Pemilu kedua Indonesia, semestinya diadakan 1960. Tapi hal itu tak
terjadi karena beberapa hal. Antara lain, karena militer, terutama
Angkatan Darat, merasa khawatir pemilu akan dimenangkan PKI (Partai
Komunis Indonesia).
Alasannya, perkembangan PKI sangat mencemaskan. Tahun 1948 melakukan pemberontakan, dan ditindas pemerintah, namun hanya dalam waktu tujuh tahun (Pemilu 1955), menjadi empat besar setelah PNI, Masyumi, Nahdlatul Ulama, dan melampaui Partai Syarikat Islam Indonesia.
Sebagai demokrat, Sukarno sebenarnya menginginkan pemilu. Indonesia mau merah atau ijo, semua terserah rakyat, katanya. Artinya, pemilu memang hak rakyat siapa yang dipercaya. Hal itu mencemaskan kompetitor PKI. Apalagi Sukarno lagi gandrung dengan Nasakom.
Mayor Soehardiman, sebagai Ketua Umum SOKSI, mencemaskan PKI bakal memenangi Pemilu (1960), mendominasi DPR dan MPR, mengganti presiden, menguasai pemerintahan, dan akhirnya akan mengganti ideologi Pancasila dengan komunisme.
Dalam Musyawarah Besar SOKSI, 23 Maret 1963, dikeluarkan pernyataan politik: mengusulkan Bung Karno menjadi presiden RI seumur hidup. Namun banyak orang menduga, itu semua karena ambisi Sukarno. Apalagi setelah gagasan presiden seumur hidup dibawa ke Sidang Umum MPRS, sehingga terbit Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1963 tanggal 18 Mei 1963. Pers Barat menyebut Sukarno; The Most Trouble Maker from Asia.
Lepas dari kesalahan Sukarno yang terbuai itu (setelah tak sabar dengan hasil pemilu 1955 dan mencanangkan Demokrasi Terpimpin), memang blunder Indonesia waktu itu. Pemilu kedua berhasil dibendung. Kekhawatiran PKI memenangi pemilu bisa dihindari. Tapi 1965, terjadilah apa yang terjadi (dan kita tahu resume dari IPT 1965 di Den Haag belum lama lalu).
Hatta, kini tiba-tiba, ada seorang warga Negara Indonesia, bernama Adhie M. Massardi, memberikan pernyataan; Meminta masyarakat Jakarta, parpol-parpol, untuk tidak mendukung dan mencalonkan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta. Alasannya, Ahok itu negatif, karena karakternya. Menjadikan warga etnis minoritas Tionghoa terancam. Banyak mudharatnya daripada manfaatnya.
Tentu saja, Adhie, yang mantan jubir Gus Dur, bukan Sukarno. Pernyataannya menafikan sejuta pendukung yang telah mengumpulkan KTP buat Ahok. Dukungan itu dimentahkan oleh ‘renungan’ satu orang, yang entah siapa dia. Itu sungguh mengecewakan. Apalagi, senyampang itu, dalam survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Juni 2016, mayoritas mendukung Ahok kembali menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Soal setuju atau tidak, mendukung atau tidak, suka atau tidak, patuhilah aturan main bersama, sebagaimana UU Pilkada secara konstitusional mengaturnya. Hargailah hak konstitusi orang lain, apapun itu. Dalam istilah Sukarno; mau merah atau ijo rakyatlah yang menentukan. Dan itu lewat pilihan demokrasi, entah pemilu, pileg, pilkada dan seterusnya.
Main opini politik boleh saja. Tapi menjegal hak politik liyan, tidaklah elok. Bertarunglah di ranah demokrasi berdasar konstitusi. Kalau tidak mau mematuhinya, cabut semua undang-undang. Atur Negara berdasarkan kalian punya otoritas moral.
Ehm, mereka yang mau ngahok atau ngehek, selamat malam!
Alasannya, perkembangan PKI sangat mencemaskan. Tahun 1948 melakukan pemberontakan, dan ditindas pemerintah, namun hanya dalam waktu tujuh tahun (Pemilu 1955), menjadi empat besar setelah PNI, Masyumi, Nahdlatul Ulama, dan melampaui Partai Syarikat Islam Indonesia.
Sebagai demokrat, Sukarno sebenarnya menginginkan pemilu. Indonesia mau merah atau ijo, semua terserah rakyat, katanya. Artinya, pemilu memang hak rakyat siapa yang dipercaya. Hal itu mencemaskan kompetitor PKI. Apalagi Sukarno lagi gandrung dengan Nasakom.
Mayor Soehardiman, sebagai Ketua Umum SOKSI, mencemaskan PKI bakal memenangi Pemilu (1960), mendominasi DPR dan MPR, mengganti presiden, menguasai pemerintahan, dan akhirnya akan mengganti ideologi Pancasila dengan komunisme.
Dalam Musyawarah Besar SOKSI, 23 Maret 1963, dikeluarkan pernyataan politik: mengusulkan Bung Karno menjadi presiden RI seumur hidup. Namun banyak orang menduga, itu semua karena ambisi Sukarno. Apalagi setelah gagasan presiden seumur hidup dibawa ke Sidang Umum MPRS, sehingga terbit Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1963 tanggal 18 Mei 1963. Pers Barat menyebut Sukarno; The Most Trouble Maker from Asia.
Lepas dari kesalahan Sukarno yang terbuai itu (setelah tak sabar dengan hasil pemilu 1955 dan mencanangkan Demokrasi Terpimpin), memang blunder Indonesia waktu itu. Pemilu kedua berhasil dibendung. Kekhawatiran PKI memenangi pemilu bisa dihindari. Tapi 1965, terjadilah apa yang terjadi (dan kita tahu resume dari IPT 1965 di Den Haag belum lama lalu).
Hatta, kini tiba-tiba, ada seorang warga Negara Indonesia, bernama Adhie M. Massardi, memberikan pernyataan; Meminta masyarakat Jakarta, parpol-parpol, untuk tidak mendukung dan mencalonkan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta. Alasannya, Ahok itu negatif, karena karakternya. Menjadikan warga etnis minoritas Tionghoa terancam. Banyak mudharatnya daripada manfaatnya.
Tentu saja, Adhie, yang mantan jubir Gus Dur, bukan Sukarno. Pernyataannya menafikan sejuta pendukung yang telah mengumpulkan KTP buat Ahok. Dukungan itu dimentahkan oleh ‘renungan’ satu orang, yang entah siapa dia. Itu sungguh mengecewakan. Apalagi, senyampang itu, dalam survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Juni 2016, mayoritas mendukung Ahok kembali menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Soal setuju atau tidak, mendukung atau tidak, suka atau tidak, patuhilah aturan main bersama, sebagaimana UU Pilkada secara konstitusional mengaturnya. Hargailah hak konstitusi orang lain, apapun itu. Dalam istilah Sukarno; mau merah atau ijo rakyatlah yang menentukan. Dan itu lewat pilihan demokrasi, entah pemilu, pileg, pilkada dan seterusnya.
Main opini politik boleh saja. Tapi menjegal hak politik liyan, tidaklah elok. Bertarunglah di ranah demokrasi berdasar konstitusi. Kalau tidak mau mematuhinya, cabut semua undang-undang. Atur Negara berdasarkan kalian punya otoritas moral.
Ehm, mereka yang mau ngahok atau ngehek, selamat malam!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar