,” Brad Pitt menyahut dengan mata
tetap nyalang ke jalanan, “bukan Golput saja, tapi ada Golmer, Golbir,
Golung,...”
“Golung?”
“Golongan Ungu, Boss. Ini golongan alay, anggotanya
anak-anak yang masih remaja.”
“Ngapain mereka? Main politik juga?”
“Itu yang tidak jelas, Boss. Tapi, dari info yang
kami dapat, mereka bermain untuk having fun saja. Morotin duitnya orang-orang
gedean.”
“Caranya?”
“Mereka mensuplay brondong untuk ibu-ibu pejabat,
yang ditinggal suaminya nyari cabe-cabean!”
Susilo geleng-geleng kepala.
Jangan-jangan benar adanya kata para kyai di
pesantren-pesantren itu. Bahwa dunia ini berputar karena selangkangan. Baik
karena selangkangan yang bener maupun selangkangan nggak bener. Kata
Aristoteles, jika mengenai uang semua manusia agamanya sama. Mungkin karena
Aristoteles lelaki yang tak begitu tertarik dengan perempuan, sehingga uang
yang dilihatnya sebagai pangkal soal. Padahal, di belakang atau di balik uang
masih tersembunyi masalah. Bukan soal kekuasaan, tetapi kenikmatan kelamin
sebagai puncak dari kekuasaan itu. Bahwa ujung dari semua persoalan, berpangkal
dan berpulang ke sana. Sex adalah alpha dan omega. Awal dan akhir. Akhir dan
awal. Atas dan bawah. Bawah dan atas. Kadang-kadang 69 juga.
Kenapa nyaleg, kenapa nyapres, kenapa ini, kenapa
itu. Karena inginkan kemenangan, kesuksesan, keberhasilan, kejayaan. Jika sudah
tercapai? Dikembangkannya lagi. Yang lajang berani menikah, yang sudah menikah
mencari kemungkinan baru, yang ditinggal nyari selintutan sendiri.
Mobil yang dikemudikan Brad Pitt terus melaju.
Melewati pantai Parangtritis mobil terus saja menggeblas ke timur.
“Bukankah tadi Parangtritis?” Susilo terhenyak.
“Kita terus saja, Boss,” jawab Brad Pitt pendek.
Dan mobil terus saja melaju mengikuti jalan aspal
yang menanjak berliku.
“Kita mau ke mana?”
“South Queen,...”
“Kanjeng Ratu Kidul?”
“Bukan. Itu nama hotel. Kalau dari pantai berada di
atas Parang Endog, tak jauh dari Parangtritis. Di atas tebing yang menghadap ke
laut lepas. Itu tempat pembuangan mayat korban pengganyangan PKI. Ribuan
anggota PKI dibantai massa dan mayatnya dibuang ke laut begitu saja.”
“Kau bisa pastikan aman?”
“Pasti, Boss. Daerahnya berada di tebing, jauh dari
penduduk. Masuk wilayah kabupaten Gunung Kidul paling pinggir. Tempat jin buang
anak,...”
“Tapi kau bilang tadi ada hotel?”
“Ya, hotel yang cukup eksotis sesungguhnya. Pakubuwana
X dulu sering kalau labuhan ke Laut Kidul pasti menginap di hotel itu. Ada
jalan khusus dari hotel menuju ke pantai. Suzzanna juga pernah menginap di
hotel itu,...”
“Suzzanna?”
“Bintang film horor itu, Boss.”
“Ok, kita sekalian nginap di situ saja,...”
“Hotel itu sudah tutup. Tidak laku.”
“Tapi masih ada bangunannya?”
“Masih utuh, Boss,...”
Mobil yang dikemudikan Brad Pitt menyusuri jalanan
turun-naik. Hingga akhirnya memasuki sebuah halaman yang cukup luas. Papan nama
South Queen Hotel and Resort tampak buram berdebu.
Terlihat sebuah bangunan bernuansa etnik dengan
warna dominan putih. Cukup berselera.
Tapi tak ada seorang pun di sana.
Susilo pun kemudian turun dari mobil dan
memperhatikan sekeliling.
Masuk ke area hotel, terlihat bangunan-bangunan yang
terbuat dari bambu dengan atap jerami. Bungalow-bungalow yang menawan
sesungguhnya. Berada dalam dataran tanah seperti dalam tanah persawahan di Bali
dengan subaknya.
Sementara Susilo berkeliling melihat-lihat South
Queen, Brad Pitt menyelesaikan tugasnya. Ia membawa keluar mayat perempuan
sopir dari mobil. Menyelusup ke semak-semak, Brad Pitt kemudian melemparkan
mayat itu ke laut.
Di sisi selatan hotel, dengan halamannya yang asri,
tampak jelas Samodera Indonesia. Australia lamat-lamat terlihat seperti garis
tipis di kejauhan.
Sebuah kolam renang kering tanpa air, dipenuhi
dedaunan pohon matoa yang banyak ditanam di halaman.
Brad Pitt mendekat ke arah Susilo yang tengah
memandangi laut lepas.
“Semuanya sudah beres, Boss,...” Brad Pitt memberi
laporan.
“Siapa pemilik hotel ini?” bertanya Susilo demi
melihat Brad Pitt di sampingnya.
“Mari, saya kenalkan, Boss,...”
“Dia ada di sini?”
Brad Pitt tidak menjawab.
Susilo mengiring langkah Brad Pitt menyusuri
gang-gang kecil antar bungalow yang yang masing-masing punya teras menghadap ke
Samodera Indonesia. Dengan bangunan berundak-undak, semua teras bungalow tak
terhalang ke laut lepas.
Di sudut area hotel, tampak bangunan tersembunyi.
Seorang perempuan berumur 50-an tahun sedang asyik dengan tanamannya. Tubuhnya
ndut, tetapi parasnya ayu. Semuanya tampak besar. Perut. Pinggang. Pantat.
Susu.
Dada Susilo menggeletar.
Brad Pitt mengenalkan Susilo pada perempuan itu.
“Susilo,...”
“Sussy,...”
“Ibu Sussy pemilik hotel ini, dia tinggal sendirian
di sini,...” Brad Pitt mencoba menjelaskan.
“Sendirian? Di tempat seperti ini?” Susilo takjub.
Dan percakapan basa-basi pun tak penting
diceritakan di sini. Akan sangat melelahkan bagi mereka yang menunggu
kemesuman.
“Boss, saya tinggal sebentar ke kota. Ada yang harus
saya bereskan,...” Brad Pitt memotong pembicaraan.
“Lha aku?” Susilo blingsatan.
“Boss aman di sini,...” Brad Pitt tanpa meminta
persetujuan langsung pergi. Meninggalkan Susilo dan Sussy berdua saja di gigir
Samodera Indonesia.
Debur ombak terdengar menggelegar.
Dada Susilo menggelepar.
34 | Senja
merangkak perlahan. Matahari tenggelam di Samodera Indonesia begitu indahnya.
Siratan cahayanya kuning keemasan. Gemerlap.
Susilo dan Sussy menikmati sunset di pagar hotel yang
terletak di tebing Parangendog. Berdua saja. Duduk bersebelahan dalam kursi
panjang putih gading.
“Kenapa tidak diteruskan saja? Tempat ini sungguh
sangat eksotis,” suara Susilo seolah air
laut yang mulai pasang. Mendayu, tenang, tapi bergelombang.
“Sejak suamiku meninggal, tak ada yang bisa
meneruskannya. Mengelola hotel ternyata bukan bisnis yang gampang,” Sussy
menyedot kereteknya dalam-dalam.
“Maafkan, bukan maksud saya,...” Susilo merasa
bersalah dengan ucapannya.
“Tak apa. Sudah lewat. Hidup sesuatu yang harus
dijalani,...”
Susilo terpana. Ia tatap wajah Sussy yang tampak
matang.
Semburan asap rokok dari mulut Sussy memburai di
udara. Sambil tetap menatap laut lepas, Sussy seolah menggeremang sendiri,
“Seberat-beratnya penderitaan perempuan, masih berat penderitaan perempuan yang
bersuamikan Farhat Abbas,...”
Susilo mau ketawa. Tapi sungguh tak baik dan tak
sopan. Ia memilih diam mendengar Sussy bertutur tentang dirinya.
Sussy perempuan kelahiran Gunung Kidul, dari
keluarga miskin. Pertemuannya dengan seorang lelaki Perancis membuat hidupnya
berubah, juga nasib keluarganya. Mereka menikah sepuluh tahun lampau, meski tak
dikarunia anak. Suaminya pindah kewarganegaraan Indonesia dan kemudian
membangun hotel yang sangat indah dan eksotik itu.
Semula bisnisnya lancar dan baik-baik saja. South
Queen menjadi venue yang mampu menyedot tamu-tamu, terutama dari luar negeri,
untuk menikmati keindahan pantai Parangtritis.
Tapi entah kenapa, perlahan bisnis itu surut.
Tingkat okupansi tak pernah mencapai 20 persen hingga akhirnya bisnis itu
bangkrut. Tak mampu menggaji karyawan dan membiayai perawatan hotel dengan
standar pelayanan internasional itu. Hingga akhirnya suami Sussy jatuh sakit,
dan kemudian meninggal. Ada yang mengatakan Kanjeng Ratu Kidul tidak merestui
bisnis itu. Tapi ada yang meyakini, justeru bisnis itu direstui Kanjeng Ratu
Kidul. Hanya karena Kanjeng Ratu Kidul tak tahu managemen dan marketing hotel,
bisnis itu rontok juga. Entah mana yang benar. Tidak penting.
Langit perlahan menjelaga. Bintang-bintang kecil
bertaburan menurunkan dingin. Satu-satu.
Kawasan hotel itu terasa semakin buram. Lampu-lampu
taman tak satu pun yang menyala. Hanya bias cahaya lampu pada rumah induk di
kejauhan, seolah menambah kesenduan. Suram.
Perlahan tangan Susilo merambat, menusuri punggung
Sussy.
Keduanya saling diam.
Di kejauhan terdengar suara ombak berdeburan.
Sussy merebahkan kepalanya di dada Susilo.
Malam terasa makin sunyi. Bebunyian serangga malam
seolah simfoni yang menggelisahkan.
Jemari tangan Susilo merayap, bersentuhan dengan jemari
tangan Sussy yang besar-besar tapi empuk.
Kini mereka bersitatap dalam gelap. Tapi kilatan
cahaya mata keduanya bagai seberkas sinar, menembus dinding-dinding goa hati
mereka.
Kini mereka beradu wajah. Dalam jarak tak berjarak
lagi (namanya bukan berjarak, monyong!).
Bibir keduanya beradu dengan lembut. Mulut mungil
Sussy menganga. Dengan cepat mulut Susilo bergerilya. Kedua bibir mereka pun
saling bergumul. Saling tindih, berkelindan. Silat lidah tak terhindarkan.
Berlangsung seru bagaikan pertempuran pendekar-pendekar silat kelas jawara.
Nafas keduanya memburu.
Tubuh mereka bergulingan di atas rerumputan.
Ombak Samodera Indonesia bergulug-gulung saling
bekejaran. Suara deburnya begitu keras, membentur karang yang keras terjal,
tegak lurus dengan langit. Bibir pantai yang basah, seolah menyerap air begitu
hausnya.
Buih-buih air laut membuncah, pecah berderai
sehembusan nafas. Begitu terus-menerus. Berulang-ulang. Tiada henti. Tiada
lelah.
“Fuck me, fuck me, my Dear,...” Sussy
merintih-rintih.
Cut!
Sementara itu, tak jauh dari Parangtritis,
pertarungan tak kalah seru terjadi di selatan makam raja-raja Mataram di
Imogiri. Brad Pitt melawan lima perempuan berpakaian ninja.
Pertarungan tak imbang, karena para perempuan ninja
itu begitu tangguhnya.
“Hentikan!” Brad Pitt berteriak dengan nafas
ngos-ngosan, “Apa yang kalian mau,....”
Para perempuan ninja itu agaknya berbaik hati
memberi kesempatan Brad Pitt.
“Siapa kalian ini, dan apa salahku pada kalian?”
Brad Pitt menatap satu-satu perempuan ninja itu.
“Kenapa kau sendiri mesti berontak begitu rupa,
kita ingin bicara baik-baik,” kata salah seorang perempuan ninja. Wajahnya
seperti Julia Perez, dengan tingkat kemesuman lima kali lipatnya. Tepatnya, 5,3
kali lipat. Matanya nyalang seolah hendak mengunyah-unyah tubuh Gaston dengan
gemasnya.
“Bukankah kalian yang memulainya? Kalian
menyerangku,” Brad Pitt tetap juga tidak mengerti.
“Kalau kau mengerti alasannya, buat apa kita semua
berada dalam cerita silat ini? Tugas kita berkelahi, bersilat. Dan semua tak harus
dilakukan dengan alasan. Kau pikir para politikus itu juga mempunyai alasan
ketika bersilat lidah?”
“Apa hubungannya dengan politikus?”
“Tak ada! Dan apa perlu semua hal berhubungan?”
“Hiyaaaaaattttt,...!” seorang perempuan ninja
tampaknya tak sabar. Pukulannya telak di dada Brad Pitt.
Brad Pitt jatuh terjengkang tak berdaya. Pingsan.
Perempuan ninja yang memukul Brad Pitt langsung
meloncat dan menindih tubuh Brad Pitt yang lunglai.
Dengan cepat dan brutal perempuan ninja itu
melucuti pakaian yang dikenakan Brad Pitt.
“Hei, apa-apaan kamu?” perempuan ninja yang lain
berteriak.
“Gue gemes pengen memperkosanya,...” sahut
perempuan ninja yang menindih tubuh Brad Pitt.
“Huh, ngaco kamu. Apa enaknya bermain dengan lelaki
yang tanpa daya begitu, dogol kamu!”
“Terus gimana dong?” perempuan ninja yang menindih
Brad Pitt bertanya dengan lugu.
“Kamu sih ngawur saja. Cari air. Siram tubuhnya!”
“Di mana ada air di perbukitan gersang begini,...”
“Kita pipisin aja,...” perempuan ninja yang lain
lagi nyeletuk.
“Hus jorok!”
“Tapi kita harus segera serahkan cecurut ini ke
tempat Boss.”
“Enak saja, cecurut. Tampangnya lumayan, Cing.
Macho!”
“Sebelum kita serahkan, kita kerjain saja dulu di
sini,” sahut perempuan ninja yang lainnya lagi.
Para perempuan ninja itu tertawa cekikikan. Kik,
kik, kik.
“Tampangnya kayak Brad Pitt. Gila. Killer banget.”
“Pantes saja Jolie termehek-mehek.”
“Bagaimana kalau dia benar-benar Brad Pitt?”
“Atau setidaknya, kalau cersil ini difilmkan, Brad
Pitt pas banget dapat casting ini.”
“Dan gue yang merkosa pertama kali. Gue nggak mau
stunt-girl!”
Brad Pitt perlahan membuka matanya. Pandangannya
kabur. Ia tak tahu di mana ia berada. Ia hanya tahu kancing bajunya lepas.
Begitu juga ritsleting celananya, hingga celdamnya kelihatan. Warnanya merah
jambu.
Hanya suara riuh terdengar tak jauh darinya.
Suara-suara perempuan.
“Semestinya kita para perempuan mengambil alih
dunia ini,...”
“Maksudmu?”
“Dunia ini terlalu dipenuhi kebodohan laki-laki.
Lihat dunia politik kita.”
“Apa hubungannya politik? Ngawur lagi!”
“Kok apa-apa ditanya hubungannya. Apa-apa
hubungannya. Memangnya cerita silat tak boleh ngomongin soal politik? Aturan
dari mana? Dari Kho Ping Hoo, Gan KL, SH Mintardja, Bastian Tito, tak ada yang
mengatakan itu semua.”
“Dari mana kamu tahu nama-nama itu?”
“Dari kakekku, bapakku, mereka semua penggemar
berat cersil. Dan soal politik, bukan sesuatu yang tabu dalam cerita silat.
Intrik itu karena politik adalah keniscayaan!”
“Tapi ‘kan dengan cara yang sublim, smood, tidak
verbal seperti ini. Kalau dengan cara begini nilai sastranya rendah!”
“Ah, taik,...” perempuan ninja yang hendak
memperkosa Brad Pitt tampak temperamental. “Sebelum diserahkan pada Boss, harus
kunikmati dulu. Peduli setan! Setan aja tidak peduli! Huh!”
Perempuan ninja itu melangkah gagah mendekati Brad
Pitt.
Sementara Brad Pitt yang tersadar, berpura-pura
pingsan. Ia mesti waspada apa yang akan terjadi pada dirinya. Sungguh memalukan
mampus di tangan para perempuan. Brad Pitt menahan nafas, mengerahkan
konsentrasinya.
35 |
Perempuan ninja yang hendak memperkosa Brad Pitt makin dekat saja jaraknya.
Dengan gaya yang gagah, perempuan ninja itu kemudian berdiri mengangkang di
atas Brad Pitt terlentang.
Dengan gerakan terukur, Brad Pitt melayangkan pukulan
tepat ke titik pusat selangkangan perempuan ninja di atasnya. Sebuah ilmu totok
darah yang dipelajarinya di Guang Zhou,
waktu bersama Mario Teguh diajak jalan-jalan, dari hasil sharing iklan acara
MTGW.
Perempuan ninja itu tiba-tiba berdiri diam kaku.
Tak ada suara. Tak ada gerak. Mirip patung-patung realis di taman kota karya
Bambang Adi Pramono atau Edi Priyanto yang gemar dengan patung anjing itu.
Tapi karena adegan itu terjadi dalam kegelapan, tak
begitu mengundang kecurigaan bagi para perempuan ninja lainnya.
“Kok lama banget sih,” berkata perempuan ninja
lainnya.
“Ninja Tiga ‘kan kalau orgasme emang lama,…” sahut
perempuan ninja lainnya lagi.
“Apalagi yang diperkosa Brad Pitt,…”
“Xixixixixie,…”
Nama-nama perempuan ninja itu ternyata hanya
memakai sebutan dirinya dengan angka-angka. Ada Ninja Satu, Ninja Dua, Tiga,
dan seterusnya. Tapi meski ada lima perempuan ninja di situ, Ninja Lima tidak
ada, justeru yang ada Ninja Tujuh. Karena Ninja Lima dan Ninja Enam sedang
bertugas di tempat lain. Demikian, sekian pengumuman.
Namun tunggu punya tunggu, para perempuan ninja itu
akhirnya tak sabar.
“Kurang ajar Ninja Tiga ini, kasih tahu, kita mesti
buruan nih,…” berkata Ninja Satu yang agaknya paling senior.
“Dia sih yang lama foreplaynya, mainnya mah
cepet,…” sahut Ninja Tujuh sambil ngikik. Ninja Tujuh terkenal sebagai
perempuan ninja paling mesum dalam serial ini. Sehari tidak ngomong mesum,
kulit tubuhnya bisa berontok bentol-bentol. Mirip Ridwan Saidi, jika tidak
ngomong jorok sehari saja, encoknya bisa kumat. Apalagi kalau dalam seminggu
tak ada undangan stasiun TV untuk menjadi narasumber. Hancur Minah rasanya.
Untung saja Sutan Batoeghana kini semakin tak
kelihatan batang hidungnya. Bukan karena pesek, tapi karena terjerat oleh
bibirnya sendiri, sehingga rasa nggak nyaman untuk memainkan barangnya lagi.
Makan tuh barang. Meski pun beberapa produser TV merasa kehilangan asset dengan
surutnya masa-masa keemasan Sutan Batoeghana.
Tetapi sebagaimana ghalibnya media yang kini lebih
sering menjual sensasi, selalu saja ditemukan bibit-bibit baru, karena begitu
banyak manusia penuh talenta di Republik Indonesia ini. Seolah mati satu tumbuh
seribu. Jika kelak Ridwan Saidi pudar, siapa tahu penjual nasi uduk di Gang
Sentiong bisa menggantikannya. Tinggal memoles dengan gimmick dan idiom-idiom
yang tak kalah ngocolnya.
Perempuan ninja bernama Ninja Tujuh pun mendekat ke
arah Brad Pitt berada. Dalam remang-remang ia melihat Ninja Tiga berdiri
ngangkang. Ninja Tujuh bergumam dalam hati, ‘Sialan. Permainan sex apalagi ini,
sambil berdiri,…”
Tapi tiba-tiba, Ninja Tujuh pun kini berdiri kaku,
tak bergerak sama sekali.
Brad Pitt menotok tengkuknya dari belakang.
Brad Pitt kemudian meloncat ke arah tiga perempuan
ninja yang tak jauh dari tempat itu.
“Heyaaaa,…” Brad Pitt berteriak meniru pendekar-pendekar
silat. Sayang kurang menjiwai, jadi wagu.
“Kurang ajar!” Ninja Satu menyadari keadaan. Ia
segera pasang kuda-kuda. “Lelaki di mana-m,ana memang curang!”
“Kini satu lawan tiga, ini lumayan adil,” Brad Pitt
siap menghadapi serangan tiga perempuan ninja.
Pertarungan kembali berlangsung. Saling serang
saling menghindar.
Ninja Empat meloncat dengan tendangan mengarah ke
leher Brad Pitt. Dengan sigap Brad Pitt memiring kepalanya. Tangan kirinya
sigap menangkap kaki Ninja Empat. Dia kibaskan Ninja Empat dengan sepenuh
tenaga. Tubuhnya yang montok tepat mengenai Ninja Dua. Dan keduanya jatuh
terjerembab.
Dengan satu kali pukulan tenaga dalam, yang tak
begitu dalam, Brad Pitt membuat dua perempuan ninja itu terkulai tak sadarkan
diri.
“Ok, kini satu lawan satu,…” berkata Brad Pitt yang
kini tinggal berhadap-hadapan dengan Ninja Satu.
“Dasar bajingan,…” rutuk Ninja Satu.
“Emang,” Brad Pitt menukas pendek.
Tanpa babibu, Ninja Satu merangsek Brad Pitt.
Pukulan Guntur Bumi diluncaskannya. Mengarah ke wajah Brad Pitt.
Dengan sigap Brad Pitt mengeluarkan jurus Puput
Melati.
Pukulan Guntur Bumi pun menjadi lembek di hadapan
ajian Puput Melati.
“Kurangajar! Cepat katakan, siapa kau ini
sebenarnya, sebelum mampus tanpa nama,” Ninja Satu benar-benar keki dibuatnya.
“Lho, jadi kamu cuma pengen kenalan?”
“Mbahmu!”
“Kau bisa melakukan dengan baik-baik. Berapa nomor
PIN-mu?”
“Anjrit, nggak sopan babar-blas,
chiiaaaatttttttt,…!” Ninja Satu melakukan serangan beruntun.
Brad Pitt tidak melayaninya. Ia hanya mencoba
menghindari.
Hingga Ninja Satu kecapekan dengan sendirinya.
Wajahnya tampak kusut. Keringat menyulap paras wajahnya menjadi kian sensual.
“Kamu cantik dengan basah kuyup keringatmu.
Sensual,…”
“Ewet!”
“Bener. Nggak kayak dalam film-film silat, yang
tarung berjam-jam tapi tidak keringetan. Kalau di Indonesia, pernah lihat film
Rhoma Irama nggak?”
“Nggak sudi! Kamu aja yang penggemar Profesor itu!”
“Lihat dalam film-film Bang Haji itu. Meski dalam
adegan perkelahian yang seru, jatuh bangun begitu rupa, Bang Haji tak pernah
berdarah. Pakaiannya, tetap saja klimis dan setrikaan terus, meski jatuh di
tanah berlumpur,…”
“Hm, dasar penggemar Rhoma,” Ninja Satu tampak
makin jengkel. “Jangan melantur, kita selesaikan masalah kita.”
“Masalah apa? Aku tidak punya masalah apa-apa.
Apakah kamu hamil tanpa lelaki?”
“Setan! Jangan alihkan persoalan. Siapa namamu,
sebelum kubunuh kamu!”
“Pengen tahu banget, atau mau tau aja?”
“Prek!”
“Kalau mau tau aja, aja banget-bangetlah!”
“Kepo!”
“Yang kepo ‘kan kamu. Kita bisa bicara baik-baik. Apalagi
kamu cantik. Bodimu lumayan bagus. Dengan bra ukuran 36, itu cukup menantang.”
“Jorok! Rayuan aspal!”
“Swear. Kita bisa selesaikan masalah dengan lebih
terhormat dan mesra.”
“Jangan coba-coba merayu. Aku perempuan anti
rayuan.”
“Ok, kalau demikian, bagaimana kalau kita langsung
bercinta?”
“Sampah! Jangan perlakukan perempuan sembarangan
tauk!”
“Tentu saja tidak. Siapa yang berani sembarangan
memperlakukan perempuan? Bukankan KPU saja sampai ketakutan memberi kuota 30
persen untuk duduk di Parlemen? Jangan lupa, sah tidaknya partai politik ikut
pemilu hanya diukur oleh terpenuhi tidaknya kuota perempuan itu. Bukan soal
ideologi atau pelanggaran kampanye dan lainnya. Keren ya?”
“Nggak ada urusan. Sebutkan nama, dan siapa yang
membayarmu?”
Pertanyaan bodoh. Semua pembaca cersil ini sudah
tahu siapa namanya. Kurang suspens.
36 |
Matahari mencorong dengan ganasnya di atas South Queen Hotel ‘n Resort. Di
taman hotel itu, pada gigir tebing pantai Parangendog, tampak dua tubuh laki
perempuan terkulai tanpa busana. Susilo dan Sussy tertidur dalam pelukan.
Hingga matahari malu, dan sembunyi di balik awan.
Suara debur ombak Samodera Indonesia tampak tenang
menghanyutkan. Kalah kencang dengan dengkur
Susilo yang kelelahan.
Nun jauh di sana, sekitar 500 meter tak jauh dari
area South Queen, seorang nelayan melolong-lolong ketakutan.
“Ada mayaaaatttt, ada mayaaattttt,…” teriak nelayan
itu.
Dia pikir ada yang mendengarnya. Dan itu tak
mungkin. Suara gemuruh ombak bukan hanya bisa menelan suaranya, tetapi juga
bahkan menelan tubuhnya. Itu pun kalau ombak punya mulut. Padahal mulutmu
adalah harimaumu. Betapa mengerikan, bagaimana kalau mulut manusia itu berwujud
harimau. Bagaimana pula dengan wujud seperti itu jika pas kissing?
Tak ada yang sudi membayangkan, kecuali cerita
gemblung ini.
Namun meski ketakutan, nelayan itu khas orang
Melayu. Tidak juga pergi menjauh, sang nelayan justeru mendekat.
Mayat yang dilihatnya, sesosok tubuh perempuan.
Bersimbah darah. Masih segar.
Nelayan itu mendarat, meninggalkan perahu sampannya,
dan mendekat ke arah mayat berada.
Sesosok mayat itu bergerak. Nelayan undur beberapa
langkah. Bagaimana mungkin mayat bergerak?
“Masih hidup?” nelayan itu bertanya-tanya.
Tak ada yang menjawab. Karena pertanyaan itu hanya
kata batinnya. Lagi pula, tak ada siapa pun di situ, kecuali dirinya dan mayat
itu.
Kalau ada yang menjawab, pasti setan.
“Enak aja, ngapain aku menjawab,…” tiba-tiba
terdengar suara tanpa ujud.
Tengkuk nelayan menggeremang. Ia menoleh ke delapan
penjuru angin. Tak ada siapapun.
Suara yang baru saja didengarnya?
Anggap saja setan. Setan toh kambing hitam yang
baik. Dia bisa dipakai sebagai common enemy untuk diganyang habis-habisan,
senyampang disembunyikannya musuh kita yang sebenarnya. Untuk melawan ancaman
dalam negeri dan gerakan-gerakan sparatisme, Sukarno mendengungkan ‘Ganyang
Malaysia! Inggris kita linggis! Amerika kita setrika!’
Sama sebagaimana Soeharto menjadikan PKI sebagai
musuh bersama. Padahal siapa yang PKI sebenarnya, jika kita memakai tiga huruf
itu, untuk mewakili pemahaman tentang sesuatu yang buruk dan jahat?
Sementara Sukarno tetap bertahan tak mau
membubarkan PKI.
Babby Huwae sepulang mengantar Dewi Sukarno dugem,
pada dini hari yang menggelisahkan di tahun 1965, bertemu Sukarno, “Kenapa
Bapak tidak membubarkan PKI?”
“Diam kowe. Kamu tahu apa anak kemaren sore!”
Sukarno meradang dalam kegelisahan.
Babby Huwae terdiam dan tak berani berkata-kata
lagi. Tetapi tatapannya masih tampak memohon kebijaksanaan Bapak Pemimpin Besar
Revolusi Indonesia itu.
“Kalau PKI dibubarkan, dia akan menjadi
underground, kita tak bisa mengontrolnya, dan kita tidak tahu apa yang
dilakukannya!” jawab Sukarno kemudian.
Perjalanan politik Indonesia di awal kemerdekaan,
memang penuh pancaroba. Beruntung 10 tahun dari proklamasi Republik Indonesia,
pemerintahan Sukarno menyelenggarakan Pemilu 1955. Sebuah perhelatan demokrasi
Negara terbesar di dunia, yang mendapat apresiasi dan pembelajaran bagi
Negara-negara baru, yang juga sedang tumbuh dan akan lahir. Indonesia adalah
kiblat perkembangan demokrasi penting di dunia waktu itu.
Tapi hanya dalam usia pendek, Sukarno tergoda bujuk
rayu militer. Parlemen dibubarkan, dan diganti dengan orang-orang non partai.
Sementara untuk menghindari pemilihan umum, militer menggoreng isyu presiden
seumur hidup. Dengan alasan perkembangan PKI yang mengkhawatirkan. Pada 1948
PKI melakukan pemberontakan di Madiun. Jumlah pengikutnya masih kecil, masih
ratusan ribu. Namun hanya dalam tujuh tahun, pada Pemilu 1955, PKI menjadi
empat besar di republik ini.
Hal itu menjadikan militer was-was jika Indonesia
akan dikuasai PKI. Bukan militer sesungguhnya, tapi mungkin sponsor mereka.
Amerika Serikat dan blok sekutunya, yang waktu itu menyusun isu perang dingin
Amerika-Soviet. Mereka punya kepentingan agar Indonesia tak jatuh ke tangan
komunis.
Indonesia di bawah Sukarno, dianggap AS terlalu pro
Soviet dan Cina. Sukarno waktu itu masih berkukuh, “Indonesia mau merah, mau
hijau, asal rakyat yang menghendaki,…”
Tapi akhirnya muncul juga Demokrasi Terpimpin,
Presiden Seumur Hidup, dan pemilu sebagai ukuran negara demokrasi, yang
dijalankan per-lima tahun sekali, tak diselenggarakan lagi. Mestinya ada pemilu
1960, 1965. Namun baru pada 1971, itu pun setelah terjadi pergantian kekuasaan,
ketika Soeharto memodifikasi ajaran-ajaran Soekarno dalam golongan fungsional
dalam bentuk politik otoritarianisme, dengan nama Golongan Karya.
Politik hegemonic yang mencengkeram hajat hidup
rakyatnya sampai ke sendi-sendi azasi, dipraktikkan Soeharto, dengan mengatakan
politik no ekonomi yes. Cara berfikir, cara bersikap, dan cara bertindak.
Formalisme dalam berfikir masuk dalam sistem pendidikan sekolah, sikap
berkeagamaan, nilai etika dan moral. Sementara pragmatisme menjadi jalan hidup
keseharian, bahwa segala sesuatu berdasarkan azas manfaat. Jika sesuatu tidak
bermanfaat secara langsung, menjadi tidak berarti dan tidak penting. Hingga
rasa kemanusiaan, kebudayaan, nilai-nilai substansi menjadi tergusur oleh
hal-hal yang verbal, artificial. Proses tidak menjadi prioritas, karena produk
atau output menjadi utama. Akhirnya, tujuan menghalalkan cara. Yang penting
kaya, meski tidak mulia. Yang penting naik pangkat meski tak punya harkat. Yang
penting lulus sekolah meski goblog.
Nelayan itu memandangi tubuh perempuan yang
tergolek di rerumputan liar. Ia pastikan perempuan itu masih hidup.
“Siapa juga yang kurangajar melakukan ini? Ini
pasti pembunuhan,…” kata hati sang nelayan. Ia ingat pada tahun-tahun kacau
1965, menurut dongeng bapaknya, daerah itu tempat pembuangan para anggota dan
simpatisan PKI yang dibantai massa.
Segera ia mencopot kaosnya. Ia celupkan di air
laut. Ia mencoba merawat sosok perempuan itu.
“Uhg, uhg,…” perempuan itu terbatuk. Pelupuk
matanya bergerak-gerak.
Nelayan kemudian mencoba memberikan air minum pada
perempuan itu. Beberapa teguk air masuk ke dalam mulutnya.
Tapi tubuh perempuan itu tampak sangat lemah.
Nelayan itu kemudian membopongnya. Dinaikkan ke
dalam perahu sampannya.
Angin lautan mendorong perahu sampan nelayan ke
tepian pantai Depok, sebelah barat Parangtritis. Beberapa orang, para bakul dan
tengkulak ikan, seperti biasa menyongsong tiap perahu sampan yang menepi.
Tapi hampir berbarengan mereka menjerit, demi
melihat apa yang ada dalam perahu sampan itu.
Sesosok tubuh perempuan.
Masyarakat di tepi laut kidul itu pun gempar.
Berita sambung menyambung, berjalan dan berlari seolah mempunyai kaki sendiri.
Dari handphone satu ke handphone lainnya. Dari sms ke sms. Twitter. Fesbuk.
Hingga kabar itu cepat merebak sampai ke Timbuktu, di mana Paman Gober dari
Donald Bebek berada.
Dan wartawan-wartawan media cetak maupun
elektronik, setelah nongkrong di café-café sambil menunggu sosmed memberi
inspirasi buat mereka, biasanya datang belakangan.
Suara lengkingan Soldier of Fortune dari Deep
Purple mengiringi mobil polisi sektor Bantul yang datang ke TKP. Pak Polisi
agaknya lupa mematikan audio-system mobil patrolinya.
“Mana Pak Boediono?” bertanya Pak Polisi dengan
gagahnya. Perutnya buncit, mungkin hamil sembilan bulan, tapi nggak lahir-lahir
juga.
Boediono yang dimaksud adalah nama nelayan yang
menemukan seorang perempuan, yang diduga korban upaya pembunuhan. Siapa yang
menduga? Umumnya orang-orang awam dan wartawan. Jadi orang awam dan wartawan
itu sama saja ternyata. Bedanya, sekarang mereka menyebut diri sebagai jurnalis.
Keren. Tapi hanya sebutannya yang keren, nulisnya pakai handphone. Untung saja
tak pakai bahasa alay, meski tata-bahasa dan ejaannya sama sekali blangsak.
Boediono pun muncul. Sudah dua hari ia tidak
melaut. Rumahnya seperti pasar malam, padahal siang hari. Wartawan silih
berganti datang. Demikian juga orang-orang datang ingin melihat. Seperti
tontonan saja layaknya. Untung anak Boediono membuka jasa layanan parkir,
sehingga meski bapaknya tidak melaut, pendapatan dari parkir sepeda motor
lumayan.
“Pak Boediono, di mana perempuan yang sampeyan
temukan itu?”
“Waduh, ya sudah di rumah sakit, Pak. Lha
kemarin-kemarin ‘kan anak saya sudah lapor.”
“Ha, lagi sibuk ngawal kampanye, je, Pak! Pak SBY
je! Terus, ke rumah sakit mana?”
“Panembahan Senopati, Pak!”
“Katanya, perempuan itu dari mana?” Pak Polisi
lagi-lagi bertanya.
“Ya mana saya tahu, wong belum bisa diajak
bicara,…” Boediono agak jengkel juga.
Polisi kok goblog men, kata Boediono dalam hati.
Emang, sahut Pak Polisi dalam hati juga.
37 |
Masyarakat Mbuantul pun gempar. Ditemukannya perempuan di Parangendog, yang
diduga sebagai korban penganiayaan, mengingatkan kejadian sebelumnya. Waktu itu
Mbambang menelpon RS Senopati Mbuantul, agar menjemput perempuan gothic di
ara-ara amba Imogiri.
Kini ada lagi peristiwa mirip itu. Dan lagi-lagi
korbannya perempuan. Dan perempuan yang sama anehnya. Beberapa hari sebelumnya, terjadi pertarungan
bebas di depan Gedung DPRD-DIY di jalan Malioboro. Semuanya terjadi pada masa
kampanye Pemilu 2014 dimulai.
Apa sebetulnya yang sedang terjadi? Sebuah
kebetulan? Maksudnya, kebetulan diceritakan di cersil ini? Atau jangan-jangan
ini hanya sekedar cerita iseng, karena di fesbuk lebih dipenuhi caci-maki
antarpendukung kontestan Pemilu? Yogya adalah daerah test the water yang strategis,
bagi siapapun pemainnya. AC Nielsen pun perlu memakai responden daerah ini,
meski bukan potential buyers.
Gara-gara pemilu, fesbuker bisa sama koplaknya
dengan para jagoan dan babonan mereka. Dikiranya pemilu itu kegiatan yang
penting dan keren, hingga MUI membuat fatwa Golput haram. Ulama kok sama-sama
koplak. Apa hubungannya Pemilu dengan agama? Tak ada. Bahwa Pemilu harus
berjalan sesuai nilai-nilai atau norma agama, kebaikan, kemuliaan, bolah-boleh
saja. Apalagi kita mengaku-aku sebagai Negara Pancasila. Negara Pancasila itu
sekuler bukan, religious juga bukan. Artinya, kalau tidak ketahuan nggak
apa-apa. Kalau ketahuan bilang khilaf dan lagi dicoba Gusti Allah.
Padahal jelas dalam Undang Undang Dasar kita
disebut bahwa memilih dan tidak memilih dalam pemberian suara itu adalah soal
hak. Dan kita bukan negara berdasar undang-undang ulama. Ngapain mengikuti UUD
(Ulama-ulama Dongok). Nanti akhirnya UUD juga, ujung-ujungnya duit. UUD
pokoknya, udah uzur deh.
Kalau Golput dosa, apakah ada yang bisa meyakinkan
kita ini, mana parpol yang haram dan halal? Terus MUI jadi penguji tingkat
kehalalan dan keharaman parpol? Parpol bersertifikati MUI? Lagi-lagi hal itu
akan jadi obyekan baru. Tarif halal tingkat kecamatan, kabupaten, propinsi,
nasional. Belum lagi yang tidak lulus bisa membayar lebih mahal. Lumayan bisa
untuk biaya poligami.
Tapi jangan-jangan gerombolan teroris kini mengubah
taktik dan strateginya? Bukan lagi tebar bom. Tapi tebar teror yang lebih
mengerikan. Terror of fear! Caranya dengan membangun imaji-imaji, sebagaimana
diajarkan dalam teori teater avant garde. Atau barangkali para teroris ini
karena pernah nonton beberapa reportoar Teater Payung Hitam, Bandung, hingga
agak sedikit lebih pinter?
Tebar bom, tebar teror, tentu lebih pas untuk
teroris. Dulu, sebelum tebar teror, mereka mengubah taktik dan strategi menjadi
tebar pesona. Tapi gara-gara seorang teroris digaplok janda galak, gara-gara
salah dalam tebar pesona, mereka malu. Dan kemudian mereka kembali ke jalan
yang benar. Benar menurut mereka tentu.
Mungkin lho. Entahlah.
Yang pasti, perempuan yang ditemukan Boediono itu
pun kemudian boleh dibawa pulang. Pemerintah daerah kebingungan untuk
menampungnya. Apalagi identitasnya tak jelas. Dan identitas yang tak jelas,
berarti bukan identitas. Setidaknya, tak pantas ditolong. Satu-satunya petunjuk
adalah Surat Ijin Mengemudi. SIM-A. Tapi karena perempuan itu belum juga bisa
berbicara, tak ada informasi yang bisa dikorek. Sementara para birokrat di
level bawah, mana ada yang berani mengambil inisiatif? Belum ada petunjuk dari
atas. Padahal yang atas biasanya tidak menunjuk, tapi menuding.
Keluarga Boediono merawat perempuan itu dengan
telaten. Isteri Boediono sudah menganggapnya sebagai anak sendiri. Pertama
kali, waktu memandikan perempuan itu, isteri Boediono kaget juga. Tatoannya
banyak. Di punggung, pantat, juga, maaf (ya, saya maafkan) di vagina.
Atas kesepakatan keluarga, perempuan malang itu
diberi nama baru, Sri Mulyani. Tapi sampai sekarang, Sri Mulyani belum bisa
bicara juga. Hanya sudah lebih mending, karena bisa menggeleng dan mengangguk.
Meski butuh waktu lama untuk itu.
Baiklah. Kita tunggu saja, sampai kelak Sri Mulyani
ini mau buka mulut, meski pun para pembaca cersil ini kebanyakan berharap mau
buka baju. Tapi jangan ikuti selera mereka, bisa hancur bangsa dan Negara ini
jika dikuasai orang-orang mesum.
Kita tinggalkan sejenak mereka, untuk terbang ke
puncak pegunungan Sawiyabiyus, di Keerom, Jayapura.
Berada di ketinggian 300 meter dari permukaan air
laut, Mbambang bersama Dor bertemu salah satu kepala suku Papua. Namanya Daud
Anisson. Lelaki bertubuh kecil dan imut banget. Item mutlak. Siapa menyangka ia
salah satu komandan OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang sangat disegani? Tapi,
Daud Anisson, menganggap semuanya masa lalu. Ia tak mau bertutur mengenai itu.
“Yang penting, bagaimana nasib anak cucu saya besoknya,...” kata kepala suku
Bugison ini. Usianya sekitar 70-an.
Demi nasib anak cucu itulah, empat tahun lalu ia
terbang ke Jakarta, dengan biaya dari handai-taulan menjual sapi dan babi.
Bertelanjang kaki ia temui Menteri PU, Djoko Kirmanto. “Yang kami inginkan
bagaimana pemerintah Indonesia memikirkan nasib rakyat kami, membangun wilayah,
menyediakan jalan,...”
Masa lalu Daud, tampaknya kaya. Ia pernah pergi ke
Jawa dan Singapura. Pernah menjadi tenaga sukarela, ketika Prabowo Subianto
memimpin operasi pembebasan sandera Mapenduma. Menyelamatkan nyawa 10 dari 12
peneliti Ekspediti Lorentz '95 yang disekap oleh OPM tahun 1996.
“Berapa luas daerah kekuasaan Bapa?” Mbambang
bertanya pada kepala suku yang ke mana pergi dikawal seorang personil dari
Brimob, bersenjatakan senapan laras panjang dan berkendara sepeda motor Suzuki
Trail.
“Sejauh kau bisa memandang semua ini,...” kata Daud
ringan saja.
Dan di titik nol puncak bukit Sawiyabiyus, masuk
wilayah administrasi Skanto, distrik Keerom, Kabupaten Jayapura, terasa betapa
tak bertepinya daerah kekuasaan atau tanah miliknya. Sebuah jalan perintis kini
sedang dibangun, sepanjang 10 kilometer, membelah Sawiyabiyus. Sawiyabiyus
artinya ‘gunung dan laut menyediakan kehidupan’.
Dan memang begitulah adanya. Daerah itu begitu
subur menghijau. Daud meminta pemerintah membuat jalan itu, karena ia ingin
mengajak sanak-saudaranya menggarap tanah lingkungannya, untuk pemukiman dan
pertanian, yang kemudian diberi nama “Kampung Persiapan Inisiatif”.
Menempati kekuasaan tanah ulayat Daud Anisson, tak
jauh dari Papua Nuigini, ia membagikan 500 kapling bagi siapa saja yang mau.
Masing-masing disediakan satu hektar tanah gratis. Dengan syarat segera dalam
waktu enam bulan harus bangun rumah, meski semi permanen. Jika tidak, maka
tanah akan dimintanya kembali.
“Warga pendatang boleh ikut?” Mbambang bertanya.
“Monggo. Indonesia ini dari Sabang sampai Merauke,”
kata Daud yang humoris dan mengetahui beberapa patah kata Jawa. “Tanah ini
tidak akan habis untuk dihuni semua yang mau tinggal di sini,...”
“Abang mau?” Dor menyikut pinggang Mbambang.
“Bareng kamu?” Mbambang asal menyahut.
Dor terdiam. Mikir. Asyik juga sebenarnya. Bisa ML
di ruang terbuka, di bawah kolong langit yang begitu membiru. Pasti syahdu dan
mengharu-biru. Apalagi kentha-kenthu mulu.
Selalu ada orang hebat dan aneh di Indonesia Raya
ini. Tidak selalu dalam sorotan media. Tak punya fesbuk juga. Tetapi mereka
bekerja jauh lebih nyata.
Tak terasa, malam mulai menjelang.
“Kalian harus tinggal dulu di sini,” ujar Daud
Anisson menyedot kreteknya dalam-dalam.
Dor dan Mbambang saling pandang.
“Kalau menolak, kalian tak bisa pulang selamanya,…”
“Wah, kok main ancam?” Dor menukas.
“Tapi suka ‘kan?” Daud Anisson menggoda.
“Nyamuknya banyak nggak?”
“Banyak. Tapi nggak nakal. Nyamuk jantan biasanya
yang nakal!”
“Bapa Daud genit!”
Mbambang dan Dor pun akhirnya tidur di rumah kepala
suku. Bukan rumah adat sebagaimana dalam foto-foto etnik, tapi sudah rumah
tembok biasa. Di dinding ruang tamu terpasang foto Prabowo dan bendera
Gerindra. Alamak!
Mereka tidur di satu kamar. Maksudnya Mbambang dan
Dor. Bukan satu kamar untuk satu keluarga, termasuk Daud Anisson, isteri, dan
kerabatnya. Daud Anisson hanya mempunyai satu anak. Itu pun belum lama
meninggal karena kecelakaan.
Dari perabot rumahnya, Daud tidak bisa
dikategorikan miskin. Ada televisi, kompor gas, satu set meubelair dan sofa,
almari kaca besar tanpa isi. Ada juga kulkas, diletakkan di belakang rumah,
rusak karena aliran listrik yang tak stabil. Untuk ke kota, mereka butuh waktu
sekitar empat jam.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” Mbambang bertanya
pada Dor yang rebahan di sampingnya.
“Bapa Daud ingin membuka lahan untuk masyarakat,”
Dor menjawab sambil memain-mainkan rambutnya yang panjang. “Di sini tanahnya
sangat subur. Kalau penduduk mau menanam sayuran, pasti laku di jual di kota.
Apalagi kalau akses ke kota sudah terbuka, mungkin penduduk tak perlu
susah-susah lagi, pedagang tinggal ngambil ke sini.”
“Kamu cantik,…” Mbambang mengubah posisinya. Ia
telungkup.
“Terus?”
Mbambang tidak menjawab. Bibirnya sibuk menyelusuri
celah-celah bibir Dor.
38 | Udara
malam di pucuk Sawiyabiyus begitu dinginnya. Menggigit-gigit sampai ke ulu
hati. Tapi itu hanya berlaku untuk orang lain. Tidak bagi Mbambang dan Dor yang
keringatnya berleleran.
Tak terdengar suara adzan subuh. Karena memang tak ada
masjid di sini. Tahu-tahu sudah terang tanah. Mbambang dan Dor masih keleleran
di atas ranjang kayu. Padahal ajakan dalam
adzan subuh itu bagus. Shalat lebih baik daripada tidur.
“Dor,...” Mbambang membuka matanya perlahan. Di
sebelahnya Dor masih lelap dalam telanjang. Diperhatikannya Dor dari kepala ke
kaki. Dari kaki ke kepala. “Dor, kamu ngompol ya?”
Matahari terasa begitu dekatnya di atas Jayapura.
Seolah bisa digapai. Padahal tak mungkin. Khayal.
Daun Anisson sudah berada di proyek pembangunan
jalan. Lelaki mungil itu tampak penuh kharisma. Semua yang bertemu dengannya,
takjim menyalami dan mencium tangan. Seperti adegan di pesantren. Atau di
Cikeas ketika siapapun bertemu SBY. Bukan hanya Anas Urbaningrum, dulu sewaktu
masih menjadi ketua umum Demokrat. Kini panglima TNI pun ketika bersalaman
dengan panglima tertingginya, akan mencium tangan begitu usai memberi salute
militer. Militer Indonesia memang sangat santun dan Pancasilais.
Jalan rintisan di Sawiyabiyus itu sepanjang 12
kilometer. Jika sudah diaspal, kelak pasti menjadi jalan yang cukup megah,
menghubungkan daerah perbatasan dengan negara Papua Nuigini dan pusat kota
Jayapura. Mobilitas penduduk dari dan ke kota Jayapura dipastikan akan
menggairahkan ekonomi masyarakat.
“Ke mana tamu Bapa semalam? Sudah pulang?” bertanya
seorang mandor pembangunan jalan itu pada Daud Anisson.
Daun Anisson hanya tersenyum saja, tidak menjawab.
Mandor itu juga tak berani bertanya lebih jauh.
“Kamu awasi anak-anak itu bekerja,” Daud Anisson
berkata kemudian. Berkali-kali ia selalu mengingatkan hal itu. Anak-anak muda
Papua, khususnya yang bekerja dalam proyek pembangunan jalan itu, dulu sering
kedapatan tertidur di tengah waktu kerja. Gara-gara semalaman begadang dalam
pesta bir hingga berbotol-botol. “Kita semua orang mau ini jalan cepat
selesaikah,..”
“Iya, Bapa.”
“Supaya kalian juga bisa cepat jumpa keluargakah?”
“Iya, Bapa,...”
Uang sesungguhnya bukan sesuatu yang sulit di
Papua. Ada perputaran cukup kencang di daerah ini. Tapi warga pribumi yang
tidak dan belum terdidik, cenderung tersingkirkan dalam persaingan. Orang-orang
Bugis lebih menguasai dalam segala sektor kehidupan yang tumbuh di Papua.
Sementara anak-anak Papua yang belum terlatih memegang uang, begitu sedikit ada
uang di tangan, sepertinya seolah harus menghabiskannya segera dalam pesta.
Yang kadang semuanya itu bisa berakhir dalam berkelahian antarsuku. Hanya
karena persoalan sepele.
Mbambang dan Dor tampak menyusul Daud Anisson.
Wajah keduanya terlihat segar.
“Bagaimana tidur kalian? Nyenyak? Banyak
nyamukkah?” Daun Anisson menyongsong keduanya.
Dor hanya senyam-senyum.
“Hari ini kami mohon ijin,” Mbambang turun dari
mobil, “mau meneruskan perjalanan.”
“Ke mana lagi?”
“Ke daerah perbatasan.”
“Jangan terlalu malam di jalan. Saya tidak mau
menemukan mayat kalian di hutan,...”
“Makanya pagi ini juga kami mau berangkat.”
“Hati-hati di jalan. Kalian sudah makankah?”
“Mama kasih bekal ubi talas,” Dor menyahut.
“Kalian harus tahu itu makanan paling enak
sedunia,” Daud Anisson mengacungkan jempol.
“Bapa sudah keliling dunia?” Mbambang nyeletuk.
“Kalau dengan perempuan, ke mana saja, itu namanya
keliling dunia, meski kecemplung got pun,...”
Mbambang dan Daud Anisson tertawa.
“Ih, Bapa sexys,...!” Dor protes.
Mbambang dan Daud Anisson tertawa lebih keras.
“Ayo cabut,...” Dor meraih tangan Mbambang untuk
segera ke mobil.
Sepanjang perjalanan, Dor menjadi pemandu. Mbambang
masih agak kagok mengemudikan mobil, karena kondisi jalanan yang buruk. Belum
lagi jika berpapasan dengan mobil yang mengambil marka jalan seenaknya. Karena
memang tak ada marka atau pun tanda-tanda. Belum lagi jika bertemu dengan
gerombolan babi-babi ternak di tengah jalan. Melindas salah satu di antaranya,
bisa kena denda jutaan rupiah oleh pemiliknya.
“Terimakasih sudah mengajakku ke tanah Papua,”
Mbambang tiba-tiba bergumam.
“Biar kau tidak menganggap bahwa Indonesia hanya
Jakarta.”
“Sayang aku bukan novelis.”
“Kenapa?”
“Kalau aku novelis, mungkin bisa membuat cerita
dengan setting Papua, atau daerah-daerah pelosok lainnya di Nusantara ini.
Bukan hanya dengan tema dan setting kosmopolitan.”
“Novel-novel kita hanya dipenuhi cerita-cerita kaum
modern, dengan persoalan individual dan psikologismenya. Kalau ke masa lalu,
pasti lebih sering ke tema sejarah dan politik. Orang film mungkin lebih keren,
sudah mulai berani merambah setting di luar Jakarta.”
“Itu karena ada funding, tidak murni eksplorasi
kreatif.”
“Bisa jadi. Ari Sihasale mungkin tak sedahsyat
Garin Nugroho atau Riri Reza. Tapi, dia orang kreatif yang menarik.”
Cut!
Tak ada adegan menarik dalam perjalanan Mbambang
dan Dor. Keduanya tak punya ide bermain kemesuman di tengah hutan. Mungkin
takut pas lagi asyik-masyuk ditombak anak-anak suku yang masih suka main
perang-perangan.
Ganti scene ke Jawa. Tepatnya tak jauh dari
Imogiri. Brad Pitt sedang nongkrong di angkringan pinggir jalan. Kenapa di pinggir
jalan? Karena kalau di tengah jalan terlalu berbahaya.
Wajahnya tampak kusut. Tubuhnya lelah. Pertarungan
dengan Ninja Satu berjalan cukup alot. Tapi akhirnya, sebagaimana lakon-lakon
silat di mana pun di dunia ini, sang lakon tak boleh kalah oleh penjahat.
Masyarakat dunia masih merindukan hadirnya pahlawan, ketika dalam kenyataan
lebih banyak ditemui pecundang.
Ninja Satu bisa diringkusnya. Dan dia sembunyikan
di bak belakang mobil. Agar tak mengundang perhatian, mobil super deluxe itu
diparkirnya di semak belukar, dan tak terlihat oleh sesiapa yang lewat.
Menikmati wedang uwuh, terasa menyegarkan di
kepala. Cukup untuk mengusir rasa pusing.
“Sugeng enjang, Mas Jokowi,...” tiba-tiba terdengar
suara perempuan di belakang Brad Pitt.
“Eh, Mbak Ajaib, monggo, mau ngersakke apa?”
pemilik angkringan yang dipanggil Jokowi tertawa ramah. Wajahnya memang mirip
Jokowi. Atau bisa jadi Jokowi asli, karena trend capres sekarang yang suka
menyamar dan blusukan ke mana-mana. Siapa tahu kepilih jadi presiden.
Perempuan yang dipanggil Ajaib itu kemudian
terlihat memilih-milih beberapa gorengan yang tersedia di angkringan. Usai
membayar kemudian pergi begitu saja, menaiki sepedanya.
“Siapa, Mas?” Brad Pitt bertanya pada Jokowi.
“Dia anak Jakarta. Sudah beberapa hari ini tinggal
di Mangunan. Itu desa wisata di sebelah,...”
“Namanya Ajaib?”
“Iya, nama yang aneh,... Setiap pagi dia selalu
gowes di jalanan ini.”
Dada Brad Pitt berdesir. Ia seperti pernah melihat
perempuan itu.
“Sebentar ya,....” Brad Pitt berpamitan pada penjual
angkringan.
“Mau ke mana, Mas?”
Tapi yang ditanya sudah menggeblas pergi.
Bagaikan Gundala Putera Petir, yang bisa lari
secepat kilat, Brad Pitt sudah berada di belakang perempuan bernama Ajaib.
Padahal ia tidak mengejarnya dengan sepeda, meski namanya Brad Pitt. Coba kalau
namanya Brad Pittmontor, pasti larinya bisa jauh lebih kencang.
Tiba-tiba tanpa dinyana tanpa diduga, sepeda yang
dikemudikan Ajaib oleng. Dan sepeda itu jatuh ke aspal jalan. Ajaib terpental
dan terjerembab di rerumputan pinggir aspal jalan.
Brad Pitt kebingungan dan bertanya-tanya. Ada apa
gerangan?
Apalagi demi melihat perempuan itu seperi epilepsi.
Tubuhnya bergerak-gerak mirip orang breakdance dengan gerakan patah-patah.
Baru kali ini Brad Pitt terlihat tolol.
Brad Pitt cepat-cepat membopong Ajaib ke
semak-semak belukar. Tapi perempuan itu terus merintih, dalam gerakan
kejang-kejang.
“Oh, yes,.... oh, no, oh, yes, oh, no,...” rintih
perempuan itu tiada putus.
39 | Brad
Pitt kamitenggengen. Ia hanya diam memperhatikan perempuan yang
menggelesot-gelesot di rerumputan itu. Kalau pingsan, mungkin lebih jelas
tindakannya. Memberikan nafas buatan. Dan Brad Pitt cukup ahli dalam hal itu.
Saking kebingungannya, Brad Pitt pun kemudian malah
menolong sepeda yang dipakai gowes perempuan bernama Ajaib. Tak ada yang aneh dalam sepeda itu. Tapi, ia perhatikan bentuk sadel
sepeda yang lain dari yang lain. Astagfirullah!
Bentuk sadel itu mencurigakan Brad Pitt. Mungkin
itu pangkal sebabnya. Jika sadel-sadel biasanya empuk dan datar saja, ini sadel
kenyal dengan tonjolan memanjang di tengah. Ketika Brad Pitt mencoba menaiki
sepeda itu, sedikit menekan sadel dengan pantatnya, sadel itu tiba-tiba
bergetar. Dan pangkal paha Brad Pitt jadi sakit. Untung biji zakarnya tidak
meletus. Biasanya yang meletus cuma balonku. Dan entah kenapa, balon hijau
selalu meletus pertama kali. Padahal mustinya balon biru, karena berani
mengatakan tidak pada(hal) korupsi.
Makin terheran-heran Brad Pitt, ketika dilihatnya
Ajaib secara ajaib berdiri perlahan, dan kemudian menari-nari. Seolah para
penari sufi yang dipantek selangkangannya dan bergerak berputar-putar.
Ajaib terus bergerak berputar, menuju hutan pinus
yang banyak terdapat di perbukitan Imogiri. Sorot matahari pagi di sela
dedaunan, memberikan efek artistic yang sungguh cantik. Mirip film-film Akira
Kurosawa. Sangat puitis.
Ajaib berputar mengitari dari satu pohon ke pohon
lainnya. Ia seolah melayang seperti pendekar-pendekar sakti yang terbang
meringankan tubuhnya. Padahal tubuh Ajaib tidak ringan. Cukup berbobot. Apalagi
payudaranya.
Menurut sinyalemen feminis Gadis Arifia,
partai-partai politik ternyata lebih memilih tampilan orang daripada kapasitas
otaknya. Apalagi caleg-caleg perempuan, lebih dipilih karena payudaranya yang
besar daripada otaknya yang besar. Pendapat yang sexy, tetapi sekaligus sangat
sexys! Dalam kalimat itu, tak ada makna lain bahwa perempuan berpayudara besar
bukanlah makhluk berotak besar, alias bodoh. Bagaimana dengan perempuan
berpayudara besar tapi berotak besar juga? Apa bedanya manusia berhidung pesek
bodoh dan perempuan berhidung pesek pintar? Apakah kita harus menilai
kepintaran otak dari payudara, hidung, bentuk kaki, wajah? Apa bedanya dengan
pendapat Sule atau Olga jika demikian? Ya, Allah, ampunilah perempuan
berpayudara besar yang pintar, dan pintarkanlah perempuan berpayudara tipis
yang bodoh. Agar mereka tidak jadi korban sexual harresment, bahkan oleh
kaumnya sendiri yang menjadi pejuang kesetaraan gender. Hiks!
Perlahan terdengar Naino Mein Sapna, sebuah lagu
karya Sajid-Wajid, yang dalam film Bollywood berjudul Himmatwala, dinyanyikan
oleh Amit Kumar dan Shreya Ghoshal. Mehe, mehe, mehe!
Brad Pitt terpana. Tapi ini kesempatan bagi Brad
Pitt, untuk bisa latihan menjelang masa-masa kejatuhannya. Siapa tahu ketika di
Hollywood sudah tak laku, ia bisa ikut main di Bollywood? Toh hanya beda tipis
antara B dan H, Bollywood dan Hollywood. Kalau B dan H dijadikan satu, pasti
asyik.
Ajaib dalam gerakan slowmotion berputar-putar
mengelilingi sebatang pinus yang besar. Brad Pitt pun kemudian mengikutinya.
Tapi tiba-tiba Ajaib berhenti. Brad Pitt pun
ikut-ikutan berhenti.
Ajaib memandang tajam pada sosok lelaki di dekatnya
itu.
“Are you Brad Pitt? Sure?” Ajaib kini berdiri
berkacak pinggang.
Lelaki berwajah Brad Pitt itu diam saja. Apakah dia
hendak mengatakan nama sebenarnya, atau diam saja membiarkan dirinya dianggap
Brad Pitt?
“Sudah lama aku ingin memperkosamu,…” Ajaib
tiba-tiba menerjang Brad Pitt. Hendak dicengkeramnya kerah baju Bradd Pitt.
Tapi tentu saja Brad Pitt tak ingin membiarkan
semuanya ini berlangsung. Apalagi di sebuah cersil yang tidak jelas. Dengan
sigap ia kibaskan dua tangan Ajaib yang berhasil mencengkeram kerah bajunya.
Kancing baju Brad Pitt pun terlepas. Mirip Rhoma Irama dalam film-filmnya,
melepaskan kancing baju paling atas, memamerkan bulu dadanya.
Tapi bagai kata pepatah, sepandai-pandai tupai
melompat, tetap saja ia adalah tupai. Maka jatuhlah Brad Pitt terjengkang di
antara bebatuan kapur Imogiri.
Tak menyia-nyiakan kesempatan, Ajaib lari menerjang
dan menindihinya. Dengan penuh nafsu ia sosor mulut Brad Pitt.
Brad Pitt gelagepan. Dada Ajaib terasa kencang
menindih dadanya.
“Kamu suka women on top?” Brad Pitt mencoba
mengacaukan pikiran Ajaib.
Tapi Ajaib agaknya tak mendengar. Tanpa dikacau pun
pikirannya sudah kacau. Dan jika sedang demikian, bisa berkali-kali dia
ngompol. Makanya begitu banyak persediaan pampersnya.
Ajaib sibuk dengan pikirannya sendiri. Apalagi jika
bukan pikiran mesum.
Ajaib terus saja menekan Brad Pitt. Mungkin karena
ia pecinta gowes, gerakannya seperti perempuan sedang menggowes sepeda. Makin
lama makin cepat, seolah sepeda yang menuruni perbukitan, dan kaki harus
mengikuti gerakan pedal berputar makin cepat. Makin menurun jalanan, makin
kencang gerakan kakinya.
Duooorrrrrr,…!
Tiba-tiba terdengar suara letusan yang amat
kencangnya. Tak jauh dari tempat Ajaib dan Brad Pitt. Brad Pitt kaget
dibuatnya. Dengan segera ia mencoba bangun. Ajaib tertidur di atas tubuhnya.
Ia singkirkan Ajaib dan kemudian dengan segera
berdiri. Untung saja ini hanya dalam bentuk bacaan. Kalau dalam film tentu
sudah ketahuan kalau Brad Pitt lupa menarik celananya yang melorot.
Brad Pitt segera lari mendekat ke sumber suara.
Benar kekhawatirannya. Mobil super deluxenya hancur
sewalang-walang. Makdirabit. Apakah Ninja Satu juga ikut hancur di dalamnya?
Atau, jangan-jangan ada yang mencoba membebaskan Ninja Satu dan kemudian baru
meledakkan mobil Brad Pitt?
Ah, cersil kok penuh teka-teki. Emangnya teka-teki
silang?
Brad Pitt berdiri mematung. Mulutnya seolah
terkunci. Kerongkongannya tercekat.
Bagaimana dia memberitahukan semua ini pada Susilo?
Sementara tugasnya sendiri belum dilakukannya untuk membereskan gerombolan
pengacau?
Inderanya yang tajam membuatnya waspada. Sebuah
desiran angin menekan ke arahnya. Dengan sigap Brad Pitt merunduk.
Jleb! Sebuah anak panah menancap pada pohon yang
berada di belakangnya. Sepucuk surat disertakan dalam anak panah itu. Seperti
dalam cersil-cersil.
Brad Pitt mengambil anak panah dan kemudian membaca
surat yang tersertakan. Dahinya berkerut; “Jangan lupa, nanti malem kita nonton
konser jazz ya? Sekali-kali malmingan, love,…!”
Pusing juga Brad Pitt membacanya. Tapi belum sempat
berfikir, kembali ia rasakan desakan angin mengarah padanya. Lagi-lagi Brad
Pitt merundukkan tubuhnya.
Jleb! Sebatang anak panah lagi-lagi menancap pada
pohon di belakangnya. Sepucuk surat disertakan dalam anak panah itu.
Brad Pitt lagi-lagi mencabut anak panah dan
kemudian membaca suratnya; “Sorry, tadi salah cabut anak panah. Ini yang benar:
Jika kau tidak segera pergi dari sini, bukan hanya mobilmu, tapi tubuhmu bisa
hancur sewalang-walang.”
Brad Pitt waspada memandang ke sekeliling.
40 | Meski agak gagap, Sri
Mulyani kini sudah mulai bisa bicara. Tapi benar-benar harus mengajari dari
awal. Untuk menyusun tiga-empat huruf, sepertinya dibutuhkan tenaga ekstra.
Sampai-sampai Boediono terpaksa mengundang seorang guru SLB secara khusus.
“T-e = te, l-i = li, ng-a = nga,
apa coba Sri Mulyani?” Guru SLB itu menunjuk pada gambar telinga yang digantungkannya
di dinding.
“Kuping,…” sahut Sri Mulyani
dengan tangkasnya.
Namun keluarga Boediono sangat
sabarnya. Pasti nanti suara ketika Sri Mulyani akan kembali seperti semula.
Hanya dibutuhkan kesabaran di Indonesia ini. Jika tidak, ngapain juga kita membentuk
republik ini? Bukankah mending diserahkan pada Inggris, Belanda, Jepang, atau
sekalian Amerika saja, dan kita cukup menjadi budak-beliannya?
Bukankah kesabaran membuat kita
bisa memperingati ulangtahun kemerdekaan hingga ke 68? Bagaimana kalau sampai
69? Pasti ada yang bilang nikmat banget.
Boediono sudah kembali melaut.
Karena memang demikianlah pekerjaannya. Seorang pekerja rutin, dan sangat ahli
dalam bidangnya. Bukankah hanya itu yang dibutuhkan manusia hidup? Soal yang
lain-lain, di luar kerutinannya? Sudah ada yang mengurus.
Sementara itu di atas
Parangendog, di bekas South Queen Hotel ‘n Resort, Susilo termangu sendirian.
Ia sampai pada pertanyaan
eksistensialis; Apakah yang kucari di dunia ini?
Agaknya ia jatuh cinta pada
Sussy. Setidaknya, dari segi nama sudah ada kesamaan. Itu indikasi jodoh yang
pertama. Sementara dari segi lain, sejujurnya Sussy perempuan yang luar biasa
baginya. Dari sekian petualangan sexnya, baru ia dapatkan ramuan goyangan
vagina yang sangat komplit. Dari model India, China, Jepang, Arab, Zimbabwe,
Rusia, Perancis, London, semuanya ada. Dalam bahasa para penyair yang lebay,
hanya tidak ada yang tiada. Ah, gambis!
Pikiran tentang Kitab Pararaton
seolah tersingkirkan karena falling in love. Apa yang dicarinya di dunia ini?
Bukankah kebahagiaan? Dan kalau ia cukup bahagia dengan Sussy, tidak cukupkah?
Apa yang dicari ARB yang dalam
berpolitik pun masih perlu membopong-bopong Teddy Bear? Adakah boneka beruang
itu puncak pencapaiannya setelah meninggalkan lumpur Lapindo dan pencapresannya
di Republik Indonesia ini? Jika tidak, untuk apa semuanya itu? Untuk membiarkan
isterinya pergi sendirian di villanya di Spanyol sana? Mengapa Tatty Bakrie
lebih suka berlibur sendirian nun jauh di sana, tanpa suami? Benarkah
sendirian? Mengapa ARB tidak menggendong-gendong orang lumpuh seperti dilakukan
oleh Harry Tanoesoedibyo, dan disiarkannya di stasiun televisinya sendiri?
Apakah politik dan sex adalah sesuatu yang harus dipisahkan atau disatukan?
Apakah politik tanpa sex membuatmu frustrasi dan tak bisa melemaskan
syaraf-syarafmu yang stress? Apakah sex tanpa politik sesuatu yang hina-dina
hingga kau masuk parpol, jadi anggota parlemen, hanya karena ingin bisa
menikmati sex dengan bebas?
Lantas kenapa Prabowo Subianto
mesti bercerai dengan isterinya? Apakah isterinya kurang cantik? Tidak
mencintainya? Dan bagaimana kelak, seandainya, Golkar kemudian berkoalisi
dengan Gerindra? Apakah Prabowo akan menelan ludahnya sendiri, untuk menolak
Soehartoisme? Lantas bagaimana Titiek Soeharto, sekiranya ia lolos menjadi
anggota DPR dari Golkar, ketika terpaksa harus menghadiri pidato Prabowo di
parlemen, seandainya mantan suaminya itu menjadi presiden?
Politik gossip. Langit di luar,
langit di badan, kata Rendra. Pemimpin dan rakyatnya, sama saja.
Sebetulnya, apa sih sex, atau
seks, itu? Menurut kamus Inggris-Indonesia, diartikan itu kelamin. Tapi oleh
Bang Jaih, dari Kramat Sentiong, waktu mengisi kolom sex, dia tulis; “Kagak
pasti, bisa seminggu dua kali, tapi kalau lagi tongpes diampet aja,…”
“Apakah engkau masih punya orangtua?” Susilo
bertanya lembut pada Sussy.
“Sudah pada meninggal, Bang Su,”
jawab Sussy sendu. Masih mending disebut Bang, daripada cuma Su doang.
“Lantas bagaimana aku
melamarmu?”
“Bang Su mau melamarku, untuk
menjadi istrimu?” mata Sussy berbinar. Handuk yang melilit tubuhnya yang padat
melorot.
“Jangan pelorotkan handukmu,…”
“Melorot sendiri, Bang Su,…”
“Belum pernah aku jatuh cinta
seperti ini.”
“Ah, mulut lelaki.”
“Bukankah aku memang lelaki?”
“Pada semua perempuan Bang Su akan
ngomong juga seperti itu.”
“Iya. Dan adakah itu salah,
sebelum kutemukan dirimu?”
Preeeetttt! Terdengar suara
burung belatuk kentut sambil terbang.
Tak ada jawaban.
Dan tak terdengar pembicaraan
lagi.
Yang ada hanya dengus nafas tak
beraturan.
Gelegar ombak di Laut Kidul
terdengar menggelora. Geriap air seolah berkejaran, saling tumpang tindih.
Bergulung-gulung.
Susilo dan Sussy tiba-tiba
menghentikan kegiatannya. Keduanya serentak menarik selimut untuk menutupi
tubuh mereka yang bugil.
“Kau bisa mengetuk pintu
terlebih dulu bukan?” Susilo berkata dengan nafas ngos-ngosan.
Brad Pitt yang berdiri di depan
pintu tak segera menjawab.
“Bukankah kau diajari sopan
santun oleh orangtuamu?” Susilo kembali mendengus.
“Maaf, saya tidak tahu, apakah
saya harus menutup pintu kamar Boss terlebih dulu, dan baru kemudian
mengetuknya,” jawab Brad Pitt.
“Cepat katakan, ada apa?” Susilo
membentak.
“Mobil Boss hancur diledakkan
entah oleh siapa,” Brad Pitt berkata gamang.
“Lain kali laporkan jika kamu
sudah mengetahuinya. Kalau hanya mengatakan ketidaktahuanmu, buat apa kau
digaji tinggi? Seburuk-buruk dari semua yang bekerja padaku, tidak boleh lebih
buruk dari kerja anggota Parlemen tauk!”
Apa hubungannya, rutuk hati Brad
Pitt.
Nggak ada, tukas hati Susilo.
“Terus, kalau tak ada mobil,
bagaimana kita bisa menyelesaikan persoalan kita? Cepet suruh minta gantinya,”
Susilo terus saja mencak-mencak.
Brad Pitt hanya bisa diam.
Berbeda jauh dengan Brad Pitt yang ada di layar film.
“Pergilah sebentar,” Sussy
terdengar menengahi, “dan biarkan kami berdua berpakaian dulu.”
“Ya, itu lebih baik,” Susilo
mengamini.
Brad Pitt pun pergi menjauh. Ia
berdiri di gigir tebing. Memandang ke laut lepas. Hamparan Samodera Indonesia
seolah menyimpan misteri maha dalam. Seberapa dalamnya? Entahlah. Tak perlu
basah kuyup menyelaminya. Cukup searching di Google dan kita akan tahu berapa
kedalaman Laut Kidul itu.
Malming yang boring. Brad Pitt
ingat surat gelap yang dibacanya di Imogiri, sebetulnya surat itu ditujukan
pada siapa? Dan dari siapa? Sepertinya dari orang yang sedang berkencan. Ah
tidak penting mikirin orang lain. Sedang mikirin diri sendiri saja betapa
beratnya.
Mestinya sekali pun dalam
cersil, ada juga adegan malmingan. Tapi buat apa malmingan buat dirinya yang
jomblo? Tiba-tiba Brad Pitt teringat perempuan bernama Ajaib.
Pikirannya melayang ke
perbukitan Imogiri. Saat itu juga ia hendak terbang.
“Pitttttt!” tiba-tiba terdengar
suara Susilo berteriak.
Hm, malmingan bisa batal, gerutu
Brad Pitt.
Dengan langkah gontai, Brad Pitt
melangkah ke arah Susilo berada.
Lelaki bertubuh tambun itu
terlihat sendiri duduk di teras pavilliun.
“Barangkali ini sudah takdirku,”
Susilo berkata pelan ketika Brad Pitt sudah duduk di hadapannya.
“Apakah itu, Boss?”
“Pergilah kau, dan tinggalkan
aku di sini,…”
Brad Pitt ternganga.
“Jangan katakan pada siapapun.
Hanya kau yang ngerti.”
“Boss,…”
“Aku dan Sussy telah bersepakat
untuk menikah. Dan aku akan tinggal di sini bersamamu,…”
Mulut Brad Pitt makin lebar
menganga.
“Boss serius? Bagaimana dengan
Kitab Pararaton itu? Bagaimana pula kalau kitab itu dikuasai para Golput?”
“Jangan terlalu serius dengan
cersil ini. Kamu bisa ketipu,” Susilo berkata bijak.
“Maksudnya?”
“Jalani saja maunya penulis,…”
Susilo berkata pelan. “Kusadari, bukan aku yang kuasa menyuruhmu. Juga bukan
aku pula yang bisa berkehendak atas diriku. Ada bajingan yang berkuasa atas
hidup dan kemauan kita.”
“Mengapa kita tidak lawan saja
penulis cersil ini?” Brad Pitt meradang | Bersambung ke jilid 41.
41 | Jantung Brad Pitt berdegup
kencang. Ia merasa cemas akan nasibnya.
Dengan perasaan tak karuan, ia
tinggalkan Susilo dan Sussy. Nasib orang memang tidak bisa ditebak. Brad Pitt
kini tak tahu mau ke mana. Muncul pada pikirannya, bagaimana ia bisa
mengumpulkan tokoh-tokoh fiksi seluruh Indonesia, untuk menghancurkan
diktatorisme para penulis yang melebihi Tuhan. Kalau Tuhan berkehendak, post
factum masih ada logikanya. Tapi begitu banyak penulis yang ngawur membuat
jalan hidup tokoh-tokohnya. Mana yang karakterisasinya tidak konsisten,
perkembangannya tidak ada, psikologinya amburadul. Belum lagi filsafat logika
mereka yang kebanyakan kacau-balau.
Menulis semestinya adalah
pelajaran menjadi manusia. Dan belajar menjadi manusia tidak bisa hanya sekedar
membaca buku-buku sastra, apalagi sekedar untuk meniru gaya seorang penulis.
Alangkah menyedihkannya kalau semua novel Indonesia gaya bertuturnya hanya
model Salihara mulu, biar mendapatkan Prince Klauss Award.
Dalam pada itu, Dor dan Mbambang
berada di bandara Sentani. Dor mengantar Mbambang yang hendak menuju ke
Pontianak. Dan untuk itu, yang paling memungkinkan, terbang dari Jayapura ke
Jakarta, baru kemudian dari Jakarta ke Papua. Jurusan Pontianak via Makassar
sudah full booked. Kalau pun ada harus nunggu tiga hari lagi. Makanya itu pilihan paling logis dari
kenyatan-kenyataan yang tidak logis.
Mbambang tidak bisa menjelaskan
pada Dor kenapa mesti ke Pontianak. Pada penulis pun ia sudah wanti-wanti untuk
tidak memberitahukan pada pembaca.
Semalam usai pergulatan dengan
Dor, dan setelah Dor pulas tertidur, Mbambang bertemu Kanjeng Ratu Kalinyamat.
Tak jelas, naik apa puteri dari Raja Demak itu ke tanah Papua.
“Kamu ini bener-bener deh,…”
Kanjeng Ratu Kalinyamat menyemprot Mbambang. “Apa yang kamu dapatkan beberapa
hari berada di Papua?”
Mbambang bingung juga hendak
menjawab apa. Bukankah ia hanya diminta untuk menemani Dor?
“Bukan hanya menemani!” Kanjeng
Ratu Kalinyamat seolah mengetahui kata hati Mbambang. “Kau aku suruh mengikuti
Dor karena Kitab Pararaton itu dibawa terbang ke Papua,…”
Mbambang tergagap-gagap, “Maksud
Kanjeng Ratu?”
“Kitab Pararaton itu ditemu
mahasiswa Papua yang lagi makan di angkringan Pakde Karwo di Imogiri. Tapi anak
itu sekarang ke Pontianak, untuk penelitian suku Dayak,…”
Mbambang terdiam. Kenapa jika
Kanjeng Ratu Kalinyamat sakti, bisa hidup ratusan tahun, bisa menembus rang dan
waktu, tapi membiarkan semuanya itu terjadi?
“Tidak segampang itu,” lagi-lagi
Kanjeng Ratu Kalinyamat seolah menjawab kata hati Mbambang. “Aku tidak bisa
lagi ikut campur tangan secara fisically. Sebagai penyaksi aku bisa. Tetapi
terlibat secara fisik, aku tidak punya kuasa. Kita masing-masing diikat oleh
code of conduct,…”
Itulah sebabnya, Mbambang minta
pamit pada Dor hendak ke Pontianak.
Dor sendiri sebenarnya ingin
banget ikut. Tapi jadwal pekerjaannya tidak memungkinkan. Katanya dalam dua
hari lagi salah seorang menteri yang jadi capres, hendak bertemu dengannya.
Biasa, cipika-cipiki.
“Jangan nakal di sana,” Dor
tampak was-was.
“Aku kan orang alim,…” Mbambang
nyengir.
“Pantes mesum!”
“Lho, alim kok mesum?”
“Orang alim biasanya mesum.”
“Buktinya?”
“Buktinya ada orang alim yang
bikin video porno, threesome pula,…”
“Itu bukan alim, itu ulama,
ulama goblog!”
“Heis, kuwalat lho!”
“Halah, MUI aja kok bikin
kuwalat. Yang harus kita takuti itu Allah subhanahu wa ta’alla. Kalau ada ulama
tapi kerjaannya menakut-nakuti, itu alamat dia tak layak ditakuti! Katanya
mengakui Muhammad sebagai nabi dan rasulullah terakhir, tapi kenapa banyak yang
mengaku-aku sebagai utusan Tuhan, mengaku-aku mendapat amanah Tuhan, untuk
menggebugi orang lain? Mana SK pengangkatannya? Nabi palsu tak layak digugu.”
Bandara Sentani tampak begitu
ramai. Banyak juga orang lalu-lalang dari dan ke Papua. Ada orang Jawa, Cina,
Bugis, disamping orang-orang Papua sendiri. Route penerbangan terpadat memang
dari Jakarta dan kemudian Makassar. Tapi kebanyakan orang Papua yang
mondar-mandir adalah pejabat pemerintahan, atau kalau tidak orang partai
politik. Selebihnya mereka yang menjadi petugas kebersihan, kuli, calo tiket, atau
supir taksi.
Mbambang baru menyadari, bahwa
semestinya ia bisa membaca pikiran Kanjeng Ratu Kalinyamat. Ngapain juga
menyuruhnya ke Papua jika bukan berkait Kitab Pararaton? Bukankah judul cersil
ini Mencari Kitab Pararaton? Kenapa Mbambang tidak membaca judul ceritanya
sendiri?
Menyedihkan. Jasmerah, kata Bung
Karno.
Sesampai di Bandara
Soekarno-Hatta, ingin rasanya Mbambang turun. Kangen. Lama ia tidak melihat
kamarnya. Tak ada yang lebih menyenangkan dari membenamkan hidup dalam kamarnya
yang bau apek itu.
Perjalanan yang menyebalkan. Dan
tidak logis sebenarnya. Pesawat yang ditumpanginya pun kembali menggegana,
kembali ke arah timur.
Tapi bagaimana melacak orang
yang diduga membawa Kitab Pararaton? Apakah dia mesti mengubrak-abrik orang se
Pontianak untuk bisa menemukan?
Tak ada petunjuk yang jelas
mengenai itu semua.
Dan seperti biasanya Mbambang
pun jadi linglung.
Setiba di Bandara … segera
Mbambang ke kantor gubernuran. Ia mencari kantor dinas yang mengurusi perijinan
mereka yang melakukan penelitian atau riset.
“Waduh, kita tidak mempunyai
daftarnya. Dan bukan hal yang mudah,…” ujar perempuan berseragam ijo telek
lencung dari balik loket kaca.
Tanpa banyak cakap, Mbambang
menyorokan secarik kertas. Perempuan itu cepat menerima dan membacanya.
Mbambang dengan tenang kemudian
pergi menjauh.
Tak lama kemudian sebuah sms
masuk ke handphone Mbambang.
“Tnggu aq di café Maniang yeah,
stngah jam lg,” begitu Mbambang membaca bunyi sms yang diterimanya.
Pada ojek di depan kantor pemda,
Mbambang meminta di antar ke café Maniang.
Menyusuri jalanan Pontianak yang
panas, lalu-lintas tampak lengang. Beberapa penjual duren di pinggir jalan
menebarkan godaan yang menyengat.
Sudah setengah jam Mbambang
duduk-duduk manyun di café Maniang. Es syrup rumput laut masih separohnya.
“Abang dmn?” demikian sms yang
masuk ke handphone Mbambang.
“Di dlm. Meja 16,” Mbambang
mereplay.
Seorang perempuan akhirnya
mendatangi meja Mbambang. Itu perempuan yang ditemui Mbambang di loket kantor
dinas Pemda. Sudah tak memakai seragam ijo telek lencung lagi.
“Mau minum apa?” Mbambang
bertanya.
“Terserah Abang aja,…” jawab
perempuan itu. Wajahnya keras, dan sedikit mesum.
Mbambang memperhatikan dandanan
perempuan itu. Simple. Sepertinya sekali tarik semuanya akan beres saja.
“Jangan terserah dong, nanti
kalau Abang kasih racun, gimana?”
“Racun asal memabukkan tak
apa,….” perempuan itu menyahut ringan saja.
Ketawanya nakal. | Bersambung ke
jilid 42.
42 |
Perempuan di depan Mbambang itu mengaku bernama Fatin Hamamas. Mungkin dari
suku Hamas. Tak penting itu nama aseli atau palsu. Yang pasti perempuan itu
mata duitan. Karena diiming-imingi duit, akhirnya PNS itu memberikan data yang
dibutuhkan Mbambang.
Waktu menemuinya di kantor dinas, Mbambang tak ingin
banyak bicara. Hampir semua birokrasi di pemerintahan
Republik Indonesia, berpedoman sama. Jika bisa dipersulit, kenapa harus
dipermudah? Dengan mempersulit maka dengan mudah duit akan datang, untuk
membuka jalan kemudahan bernama pelayanan. Ada uang ada barang. Perkara bahwa
pemerintahan dibangun untuk pelayanan masyarakat, biarkan itu hanya dalam
undang-undang dan peraturannya saja. Toh semua itu dilakukan oleh oknum, bukan
oleh manusia.
Jika saja libido Mbambang sedang on the mood,
godaan Fatin mungkin diladeninya. Tapi toh dengan uang ratusan ribu, Mbambang
sudah bisa mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Lagian, bau tubuh Fatin
membuat Mbambang tidak tertarik. Mulutnya bau menyan.
Mana nikmatnya kissing dengan perempuan bermulut
bau menyan?
Mbambang segera berangkat ke Entikong. Perjalanan
dari Pontianak ke Entikong cukup jauh, hampir tujuh jam. Mestinya sebelum senja
sudah sampai ke Entikong. Tapi medan yang berat membuat perjalanan menjadi
sangat lamban.
Entikong kota kecamatan di kabupaten Sanggau,
Kalimantan Barat. Memiliki jalur perbatasan darat dengan negara Malaysia,
khususnya Sarawak. Jalur darat itu sering disebut jalur sutera, di mana
lalu-linta rupiah dan ringgit begitu kencangnya. Bus, truk, dan taksi-taksi
gelap, banyak lalu-lalang baik dari Indonesia maupun Malaysia, tanpa harus
menyeberangi sungai maupun laut. Karenanya tak heran banyak TKI berasal dari
Jawa dan Sumatera menggunakan jalur perbatasan ini.
Semestinya daerah perbatasan merupakan garda
terdepan sebuah negara. Namun tidaklah demikian dengan Entikong. Sebagaimana
daerah-daerah perbatasan dengan Negara lain, seperti di Nusa Tenggara Timur,
Papua, atau pun Kalimantan Utara dan Timur.
Di kota kecamatan itu masih sangat minim
infrastruktur. Bahkan bahkan untuk mencapai ke wilayah ini tidaklah mudah.
Sudah terbayang di benak Mbambang, bagaimana sulitnya perjalanan.
Di sepanjang perjalanan, hanya pepohonan dan
perbukitan menghijau. Perkebunan kelapa sawit seolah sambung-menyambung.
Rumah-penduduk hanya satu dua, masing-masing berjarak cukup jauh. Dan hampir
kebanyakan rumah penduduk membuka warung. Siapa yang membeli jika semuanya
berjualan? Pada masing-masing warung selalu menyediakan meja besar dengan
beberapa kursi. Bisa dipastikan di sana tersedia minuman kopi.
Ngopi dan kongkow agaknya menjadi bagian tak
terpisahkan. Apalagi pada malam hari, ketika hidup adalah menikmatinya.
Sementara pada siang hari, masing-masing orang pergi ke ladang atau ke kebun.
Pontianak adalah kota seribu sungai. Ada banyak
sungai-sungai besar di kota ini. Tanahnya subur, dan banyak ruang menantang
untuk digarap.
Namun sebagaimana wilayah-wilayah di luar Jawa,
potensi yang luar biasa ini sering terabaikan. Dari sumber daya alam,
pemerintah pusat hanya tertarik untuk menggarap pertambangan dan perminyakan.
Sementara sumberdaya pertanian sama sekali tidak dilirik. Apalagi Menteri
Keuangan, entah sebagai anggota kabinet atau ekonom liberalis, mengatakan
Indonesia mesti meninggalkan pertanian dan menggarap sektor industri teknologi.
Sama sekali tak berbekas, bagaimana dulu hampir
100% kebutuhan lada dan kina dunia pernah kita pasok. Sebesar 30% kebutuhan
karet dunia, 25% kebutuhan kelapa dunia. Sementara kebutuhan kebutuhan teh,
gula, kopi, dan minyak dunia, rata-rata 20% pasokan dari Indonesia. Waktu itu
Indonesia masih bernama Dutch East Indies.
Pada jaman Sukarno, diperkuat dengan dibangunnya
penelitian agrikultur dan Institut Pertanian Bogor, negara-negara Asia datang
ke Indonesia, untuk belajar pertanian. Dan kita membusungkan dada dan menyebut
diri sebagai Negara Agrikultur. Meski kemudian kita tahu, dibandingkan budidaya
pangan dan pertanian di Thailand, Indonesia kini bertekuk lutut.
Seiring dengan berjalannya waktu, sekarang kita
impor beras, bawang, garam, kedelai, singkong, sapi. Bahkan lebih dari itu,
kita juga mengimpor garam, ikan teri, ikan asin, di mana kita punya laut dan
garis pantai terpanjang di seluruh dunia.
Presiden SBY konon adalah doktor pertanian dengan
kelulusan cum a laude. Namun sama sekali tiada tampak bagaimana hal itu muncul
dalam pemikiran-pemikirannya. Pengembangan program pertanian Indonesia justeru
bergerak karena USAID menggelontorkan dana hingga puluhan juta dollar AS pada
tahun 2011 dan 2012. Dibandingkan dengan program Kementerian Pertanian, segera
tampak bahwa hampir semua program pembangunannya adalah program USAID ini. Dan
kita sering dengan gagah berkata; ganyang Amerika!
Dalam kampanye-kampanye politik pada Pemilu tahun
ini, kita memang mendengar kembali partai-partai politik mengumbar janji.
Mereka bertekad memajukan sektor pertanian dan meningkatkan kesejahteraan
petani. Namun kemudian kita akan mengetahuinya. Semua hanyalah janji politik.
Tidak semua mengerti, bagaimana sektor pertanian
memiliki peran sangat penting dan menentukan. Baik dalam soal pangan maupun
ekonomi. Komitmen untuk memajukan sektor pertanian dan meningkatkan
kesejahteraan petani, hanya dilakukan sebatas untuk membangun kepercayaan
rakyat pada parpol. Seolah mereka mempunyai keberpihakan terhadap rakyat kecil.
Para politikus hanya melihat rakyat dalam kalkulasi
angka-angka. Mereka dalam ruang tertutup dan dingin ber-AC, di atas meja,
sebagaimana para pemain catur mengotak-atik bidak berupa angka-angka. Potensi
dukungan politik yang bisa diraup, dari mereka yang menggantungkan hidup pada
sektor pertanian, sangatlah besarnya.
Hasil Sensus Pertanian 2013 mencatat; jumlah rumah
tangga yang menggantungkan hidup pada kegiatan usaha tani, mencapai 26,13 juta
rumah tangga. Bisa dibayangkan, bila di setiap rumah tangga tani terdapat tiga
orang pemilik hak suara. Akan didapat sekitar 79 juta potensi suara yang bisa
didulang parpol. Angka ini sekitar 40 persen dari 186 juta potensi suara yang
diperebutkan di dalam pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden.
Namun hanya berhenti di situ.
Usai pemilu, yang melenggang duduk di Senayan sudah
berubah agendanya. Dan rakyat, bagaikan pendorong mobil mogok. Ditinggal begitu
saja setelah mesin mobil hidup. Itu pun kadang, pendorong mobil bisa ditinggal
dan jatuh terjerembab, dengan muka bengap menggasruk aspal jalan atau mencium
tai kerbau.
Sesampai di Entikong, malam sudah larut. Terpaksa
harus menginap. Transportasi ke Badat Lama, satu-satunya hanya bisa ditempuh
melalui jalur sungai. Dengan menggunakan perahu bermotor. Tak bisa melalui
jalur darat, karena memang tidak ada infrastrukturnya.
“Nginap dulu di Entikong. Meski ini kota kecil,
tapi kota ini tak pernah tidur,...” goda sopir yang mengantar Mbambang.
Dari nada bicaranya, Mbambang menebak lelaki itu
menawarkan bau kemesuman.
Bagaimana pun Entikong kota internasional. Lalu
lintas dari dalam dan ke luar negeri, sangat tingginya. Tentu saja, karena
Entikong adalah pintu darat yang menghubungkan dengan negara Malaysia.
Meski negara serumpun ini sering dalam pertikaian
psikologis, di daratan yang muncul adalah cinta dan benci. Apalagi Malaysia
adalah negara yang lebih makmur. Pasar terbesar bagi hasil bumi sebagian besar
penduduk di Kalbar, Kalut, dan Kaltim. Jika tidak, mengapa juga harus muncul
Kalut, Kalimantan Utara, sebagai pecahan Kalimantan Timur, jika bukan karena
hitung-hitungan ekonomi para elitenya? Jika di beberapa negara modern yang
muncul adalah unifikasi, di Indonesia justeru lebih sering terjadi pemekaran
wilayah. Alasan-alasan klasiknya, percepatan pertumbuhan. Padahal, sering
terjadi lebih karena ketidakmampuan mereka mengelola konflik.
“Di sini yang paling oke amoy-amoynya. Langsung
dari Singkawang,” bisik lelaki yang mengantar Mbambang.
“Terus?”
“Ini nggak ada di Jawa,” laki-laki itu agaknya
terbiasa menjadi calo. “Lagi pula, perjalanan masih akan sangat jauh dan tidak
sangat mudah. Bapak akan masuk ke hutan belantara, dengan ribuan nyamuk
penghisap darah yang ganas,...” | Bersambung ke jilid 43.
43 | Hutan
belantara Kalimantan betapa ganasnya. Perjalanan menyusuri Sei Sekayam, atau
sungai Sekayam, benar-benar telah menghajar tubuh Mbambang. Setelah selama
empat jam, dari Entikong ke dusun Suruh Tembawang, Mbambang harus meneruskan ke
jalan darat. Melintasi tebing sungai dan menembus hutan, kaki Mbambang seolah
jebol. Belum nyamuk hutan yang ganas
mencecap darahnya.
Tapi beruntung Mbambang bertemu seorang pemuda
Dayak yang mau menemaninya. Namanya Badrun, tetapi anak Dayak ini seorang
Kristen Protestan. Ke gereja kalau ingat hari Minggu, karena kadang hari Minggu
sejak pagi sering ia sudah harus mengantar orang-orang hilir ke hulu.
Perjalanan sepanjang sungai Sekayam sangat
memukaunya. Di kiri-kanan sungai, pepohonan besar dan rimbun, juga batu-batu
segede gajah, atau bahkan lebih besar dari itu, seolah berserakan. Bisa jadi
Kalimantan dulu juga mempunyai gunung-gunung berapi. Kini semua gunungnya
mungkin sudah pada tidur. Dan memberikan kesuburan bumi yang luar biasa.
Jika boleh dikata paling menyenangkan, sepanjang
perjalanan tidak ditemuinya gambar-gambar partai. Itu berbeda ketika masih di
Entikong. Gambar partai politik berkibaran, meski agaknya lebih didominasi
PDIP, Nasdem, Gerindra, dan Demokrat. Beberapa bagian ada juga Golkar.
Sementara di sepanjang Sekayam, sama sekali tak
didapatinya gambar parpol atau caleg. Mungkin para pemilik gambar itu pusing
juga. Bagaimana bisa menempelkan gambar dengan jumlah pohon yang tak terhitung
itu.
Jika pun ada gambar partai, justeru gambar partai
peserta pemilu 2009. Dipakai sebagai penutup perahu-perahu kecil pendulang
emas, yang banyak ditemu sepanjang sungai itu.
“Kamu dengan duit segitu tidak layak untuk
mengeluh,” Mbambang merasa heran melihat Badrun yang meski periang namun
gampang mengeluh. Badrun seorang kepala kapal, yang kesehariannya mengantar
orang-orang Suruh Tembawang pulang balik ke Entikong. “Di Jawa, sehari bisa dapat
600 ribu itu harus susah-payah jika bukan pengusaha kaya atau koruptor.
Dikemanain saja duitmu?”
“Cewek, Bang,…” Badrun menjawab sambil nyengenges.
“Kamu main cewek?”
“Cewek kalau nggak ada duitnya nggak mau,…”
“Oh, jangan dengan cewek komersial, tapi cewek yang
amatiran,…” Mbambang mengajari.
“Cewek amatiran gimana, Bang?”
“Cewek komersial itu cewek yang kalau diajak main
minta duit.”
“Kalau cewek amatiran?”
“Kalau cewek amatiran nggak ngomongin duit, tapi
cinta,…”
“Ah, mana ada cewek mau cinta-cintaan nggak pakai
duit? Saya mau nyari cewek Jawa saja,…”
“Lho, kenapa? Cewek Dayak ‘kan cakep-cakep. Sexy
dan kuat!”
“Tapi mereka mata duitan, Bang. Kalau cewek Jawa
mereka mau kerja keras,…”
Mbambang ketawa ngekek, “Jadi, kamu nyari cewek itu
untuk apa? Siang kamu peras tenaganya, malam kamu peras susunya?”
Badrun ketawa ngakak. Suaranya bergema seolah
menyusuri tebing-tebing Gunung Borneo.
Badrun pernah bekerja di Malaysia. Jadi imigran
gelap. Ada banyak jalan tikus menuju ke Malaysia, tanpa perlu paspor. Dengan
gaji sebulan 600 ringgit Malaysia, sesungguhnya cukup enak. Tapi di Malaysia
dia bekerja sebagai petani. Pekerjaannya tiap hari menanam dan memetiki
sayuran. Ia merasa terhina dan hanya betah tiga bulan. Ia kabur melalui jalan
tikus. Berjalan hampir empat jam, menyusuri sungai-sungai kecil di tengah
hutan.
Tentu saja dibandingkan dengan pekerjaan yang
ditekuni sekarang, Badrun merasa lebih enak. Dalam sebulan ia dengan kerja
malas-malasan bisa mendapat lebih dari lima juta rupiah. Tapi duit itu lebih
banyak habis untuk foya-foya. Ia sering menghabiskan malam-malamnya di kedai
kopi pangku.
Kedai kopi pangku, istilah mereka untuk café-café
kaki lima yang menyediakan perempuan dengan layanan komersial. Ada perempuan
Jawa, Dayak, Melayu, dan para amoy dari Singkawang.
“Pokoknya asal Abang mau nraktir sebotol bir, dapat
itu cewek.”
“Gitu ya?”
“Coba aja besok kalau kita balik ke Entikong!”
Perjalanan dengan perahu bermesin berakhir di dusun
Suruh Tembawang. Untuk melanjutkan lagi ke dusun Badat yang ada di atasnya,
harus berganti perahu.
“Kita mesti ke rumah kepala desa dulu, Bang,…”
Badrun menepikan perahu bermotornya.
Seorang lelaki bertubuh tegap menyambutnya di tepi
sungai. Namanya Gak, anak suku Dayak Sukung. Wajahnya tampak masih lebih muda
dibanding Mbambang. Penampilannya keras tapi modern.
“Ini kepala desa Suruh Tembawang, Bang,” Badrun
memperkenalkan lelaki di hadapan Mbambang.
Keduanya bersalaman.
Gak, lengkapnya Gak Mulyadi, baru tiga bulan
dilantik sebagai Kepala Desa Suruh Tembawang. Desa paling terdekat dari
Entikong. Nama Mulyadi di belakang Gak, untuk menghormati bapak angkatnya yang
bernama Mulyadi, yang menyekolahkan Gak hingga SMP di Entikong.
Sebagai kepala desa, Gak mempunyai daerah kekuasaan
sangat luas. Membawahi 10 dusun yang berpencaran dari bukit ke bukit. Jauh
lebih luas dari daerah kekuasaan walikota atau bupati di Jawa, bahkan mungkin
lebih luas dari kekuasaan Jokowi sebagai gubernur DKI Jakarta.
Beberapa dusun di antaranya berbatasan langsung
dengan Malaysia. Jarak satu dan lain dusun sangatlah jauhnya. Satu sama lain
hanya dihubungkan dengan jalan setapak. Dipisahkan dengan sungai dan tak jarang
harus naik-turun perbukitan.
Bukan hanya jarak tempuh yang jauh, namun karena
medannya tidaklah mudah.
“Pak Gak ini dalam Pilkades tahun lalu, menang
mutlak 90% suara,” Badrun membanggakan kepala desanya, “Katanya, para ibu-ibu
mutlak memilihnya.”
Gak tertawa malu. Tubuhnya memang atletis dan sexy.
Coba saja kalau mencapreskan diri, pasti ibu-ibu seluruh negeri pada lebay, dan
memilihnya jadi presiden seperti ketika SBY dulu mencapreskan diri. Katanya,
SBY lebih jantan dan cakep dibanding Megawati.
“Wah, hebat. Di Indonesia ini, yang bisa menang
mutlak sebesar itu hanya Habieb Rizieq,…” Mbambang kagum juga dengan kemenangan
Gak.
“Siapa itu, Bang? Capres?”
“Iya. Imam Besar FPI.”
“FPI? Klub sepakbola, Bang?”
“Yah, semacam itulah!”
“Bukannya Jokowi? Katanya dia sudah menang,…”
“Itu kan dalam survey. Tapi dalam Survey FPI
kemarin, Jokowi keok. Dalam survey FPI itu, Habieb Rizieq diunggulkan 90%
lebih, sementara Jokowi 0%!”
“Wah, hebat sekali. Apa dia juga keturunan Pangeran
Diponegoro?” Badrun agaknya suka menonton televisi juga. Karena hanya itu
hiburannya, jika sedang tak punya uang untuk menikmati kopi pangku.
Menjelang senja di Suruh Tembawang, tak terdengar
sama sekali adzan maghrib. Karena memang tak ada masjid di desa itu. Kebanyakan
penduduknya beragama Kristen Protestan. Ada banyak gereja di desa dengan
penduduk mayoritas petani ini.
Bolam di ruang tamu rumah kepala desa menyala
dengan parahnya. Voltage-nya turun-naik. Listrik di Suruh Tembawang berasal
dari turbin mikro-hydro, memanfaatkan air sungai.
Ditemani minuman tuak air tape dan kue crackers
dari Malaysia, Mbambang ngobrol bertiga dengan Gak dan Badrun. Gak agaknya
seorang peminum yang cukup ampuh. Di beberapa sudut ruang tamu, terlihat
beberapa botol minuman keras. Beberapa merk standar internasional.
Kurang dari satu jam, satu botol tuak dari air tape
merah dihabiskan Gak. Padahal kadar alkoholnya jauh lebih dahsyat dibanding
minuman keras yang boleh dijual bebas di toko-toko. Tak jarang tuak sulingan
air tape yang dibuat tradisional itu, kadar alkoholnya mencapai 80% lebih.
Dipantik dengan api bisa menyala dengan warna biru jernih. Jauh lebih bagus
dibanding LPG dari Indonesia yang kalah bersaing dengan Gas Petronas Malaysia.
Segala jenis minuman, yang kadang dibelinya dari
Malaysia, sudah dirasainya. "JD di Malaysia cuma 150 ringgit, di kita bisa
700 ribu, Bang!" kata Gak tiru-tiru memanggil Mbambang dengan sebutan
Bang.
“Ayo, Bang, jangan malu-malu,…” Gak mengompori
Mbambang yang memang malu-malu.
Bagaimana pun juga, Gak adalah kepala desa. Apa
kata dunia jika ia mengajak kepala desa minum tuak bareng-bareng?
“Tak apa, di si sini bebas. Kepala desa itu ‘kan
kalau di depan penduduk,…” Gak terus memanas-manasi Mbambang.
“Badrun bukannya penduduk?”
“Dia itu setan,…”
Mbambang dan Gak tertawa terbahak. Sementara Badrun
diam saja. Sudah pulas mendengkur di atas tikar rotan.
“Kau ada lawan di rumah. Lha aku?” Mbambang
melenguh.
Gak bergeser duduknya. Mendekat ke arah Mbambang,
“Abang bisa pilih, yang perawan atau janda di sini,…”
Set, dah! | Bersambung ke jilid 44.
44 |
Sendirian di ruang tamu, Mbambang gelisah tak bisa memicingkan mata. Bolam di
ruang tamu padam, sementara Gak sudah setengah jam lalu meninggalkannya.
Sialan! Mbambang melenguh-lenguh. Sementara dengkuran
Badrun terasa makin kencang. Bagai badai mahagora, dalam lagu Indonesia
Mahardhikka Guruh Gypsy. Mbambang membayangkan betapa jika anak-anak muda seperti Badrun itu, berhimpun dari Sabang hingga
Merauke, mereka bisa lebih dahsyat membangun kampung masing-masing. Dan tak
perlu pedulikan lagi bagaimana orang-orang genit di Jakarta berpose di depan
kamera televisi.
Tapi, bagaimana kalau Gak benar-benar mencarikan
perempuan Dayak untuk menemaninya tidur?
Gila!
Mbambang gelisah. Ia coba pejamkan mata, tapi
pikirannya melayang ke mana-mana. Rasa gigitan kecil bibir Dor di puting
susunya, terasa menggigit. Tanpa sadar tangan Mbambang meraba putingnya. Masih
terasa pedih.
Yang membuat hatinya kebat-kebit, jika ia bercinta
dengan perempuan Dayak, alamat dia tidak akan mungkin meninggalkan tanah
Kalimantan. Demikian kata mitos. Dan demikian yang membuatnya pusing.
Tapi ada hal lain yang membuatnya takut. Bagaimana
pun juga tugasnya adalah mencari Kitab Pararaton. Itu tugas utamanya. Ia tak
mau mengecewakan Kanjeng Ratu Kalinyamat untuk kedua kalinya. Ia tidak ingin
kitab itu lenyap nyap begitu saja, seperti Surat Perintah 11 Maret yang hilang
tiada bekas. Sementara begitu banyak kitab-kitab warisan para ortu kini
bertebaran di Eropa dan Amerika. Dan ketika kita hendak membacanya, meski hanya
lewat internet, kita mesti membayarnya.
Ia ingat ketika berada di pesantren Sunan Bonang.
Pada jaman swargi Sunan Bonang, pesantrennya mempunyai banyak santri, dari
berbagai kota dari Jawa, Sumatera, dan juga Borneo. Ada ribuan santri.
Andaikan, ya andaikan, masing-masing santri itu kemudian menulis satu buku,
mengingat ulang ajaran gurunya, pasti ada ribuan buku yang kelak bisa dibaca
oleh generasi berikutnya. Tapi semuanya andaikan. Seperti lagu India, andaikan
andaiki andaikan ndeka-ndeki,…!
Di almari kaca yang terkunci di pesantren Sunan
Bonang, terdapat sebuah kitab setebal bantal. Pada lembar pertama yang dibuka,
orang bisa melihatnya, buku itu ditulis untuk seorang ningrat di Kadipaten
Surabaya. Kata seorang penjaga, artinya, kalau bukan orang yang disebut dalam
persembahan buku itu, bisa celaka jika membacanya. Bisa mati, atau setidaknya
sakit, bagi yang nekad melakukannya.
Oh, my Godness! Betapa ngenes! Lha terus, untuk apa
buku itu ditulis, jika tak ada yang membaca, karena yang diijinkan membaca pun
sudah meninggal, dan kita tidak tahu apakah anak-turunnya mendapatkan surat
wasiat untuk boleh membacanya? Sebuah ilmu, tamat sampai di situ. Sia-sia.
Tiada guna.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai
para pendahulunya yang sakit. Dan kita sakit abadi karenanya.
Pagi-pagi Mbambang terbangun. Di ruang tengah,
sudah tergelar sarapan pagi. Dua orang perempuan tampak sibuk menyiapkannya.
Yang satu isteri Gak, yang satunya entah siapa. Mbambang belum melihat
sebelumnya. Tapi tubuhnya kekar, seperti Chaterine Zetta Zone.
“Maaf, semalam listrik mati,…” Gak tiba-tiba muncul
sambil menyodorkan segelas teh hangat.
“Mati atau memang dimatikan?” Mbambang menggoda.
“Mati, karena turbinnya kemasukan sampah,… jadi
mesinnya nggak bisa putar.”
“Itu lebih baik. Gak bisa lebih tenang menjalankan
tugas sebagai suami, ‘kan?”
Gak tertawa. Tapi ia kemudian berbisik, “Semalam
anak itu sudah ke sini,…”
“Siapa?”
Gak menunjuk dengan lirik matanya ke arah Zetta
Zone.
Darah Mbambang meriap di dada. Kenapa tidak ada pemain
film Hollywood dari suku Dayak? Mbambang memaki-maki pemerintah. Indonesia
begitu kaya-raya, tetapi Hollywood tidak sudi ke Indonesia, lebih memilih China
dan Thailand. Dikiranya Indonesia tak pantas untuk menjadi setting film cerita
yang mampu menggetarkan jagad raya.
“Bang Mbambang tidurnya seperti orang meninggal,…”
Gak membuyarkan lamunan Mbambang.
“Kata siapa?”
“Semalam anak itu tidur di samping Abang,…”
Bergetar dada Mbambang. Jantungnya berdegup dengan
irama rock ‘n roll.
Bagaimana kalau semalam ia diperkosa Chaterine
Zetta Zone itu? Dan jika itu terjadi, bagaimana jika Mbambang tak bisa kembali
ke Jawa? Sihir Dayak telah mencencang melalui penisnya.
“Ke mana Badrun?”
“Dia sudah turun sebelum terang tanah,” jawab Gak
mengamati raut wajah Mbambang.
Pusing Mbambang membayangkan, bagaimana ia
meneruskan perjalanannya di dusun di atas tebing Badat?
Usai mandi di sungai Sekayam, Mbambang kemudian
sarapan pagi. Hanya dia dengan CZZ (Chaterine Zetta Zone) di ruang tengah.
Sial!
Gak dan isteri agaknya sengaja menyingkir.
Tapi benar. Ini benar-benar CZZ. Paras wajahnya
yang kokoh. Sinar matanya. Rambutnya. Bahunya. Dadanya. Panggulnya. Pantatnya.
Pahanya. Sepertinya juga kuku di jari sebelah kirinya.
Beberapa saat tidak ada pembicaraan. Keduanya
saling diam. Di tikar rotan tergelar masakan aneka rupa. Semuanya hasil kebun
sendiri. Tapi ada juga kerupuk buatan Malaysia.
Di warung-warung penduduk, kebanyakan memang
didatangkan dari Malaysia. Lebih murah dan katanya lebih enak. Kecuali untuk
rokok dan mie instan. Di Indonesia ini, pabrik rokok agaknya hanya ada di Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Entahlah, setelah pemerintah mengumumkan; Merokok
Membunuhmu. Maka sebelum terjadi pembunuhan dengan rokok, pemerintah mestinya
sudah menangkap atau membunuh si pembunuh itu. Entah melarang menanam tembakau,
atau membunuh para petani pelan-pelan dengan cara seorang ksatria membunuh
musuhnya.
Khusus mie instan, di Malaysia justeru banyak
beredar Indo Mie buatan Malaysia. Dan beberapa di antaranya, masuk juga ke
beberapa kampung-kampung perbatasan.
Pusing juga Mbambang mau memulai percakapan.
Sialan! Bukannya ngobrol Mbambang malah horny. Jadi
makin susah untuk mulai pembicaraan. Apalagi out position.
“Ke mana Badrun,…” akhirnya keluar juga dari mulut
Mbambang.
“Bukannya tadi sudah bertanya pada bang Gak?” tukas
CZZ. Skak-macth.
Mbambang terdiam. Mestinya dia menjatuhkan pewangi
ketek, biar CZZ memungutnya, dan kemudian dia akan menyambutnya. Sebagaimana
pangeran dari Perancis, yang mesum tapi kelihatan sopan?
“Terus, bagaimana aku ke dusun Badat nanti?”
Mbambang pusing juga membayangkan berjalan sendirian di tengah hutan raya
Kalimantan.
“Bang Gak meminta saya mengantar Abang,…” CZZ
berkata datar saja.
“Kamu?”
“Nama saya Iang, panggil saja begitu,…”
“Boleh enggak dipanggil bukan Iang?” Mbambang mulai
menemukan celah omongan.
“Orangtua saya memberi nama itu.”
“Boleh aku memanggilmu Zetta?”
“Zetta artinya apa?”
“Itu bahasa suku Amazone. Artinya, kau perempuan
yang diberkati dewa-dewa.”
Iang yang dipanggil Zetta itu menatap Mbambang.
Mulutnya sedikit terbuka.
Iang tidak tahu kalau Mbambang sedang menipunya.
Tapi Mbambang serius balik menatap tatapan Iang.
“Boleh juga,” Iang akhirnya menukas pendek.
“Bagaimana Zetta mau menemaniku? Kata Badrun,
medannya sangat sulit.”
“Nanti kita buktikan,…”
Mbambang tak berkutik. Untuk kekuatan fisik,
pastilah Mbambang kalah. Perempuan-perempuan Dayak adalah manusia rimba. Gak
bercerita, bagaimana ibu-ibu dengan tas punggungnya, berjalan kaki ratusan kilo
hanya untuk mendapatkan tabung gas tiga kiloan.
Begitu sangat tergantungkah dengan gas? Bukankah
tersedia kayu bakar berlimpah di Kalimantan? Mengapa sudi dibela-belain jalan
kaki menyusuri lembah dan bukit, untuk mendapatkan tabung gas tiga kiloan?
Benar-benar menakjubkan.
Dan Chaterine Zetta Zone yang bakal menemani
perjalanannya ini, pastilah juga perempuan perkasa. Mbambang memperhatikan
panggul Iang. Dengan pandangan cukup terlatih, Mbambang tahu pantat Iang begitu
padat berisi. Entahlah, pantat itu sebetulnya berisi apa.
Matahari sudah naik ke ubun-ubun. Dan jika
ubun-ubun itu tidak kuat, pasti gosong terbakar tiada tara. Mlocot-mlocot.
Mbambang dan Chaterine Zetta Zone menyusuri tebing
Suruh Tembawang. Berdua saja.
45 | Belum
juga setengah jam, nafas Mbambang sudah menembus lubang telinga. Ngos-ngosan.
Sementara kakinya terasa makin berat diangkat. Apalagi tanah berlumpur karena
hujan.
Dilihatnya CZZ tampak begitu tegar dan segarnya.
Apalagi dengan keringat yang melekat di wajah dan lehernya. Bukan hanya segar,
tetapi lebih segar dari yang disebut segar. Sayang ahli bahasa kita hanya menyebut itu sebagai ‘segar
banget’ atau ‘lebih segar’. Sehingga kita sering bingung ketika hendak menyebut
sesuatu secara berlebihan tanpa terdengar norak. Sementara sebuah cerita kalau
tidak disangat-sangatkan, sepertinya ampang. Makanya Arswendo pernah menulis
buku; Mengarang itu Ampang. Dan bertebaranlah karya-karya ampang.
Satu jam perjalanan, Mbambang menyerah. Di tebing
sungai, Mbambang minta berhenti. Ia melihat sebuah pondok tersembunyi di balik
gerumbul pohonan. Satu-satunya gubug yang ada di kawasan itu. Ada antenna
parabola di sana.
Mbambang dan Iang pun akhirnya singgah ke gubug
Yanto. Ya, begitu namanya.
“Dari Jawa?” Mbambang bertanya.
“Bukan.”
“Lho?”
“Saya aseli Dayak, dari suku Sukung,…” lelaki
bernama Yanto itu menjelaskan. Rambutnya putih, sekali pun umurnya hampir sama
dengan Gak. Masih muda. Mungkin matahari membakarnya tanpa ampun. Apalagi jika
pas di garis khatulistiwa, matahari seolah begitu dekatnya dengan tanah.
Yanto orang yang ditemui pertama kali di tengah
hutan. Ia seorang peladang berpindah. Kadang ia bertanam jagung, sahang atau
merica, lada hitam, pulut atau ketan.
Namanya juga peladang berpindah. Ladangnya berpindah-pindah.
Bukan karena tuan tanah dengan banyak ladang, tapi ia harus membuka ladang
terlebih dulu. Membakari hutan, kemudian mendiamkannya selama 6 bulan, lantas
mengolah tanah, dan baru kemudian menanaminya. Sehabis panen, ia harus cari
tempat lain lagi. Sekali babat hutan, bisa sampai 3-6 hektar, tergantung lokasi
dan kemampuannya. Dan di Kalimantan, dengan bukit-bukitnya, lahan kosong masih
sangatlah luas.
“Dikerjakan berapa orang?” Mbambang bertanya. Ia
perhatikan di gubug itu Yanto tinggal sendiri. Di dalam gubugnya, yang hanya
berdinding bekas kain baliho, spanduk partai atau pilkada, dan juga spanduk
iklan sepeda motor.
“Sendiri.”
“Sendiri?”
“Ya,…”
Yanto membuatkan kopi panas untuk Mbambang dan
Iang. Meski gubug itu sederhana, dengan tiang dari bambu, dan dinding seadanya,
tetapi di dalamnya cukup memenuhi syarat untuk menikmati hidup nyaman.
Di gubugnya terdapat sebuah pesawat televisi 21
inc. Jenis LED produk mutakhir. Ada pula DCD Player dan beberapa keping CD
Karaoke. Ada lagu-lagu Obbie Mesakh, Rinto Harahap, Endang Purwasih.
“Tak ada lagu karya SBY?”
“Macam mana lagunye? Tak ade hal,…” Yanto menukas
datar saja. Wajahnya tanpa ekspresi.
Darimana ada listrik di tengah hutan itu? Yanto
mempunyai mini-genzet untuk kebutuhan listrik. Antena parabola, agaknya mampu
menangkap beberapa saluran stasiun Jakarta, dan beberapa dari Serawak. Ada juga
kompor gas ternyata, dengan tabung gas lima kiloan, warnanya biru, dari
Petronas, Malaysia.
Tapi ini bukan kemah plesiran. Yanto sudah
bertahun-tahun menjalaninya. Mempunyai isteri dan anak, yang tinggal di kota,
Yanto memilih bekerja di ladang-ladang pedalaman. Sendirian. Ia tinggal
mengurus surat ijin dan pemberitahuan untuk pekerjaannya itu ke pemerintah
setempat.
“Sekarang apa yang ditanam?”
“Sahang.”
“Sahang itu apa?”
“Merica.”
Menanam sahang, lebih menguntungkan, karena sekilo
dia bisa jual di Malaysia seharga Rp 40-an ribu. Kenapa ke Malaysia? Untuk
mencapai pasar Malaysia, dan di sana banyak tukang tadahnya, hanya butuh waktu
2-3 jam, dengan sepeda motor menembus hutan atau jalan setapak. Sedang ke pasar
Entikong, harus jalan kaki. Sambung speedboat. Jalan kaki lagi. Speedboat lagi.
Membutuhkan waktu 12 jam kalau air sungai baik. Dan biayanya? Bisa habis di
atas Rp 1 juta. Karena untuk speedboat saja, akan habis bensin 80-an liter.
Satu liter bensin di Kalimantan, tidak semurah di Jawa. Sudah demikian, harga
pembelian di Entikong lebih rendah dari Malaysia.
Kalau hasil baik, dari ladang pulut misalnya, dalam
setahun dan sekali tebas, Yanto bisa mendapat sedikitnya Rp 200 juta. Untuk
sahang dan lada hitam, akan jauh lebih tinggi lagi.
“Kita bisa kesorean sampai ke Badat, Bang,” Iang
mengingatkan.
Dengan berat hati, Mbambang berpamitan pada Yanto.
Jalan rintisan proyek pemerintah pusat, baru
dimulai dengan cara mengiris bukit-bukit dan hutan. Tapi di musim hujan, dengan
kontur tanah liat, justeru jalan darat itu seolah jadi neraka tersendiri.
Sepatu gunung yang dibeli Mbambang di Entikong, hanya tahan sehari. Dan jebol
sudah.
Belum lagi begitu banyaknya sungai-sungai kecil
memotong jalan, dan hanya berjembatan potongan batang pohon yang butuh keahlian
melintasinya.
Mbambang teringat pidato mengharukan dari SBY.
Betapa presiden memikirkan mobil murah, ramah lingkungan, hybrid, untuk
rakyatnya yang tinggal di desa-desa. Sementara itu, dari berita yang dibacanya,
pengusaha pemegang lisensi untuk bisnis mobil murah mengakui, 70% mobil murah
itu dibeli oleh orang Jabodetabek, dan sisanya baru ke daerah-daerah.
Dari gubug Yanto, terlihat tikungan Riam Pelanduk,
pangkalan paling berbahaya di sepanjang Sei Sekayam. Dinamakan Riam Pelanduk,
karena hanya mereka yang punya akal pelanduk, alias kancil, yang bisa lolos
selamat dari ancamannya. Sudah banyak sampan hancur dan orang tewas tenggelam
di situ.
Desa Suruh Tembawang adalah batas atas dari
dusun-dusun di bawah menuju Entikong, sementara di atas Riam Pelanduk,
dusun-dusun paling pinggir, di atas perbukitan, berbatas langsung dengan
Malaysia.
Nyamuk seolah terus berpesta pada tubuh Mbambang.
Sementara Iang tampak tenang saja. Mereka kemudian menuruni tebing, melanjutkan
perjalanan melalui sungai kembali. Suruh Tembawang adalah dusun terakhir yang
bisa dijangkau dengan perahu motor. Setelah itu, karena ada riam yang jeram di
sungai itu, untuk ke dusun di atasnya, mereka harus melalui jalan darat.
Menghindari Riam Pelanduk yang curam. Dari sini kembali menyusuri perjalanan
melalui sungai, menuju ke desa Badat Lama.
Perjalanan masih sekitar empat jam lagi. Dan itu
pun hanya mengantar mereka ke dusun Badat Baru, yang terdekat dengan arus
sungai. Selebihnya harus menempuh jalan darat lagi. Naik ke perbukitan dengan
jalanan yang ampun buruknya, sepanjang dua jam dengan sepeda motor. Jika hari
hujan dan jalanan jeblok, bisa jadi lebih lama lagi.
Tapi hari itu tak ada ojek. Hari mulai gelap. Dan
gerimis mengundang.
Mbambang dan Iang baru saja sampai di tepi dusun
Badat Baru. Dinamakan Badat Baru karena ini memang dusun baru, pecahan dari
dusun Badat yang kemudian dinamakan Badat Lama. Badat Lama masih dihuni
orang-orangtua Badat, yang tidak mau berpindah tempat ke tanah yang berada di
bawahnya. Mereka merasa harus tetap mempertahankan adat Dayak, sekali pun
sesungguhnya di rumah-rumah Badat Lama juga banyak perkakas modern. Seperti
kompor gas, dengan tabung gas Petronas dari Malaysia, termos air, dan berbagai
alat rumah tangga buatan Malaysia. Hanya tidak ada perkakas dan peralatan
listrik, karena listrik memang belum sampai ke sana. Itu berbeda dengan Badat
Baru, yang sudah memanfaatkan listrik, meski masih dengan listrik tenaga
mikro-hydro seperti di Suruh Tembawang. Mereka membuat turbin dengan
memanfaatkan arus sungai. Setidaknya, jika malam menjelang, kehidupan masih
berlangsung. Ngobrol di teras rumah, atau menonton televisi.
Gerimis terasa makin deras. Mbambang dan Chaterine
Zetta Zone terpaksa berteduh di sebuah gubug tengah ladang.
Malam mulai menurunkan tirainya.