Kita tahu, Negara sedang
gonjang-ganjing. Kita juga tahu, masyarakat beragam tanggapan dan pendapatnya.
Termasuk mereka yang mencoba bersikap a-politis, sebagai pernyataan politiknya.
Kita tidak berada di ruang hampa, berinteraksi atau
tidak. Sebuah keniscayaan yang tak bisa dihindari, termasuk pro-kontra. Segala
bentuk kekisruhan yang terjadi pada tataran pemerintahan (kaum elite, pemimpin,
birokrat), pastilah akan berdampak langsung dan tidak pada kehidupan masyarakat.
Karena mau tak mau, semua berkorelasi dengan hajat hidup kita.
Pada beberapa Negara yang kualitas demokrasinya masih
berada dalam proses tarik-ulur, apalagi berkait masalah suksesi,
kegoncangan-kegoncangan itu tentu mau tak mau akan berkait dengan kehidupan warga
negaranya. Itu hal yang tak terhindarkan. Pada posisi itu, proses perubahan
juga sangat dipengaruhi tingkat kepedulian, kualitas dan cara, masyarakat warga
dalam merespons.
Kita hidup dalam masyarakat yang terobsesi dengan opini publik.
Sementara di sisi lain, seperti dikatakan Marco Rubio, leadership has never been
about popularity. Kepemimpinan (yang baik) tidak pernah tentang popularitas. Dan di situ persoalannya. Karena kepemimpinan
akan berbenturan langsung dengan berbagai kepentingan yang berkelindan di sekitarnya.
Pada
masyarakat yang sistem dan mekanisme demokrasinya relatif mapan, akan terasa
lebih tenang, dan seolah terjadi pembagian otomatis, mana urusan elite dan
urusan masyarakat warga. Sehingga dengan demikian kehidupan berlangsung smooth.
Jika pun terjadi permasalahan, sistem dan mekanisme telah tersedia, berjalan
pada jalurnya, sehingga situasi tak hiruk-pikuk, apalagi chaos.
Kita tidak
tahu mana lebih tepat antara pendapat Lippset dengan Huntington, tentang sistem
demokrasi. Indonesia mempunyai sejarah peradabannya sendiri yang harus menjadi
pertimbangan. Indonesia tumbuh dari heterogenitas bangsanya yang kompleks (dan ambisius).
Unifikasi yang terjadi pada masyarakat Eropa sekarang ini, adalah proses menarik
sebagai perbandingan bagi peradaban Nusantara ini.
Pada
kenyataannya, setelah 1957, Indonesia mengalami satu situasi yang dinilai
anti-demokrasi. Hingga paska 1998 sampai kini, tak ada perubahan prinsipal
dalam sistem politik nasional. Oligarki partai, belum juga melihat kedaulatan
rakyat, karena pandangan yang utopis dan elitis.
Lantas,
bagaimana kita masyarakat awam menanggapi semua ini? Tidak semua hal
yang penting dapat dihitung dan tidak semua hal yang dapat dihitung penting,
demikian kata Albert Einstein. Belajar melihat dan menilai secara proporsional,
juga merupakan persoalan bagi masyarakat kita. Dan ini kenyataan yang tumbuh tidak
dengan sendirinya. Pada satu sisi, elite masih memposisikan diri sebagai patron
dengan klien yang belum matang. Pada masyarakat warga, juga tumbuh kesadaran
baru, dengan daya kritisnya masing-masing.
Tentu saja yang lebih mencapekkan, kini semua orang bisa
berbicara, karena berbagai kemudahan teknologi komunikasi dan informasi. Semua
berbicara dengan suara masing-masing, dan sama sekali tak hendak berhenti,
apalagi untuk mendengarkan.
Dan celakanya, apa yang dibicarakan masihlah berkait
dengan Jokowi dengan Prabowo, dengan segala implikasinya. Sesuatu yang mestinya
telah selesai untuk berpindah ke tahap berikutnya, mengkritisi jalannya
kekuasaan, agar rakyat mendapat manfaat dari yang disebut-sebut demokrasi.
Tidak ada dialog di sana, karena yang terjadi hanya
monolog-monolog penuh kebanggaan, penuh pemujaan, bercampur penuh kebencian dan
kemarahan, dan masing-masing merasa benar. Hingga mereka out-focus, sampai pada
klaim-klaim klasik jaman Orde Baru, mendaku kebenaran mutlak pada dirinya dan
kesalahan mutlak pada lain pihak. Jika perlu, menyeret-nyeret agama dan kitab
suci sembari menjajarkan diri sama atau bahkan lebih tinggi daripada Tuhan.
Semua itu akan sangat tergantung kedewasaan kita
menyikapi. Toh kita tidak akan mengorbankan seluruh hidup kita untuk hal-hal
yang tidak dimengerti. Kecuali kita memang memilih bersikap reaktif, dan bukan
responsif, dua hal yang untuk membedakan pun kita belum tentu bisa.
Ketika semua orang berbicara, tergantung apakah kita mau
mendengarkan atau tidak. Mau mengerti atau tidak. Atau sekedar memakluminya
sambil ngelus dada. Untuk kemudian meresponsnya, atau membiarkannya, menjadi
hal produktif atau sia-sia.
saya PAK SLEMET posisi sekarang di malaysia
BalasHapusbekerja sebagai BURU BANGUNAN gaji tidak seberapa
setiap gajian selalu mengirimkan orang tua
sebenarnya pengen pulang tapi gak punya uang
sempat saya putus asah dan secara kebetulan
saya buka FB ada seseorng berkomentar
tentang AKI NAWE katanya perna di bantu
melalui jalan togel saya coba2 menghubungi
karna di malaysia ada pemasangan
jadi saya memberanikan diri karna sudah bingun
saya minta angka sama AKI NAWE
angka yang di berikan 6D TOTO tembus 100%
terima kasih banyak AKI
kemarin saya bingun syukur sekarang sudah senang
rencana bulan depan mau pulang untuk buka usaha
bagi penggemar togel ingin merasakan kemenangan
terutama yang punya masalah hutang lama belum lunas
jangan putus asah HUBUNGI AKI NAWE 085-218-379-259
tak ada salahnya anda coba
karna prediksi AKI tidak perna meleset
saya jamin AKI NAWE tidak akan mengecewakan
saya PAK SLEMET posisi sekarang di malaysia
bekerja sebagai BURU BANGUNAN gaji tidak seberapa
setiap gajian selalu mengirimkan orang tua
sebenarnya pengen pulang tapi gak punya uang
sempat saya putus asah dan secara kebetulan
saya buka FB ada seseorng berkomentar
tentang AKI NAWE katanya perna di bantu
melalui jalan togel saya coba2 menghubungi
karna di malaysia ada pemasangan
jadi saya memberanikan diri karna sudah bingun
saya minta angka sama AKI NAWE
angka yang di berikan 6D TOTO tembus 100%
terima kasih banyak AKI
kemarin saya bingun syukur sekarang sudah senang
rencana bulan depan mau pulang untuk buka usaha
bagi penggemar togel ingin merasakan kemenangan
terutama yang punya masalah hutang lama belum lunas
jangan putus asah HUBUNGI AKI NAWE 085-218-379-259
tak ada salahnya anda coba
karna prediksi AKI tidak perna meleset
saya jamin AKI NAWE tidak akan mengecewakan