Bagaimana bisa Santoso akhirnya ditembak mati di Poso? Konon, semua
itu gegara perempuan. Seks dan terorisme memang sebuah masalah.
Setidaknya, masalah seks para teroris ini.
Para teroris tentu tidak berada dalam situasi dan hidup normal. Membutuhkan penyikapan tertentu dalam hidup keseharian mereka. Lebih-lebih soal seks. Bahkan bagi yang ketangkap dan dibui, pun soal seks bisa jadi masalah serius. Adik Abu Bakar Ba’asyir belum lama lalu ngamuk di LP, karena tidak mendapat jatah kamar intim (kamar untuk napi melepaskan hasrat seksual dengan pasangannya).
Para teroris tentu tidak berada dalam situasi dan hidup normal. Membutuhkan penyikapan tertentu dalam hidup keseharian mereka. Lebih-lebih soal seks. Bahkan bagi yang ketangkap dan dibui, pun soal seks bisa jadi masalah serius. Adik Abu Bakar Ba’asyir belum lama lalu ngamuk di LP, karena tidak mendapat jatah kamar intim (kamar untuk napi melepaskan hasrat seksual dengan pasangannya).
Mayoritas teroris, kebetulan memang berjenis lelaki. Mereka kebanyakan
juga straight-sex yang membutuhkan perempuan. Dan perempuan tak mudah
‘didapat’. Mereka tak serevolusioner para perempuan di Afrika, yang
menjadi teroris dan berani menculik lelaki untuk diperas spermanya.
Maka kelompok semacam ISIS, atau teroris lainnya yang berlabel agama, sering memakai ayat-ayat agama untuk legitimasi; bagaimana seorang perempuan bisa menjadi pemuas seks beberapa lelaki, dan karena itu bakal masuk sorga. Kalau tak percaya dan tak mau? Ya, ditembak mati saja, bukannya dikutbahi yang ndakik-ndakik.
Ketika Santoso dan Mohtar meminta previlege boleh membawa isteri mereka ke hutan, diam-diam perbedaan pendapat muncul. Konon kematian Santoso dan Mohtar juga karena soal perempuan-perempuan ini. Gerak-gerik mereka jadi terbatas dan kurang lincah.
Lha, tapi, kalau para teroris semua lelaki, dan tak ada perempuan di sana? Mungkin ada yang bisa menyelesaikan dengan masturbasi, atau diselesaikan secara adat sesama lelaki. Yang penting bisa ngecret. Gimana dong? Seperti jeritan Candil Serieus; teroris juga manusia. Emang enak neror orang lain tapi libidonya, eh, batinnya, terteror?
Teroris itu mungkin semacam profesi, sebagaimana profesi lainnya. Seperti profesi provokator, hoaxer, penyebar fitnah. Kesannya memang tidak ideologis.
Nahan hasrat seksual saja tak mampu, apalagi hasrat-hasrat lain, seperti hasrat berkuasa, hasrat menindas, dan hasrat benarnya sendiri.
Maka kelompok semacam ISIS, atau teroris lainnya yang berlabel agama, sering memakai ayat-ayat agama untuk legitimasi; bagaimana seorang perempuan bisa menjadi pemuas seks beberapa lelaki, dan karena itu bakal masuk sorga. Kalau tak percaya dan tak mau? Ya, ditembak mati saja, bukannya dikutbahi yang ndakik-ndakik.
Ketika Santoso dan Mohtar meminta previlege boleh membawa isteri mereka ke hutan, diam-diam perbedaan pendapat muncul. Konon kematian Santoso dan Mohtar juga karena soal perempuan-perempuan ini. Gerak-gerik mereka jadi terbatas dan kurang lincah.
Lha, tapi, kalau para teroris semua lelaki, dan tak ada perempuan di sana? Mungkin ada yang bisa menyelesaikan dengan masturbasi, atau diselesaikan secara adat sesama lelaki. Yang penting bisa ngecret. Gimana dong? Seperti jeritan Candil Serieus; teroris juga manusia. Emang enak neror orang lain tapi libidonya, eh, batinnya, terteror?
Teroris itu mungkin semacam profesi, sebagaimana profesi lainnya. Seperti profesi provokator, hoaxer, penyebar fitnah. Kesannya memang tidak ideologis.
Nahan hasrat seksual saja tak mampu, apalagi hasrat-hasrat lain, seperti hasrat berkuasa, hasrat menindas, dan hasrat benarnya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar