Betapa tidak mudah prakarsa politik masyarakat sipil di Indonesia. Partai politik, dengan para kaum oligarkisnya, ingin menghegemoni rakyat, di tengah ketidakpercayaan rakyat atas kinerja parpol.
Pada kenyataannya, setelah Reformasi 1998, banyak tumbuh partai politik. Namun perilaku politikus tak berubah. Bahkan lebih parah. Mengatasnamakan rakyat, namun tak berkait hajat hidup rakyat.
Parpol hanya sebagai legitimasi, untuk perilaku-perilaku korup. Partai politik gagal sebagai lembaga pendidikan politik bagi masyarakat. Gagal sebagai penyalur aspirasi, gagal pula menjadi pusat penggemblengan munculnya kepemimpinan sipil.
Parpol malah hanya sebagai tukang-comot, dan masih sibuk meminta legitimasi dari lembaga pendidikan tinggi, lembaga agama, dan mungkin juga lembaga-lembaga perdukunan lainnya. Hasil paling menonjol, tingkat korupsi wakil rakyat mencapai angka tertinggi, disusul para kepala daerah yang diusung partai-partai politik itu.
Munculnya ketidakpercayaan rakyat pada parpol semakin meluas. Dari sana, saya kira, inisiasi munculnya Teman Ahok, dan teman-teman lain, mengusung sendiri kepala daerahnya melalui jalur perorangan, karena dimungkinkan oleh UU Pilkada.
Tetapi kita tahu, perlawanan parpol begitu hebat. Bahkan sampai pada upaya revisi UU Pemilu dan Pilkada, mencoba menihilkan jalur perseorangan. Syarat-syarat yang makin diberatkan, tidak sesuai semangat konstitusi yang diamanatkan Mahkamah Konstitusi.
Kita tahu, inisiasi JOINT Yogyakarta, apa pun dalihnya, telah terpatahkan. Prakarsa untuk mendapatkan pemimpin di luar jalur parpol, bukan barang mudah. Untuk Yogyakarta, kita masih akan melihat bagaimana upaya relawan Arief Nurcahyo, untuk bacawalkot Yogyakarta. Apakah akan bernasib seperti Garin Nugroho? Menarik untuk ditunggu hasilnya.
Teman Ahok boleh meng-klaim bahwa atas desakan sejuta KTP-nya, parpol mengakui eksistensi mereka. Tapi yang pasti, Ahok sudah menyerah. Dan kita boleh bercuriga, Ahok memakai sentimen publik untuk manuver politiknya. Senyatanya, pada putaran terakhir, parpol yang menang dalam pertarungan itu. Daripada ribet, tinggalkan prakarsa publik. Ahok dan parpol, juga Teman Ahok, sama konyolnya. Dan itu mengecewakan.
Bahwa goal Teman Ahok tercapai, iya. Ahok akhirnya dicalonkan parpol. Lho, bukan karena perlawanan atau perjuangan untuk mengatakan; bahwa rakyat bisa berjuang tanpa parpol? Sayang sekali, dalam form para penyumbang KTP untuk Ahok itu, tak ada kolom pilihan: Menyumbangkan KTP (1) agar Ahok bisa maju tanpa parpol atau (2) agar bisa mendesak parpol nyalonin Ahok?
Sayang banget, Teman Ahok bukanlah lembaga survey seperti SMRC. Setidaknya, jika kita tahu motivasi masyarakat Jakarta menyerahkan KTP itu, Teman Ahok mungkin tahu diri, kepada siapa harus meminta maaf. Atau, setidaknya, minta maaf pada yang berharap Haji Lulung akan memotong kuping!
Apa yang dilakukan Teman Ahok, tentu saja bukan tanpa resiko. Mereka (Teman Ahok dan yang ditemani tentu), tak boleh abai dengan elektabilitasnya. Bahwa gerakan 'KTP Gue Buat Ahok' bisa menjadi 'Mana KTP Gue, Balikin Dong!' Hal semacam itu hanya menyuburkan para hater Ahok menjadi lebih nyaring perlawanannya, meski tetap saja problem mereka adalah keputusasaan, lantaran tak didapatkannya tokoh yang memadai. Banyak yang seiman dan santun, tapi isu ini hanya laku di medsos dan kelompok ormas reaksioner.
Bagi para pendukung Ahok (pokokmen gubernur), tentu saja perjuangan telah selesai. Tapi bagi yang semula berharap, atau menganggap, ini momentum melakukan perlawanan terhadap parpol, silakan kecewa. Eksperimen demokrasi ini kembali membuktikan, hegemoni partai yang tak terelakkan.
Terhadap manuver parpol yang lihai macam Golkar, bahkan dini hari begini telah menetapkan dukungan Jokowi for 2019 pun, mereka yang golput tak bisa apa-apa. Mereka yang punya moralitas politik, tidak punya keberanian sepadan dengan Golkar yang bermain akrobatik. Jadilah pertarungan ini dimenangkan parpol. Rakyat sipil yang hendak berjuang melalui jalur non-parpol sila gigit jari.
Pelajaran apa yang bisa kita dapatkan dari semua ini? Sesungguhnya tak buruk-buruk amat. Setidaknya kesimpulan sementara; Parpol sesungguhnya jiper juga jika diancam-ancam oleh rakyat, apalagi dengan sejuta KTP. Jika hanya dengan 3.198 KTP, seperti yang didapatkan Garin, padahal jumlah yang diperlukan 30.000 KTP, tentu bukan rakyat yang tertawa, melainkan parpol-parpol itu akan jumawa; Nah lu!
Artinya, rakyat memang tidak boleh bersikap a-politis. Rakyat mesti punya kesadaran politik, untuk mendesakkan kepentingan-kepentingannya. Selama rakyat abai, cuek, parpol akan makin sewenang-wenang, dan tidak terkontrol. Sebagaimana nasihat Gus Mus, agak mengkhawatirkan rakyat sudah acuh-tak acuh terhadap wakil-wakil mereka yang acuh-tak acuh pada mereka.
Semoga rakyat semakin berdaya. Sehingga akan lahir para petugas rakyat, bukan petugas partai. Boleh saja, apapun istilahnya, menjadi petugas partai, asal bukan dari partai-partai yang konyol. Seperti semua parpol yang ada sekarang ini.
Semua parpol? Iya, masih semua! Mau apa?