Selasa, Februari 17, 2015

Selalu Ada Jalan Jika Kita Berkomitmen


Gegara Sarpin Rizaldi, hari-hari ini begitu menyesakkan bagi kita. Kita? Ya, kita, masyarakat warga bangsa dan negara Indonesia. Baik mereka yang peduli dan tidak, cuek dan sinis, bersemangat dan lebay, sok kritis dan sok bijak, politis dan a-politis, sosial dan a-sosial; terhadap apa yang terjadi dalam kepolitikan kita hari ini, kepemimpinan kita hari ini, dan tentunya perjalanan hidup kita pribadi-per-pribadi, atau apa pun.
Namun sebagaimana ujar Tony Robbins; “Selalu ada jalan, jika kita berkomitmen.” Berkomitmen terhadap apa? Berkomitmen terhadap apapun, di mana kita merasa jalan menuju itu kini sedang crowded, macet, bahkan mungkin terlihat buntu.
Setelah ‘pseudo’ Reformasi 1998, kita belum juga menemukan jalan itu. Bahkan yang terjadi adalah perjalanan balik, dan seolah kita sedang diyakinkan pada idiom ‘isih enak jamanku toh?’ Banyak orang bisa sambil terkekeh mengatakan itu. Seolah nasib bangsa dan negara sebagai mainan, dan tak ada yang serius mengenai hajat hidup 250 juta manusia di dalamnya. Kita bisa bayangkan, gegara banjir Jakarta, atau berbagai daerah lain pun, semua orang menderita. Padahal, disamping soal alam, banjir adalah juga soal manusia, dari rakyat hingga pejabatnya. Tapi apa yang terjadi? Semua hanya saling menyalahkan.
Kita dihadapkan pada kenyataan, bahwa sejarah bangsa ini, belum lepas dari tesis hitam-putih yang dibangun. Antara mimpi atau idealisasi kita tentang keindahan, kesempurnaan, namun tak pernah diajarkan bagaimana proses menuju ke sana. Semuanya seolah hanya bisa melalui keajaiban dan kemurahan Tuhan. Dan mimpi tentang satria piningit selalu saja ‘diangetin’ sampai beberapa generasi; melalui mitos, legenda, wayang, kethoprak, cerita-cerita sejarah, hingga ke kurikulum pendidikan kita yang selalu berubah-ubah per-lima tahun. Demokrasi yang mestinya berkelanjutan, kemudian pun hanya menjadi isyu jangka pendek. Bukan sekedar eksperimentatif, tapi lebih buruk lagi adalah aji mumpung.
Jika membandingkan Indonesia dan Jepang, kedua negara ini sesungguhnya berangkat pada waktu yang sama (tentu saja dengan modal berbeda). Pada tahun 1945, Indonesia merdeka dan mulailah generasi Sukarno bermimpi, hingga kemudian Sukarno berkata, dalam rancangan pembangunannya, bahwa tahun 1975, Indonesia akan melampaui Jepang!
Pada tahun 1945 itu pula, setelah bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang menyerah tanpa syarat apapun kepada AS dan tentara Sekutu. Dua tahun kemudian, Jepang diperbolehkan sebagai negara merdeka, namun hanya di bidang ekonomi saja, atau setidaknya bukan dibidang politik dan militer. Jepang tetap di bawah pengawasan Amerika Serikat.
Jalur bebas untuk mengekspresikan diri, adalah pada jalur ekonomi, seni, dan teknologi. Pada pemerintahan Sato, Jepang telah mampu menyelesaikan masalah akibat kekalahan Perang Dunia II. Tahun 1970 Jepang mengalami surplus dalam neraca pembayaran (Kosuke Nakajima, 1998). Waktu itu muncul istilah Icioku Sou Chuuryuu Jidai, semua penduduk Jepang adalah kelas menengah! Hingga sifat kegiatan ekonomi pada waktu itu adalah menanam nafsu di tempat yang tidak ada nafsu (kelak kemudian tidak aneh jika muncul tokoh Dora Emon).
Sementara itu, Indonesia di bawah Sukarno, dipatahkan oleh AS dan sekutunya pada pertengahan dekade 60-an. Hingga muncul Soeharto sepanjang 32 tahun dan terusannya dalam reformasi tanpa roh. Kejatuhan Soeharto tidak dengan sendirinya mengubah keadaan. Demokratisasi tak beda jauh dengan demo-crazy-tion. Abad penggilaan ketika tak ada arah, tak ada visi, dan semua orang ngomong sendiri-sendiri, berjiwa mutlak-mutlakkan, karena dididik dalam pragmatisme politik yang kapitalistik.
Pragmatisme ini yang kemudian mengajarkan kita, untuk lebih menghargai management by product dan bukan by process, dengan berbagai anak-pinaknya seperti budaya jalan pintas dan korupsi.
Dan itu situasi yang memabukkan yang diturunkan pada generasi selanjutnya. Partai politik pun tanpa ideologi, kecuali pada kekuasaan sempit semata. Pada sisi itulah, perubahan menjadi kata yang sulit. Dan pertumbuhan menjadi kata yang absurd, karena seperti ujar John Maxwell, kalau kita tumbuh, kita selalu akan keluar dari zona nyaman kita. Sementara ideologi kita adalah kemapanan. Contoh sederhana untuk itu, bagaimana Jokowi mendapat perlawanan dari para pembantunya ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta, hingga kemudian Ahok penggantinya pun, masih banyak dimusuhi anak buahnya. Perubahan memang lebih mengundang musuh, kata Bob Kennedy.
Dan perlahan kita menjadi bangsa yang sensitif dengan perubahan, dan begitu asing dengan inisiatif apalagi inovasi. Meski dinyatakan merdeka sejak 1945, pada kenyataan sampai kini pun kita bukan bangsa yang independen, melainkan dependen. Sampai pun pada sistem pendidikan kita, yang justeru menjadikan generasi baru jauh lebih tergantung kepada sistem, terlalu jinak, lebay, soft-generation.
Namun memang, ini adalah situasi transisi. Partai-partai politik yang dikelola generasi lama angkatan Megawati (Wiranto, Surya Paloh, Prabowo, Amien Rais, Yudhoyono, Aburizal Bakrie atau Jusuf Kalla, Muhaimin) yang oligarkis itu, tidak akan mungkin lagi bertahan. Pembelajaran politik selama Pemilu 2014 menyadarkan kita, bahwa mayoritas rakyat hanya belum tahu bagaimana cara mendapatkan partai politik yang genuine dengan kehidupan masyarakat. Bahwa pembusukan politik adalah keniscayaan, apalagi jika para politikus bangkotan itu kini menuju kebangkrutannya.
Sesungguhnya, ini tantangan baru bagi generasi baru, untuk mereformasi secara gradual. Jokowi sebagai fenomen, sesungguhnya menunjukkan bagaimana bangsa ini mendapatkan jalan keluar. Yakni melepaskan diri dari masa lalu, menuju pada pandangan dan cara-cara baru. Dari politik mitos menjadi politik logos. Itu soalnya.
Kita tak bisa asal bekoar dengan revolusi total, revolusi rakyat, atau lebih tak jelas lagi teriakan; tinggalkan partai politik. Negeri ini menjadi buruk karena partai politik yang busuk. Saatnya memunculkan partai politik rasa baru, resep baru, menu baru, cara masak baru, cara penyajian baru.
Empowerment dan sharing power itu sudah didefrag oleh media social. Partisipasi public yang antusias dalam Pemilu 2014, dengan kemenangan Jokowi, sebenarnya merupakan sinyal menarik. Tinggal bagaimana merenungkan fenomen itu dalam sebuah formulasi baru, yang bebas dari ideologi Orla dan Orba. Yang tidak memuja mitos dan tokoh-tokoh, namun mengedepankan kerja, kerja, kerja.
Apakah seperti PRD yang digagas Budiman Sudjatmiko dulu, atau Neo-PRD, atau Perindo yang didirikan Harry Tanoesoedibyo? Lebih baru dari itu, dan bukan seperti itu. Keduanya, serasa sudah ketinggalan jaman, sama saja. Seperti model relawan Jokowi? Tidak. Itu juga sudah sangat kuno, dan hanya momentum.
Restorasi parpol, adalah sia-sia. Parpol-parpol yang ada kini, perlu dirubuhkan. Tidak dengan cakar-cakaran tentu, “cukup” dengan tidak memilih mereka pada pemilu mendatang, dan mendirikan parpol yang sama sekali baru itu.
Orang sering mengatakan bahwa motivasi tidak berakhir, yah, begitu juga mandi, kata Zig Ziglar dengan nada bergurau. Itulah sebabnya, lanjut Ziglar, kami merekomendasikannya setiap hari. Artinya: Mandilah tiap hari, dengan pandangan dan optimisme baru. Agar kerak-kerak ideologi masa lalu lama-lama hilang dari permukaan kulit kita.
Agar kerak-kerak seperti Abraham Samad, Hasto Kristiyanto, Puan Maharani, Budi Gunawan, Sarpin Rizaldi, Margarito Kamis, Effendy Ghazali, Denny JA, Denny Indrayana, Yudhoyono, Amien Rais, Bambang Soesatyo, Setya Novanto, Fahrie Hamzah, Aziz Syamsudin, Benny Kabur Harman, Fredrich Yunandi, dan yang sejenis-jenis itu, bisa berkurang, dan syukur tiada. 
Setidaknya, di Indonesia ini, pada sudut-sudutnya yang tak tercover media, selalu tumbuh komitmen generasi baru, dengan cara mereka masing-masing, di bebagai lapangan kehidupan. Bahwa ada yang terus mendesak untuk dikerjakan, yakni keberanian untuk mengubah dan berubah. 

1 komentar:

  1. SAYA SEKELUARGA INGIN MENGUCAPKAN BANYAK TERIMAH KASIH KEPADA AKI NAWE BERKAT BANTUANNNYA SEMUA HUTANG HUTANG SAYA SUDAH PADA LUNAS SEMUA BAHKAN SEKARAN SAYA SUDAH BISA BUKA TOKO SENDIRI,ITU SEMUA ATAS BANTUAN AKI YG TELAH MEMBERIKAN ANKA JITUNYA KEPADA SAYA DAN ALHAMDULILLAH ITU BENER2 TERBUKTI TEMBUS..BAGI ANDA YG INGIN SEPERTI SAYA DAN YANG SANGAT MEMERLUKAN ANGKA RITUAL 2D 3D 4D YANG DIJAMIN 100% TEMBUS SILAHKAN HUBUNGI AKI NAWE DI 085-218-379-259

    BalasHapus

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...