Ahok, Basuki Tjahaja Purnama,
gubernur DKI Jakarta, adalah asset penting demokrasi Indonesia. Kalimat pembuka
ini agak bombastis memang. Tetapi ia memang bom, dan siap meledak, untuk
mendekonstruksi system kepolitikan kita. Ahok sedang melakukan ijtihad politik,
yang selama ini telah mengkerak.
Sistem ketatanegaraan kita, dengan lahirnya UUMD3 (berawal
dari konflik pilpres 2014) membuat Negara ini seolah terbelah, hingga kemudian
berujung pada BG, Sarpin, dan kriminalisasi KPK entah itu dari oknum polri atau
pun rombongan tersangka korupsi, yang akan beramai-ramai mempraperadilankan
sangkaan atas dirinya.
Kita tahu keriuhan di Kebonsirih Jakarta, sarang kebijakan
DKI Jakarta konon dirancang. Para anggota legislative itu, 100% menyetujui
memakai hak angket tanpa ba-bi-bu, bahkan dengan takbir segala. Betapa
berkuasanya mereka, hingga tiba-tiba memakai hak itu. Bukan lagi memakai hak
interpelasi terlebih dulu (sesuai prosedur dan mekanisme), artinya hak bertanya.
Tetapi langsung hak angket, yang artinya legislative sudah memposisikan
eksekutif melakukan pelanggaran UU, dan karena itu harus diinvestigasi. Ujung
dari semua itu, ialah pemidanaan yang tak lain adalah pemakzulan. Semudah itu?
Tentu tidak.
Dalam system dan hukum ketatanegaraan kita, legislative
mempunyai hak dan kewajiban melakukan controlling, pengawasan. Namun kita tahu,
dengan UUMD3, perlahan legislative menjadi sangat berkuasa dalam mendisain
semuanya. Mereka punya kekuasaan mengunci, dan bahkan secara sistemik,
menggertak kekuasaan yang tidak sejalan dengan legislative. Pada sisi itu,
fungsi pemerwakilan rakyat bisa menjadi bias, apalagi ketika system kepolitikan
kita yang oligarkis (partai politik masih merepresentasikan elitenya dan bukan
representasi rakyat).
Apa yang terjadi di DKI Jakarta adalah contoh bagaimana
praktik kekuasaan (politik) diterapkan dengan semena-mena. Ada apa?
Tentu saja ada pamrih. Pamrih apa? Pamrih politik, dan itu
menyangkut behavior politik klasik, yakni kekuasaan. Kita tahu selama ini,
sejak 1998, legislative (apalagi di DPRD DKI Jakarta) menjadi sangat jumawa.
Dan di tengah perilaku penguasa-penguasa (eksekutif) yang korup, hal itu
seperti mendapatkan pupuknya. Eksekutif mengikuti legislative, dan bahkan
mereka berkomplot untuk melakukan korupsi sistemik.
DPRD DKI Jakarta melakukan inisiasi hak-haknya secara
berlebihan. Dalam hal anggaran, tentu saja itu kewenangan eksekutif. Namun kini
legislative masuk dalam system penganggaran melalui perangkap-perangkap
sistemnya. Rapat-rapat di komisi, dipecah menjadi rapat dengan berbagai pihak,
dengan ikut menyusun obyek-subyek dan angka-angka. Dan sebuah RAPBD (atau pun
RAPBN) bisa disetujui oleh legislative dengan perubahan-perubahan yang tidak
diketahui oleh top eksekutif (dalam hal ini presiden, gubernur, bupati, dan
sebagainya). Legislatif bisa menekan dan mendesak satuan-satuan kerja di bawah
eksekutif baik itu SKPD atau bahkan Sekda. Legislatif bukan lagi melakukan
fungsi pengawasan, melainkan sudah ke pengarahan. Di sini, kongkalikong,
patgulipat terjadi. Potensi korupsi diciptakan dengan memproduksi hukum (APBD,
APBN) sebagai pembenarannya.
Di Negara berkembang, korupsi tidak dilakukan karena
kesempatan, tetapi karena system yang diciptakan. Disitulah terjadi corruption
by the law.
Pergeseran angka dan subyek-obyek inilah yang dipersoalkan
Ahok, dan kemudian terjadilah drama kunci-mengunci. Ahok menyodorkan RAPBD yang
fix disusunnya, sementara legislative ngotot bahwa RAPBD yang dibawa ke
Mendagri itu RAPBD palsu, versi yang belum disepakati. Itulah dasar pikiran
DPRD DKI Jakarta hendak “mempidanakan” Ahok karena melakukan pelanggaran hukum.
Hingga Ahok meng-kick balik dengan melaporkan ke KPK.
Jika kita lihat RAPBD versi asli (yang disetujui) DPRD, ada angka Rp 12,1 trilyun yang menurut Ahok adalah dana siluman. Apa itu dana siluman? Ialah yang angka-angkanya absurd ditinjau dari segi prioritas, kemanfaatan, dan proporsi. Apalagi hal itu hanya pengulangan anggaran sebelumnya, yang ternyata banyak bermasalah. Misal, banyak sekolah tidak mengajukan, tetapi masuk dalam daftar pengajuan. Penerima dana atau barang misalnya, justeru tidak tahu manfaatnya, menjadi beban, dan atau bahkan tidak menerimanya sama sekali. Praktik ini yang dikhawatirkan Ahok, dan harus diselamatkan.
Jika kita lihat RAPBD versi asli (yang disetujui) DPRD, ada angka Rp 12,1 trilyun yang menurut Ahok adalah dana siluman. Apa itu dana siluman? Ialah yang angka-angkanya absurd ditinjau dari segi prioritas, kemanfaatan, dan proporsi. Apalagi hal itu hanya pengulangan anggaran sebelumnya, yang ternyata banyak bermasalah. Misal, banyak sekolah tidak mengajukan, tetapi masuk dalam daftar pengajuan. Penerima dana atau barang misalnya, justeru tidak tahu manfaatnya, menjadi beban, dan atau bahkan tidak menerimanya sama sekali. Praktik ini yang dikhawatirkan Ahok, dan harus diselamatkan.
Siapa yang akan menang dalam pertarungan ini? Kita
sesungguhnya tidak perlu khawatir soal ini, karena pada akhirnya akan terjadi
kompromi. Para politikus kita, bos-bos parpol, pasti meminta agar para
anggotanya tidak dipermalukan.
Pada berbagai praktik politik di daerah-daerah lain, apa yang
terjadi di DKI Jakarta bukan satu-satunya. Semuanya relative nyaris begitu.
Tapi mereka tidak melawan, bahkan ikut menjadi anggota jamaah korupsiyah.
Dan disitulah Ahok menjadi berbeda. Ia melawan
kesalahkaprahan dan kewenangan legislative yang menjadi persoalan demokrasi
kita sekarang ini. Kualitas, kapasitas, dan moralitas yang rendah dari para
politikus.
Tentu saja, kehadiran orang, dan tingkah laku orang seperti
Ahok, sangat mengganggu mereka yang punya kepentingan korup, berfikir untuk
keuntungan diri dan kelompok kepentingannya.
A leader is
a dealer in hope, kata Jenderal Napoleon Bonaparte. Seorang pemimpin adalah dealer harapan. Tetapi
Anda tahu, di Indonesia tak ada dealership, yang ada hanyalah
dealership. Dan itu pengertiannya bisa berbeda sekali. Mereka hanya menjadi
calo bagi kepentingan-kepentingan koruptif.
Untuk itu, Ahok adalah penting. Ia tidak berpartai
politik, ia logis, dan ia melawan paradigma lama. Wabah Ahok, mestinya bisa
ditularkan ke berbagai daerah, yang selama ini kelihatannya adem-ayem soal
perampokan uang Negara itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar