Joint (Jogja Independent) yang mengusung Garin Nugroho sebagai cawalkot Yogyakarta 2017, akhirnya menyerah. Prasyarat dukungan KTP sebanyak 27 ribu, untuk calon walikota-wakil walikota Kota Yogyakarta dari jalur independen, sampai akhir Juni lalu baru 3.918. Dengan batas pendaftaran minggu pertama Agustus 2016, tampaknya susah mengejar target.
Apalagi, katanya, pengumpulan KTP mereka bahkan sempat terhenti, karena libur Lebaran. Bahkan kegiatan pengumpulan KTP sampai awal pekan ini belum berlanjut. Sebagian besar relawan adalah mahasiswa luar kota. Mereka masih pulang kampung. Belum ada penambahan KTP baru sejak akhir Juni lalu.
Lucu? Tentu tidak. Namun itu membuktikan, jalur independen bukan hanya dipersulit (oleh parpol misalnya), melainkan memang tidak mudah sejak awalnya. Apalagi jika konsepnya terasa elitis, entah itu berkait kesamaan ideologi elitis atau popularitas yang juga elitis.
Bagaimana popularitas yang elitis? Garin hanya salah satu contoh kecil. Tentu ia berbeda dengan Ahok, yang bukan hanya terkenal tapi juga dikenal. Pada Garin, ada faktor lain. Ia terkenal, namun tidak dikenal, bahkan di kotanya sendiri, Yogyakarta. Memang banyak relawannya, justeru bukan pemegang KTP Kota Yogyakarta.
Garin lahir di Yogyakarta, namun masa remaja dan kiprahnya, di luar Yogyakarta. Sebagai orang film, ia sangat dikenal secara luas, internasional, oleh orang-orang film, orang-orang kreatif, dan penggemar film-film Garin itu sendiri tentu. Tapi siapa penggemar film-film Garin? Kita bisa lihat, bagaimana nasib film-film Garin di pasar, meski ini tidak untuk mengukur dan mengatakan filmnya jelek (karena memang tak ada hubungannya).
Pada sisi itu, saya kira, Joint tidak mendapatkan momentum untuk mengenalkannya kepada warga kota Yogyakarta. Apapun konsep-konsep bagus dari lulusan IKJ (1985) dan sarjana hukum dari UI (1991) ini. Sekali pun dengan seabreg reputasi Garin di panggung nasional dan internasional, juga selaku intelektual dan budayawan.
Bagaimana dengan calon independen lainnya, seperti Arief Nurcahyo dan Sita Adisakti? Saya tidak tahu secara persis. Tapi mengenalkan diri ke masyarakat itu perlu. Terjun langsung, dengan alasan apapun. Yang ngayogyakartani (elegan). Pengalaman Yuni Setia Rahayu, ketika maju dalam pilbup Sleman (2015), mungkin bisa menjadi contoh. Perolehan suaranya tak berbanding dengan ekspektasinya.
Jalur parpol saya kira tidak begitu bermasalah di Yogyakarta, setidaknya tak separah yang ada di Jakarta. Setidaknya pula, kasus Jakarta tidak bisa jadi pedoman. Apalagi kini Ahok pun sedang berpikir keras, antara jalur parpol atau independen.
Imam Priyono, wakil walikota Yogya, telah mendapat restu dari DPP-PDIP untuk maju dalam pilwakot Yogya. Sementara PAN mungkin akan mengusung Hanafi Rais (anggota DPR-RI Dapil DIY, yang raihan suaranya dalam Pileg 2014 tertinggi di DIY). Hanafi bahkan sudah sejak lama menjalin kerjasama dengan berbagai majelis takelim pengajian, melalui Hanafi Rais Center dengan andalan ‘Pangkur Jenggleng’ di TVRI Yogyakarta.
Kita lihat saja nanti, bagaimana kepolitikan Yogyakarta. Mungkin ada yang tersadar. Berpolitik memang harus pakai duit. Tapi ada beberapa cerita dari terpilihnya beberapa kepala daerah, yang bisa mementahkan hal itu. Kepala daerah yang lahir dari gotong royong pendukungnya. Bagaimana bisa?
Baca perjalanan keterpilihannya. Tak ada yang ajaib. Semua dengan proses biasa, adanya pergerakan dan bergerak bersama. Membaca dan menciptakan momentum.
Sekali pun tentu, inisiasi Joint untuk menantang generasi muda maju dalam kontestasi politik, patut dihargai. Dengan segala hormat.
Apalagi, katanya, pengumpulan KTP mereka bahkan sempat terhenti, karena libur Lebaran. Bahkan kegiatan pengumpulan KTP sampai awal pekan ini belum berlanjut. Sebagian besar relawan adalah mahasiswa luar kota. Mereka masih pulang kampung. Belum ada penambahan KTP baru sejak akhir Juni lalu.
Lucu? Tentu tidak. Namun itu membuktikan, jalur independen bukan hanya dipersulit (oleh parpol misalnya), melainkan memang tidak mudah sejak awalnya. Apalagi jika konsepnya terasa elitis, entah itu berkait kesamaan ideologi elitis atau popularitas yang juga elitis.
Bagaimana popularitas yang elitis? Garin hanya salah satu contoh kecil. Tentu ia berbeda dengan Ahok, yang bukan hanya terkenal tapi juga dikenal. Pada Garin, ada faktor lain. Ia terkenal, namun tidak dikenal, bahkan di kotanya sendiri, Yogyakarta. Memang banyak relawannya, justeru bukan pemegang KTP Kota Yogyakarta.
Garin lahir di Yogyakarta, namun masa remaja dan kiprahnya, di luar Yogyakarta. Sebagai orang film, ia sangat dikenal secara luas, internasional, oleh orang-orang film, orang-orang kreatif, dan penggemar film-film Garin itu sendiri tentu. Tapi siapa penggemar film-film Garin? Kita bisa lihat, bagaimana nasib film-film Garin di pasar, meski ini tidak untuk mengukur dan mengatakan filmnya jelek (karena memang tak ada hubungannya).
Pada sisi itu, saya kira, Joint tidak mendapatkan momentum untuk mengenalkannya kepada warga kota Yogyakarta. Apapun konsep-konsep bagus dari lulusan IKJ (1985) dan sarjana hukum dari UI (1991) ini. Sekali pun dengan seabreg reputasi Garin di panggung nasional dan internasional, juga selaku intelektual dan budayawan.
Bagaimana dengan calon independen lainnya, seperti Arief Nurcahyo dan Sita Adisakti? Saya tidak tahu secara persis. Tapi mengenalkan diri ke masyarakat itu perlu. Terjun langsung, dengan alasan apapun. Yang ngayogyakartani (elegan). Pengalaman Yuni Setia Rahayu, ketika maju dalam pilbup Sleman (2015), mungkin bisa menjadi contoh. Perolehan suaranya tak berbanding dengan ekspektasinya.
Jalur parpol saya kira tidak begitu bermasalah di Yogyakarta, setidaknya tak separah yang ada di Jakarta. Setidaknya pula, kasus Jakarta tidak bisa jadi pedoman. Apalagi kini Ahok pun sedang berpikir keras, antara jalur parpol atau independen.
Imam Priyono, wakil walikota Yogya, telah mendapat restu dari DPP-PDIP untuk maju dalam pilwakot Yogya. Sementara PAN mungkin akan mengusung Hanafi Rais (anggota DPR-RI Dapil DIY, yang raihan suaranya dalam Pileg 2014 tertinggi di DIY). Hanafi bahkan sudah sejak lama menjalin kerjasama dengan berbagai majelis takelim pengajian, melalui Hanafi Rais Center dengan andalan ‘Pangkur Jenggleng’ di TVRI Yogyakarta.
Kita lihat saja nanti, bagaimana kepolitikan Yogyakarta. Mungkin ada yang tersadar. Berpolitik memang harus pakai duit. Tapi ada beberapa cerita dari terpilihnya beberapa kepala daerah, yang bisa mementahkan hal itu. Kepala daerah yang lahir dari gotong royong pendukungnya. Bagaimana bisa?
Baca perjalanan keterpilihannya. Tak ada yang ajaib. Semua dengan proses biasa, adanya pergerakan dan bergerak bersama. Membaca dan menciptakan momentum.
Sekali pun tentu, inisiasi Joint untuk menantang generasi muda maju dalam kontestasi politik, patut dihargai. Dengan segala hormat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar