Semalaman, setelah memutarkan film-film perang dari
berbagai Negara, bersama anak-anak muda dan tua di sebuah gunung sunyi, saya
terlibat dalam gerakan kata-kata bersama mereka hingga nyaris subuh. Saya
serang mereka dengan kata-kata seadanya: Segala yang dapat diciptakan, telah
diciptakan, demikian sabda Charles H. Duell. Bukan seorang fatalis, melainkan
seorang komisaris hak patent AS pada tahun 1899. Dan para Hegelian pasti
sepakat dengan omongan Hegel, bahwa semua yang riil bersifat
rasional, dan semua yang rasional bersifat riil.
Permainan kata-kata itu
tak pernah lahir dengan sendirinya. Ada banyak teks penjelas yang dihilangkan
dari sana, karena dirasa tak penting dan terlalu menjelas-jelaskan. Mungkin
nasehat belajar ilmu pasti tidaklah buruk-buruk amat. Ilmu pasti yang sederhana
saja, bahwa orang yang belajar pasti pintar, kalau tidak barangkali sial saja.
Bahwa orang makan pasti kenyang, kalau tidak bisa jadi makannya cuma sedikit.
Bahwa orang yang berjuang pasti menang, kalau tidak, yah, mungkin kalah gigih.
Orang pacaran pasti nikah, kalau tidak mungkin lagi apes saja, mana sudah
ketipu pula, atau pacarnya ternyata sudah menikah dengan yang lain.
Semua toh menyiratkan yang
sama, antara yang pasti dan tidak. Kesadaran kita memilih yang pasti, tapi
kepastiannya belum pasti karena ada ketidakpastian di sana, yakni bagaimana
bergelut dengan kepastian-kepastian atau keniscayaan-keniscayaan. Perpektif itu
akan membangun persepsi atau paradigma,
membangun ukuran-ukuran dengan kacamata yang dikenakan. Dalam dagelan
jadul, seorang pelawak akan merasa semua yang dilihatnya hitam, kemudian dia
baru sadar, karena memakai kacamata hitam.
Jika pembacaan atas diri
dan hidup kita tidak lengkap dan terbatas, maka itu juga yang akan menuntun
kita. Mengira Prabowo hebat dan tegas, padahal ia lucu. Membacai Jokowi itu
cungkring, padahal kurus, maka luculah bila ditandingkan kompetitornya. Dan
seterusnya. Itu kerja kacamata yang mengakibatkan yang didapat adalah apa yang
dilihat. Bagi orang yang tidak ringan mulut, semakin banyak kacamata semakin
kaya yang dilihat. Tapi bagi kuda, kacamata yang aneh-aneh akan membuat pusing.
Maka ia, si kuda itu, hanya percaya kacamata kuda yang dibuat manusia.
Seorang penulis bernama Anatole
France, menulis begini: “Buku sejarah yang tidak mengandung kebohongan pastilah
sangat membosankan.” Kita tidak tahu, apakah beliau penulis sejarah yang
ditolak dalam proyek penulisan sejarah Perancis atau bukan. Tidak penting.
Namun, hidup bersama orang suci ternyata jauh lebih melelahkan daripada menjadi
orang suci itu sendiri. Sebagaimana sindiran kolumnis Don Marquis, “Orang yang
munafik adalah orang yang berteriak; Hei, siapa sih yang tidak munafik?” Semua
orang memuji-muji surga, tapi tidak ada yang mau pergi ke sana sekarang juga,
ujar James Baldwin, penulis yang juga aktor.
Sembari menunggui matahari
nongol dari balik bukit, Adolf Hitler ngedumel, “Alangkah beruntungnya penguasa,
bila rakyatnya tidak bisa berpikir,…” Dan apakah yang kita pikir tentang
semuanya ini, bila pemimpin, atau tepatnya politikus seperti kata de Gaulle, tidak
pernah percaya akan ucapan mereka sendiri? Karena itulah mereka sangat terkejut
bila rakyat mempercayainya! Politik itu mahal, bahkan untuk kalah pun harus
mengeluarkan banyak uang. Jangan bertanya pada Will Rogers yang mengatakan,
tapi tanyakan kepada Hasim Djojohadikusumo yang mengalaminya.
To
accomplish great things, we must not only act, but also dream; not only plan,
but also believe, tulis Anatole. Untuk mencapai
kesuksesan, kita jangan hanya bertindak, tapi juga perlu bermimpi. Jangan hanya berencana, tapi juga perlu untuk
percaya. Namun ingatlah, setiap orang mencoba mencapai suatu hal yang
besar, jika tanpa menyadari bahwa hidup itu kumpulan dari hal-hal kecil,
bersiap-siaplah kecewa.
Memang, menurut para
motivator, hebat adalah untuk melakukan satu hal yang biasa dengan cara yang
tidak biasa. Excellence is to do a common
thing in an uncommon way. Tapi visi
tanpa eksekusi adalah lamunan, dan eksekusi tanpa visi adalah mimpi buruk, begitu
peribahasa Jepang. Dan kita? Sering hanya mengerti kesalahan orang lain, karena
kesalahan kita sendiri terletak di punggung kita.
Maka semua yang
dimulai dengan rasa marah, akan berakhir dengan rasa malu, begitu nasehat
Benjamin Franklin. Bukan pada mereka yang sedang marah saja tentu, tetapi kita
yang sedang mau ikut-ikutan marah.
Jika kita hari ini sedang
memperkarakan soal keajaiban 69, dengan segala kenikmatannya, ingatlah di
dalamnya adalah juga paradoks-paradoks itu sendiri. Dan hari-hari ini kita
disuguhi itu, seolah Tuhan tengah bercanda, menyodorkan soal yang mestinya
sudah usai 9 Juli tapi kita olor-olor hingga 21 Agustus, hingga Oktober, hingga
entah kapan nunggu stroke atau stress berat tak ketulungan, atau nunggu kantong
para lawyer penuh-sesak.
Mereka yang menginginkan
impiannya menjadi kenyataan, harus menjaga diri agar tidak tertidur. Dan sungguh, sekarang ini saya ngantuk berat,
karena semalaman berjuang mati-matian, begadangan demi 69 tahun kemerdekaan
Republik Indonesia. Merdeka!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar