Jika Anda piknik ke kraton Yogyakarta, maka Anda akan masuk
dari sisi utara atau tengah, melalui pintu depan (tepatnya samping) melewati pagelaran terus masuk ke
selatan. Bagaimana kalau dibalik? Bukan tubuh sampeyan yang dibalik, tapi
routenya justeru dari selatan ke utara. Timbul pertanyaan, mengapa?
Ini memang hanya usulan, sekiranya Kanjeng Sinuwun Hamengku
Buwana X berkenan. Jika tidak, juga tak apa, kita berwisata lewat teks saja.
Bahwa kraton adalah sebuah pusat kebudayaan, begitu sejarah awalnya. Sekarang
pusat kebudayaan adalah Google. Jadi kita wisata via Google saja, melihat
teks-teks masa lalu.
Dari segi arsitektur Jawa, yang penuh simbolisme, bangunan
kraton Ngayogyakarta Hadiningrat memang mempunyai makna. Pangeran Mangkubumi,
yang kemudian menjadi Sri Sultan Hamengku Buwana I pada 1756, membangun
istananya tidak sembarang.
Kita selusuri dari sisi selatan, mulai dari panggung Krapyak
(tak jauh dari Pondok Pesantren Krapyak milik mertua Anas Urbaningrum, sekarang),
Plengkung Nirbaya, alun-alun selatan atau alkid, terus ke utara, merupakan
gambaran perjalanan hidup manusia. Dari dalam roh, masa kanak-kanak, remaja dan
sampai pada puncak cita-cita sebagai raja, personifikasi kemuliaan kehadiran
manusia.
Itulah kenapa di alkid, ada tanah berpasir, pohon kepel,
pohon asem, tanjung, mangga, dan lain sebagainya, yang semuanya itu mengandung
ujaran dan ajaran fase-fase hidup manusia. Tapi siapa coba yang membacai
simbol-simbol dan maknanya itu, jika di alkid yang banyak cuma mereka yang
menyewakan tutup mata dan sepeda berlampu kelap-kelip? Demikianlah jaman.
Ketika perjalanan melewati pagelaran, dalam upacara Garebeg,
perjalanan pulang ke istana (artinya kembali ke arah selatan), adalah gambaran
dari manusia yang berpulang ke
rahmatullah. Berpulang ke alam keabadian dengan mengiklaskan segala benda
duniawi, termasuk pangkat, anak serta isteri.
Jika dilihat dari ini, dan agaknya hal itu juga mempunyai
pengaruhnya pada kepribadian Hamengku Buwana IX sebelum mangkat, kraton
merupakan pelajaran amat menarik tentang
kehadiran manusia di dunia, yang dalam konsep aristrokrasi Jawa, kehidupan
untuk didarmabaktikan pada manusia lain. Apalagi mereka yang mendapat
kesempatan, kepercayaan atau kekuasaan. Makna yang lebih luas dari hal itu,
bukan hanya hak, melainkan beban kewajiban.
Jika para wisatawan mengambil route dari selatan, taruhlah melalui
alun-alun kidul, para guide kraton akan lebih leluasa menerangkan makna simbol arsitektur
awal abad 18 itu. Para peziarah budaya, bukan hanya dikenalkan pada fungsi-fungsi
dari masing-masing tempat, melainkan juga makna dari tempat itu (baik dari
personifikasi bahasa dengan idiom-idiom nama dan jenis pohon misalnya), secara
berangkaian dengan bagian-bagian lain
dari perjalanan hidup manusia di dunia hingga
saat menghadap kembali ke tuhannya.
Cerita para guide secara runtut, niscaya akan merupakan
pelajaran moral tersendiri. Bukan hanya moral Jawa, melainkan juga moral
manusia, makluk sosial, makluk religius
yang sadar akan keberadaannya di dunia. Dengan demikian berwisata ke
kraton tak hanya akan mendapat informasi tentang bentuk-bentuk bangunan, dibuat
tahun berapa dan apa fungsinya. Kompleks peziarahan Sunan Ampel di Surabaya,
mungkin bisa menjadi contoh menarik (atau juga misalnya dalam ziarah religi
berbungkus ibadah haji di Makkah). Semua urutan waktu dan tempat adalah
memorable dan mengambil hikmah.
Mempelajari simbolisasi kraton untuk kembali ke feodalisme? Tentu tidak. Mempelajarinya justru untuk menjadi seorang ‘ningrat’ dalam arti manusia sejati, yang harus dibedakan dengan pegertian feodal. Selama ini selalu ada salah pengertian tentang ‘keningratan’ yang diartikan sebagai life-style ‘feodalistik’. Secara semantik, itu tudingan yang kacau secara logika. Feodalisme adalah ajaran umum, yang bisa lahir di Batak, Bugis, Betawi, Inggris, Perancis, Belanda, dan seluruh permukaan bumi.
Mempelajari simbolisasi kraton untuk kembali ke feodalisme? Tentu tidak. Mempelajarinya justru untuk menjadi seorang ‘ningrat’ dalam arti manusia sejati, yang harus dibedakan dengan pegertian feodal. Selama ini selalu ada salah pengertian tentang ‘keningratan’ yang diartikan sebagai life-style ‘feodalistik’. Secara semantik, itu tudingan yang kacau secara logika. Feodalisme adalah ajaran umum, yang bisa lahir di Batak, Bugis, Betawi, Inggris, Perancis, Belanda, dan seluruh permukaan bumi.
Keningratan adalah konsep ajaran kesempurnaan hidup. Bahwa yang bernama ‘ningrat’ itu,
seseorang harus menggapai lewat perjalanan hidup yang penuh aturan, disiplin,
tata krama dan laku keprihatinan, untuk sampai pada tingkah laku dan budi
pekerti (kesaktian, keilmuan) yang
tinggi.
Jika kemudian pengertian ‘ningrat’ identik dengan kaum
bangsawan kraton, yang kaya raya dan kuasa, karena pada mulanya kraton adalah
sumber atau pusat kehidupan. Untuk masuk kraton, apalagi menjadi raja, harus
memenuhi syarat-syarat tertentu. Hanya mereka yang pandai dan sakti (berilmu
dan ulet) mampu menembus dinding kraton, sebagaimana para urbanis sekarang yang
harus berbekal kepandaian, untuk bisa berhasil di kota besar. Dan istilah
sekarang ningrat adalah kaum elite kita. Kita semua kini, bisa menjadi raja pada
masing-masing kerajaan yang kita bangun (sumber tulisan: Berwisata di Kraton
Bagaimana Jika Sebaiknya Dibalik? Sunardian Wirodono, Kedaulatan Rakyat, 30
Oktober 1988).
Route Kraton
Yogyakarta dari Selatan ke Utara | Untuk menjadi ‘raja’ kita bisa belajar
dari makna simbolis bangunan kraton-kraton Mataram. Coba saja ikuti petunjuk di
bawah ini:
Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, dibangun dengan konsep
simbolis perjalanan anak manusia hingga mencapai puncaknya sebagai raja
(manusia sempurna, pemimpin) dari garis lurus panggung Krapyak, di sebelah
selatan kraton Yogyakarta, tepat diantara garis imajine dari Laut Kidul
melintasi sitihinggil kraton, hingga gunung Merapi di utara.
Krapyak adalah tempat raja berburu rusa, berbentuk panggung di
tanahd lapang. Tempat ini menggambar asal roh-roh manusia. Menuju ke utara,
terdapat kampung ‘Mijen’ yang bermakna sebagai tempat wiji (benih, cikal bakal)
manusia. Pada tepi jalan yang lurus
membujur ke utara, terdapat pohon asem dan tanjung, yang melambangkan
benih manusia haruslah menjadi anak yang lurus budinya (disimbolkan pohon
asem), elok parasnya sebagai buah sanjungan (disimbolkan pohon tanjung)
orangtua.
Melewati Plengkung Gading dan Nirbaya, berarti anak manusia itu
telah melewati batas periode masa
kanak-kanak ke masa puber. Di sini perjalanan akan mencapai ke ‘alun-alun
selatan’, alias alun-alun kidul, dan dikenal sebagai ‘alkid itu, dengan ringin
kurung di tengahnya, yang kini justeru diberhalakan untuk mencari berkah,
sukses karir dan jodoh.
Lima ruas jalan yang bertemu di alun-alun ini, tanah
berpasir, pepohonan kweni, dan pakel yang menggambarkan bahwa: dalam tahap
pra-puber anak manusia masih merupakan
misteri, belum terbentuk kepribadiannya (masih seperti pasr), meski panca-inderanya
sudah berfungsi (lima arus jalan menuju alkid), namun masih belum teratur.
Namun si anak sudah mulai tumbuh keberaniannya, karena menjelang masuk ke alam
akil baliq.
Pada ‘Sasanahinggil’ di sebelah utara alun-alun kidul,
sebelumnya terdapat tratag, tempat istirahat yang kanan kirinya terdapat pohon
gayam yang rindang serta harum baunya. Di sini digambarkan pada masa akil baliq,
manusia melalui proses saling tertarik pada
lawan jenis (disimbolkan pohon
gayam tadi).
Pada Sasanahinggil
ini, dahulu di tengahnya terdapat pendapa, dan di tengah lantai pendapa terdapat ‘selagilang’. Di sekitar
pendapa terdapat pohon mangga cempora,
menggambarkan ketika anak manusia menjadi suami isteri, bercampur dan
menumbuhkan benih baru.
Terus ke utara, sampai ke halaman ‘Kemandungan’ yang
dipenuhi pohon kepel, pelem (mangga), cengkir gading, serta jambu dersana.
Tempat ini melambangkan wanita (ibu-isteri) yang mengandung atas kemauan
bersama, karena saling mengasihi antara suami
dan isteri. Menjadi satu tekad untuk meneruskan kehidupan dalam satu kekuatan.
Dari Kemandungan menuju ke ‘Gedung Mlati’ dan kemudian ‘Kemagangan’,
terdapat jalan yang mula-mula sempit kemudian terang melebar terang-benderang,
menggambar proses kelahiran manusia (yang masih disebut magang, calon manusia).
Selewat ‘magangan’ terdapat dapur kraton yang disebut ‘Gebulan’
atau ‘Sekulangen’, bahwa untuk si anak telah disediakan makanan secukupnya.
Namun, sebagaimana digambarkan jalan besar lurus ke utara menuju kraton,
hendaknya anak dididik menjadi manusia
yang lurus hati (lurus ke utara dengan pancer kursi raja, sebagai sumber
cita-cita dan arah pandang citra budi
luhur).
Perjalanan Menjadi
Raja | Bukan berarti setelah menjadi sultan atau raja, perjalanan manusia
akan selesai sampai disitu. Ada tataran lain yang perlu diingat semasa menjadi
raja. Masih banyak pelajaran simbolis yang harus dilalui.
Seusai upacara Garebeg, dahulu Sri Sultan selalu hadir, dan
selalu kembali ke kraton. Dalam perjalanan
pulang itu, ada beberapa makna yang bisa dipetik.
Mula-mula Sri Sultan keluar dari regol ‘Srimanganti’ menuju
bangsal ‘Pancaniti’. Perjalanan ini bermakna raja sedang meneliti, memeriksa
atau intropeksi. Memusatkan diri dan sujud kepada Sang Maha Pencipta Alam.
Melaksanakan perintahnya, dan kemudian menuju ‘Regol Brajanala’, lantas naik
tangga lantai yang di depannya terdapat tembok yang disebut ‘renteng mentog
baturana’. Maknanya, raja tak perlu khawatir atau sangsi menjalankan hukum negara yang adil.
Dari sini berbelok ke kanan, dan akan didapati pohon jambu
klampok yang bermakna agar raja berkata
yang harum-harum, baik dan benar, niscaya kebaikan dan kebenaranlah yang akan tersebar ke seluruh negeri.
Sampai di Sitihinggil terdapat kemuning berjajar empat, agar
sang raja mulai mengheningkan fikiran. Baru kemudian setelah itu, raja menuju
ke bangsal ‘Witana’ (wiwit ana). Di sini
keberadaan raja dalam kaitannya dengan lingkungan mulai diperhatikan.
Raja duduk di singgasana ‘manguntur tangkil’yang telah
dipersiapkan oleh abdi dalem ‘wignya’ dan ‘derma’, agar raja selalu ingat diri
pandai-pandai (wignya) duduk di
singgasana karena raja hanya sekedar (saderma) mewakili Tuhan yang Mahaesa.
Bangsal ‘Manguntur Tangkil’ adalah bangsal kecil yang
terdapat di tratag ‘Sitihinggil’, yang bermakna bahwa di dalam roh kita terdapat
roh atau jiwa. Makna simbolis lain,
meski raja dihadap hamba sahaya,
namun di Manguntur Tangkil itu raja juga harus menghadap lurus dan teguh pada Tuhan
Penguasa Alam Semesta.
Sebelum raja bersabda, gending Monggang ditabuh pelan, dan mulailah
raja mengheningkan cipta selama beberapa saat. Abdi dalem ‘keparak’ ada di
dekatnya, sebagai simbol raja selalu ingin dekat (keparak) pada kekuasaan
Illahi untuk menjalankan kekuasaan.
Di sekitar tempat duduknya, terdapat abdi dalem kanca kriya,
gemblak, marta-lulut, gangsa, gandhek, singanegara,
majegung, pecat tanda, untuk menggambarkan betapa aneka ragamnya rakyatnya.
Sementara itu ampilan (hiasan-hiasan) banyak dhalang, sswung
galing, ardawalika, kecu-mas, kuthuk,
handil, saput, masing-masing dibawa para manggung dalam pakaiannya yang
indah-indah. Semua itu menggambarkan lambang-lambang kesucian, kewaspadaan, kebijaksanaan,
keberanian, kewibawaan, kegesitan. Sebab raja adalah penyangga segala tanggung
jawab, penghapus segala kekotoran, penerang hati rakyat.
Artinya, untuk menjadi pemimpin moralitas, seseorang tidak
untuk dirinya sendiri, melainkan pelayan seluruh umat. Simbolika moral ini
terus berlanjut, antara tarub agung
sampai tugu, dan gunung merapi.
Dalam samadi raja, alun-alun utara yang sunyi, mengajak raja
(atau seseorang) haruslah memiliki pandangan yang penuh konsentrasi,
mengosongkan segala keinginan, agar lurus
ke utara (pucuk gunung Merapi, personifikasi keillahian). Tidak tergoda di jalan simpang
‘Pengurakan’ (antara Kantor Pos
dan Gedung BNI kini). Juga agar tidak tergoda pada kenikmatan dunia di
sepanjang jalan (antara Senopati, Malioboro, Tugu, dengan adanya pasar
Beringharjo, tempat aneka rupa makanan), demikian juga tidak tergoda oleh
pangkat dan simbol kebendaan (disimbolkan pada bangsal Kepatihan di Malioboro).
Tapi terus lurus ke utara, dari pucuk tugu pal putih (tugu golong gilig, simbol
bersatunya titik fokus kawula-Gusti), untuk kemudian sampai pada tingkat semadi
sempurna, berkonsentrasi sepenuhnya pada Tuhan seru sekalian alam. Kalau cuaca
baik, cobalah kita berada di belakang kursi tahta raja Yogyakarta di bangsa
Witana, dan memandang lurus ke utara, maka seolah kita melihat tv-wall raksasa,
dengan pemandangan sepanjang alun-alun utara, malioboro, tugu, hingga puncak
gunung Merapi.
Perjalanan Ketika
Raja Mangkat | Pelajaran simbolis lain, pada perjalanan Sultan ke kraton,
sebagai gambaran bahwa manusia akan berpulang ke alam baka. Meninggalkan
Sitihinggil, raja akan sampai ke Kemandungan Lor dan melihat pohon ‘Keben’. Maknanya,
tutuplah (tangkeben) mata, telinga, dan rasa, sebab akan menginjak kepada
kematian.
Kemudian di Srimanganti, raja dijemput oleh permaisuri dan
putra-putrinya, sebagai gambaran ketika sudah menginjak ke alam barzah.
Datangnya dua orang bupati nayaka, yang
bertugas menyampaikan perintah dan menyampaikan berita dari luar, adalah
perlambang datangnya dua malaikat, yang memberikan pelajaran pada sang mati di
alam barzah.
Dari Srimanganti raja menuju bangsal ‘Trajumas’ untuk
mengingatkan agar kita selalu dapat
menimbang perbuatan yang betul dan
salah. Dari bangsal ini, pandangan diarahkan
ke selatan pada gedung ‘Purwaretna’ agar raja selalu ingat pada asal muasalnya.
Pada regol ‘Danardapa’, raja diingatkan bahwa sebaik-baik
manusia adalah yang bisa mengalahkan nafsu pribadinya, dan memberi serta
meninggalkan kenikmatan duniawi kepada
orang lain. Melewati plataran kedathon, menaiki bangsal Kencana, raja
diingatkan akan bersatunya kawula-Gusti (manusia bertemu Tuhan), untuk kemudian masuk ke gedung Prabayeksa, dengan lampu yang
tak kunjung padam bernama Kyai Wiji. Menurut kepercayaan Jawa, perjalanan roh
akan mengikuti jalannya cahaya, yang tetap pada keabadian.
Dan terakhir, di sebelah kanan ‘prabayeksa’ terdapat Gedhong
Kuning. Di sini gambaran roh-roh yang telah hening, bening, di keabadian
sorgawi (Kraton Ngayogyakarta
Hadiningrat, Makna Simbolik Perjalanan Hidup Manusia, Sunardian Wirodono, Harian Kedaulatan Rakyat, 15
September 1991).
Berziarah Pada
Peradaban Budaya | Berwisata ke kraton, ke tempat-tempat bersejarah,
mestinya adalah berziarah pada kebudayaan. Akan sama dengan membuka kitab-kitab
pusaka, tentang bagaimana menjadi insan peradaban bangsa dibangun.
‘Inside to kraton today’ akan bermafaat ganda. Meski tentu
para guide harus ditatar terlebih, untuk bisa berkomunikasi dengan idiom-idiom aktual
(kata orang: yang lebih rasional). Bukan hanya pengagungan segi mitos atau keangkerannya
saja. Sebab dari segi faktual saja, berdasar konsep bangunan HB I, semua
mengandung filosofi dan alasan dari segi letak dan bentuknya. Dan teks untuk
menjelaskan itu, masih tersimpan di kraton.
Kita masih ingat, HB IX sudah menyiratkan bagaimana sikap
sebaiknya dalam menghadapi alam tradisi dengan gejala modernitas. Sikap beliau
sendiri tegas, sebuah sintesa dari renungan panjang. “Meskipun saya
berpendidikan Barat, tetapi saya adalah dan tetap orang Jawa.” Waktu itu beliau
28 tahun, masih muda tetapi reflektif.
Dengan sikap itulah, beliau mampu menerjemahkan nilai-nilai kraton
untuk diimplementasikan dalam tindakan nyata, rasional, relevan dengan jamannya.
Para peziarah budaya, untuk mendapatkan berkah dalam pengertian rasional, selain dipuaskan mripatnya
mestinya juga akan dipuaskan hatinya, nuraninya, dan jiwanya. Konon itulah
pariwisata yang sebenarnya. Bermanfaat pada jiwa, mensyukuri nikmat Allah,
mengagumi dan mendapatkan inspirasi bagi kehidupan sosialnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar