Lewat televisi di lantai 26 Hotel Grand Hyatt, Jakarta (21/8), Prabowo Subianto menyimak majelis hakim Mahkamah Konstitusi membacakan putusan sengketa pemilihan presiden. Di griya tawang tersebut pada Kamis pekan lalu, ia ditemani Hatta Rajasa-pasangannya dalam pemilihan-dan elite partai penyokong. Ada Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, Presiden Partai Keadilan Sejahtera Anis Matta, dan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Suryadharma Ali.
Para sekretaris jenderal serta pejabat teras partai juga memantau persidangan dari hotel di jantung Ibu Kota itu.
Dua politikus senior, Akbar Tandjung dan Amien Rais, juga ada di sana. Semua politikus itu menyimak pembacaan putusan tersebut lewat televisi.
Para politikus itu menemani Prabowo hingga malam, sampai majelis rampung membacakan putusan mereka.
Suasana tegang terjadi saat Prabowo Subianto menonton pembacaan putusan sengketa pemilu presiden 2014 yang digelar Mahkamah Konstitusi, Kamis, 21 Agustus 2014 lalu. Saat itu, seperti dimuat di majalah Tempo edisi 25-31 Agustus 2014, Prabowo berada di griya tawang lantai 26 Hotel Grand Hyatt Jakarta.
Prabowo marah saat membaca draf pidato koalisinya dalam menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi yang memenangkan Jokowi-JK. "Kalian berkhianat? Dapat apa dari Jokowi?" kata Prabowo kepada koleganya, para petinggi partai yang mendukung Prabowo-Hatta.
Prabowo kemudian ngeloyor meninggalkan ruangan. Ia kembali beberapa saat kemudian sambil bersungut-sungut menolak putusan Mahkamah Konstitusi. Awalnya, tak ada yang menukas Prabowo.
Peserta pertemuan lainnya menyebut Prabowo sempat marah saat para elite politik pengusung yang ada di sana menyetujui pidato menyikapi putusan Mahkamah. Mereka memang membuat pidato tersebut sebelum Mahkamah selesai membacakan putusan. Isinya, antara lain, menerima putusan bila Mahkamah menolak gugatan mereka sekaligus mengukuhkan kemenangan Jokowi-JK.
Tanda-tanda kekalahan memang sudah terasa sejak satu jam pertama saat majelis hakim Mahkamah Konstitusi membacakan putusan. Sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu di tempat terpisah siang itu juga menolak sebagian besar pengaduan kubu Prabowo-Hatta. Pasangan nomor urut satu ini melaporkan semua anggota Komisi Pemilihan Umum dengan tuduhan berpihak pada rival mereka, Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Calon wakil presiden Hatta Rajasa kemudian mempertanyakan sikap Prabowo. "Mau sampai kapan begini terus?" ujar Hatta ke Prabowo. Hatta lalu menjelaskan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat. Bila gugatan mereka ditolak, Jokowi tetap akan dilantik sebagai presiden.
"Pak Ical kan pernah di pemerintahan, pasti tahu juga soal ini," katanya, merujuk ke Aburizal Bakrie, bekas Menteri Koordinator Perekonomian dan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat.
Hatta Rajasa kemudian mengusulkan mereka menyiapkan pidato untuk menyikapi putusan Mahkamah. Isinya, antara lain, menerima putusan bila Mahkamah menolak gugatan mereka sekaligus mengukuhkan kemenangan Jokowi-JK.
Tudingan Prabowo keluar setelah dia membaca draf pidato guna menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi. Isinya, antara lain, menerima putusan bila Mahkamah menolak gugatan mereka sekaligus mengukuhkan kemenangan kubu pesaing, Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Dia kemudian ngeloyor meninggalkan ruangan dan kembali seraya tetap bersungut-sungut menolak putusan Mahkamah.
Prabowo juga membuat suasana jadi tegang. Hal itu diakui Akbar Tandjung, Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golongan Karya. "Ada suasana yang agak keras, tapi saya tak mau mendetailkan," ujarnya, Jumat, 22 Agustus 2014.
Orang dekat Prabowo yang juga politikus Gerindra, Andre Rosiade, menyanggah kabar bahwa suasana sempat memanas lantaran Prabowo murka. "Saya hadir di situ. Tak ada marah-marah. Suasana tenang, bahkan Pak Prabowo ketawa-ketawa," katanya.
Menurut sumber Tempo, sekitar pukul 20.00 Prabowo akhirnya mau menerima isi pidato tersebut. Dia menjadi orang terakhir yang membubuhkan tanda tangan pada pidato itu. Walau demikian, ia enggan muncul di depan pers untuk membacakan pidato.
Karena Prabowo tak mau menampakkan diri, kata sumber Tempo, para pemimpin partai, termasuk Hatta Rajasa, sepakat tak menghadiri pembacaan sikap. Mereka mendelegasikan urusan ke para sekretaris jenderal. Selanjutnya, para sekretaris jenderal menunjuk politikus Golkar, Tantowi Yahya, membacakan sikap Koalisi Merah Putih--koalisi partai pendukung Prabowo-Hatta.
Dalam konferensi tersebut, Tantowi menyatakan kubunya menerima putusan MK sebagai putusan final. Meski demikian, dia mengatakan bahwa Koalisi Merah Putih bersama para relawan tak akan berhenti memperjuangkan demokrasi. Dia juga mengatakan koalisinya akan tetap berjuang walaupun di luar pemerintahan.
Ahli hukum tata negara dan pengamat politik Indonesia, Refly Harun, mengkritik sikap kubu pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang terus mengupayakan gugatan pemilihan presiden ke lembaga peradilan selain Mahkamah Konstitusi (MK).
Refly menyayangkan keputusan kubu Prabowo mencoba menggugat keputusan pemilihan presiden ke pengadilan tata usaha negara (PTUN). “Sepanjang yang saya lihat, PTUN tidak akan mengabulkan permohonan tersebut,” katanya. Soalnya, dasar pengajuan gugatan sangat lemah dan hanya bisa menyinggung ihwal surat keputusan pemilu.
Refly mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi sudah absolut, bersifat final dan mengikat. Putusan Mahkamah, dia melanjutkan, sudah mencakup hukum dan proses suatu kebijakan yang bersifat sistematis dan terstruktur. “Itu, kan, yang mereka gugat, dan tidak terbukti,” katanya.
Kriminolog dari Universitas Indonesia, Priyono B. Sumbogo, menilai jika ada gugatan soal hasil pemilu presiden setelah putusan Mahkamah Konstitusi maka aksi tersebut bisa digolongkan sebagai tindakan makar. "Sebab, Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga istimewa yang menghasilkan putusan yang sifatnya istimewa," ujarnya di Cikini, Ahad, 24 Agustus 2014.
Ia mencontohkan beragam kasus sengketa pemilu kepala daerah yang disidangkan di MK serta-merta konflik antar-pendukung reda begitu putusan MK dibacakan. "Kasus pemilihan Gubernur di Jawa Timur dan Wali Kota di Palembang berhasil diredam konfliknya begitu putusan MK terbit," ujar Priyono.
Berdasar pertimbangan tersebut, maka Priyono tak ragu untuk menyebut kelompok yang akan melakukan gugatan pasca-putusan MK sebagai penjahat dan melakukan makar. "Sebab, kelompok ini berpotensi menghasut rakyat dan mengancam legitimasi presiden terpilih yang sudah dikuatkan putusan MK.”
Direktur Eksekutif Pol-Tracking Institute, Hanta Yuda, menilai gugatan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa ke Pengadilan Tata Usaha Negara lebih banyak berdampak negatif. Menurut dia, masyarakat bisa menilai Prabowo-Hatta tak legawa terhadap hasil pemilu presiden.
"Masyarakat jenuh dengan sengketa pemilu yang tak kunjung usai," kata Hanta saat dihubungi Tempo, Jumat, 22 Agustus 2014.
Efeknya, kata Hanta, popularitas Prabowo-Hatta pun kian menurun. Padahal, masyarakat bisa saja tetap mendukung Prabowo-Hatta jika keduanya mengakui kemenangan Jokowi-JK. Masyarakat pun bisa mendapat pelajaran demokrasi seandainya Prabowo-Hatta menerima hasil pemilu presiden.
Anggota tim kuasa hukum Joko Widodo-Jusuf Kalla, Teguh Samudera, menilai keinginan tim advokasi Prabowo Subianto-Hatta Rajasa menggugat Komisi Pemilihan Umum ke Pengadilan Tata Usaha Negara tak punya dasar hukum. Sebabnya, keputusan KPU tidak bisa digugat di PTUN.
"Tidak semua keputusan bisa digugat ke PTUN," kata Teguh kepada Tempo, Senin, 18 Agustus 2014. "Obyek gugatan tim Prabowo nanti tidak memenuhi syarat hukum yang pas, sehingga tidak bisa dilakukan."
Menurut Teguh, dalam UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang telah diubah dengan UU Nomor 51 Tahun 2009 dijelaskan bahwa segala macam keputusan KPU daerah sampai KPU pusat tidak bisa digugat. Dengan demikian, jika nantinya tim Prabowo tak puas dengan hasil Mahkamah Konstitusi dan menggugat KPU ke PTUN, hasilnya akan menjadi nihil.
Teguh juga mengatakan akan selalu membela KPU jika nanti dibentuk panitia khusus pemilihan presiden di parlemen. Namun hingga saat ini dia pesimistis pansus pilpres itu akan terbentuk. "Itu hanya hiruk-pikuk politik," ujarnya. "Tidak mungkin juga kalaupun pansus pilpres dibentuk akan membatalkan kemenangan Jokowi."
Juru bicara Koalisi Merah Putih, Tantowi Yahya, mengatakan koalisinya mengakui keputusan Mahkamah Konstitusi. Menurut dia, langkah politik dan keadilan akan tetap dikawal oleh koalisi pengusung Prabowo-Hatta ini.
"Kami menerima putusan MK sebagai putusan yang final terhadap pilpres," kata Tantowi dalam konferensi pers di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, Kamis, 21 Agustus 2014.
Tantowi mengatakan Koalisi Merah Putih bersama para relawan tak akan berhenti memperjuangkan demokrasi. Dia juga mengatakan koalisinya akan tetap berjuang walaupun di luar pemerintahan.
Pengakuan ini ditandatangani oleh semua ketua umum partai pengusung Koalisi Merah Putih. Konferensi pers ini dihadiri oleh Sekjen Gerindra Ahmad Muzani, Sekjen Partai Bulan Bintang Wibowo, Sekjen PPP Romahurmuziy, Sekjen PAN Taufik Kurniawan, Sekjen PKS Taufik Ridho, dan Sekjen Golkar Idrus Marham. Ada pula Fadli Zon dari Gerindra, Fahri Hamzah dari PKS, dan sebagainya.
Para sekretaris jenderal serta pejabat teras partai juga memantau persidangan dari hotel di jantung Ibu Kota itu.
Dua politikus senior, Akbar Tandjung dan Amien Rais, juga ada di sana. Semua politikus itu menyimak pembacaan putusan tersebut lewat televisi.
Para politikus itu menemani Prabowo hingga malam, sampai majelis rampung membacakan putusan mereka.
Suasana tegang terjadi saat Prabowo Subianto menonton pembacaan putusan sengketa pemilu presiden 2014 yang digelar Mahkamah Konstitusi, Kamis, 21 Agustus 2014 lalu. Saat itu, seperti dimuat di majalah Tempo edisi 25-31 Agustus 2014, Prabowo berada di griya tawang lantai 26 Hotel Grand Hyatt Jakarta.
Prabowo marah saat membaca draf pidato koalisinya dalam menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi yang memenangkan Jokowi-JK. "Kalian berkhianat? Dapat apa dari Jokowi?" kata Prabowo kepada koleganya, para petinggi partai yang mendukung Prabowo-Hatta.
Prabowo kemudian ngeloyor meninggalkan ruangan. Ia kembali beberapa saat kemudian sambil bersungut-sungut menolak putusan Mahkamah Konstitusi. Awalnya, tak ada yang menukas Prabowo.
Peserta pertemuan lainnya menyebut Prabowo sempat marah saat para elite politik pengusung yang ada di sana menyetujui pidato menyikapi putusan Mahkamah. Mereka memang membuat pidato tersebut sebelum Mahkamah selesai membacakan putusan. Isinya, antara lain, menerima putusan bila Mahkamah menolak gugatan mereka sekaligus mengukuhkan kemenangan Jokowi-JK.
Tanda-tanda kekalahan memang sudah terasa sejak satu jam pertama saat majelis hakim Mahkamah Konstitusi membacakan putusan. Sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu di tempat terpisah siang itu juga menolak sebagian besar pengaduan kubu Prabowo-Hatta. Pasangan nomor urut satu ini melaporkan semua anggota Komisi Pemilihan Umum dengan tuduhan berpihak pada rival mereka, Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Calon wakil presiden Hatta Rajasa kemudian mempertanyakan sikap Prabowo. "Mau sampai kapan begini terus?" ujar Hatta ke Prabowo. Hatta lalu menjelaskan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat. Bila gugatan mereka ditolak, Jokowi tetap akan dilantik sebagai presiden.
"Pak Ical kan pernah di pemerintahan, pasti tahu juga soal ini," katanya, merujuk ke Aburizal Bakrie, bekas Menteri Koordinator Perekonomian dan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat.
Hatta Rajasa kemudian mengusulkan mereka menyiapkan pidato untuk menyikapi putusan Mahkamah. Isinya, antara lain, menerima putusan bila Mahkamah menolak gugatan mereka sekaligus mengukuhkan kemenangan Jokowi-JK.
Tudingan Prabowo keluar setelah dia membaca draf pidato guna menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi. Isinya, antara lain, menerima putusan bila Mahkamah menolak gugatan mereka sekaligus mengukuhkan kemenangan kubu pesaing, Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Dia kemudian ngeloyor meninggalkan ruangan dan kembali seraya tetap bersungut-sungut menolak putusan Mahkamah.
Prabowo juga membuat suasana jadi tegang. Hal itu diakui Akbar Tandjung, Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golongan Karya. "Ada suasana yang agak keras, tapi saya tak mau mendetailkan," ujarnya, Jumat, 22 Agustus 2014.
Orang dekat Prabowo yang juga politikus Gerindra, Andre Rosiade, menyanggah kabar bahwa suasana sempat memanas lantaran Prabowo murka. "Saya hadir di situ. Tak ada marah-marah. Suasana tenang, bahkan Pak Prabowo ketawa-ketawa," katanya.
Menurut sumber Tempo, sekitar pukul 20.00 Prabowo akhirnya mau menerima isi pidato tersebut. Dia menjadi orang terakhir yang membubuhkan tanda tangan pada pidato itu. Walau demikian, ia enggan muncul di depan pers untuk membacakan pidato.
Karena Prabowo tak mau menampakkan diri, kata sumber Tempo, para pemimpin partai, termasuk Hatta Rajasa, sepakat tak menghadiri pembacaan sikap. Mereka mendelegasikan urusan ke para sekretaris jenderal. Selanjutnya, para sekretaris jenderal menunjuk politikus Golkar, Tantowi Yahya, membacakan sikap Koalisi Merah Putih--koalisi partai pendukung Prabowo-Hatta.
Dalam konferensi tersebut, Tantowi menyatakan kubunya menerima putusan MK sebagai putusan final. Meski demikian, dia mengatakan bahwa Koalisi Merah Putih bersama para relawan tak akan berhenti memperjuangkan demokrasi. Dia juga mengatakan koalisinya akan tetap berjuang walaupun di luar pemerintahan.
Ahli hukum tata negara dan pengamat politik Indonesia, Refly Harun, mengkritik sikap kubu pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang terus mengupayakan gugatan pemilihan presiden ke lembaga peradilan selain Mahkamah Konstitusi (MK).
Refly menyayangkan keputusan kubu Prabowo mencoba menggugat keputusan pemilihan presiden ke pengadilan tata usaha negara (PTUN). “Sepanjang yang saya lihat, PTUN tidak akan mengabulkan permohonan tersebut,” katanya. Soalnya, dasar pengajuan gugatan sangat lemah dan hanya bisa menyinggung ihwal surat keputusan pemilu.
Refly mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi sudah absolut, bersifat final dan mengikat. Putusan Mahkamah, dia melanjutkan, sudah mencakup hukum dan proses suatu kebijakan yang bersifat sistematis dan terstruktur. “Itu, kan, yang mereka gugat, dan tidak terbukti,” katanya.
Kriminolog dari Universitas Indonesia, Priyono B. Sumbogo, menilai jika ada gugatan soal hasil pemilu presiden setelah putusan Mahkamah Konstitusi maka aksi tersebut bisa digolongkan sebagai tindakan makar. "Sebab, Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga istimewa yang menghasilkan putusan yang sifatnya istimewa," ujarnya di Cikini, Ahad, 24 Agustus 2014.
Ia mencontohkan beragam kasus sengketa pemilu kepala daerah yang disidangkan di MK serta-merta konflik antar-pendukung reda begitu putusan MK dibacakan. "Kasus pemilihan Gubernur di Jawa Timur dan Wali Kota di Palembang berhasil diredam konfliknya begitu putusan MK terbit," ujar Priyono.
Berdasar pertimbangan tersebut, maka Priyono tak ragu untuk menyebut kelompok yang akan melakukan gugatan pasca-putusan MK sebagai penjahat dan melakukan makar. "Sebab, kelompok ini berpotensi menghasut rakyat dan mengancam legitimasi presiden terpilih yang sudah dikuatkan putusan MK.”
"Masyarakat jenuh dengan sengketa pemilu yang tak kunjung usai," kata Hanta saat dihubungi Tempo, Jumat, 22 Agustus 2014.
Efeknya, kata Hanta, popularitas Prabowo-Hatta pun kian menurun. Padahal, masyarakat bisa saja tetap mendukung Prabowo-Hatta jika keduanya mengakui kemenangan Jokowi-JK. Masyarakat pun bisa mendapat pelajaran demokrasi seandainya Prabowo-Hatta menerima hasil pemilu presiden.
Anggota tim kuasa hukum Joko Widodo-Jusuf Kalla, Teguh Samudera, menilai keinginan tim advokasi Prabowo Subianto-Hatta Rajasa menggugat Komisi Pemilihan Umum ke Pengadilan Tata Usaha Negara tak punya dasar hukum. Sebabnya, keputusan KPU tidak bisa digugat di PTUN.
"Tidak semua keputusan bisa digugat ke PTUN," kata Teguh kepada Tempo, Senin, 18 Agustus 2014. "Obyek gugatan tim Prabowo nanti tidak memenuhi syarat hukum yang pas, sehingga tidak bisa dilakukan."
Menurut Teguh, dalam UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang telah diubah dengan UU Nomor 51 Tahun 2009 dijelaskan bahwa segala macam keputusan KPU daerah sampai KPU pusat tidak bisa digugat. Dengan demikian, jika nantinya tim Prabowo tak puas dengan hasil Mahkamah Konstitusi dan menggugat KPU ke PTUN, hasilnya akan menjadi nihil.
Teguh juga mengatakan akan selalu membela KPU jika nanti dibentuk panitia khusus pemilihan presiden di parlemen. Namun hingga saat ini dia pesimistis pansus pilpres itu akan terbentuk. "Itu hanya hiruk-pikuk politik," ujarnya. "Tidak mungkin juga kalaupun pansus pilpres dibentuk akan membatalkan kemenangan Jokowi."
Juru bicara Koalisi Merah Putih, Tantowi Yahya, mengatakan koalisinya mengakui keputusan Mahkamah Konstitusi. Menurut dia, langkah politik dan keadilan akan tetap dikawal oleh koalisi pengusung Prabowo-Hatta ini.
"Kami menerima putusan MK sebagai putusan yang final terhadap pilpres," kata Tantowi dalam konferensi pers di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, Kamis, 21 Agustus 2014.
Tantowi mengatakan Koalisi Merah Putih bersama para relawan tak akan berhenti memperjuangkan demokrasi. Dia juga mengatakan koalisinya akan tetap berjuang walaupun di luar pemerintahan.
Pengakuan ini ditandatangani oleh semua ketua umum partai pengusung Koalisi Merah Putih. Konferensi pers ini dihadiri oleh Sekjen Gerindra Ahmad Muzani, Sekjen Partai Bulan Bintang Wibowo, Sekjen PPP Romahurmuziy, Sekjen PAN Taufik Kurniawan, Sekjen PKS Taufik Ridho, dan Sekjen Golkar Idrus Marham. Ada pula Fadli Zon dari Gerindra, Fahri Hamzah dari PKS, dan sebagainya.
Disarikan dari kumpulan berita Tempo.Co., 25-27 Agustus 2014