Konflik pada dasarnya adalah sesuatu yang tak
terhindarkan dalam kehidupan kita. Konflik adalah bagian dari interaksi sosial
yang bersifat disosiatif. Namun jika konflik dibiarkan berlarut-larut, berkepanjangan
serta tidak segera ditangani, akan menimbulkan terjadinya disintegrasi sosial
suatu bangsa.
Suatu keadaan yang memiliki peluang besar untuk timbulnya
konflik adalah perbedaan, utamanya perbedaan kepentingan. Di sisi lain, konflik
juga dilatarbelakangi perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu
interaksi. Entah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat,
keyakinan, dan sebagainya.
Pada sisi itu, perbedaan ciri-ciri individual dalam
interaksi sosial, menyebabkan konflik merupakan situasi yang ‘wajar’ dalam
setiap masyarakat. Tidak satu masyarakat pun tak pernah mengalami konflik antaranggotanya,
atau dengan kelompok masyarakat lainnya. Konflik hanya akan hilang bersamaan
dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Dalam sosiologi, teori konflik adalah sebuah teori yang
memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian
nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang
menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula. Teori konflik
lahir sebagai sebuah antitesis dari teori struktural fungsional yang memandang
pentingnya keteraturan dalam masyarakat.
Dalam melihat apa yang terjadi di Yogyakarta (ditolaknya
beberapa mahasiswa Papua untuk kos di Yogyakarta misalnya), tidak berkait dengan
teori konflik sebagaimana disampaikan Karl Marx. Mungkin lebih dekat dengan apa
yang disampaikan Lewis A. Coser, yang berusaha merangkum dua perspektif yang
berbeda dalam sosiologi, yaitu teori fungsionalis dan teori konflik.
Max Weber menekankan arti penting power (kekuasaan) dalam setiap tipe hubungan sosial. Power (kekuasaan) merupakan generator
dinamika sosial, dimana individu dan kelompok dimobilisasi atau memobilisasi.
Pada saat bersamaan power menjadi
sumber dari konflik, dan dalam kebanyakan kasus terjadi kombinasi kepentingan
dari setiap struktur sosial, sehingga menciptakan dinamika konflik.
Secara lebih jauh, George Simmel menyatakan unsur-unsur
yang sesungguhnya dari disosiasi adalah sebab-sebab konflik. Ketika konflik
menjadi bagian dari interaksi sosial, maka konflik menciptakan batas-batas
antara kelompok dengan memperkuat kesadaran internal. Namun menurut Simmel,
justru permusuhan timbal balik tersebut, yang mengakibatkan terbentuknya stratifikasi
dan divisi-divisi sosial, pada akhirnya yang akan menyelamatkan dan memelihara
sistem sosial.
Maka konflik pada dasarnya adalah sesuatu yang bukan saja
tidak dapat dihindari, tapi juga dibutuhkan oleh masyarakat. Konflik
mempertegas identitas-identitas dalam kelompok, dan membentuk dasar stratifikasi
sosial. Persoalan yang mesti didiskusikan kemudian, bagaimana dalam soal
identifikasi itu terjadi bangunan baru relasi dengan kesepakatan-kesepakatan
baru.
Menurut Coser, konflik merupakan proses yang bersifat
instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial.
Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih
kelompok. Ketika konflik berlangsung, Coser melihat katup penyelamat dapat
berfungsi untuk meredakan permusuhan. Dalam hal ini, katub penyelamat adalah
mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mencegah kelompok dari kemungkinan
konflik sosial. Katub penyelamat merupakan institusi pengungkapan rasa tidak
puas atas sistem atau struktur sosial.
Pada sisi itu, akhirnya, tentu akan sangat tergantung
bagaimana antara pihak-pihak yang berkonflik bertemu. Melakukan tawar-menawar
dengan keadaban baru. Pada sisi ini, masyarakat bawah tentu tak bisa dibiarkan
sendiri. Itulah perlunya dialog komprehensif. Bukan debat serta claiming konyol
melalui media masing-masing.
Lambannya respons Pemda DIY dan Pemda Papua, dalam friksi
sosial (sekali lagi antara sebagian warga masyarakat Yogyakarta dengan warga
Papua yang menjadi mahasiswa di Yogya, dan bedakan dengan kasus lain soal
aspirasi sebagian warga Papua tentang kemerdekaannya), membuat masalah ini
berkembang menjadi bola liar.
Bahkan, pada sisi ini ada yang mencoba memperkeruh suasana, dengan melebarkan masalah. Menyeret penguasa Yogyakarta, dalam hal ini Sri Sultan HB X, sebagai bagian atau musuh, dalam konteks gerakan separatisme Papua. Ora mangan nangkane gupak pulute. Itu sungguh tidak produktif. Karena dengan begitu telah terjadi pengaburan akar masalah, yang dalam konteks kebutuhan masyarakat dan mahasiswa Papua di kota Yogyakarta, bukan proporsi dan kepentingan mereka.
Sas-sus berseliweran di medsos dan media online. Jika tak bijak menyikapi, berbagai berita hoax akan makin menjadi panutan yang saling membenturkan. Sesuatu yang menyedihkan, tetapi bagaimana mencegahnya? Yang terkena abu panas, akhirnya justeru masyarakat Yogyakarta yang dicap rasialis.
Bahkan, pada sisi ini ada yang mencoba memperkeruh suasana, dengan melebarkan masalah. Menyeret penguasa Yogyakarta, dalam hal ini Sri Sultan HB X, sebagai bagian atau musuh, dalam konteks gerakan separatisme Papua. Ora mangan nangkane gupak pulute. Itu sungguh tidak produktif. Karena dengan begitu telah terjadi pengaburan akar masalah, yang dalam konteks kebutuhan masyarakat dan mahasiswa Papua di kota Yogyakarta, bukan proporsi dan kepentingan mereka.
Sas-sus berseliweran di medsos dan media online. Jika tak bijak menyikapi, berbagai berita hoax akan makin menjadi panutan yang saling membenturkan. Sesuatu yang menyedihkan, tetapi bagaimana mencegahnya? Yang terkena abu panas, akhirnya justeru masyarakat Yogyakarta yang dicap rasialis.
Kita membutuhkan rembugan bersama secara dingin. Bukan
hanya secara historis, melainkan juga sosiologis, antropologis, dan bahkan
psikologis. Bagaimana diskusi berlangsung, di situ tingkat keadaban kita diuji. Dan seperti biasanya, kita terlambat, setelah kebakaran berhasil meluas, dan tak terpegang apa masalah sesungguhnya.
Di sini terbuktikan, konflik sosial yang dibiarkan berkepanjangan, menyulut terjadinya desintegrasi suatu bangsa.
Di sini terbuktikan, konflik sosial yang dibiarkan berkepanjangan, menyulut terjadinya desintegrasi suatu bangsa.
@ Sunardian Wirodono, disarikan dari berbagai sumber.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar