Sejak keputusan MK 21 Agustus 2014 lalu, dengan ditolaknya
gugatan Prabowo-Hatta atas keputusan KPU 21 Juli, Jokowi adalah presiden
terpilih Republik Indonesia.
Itu kenyataan politik, suka dan tidak suka, sekiranya
kita menghargai keputusan mayoritas rakyat Indonesia. Itu harga demokrasi, di
tengah klaim-klaim pribadi para pejuang revolusioner, dengan teriakan heroik
menyeru revolusi kelas, namun tak pernah menginjak tanah.
Jokowi, tentu saja akan berubah, karena situasi-situasi
di sekitarnya. Ada protokoler, ada paspampres, dan ada Jusuf Kalla di
sampingnya. Wakil Presiden tentunya hanya pembantu presiden, tetapi pagi-pagi
kita sudah melihat karakter aseli Jusuf Kalla. Sama persis dengan elite politik
kita, sering tidak bijak dalam memberikan pernyataan ke publik.
Tapi itu kenyataan politik yang harus diterima. Lima
tahun ke depan, mungkin proses transisi akan lebih mulus, lepas sama sekali
dari Orde Baru. Keinginan untuk merombak sistem dan kabinet, tentu masih menemu
kendala. Tapi kita berharap, Jokowi tetaplah seorang keras kepala untuk apa
yang diyakininya sebagai berpihak kepada rakyat.
Salute dan hormat untuk Jendral Muldoko, dan para
serdadunya yang adaptif. Kehadiran Jokowi dengan gayanya, akan mengubah pola
kerja protokoler ring 2 dan 3, dan itu lebih baik. Semua pihak, mesti bekerja
untuk itu, agar rakyat bawah tidak disingkirkan. Mau kanan atau kiri, selama
masih ada elite yang hanya berkhidmat pada kepentingan kelompok mereka,
keduanya sama saja buruk.
Setidaknya, dengan Jokowi sebagai presiden, kaum ibu dan
para orangtua bisa mengatakan: Semua orang berhak mencapai cita-citanya,
sebagaimana kata Bung Karno, gantungkan cita-citamu setinggi langit. Indonesia
sudah terlalu lama dikangkangi para elite yang tak lebih dari 3% penduduk
Indonesia tetapi menguasai perputaran 70% kekayaan negeri ini.
Setidaknya, menjelang abad 22 ini, setelah 16 tahun
longsornya Soeharto, pengaruh 32 tahun Orde Baru perlahan bisa disingkirkan.
Setidaknya, garis militer dan dinasti politik darah-biru, bisa dipotong oleh
anak tukang kayu.
Kalau kita perlu membantu Jokowi, bukan dalam rangka
mengimbangi sok seniornya Jusuf Kalla dan gerak-gerik parlemen, dan terutama
kubu yang sampai hari ini menyatakan Jokowi tidak legitimated. Kita membantu
dengan mengawasi Jokowi, apakah tetap berkhidmad pada Negara dan bangsa, atau
tidak.
Apa yang dibutuhkan sekarang adalah rakyat yang
berdaulat, kritis, berani, tetapi pintar dan proporsional. Tidak perlu pose sok
gagah dan heroik. Rakyat bersendiri atau berkelompok bisa membuat parlemen
sosmed. Rakyat bisa berhimpun dalam change.org untuk mendesakkan
kepentingannya. UU produk presiden dan parlemen, bisa dimentahkan oleh satu
orang, jika MK menganggap dalilnya terpenuhi.
Tak butuh lawyer, karena kepentingan rakyat itulah lawyer sejati.
Untuk kritis dan pintar, mesti proporsional. Tidak mudah
diprovokasi media, terutama media online dan televisi milik ARB, Harry Tanoe,
Surya Paloh, dan kelompok kepentingan lain. Cari kebenaran berita dengan
perbandingan, bukan hanya satu media.
Kalau perlu baca 10 media, asal bukan yang satu type
seperti intriknews, inilah.com, pkspiyungan, voaislam, dakwatuna, swaranews,
tikusmerah, vivanews, dan yang sejenis itu, karena hasilnya tentu akan sama
saja, jokowi-hater. Baca media dari tiga kelompok yang berbeda; pro Jokowi, pro
Prabowo, dan di luar itu. Dengan begitu akan terjadi perbandingan memadai, mana
yang hoax dan mana tukang fitnah.
Jokowi silakan berubah karena situasi-kondisi-toleransi
(sikonler) protokoler, kita maklumi. Namun jika kebijakan-kebijakan politiknya berubah
merugikan bangsa dan Negara, mengkhianati janjinya pada rakyat, wajib hukumnya
mengkritisi. Dan itu bukan dosa. Dalam ajaran nabi dan para khalifah, kalau
rujukannya ke Arab, mengingatkan pemimpin itu wajib.
Kita tidak sedang menunggu seorang satria piningit, superstar atau superhero, tetapi kita menginginkan seorang yang lebih meyakinkan untuk mengajak kita bekerja bersama-sama. Yang bekerja untuk tumbuh bersama-sama, karena kepentingan-kepentingan kita yang sama. Sudah terlalu lama rakyat hanya menjadi obyek dan sasaran tipu-daya elite. Rakyat diperdaya, bukan diberdayakan dalam berbagai bentuk kerja-kerja pemerintahan yang koruptif, kolusif, dan manipulatif.
Kita tidak sedang menunggu seorang satria piningit, superstar atau superhero, tetapi kita menginginkan seorang yang lebih meyakinkan untuk mengajak kita bekerja bersama-sama. Yang bekerja untuk tumbuh bersama-sama, karena kepentingan-kepentingan kita yang sama. Sudah terlalu lama rakyat hanya menjadi obyek dan sasaran tipu-daya elite. Rakyat diperdaya, bukan diberdayakan dalam berbagai bentuk kerja-kerja pemerintahan yang koruptif, kolusif, dan manipulatif.
Indonesia masih terbelit utang luar negeri. Banyak
sumberdaya alam dikelola secara mafioso. Angka pengangguran tinggi, dan
enterpreunership serta daya saing SDM masih rendah. Sementara elite politik
kita masih mengidap post-power syndrome dan penyakit gerontolisme!
Semestinya kita menjadi bangsa yang waras dan
proporsional, setelah hampir setengah abad, 32 + 16, perjalanan terus menukik.
Selamat bekerja, Mr. President!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar