Senin, Februari 03, 2014

Untuk Indonesia Diperlukan Orang Baik atau Kebaikan?

Komentar Anies R. Baswedan, bahwa negara Republik Indonesia bermasalah, karena banyak orang baik diam dan memdiamkan.
Kata-kata itu seolah benar adanya. Namun tentu tak sesederhana bagi orang yang tidak sedang berjuang untuk menggapai kepercayaan publik. Setidaknya, selama ini, ke mana saja Anies R. Baswedan itu berada?
Baiklah kita pakai sejenak logikanya. Jika negara bermasalah, bukanlah di dalamnya karena faktor pemerintahannya juga? Dan bukankah Anies, yang kita anggap sebagai orang baik, selama ini juga tidak diam? Baik sebagai orang yang pernah menjadi panitia seleksi calon presiden, dan juga pernah ikut menjadi orang yang ikut membenahi dan mengawasi KPK, disamping sebagai pengajar di Paramadina dan menjadi penggerak Indonesia Mengajar?
Ataukah Anies sendiri tidak yakin bahwa dirinya baik, sebagaimana ditunjukkan dari apa yang sudah dilakukannya? Sehingga keikutsertaannya dalam membenahi negeri ini tidak ber-efek dan tetap membuat negara bermasalah? Atau, balik lagi ke pertanyaan dasarnya, apakah itu karena selama ini Anies tidur, dan baru sadar sekarang, ketika dirinya mencalonkan sebagai bakal calon presiden, mengikuti konvensi capres Partai Demokrat 2014 ini?
Media tidak pernah memberikan persepktif dalam setiap pemberitaannya. Apalagi media online, yang dari proses mewawancarai nara sumber hingga menyajikannya ke media, pun telah datang dengan persepsi yang dibawa dari posisi medianya? Tak ada eksplorasi dan penjelajahan mengenai hal itu, sehingga hampir semua berita-berita media kita sering kehilangan dimensinya. Tetapi potongan-potongan pernyataan tokoh-tokoh kita yang berseliweran di media, juga menunjukkan kelemahan pokok. Mereka hanya mengandalkan pernyataan-pernyataan normatif, textual, yang pada hematnya sering tidak berkorelasi dengan pokok masalah yang ada dalam masyarakat.
Pernyataan model Anies R. Baswedan, tidak jauh berbeda dengan bakal capres lainnya dari konvensi Partai Demokrat. Tak jauh beda dengan pernyataan berbagai capres partai-partai politik lainnya juga. Dimensi yang tampak hanya pada posisi di mana mereka adalah orang yang berbeda, orang yang baik, orang yang benar, orang yang memiliki posisi lebih mulia. Sementara obyek pernyataan mereka sebagai lawan, berada dalam posisi di bawah mereka.
Tentu saja, konteks pernyataan mereka tak bisa dilepaskan dari kepentingan subyektif mereka sebagai orang yang sedang menawarkan posisinya.
Kembali pada pernyataan Anies, seolah ia hendak menisbikan atau melalaikan bahwa negara tidak dibangun, atau setidaknya, oleh subyek atau kelompok subyek tertentu, yakni orang baik. Karena di dalam keberadaan sekelompok orang baik tentu saja ada sistem yang melahirkan mekanisme. Pada prakteknya nanti akan terlihat, bagaimana segala sesuatunya tidak semudah yang dikatakan Anies, bahwa yang diperlukan adalah orang baik yang terlibat. Terlibat dalam hal apa?
Pada kenyataannya juga terbuktikan, begitu banyak orang baik, yang sadar dan tidak sadar, tergilas oleh suatu sistem dan mekanisme. Atau bahkan, mereka dimanfaatkan untuk membangun suatu sistem dan mekanisme yang bukannya tidak lebih buruk dari yang buruk. Segala sesuatunya dimungkinkan karena sistem yang dibangunnya berada dalam satu-kesatuan yang ruwet, tumpang-tindih, dan salang-tunjang.
Sebagai sebuah ibarat, Jokowi sebagai gubernur Jakarta, bersama Ahok sebagai wakilnya, tidaklah cukup mampu untuk mengatasi permasalahan Jakarta. Jakarta bukan hanya butuh orang baik (sekiranya Jokowi dan Ahok orang baik), melainkan juga butuh suatu tatanan baru akan adanya sistem dan mekanisme menuju ke arah perbaikan itu. Sementara dalam berbagai hal, sistem dan mekanisme peraturan perundang-undangannya, satu-sama lain bisa tumpang-tindih dengan persoalan-persoalan di luar dirinya. Ada permasalahan psiko-sosial masyarakat, ada persoalan dinamika perputaran ekonomi, dewan legislasi dan posisi Daerah Khusus Ibukota Republik Indonesia yang butuh peninjauan ulang perundang-undangannya dengan kewenangan dan keberadaan Pemerintah Pusat, hingga pada berbagai kepentingan Pemerintahan Pusat dan pemerintahan daerah-daerah penyangganya, dikaitkan dengan eskalasi kepentingan politik dan ekonomi kita saat ini. Bahwa keberanian Jokowi dan Ahok dalam bertindak sebagai individu, telah menampakkan beberapa perbedaan significant dibanding beberapa penguasa DKI Jakarta sebelumnya. Namun dalam konfigurasi politik sekarang ini, apa yang terjadi juga tak semudah yang dikatakan oleh Anies.
Kebaikan saja tidaklah cukup. Bukan bersebab kebaikan tidak penting, tetapi kebaikan semestinya adalah masalah dasar yang sudah tidak menjadi persoalan lagi, karena pada dasarnya dan akhirnya, semua orang sesungguhnya menginginkan dan mempunyai hal baik itu. Sesuatu yang intrinsik ada dalam kalbu masyarakat itu sendiri. Bahkan kenyataan pula, di daerah kaum penjahat pun, mereka juga mempunyai nilai dan ukuran untuk kebaikan bersama. Sudut pandang dan cara saja yang berbeda.
Sama seperti ketika sesama bakal capres Partai Demokrat yang lainnya, seperti Ketua DPD Imran Gusman, yang mengatakan bahwa keberadaan KPK justeru menghambat pembangunan,... Hal itu tentu berdasar pemahamannya, tindak kehati-hatian yang diperlukan dalam sistem birokrasi anggaran kita, bertabrakan dengan aturan-aturan yang ketat dan kaku dari KPK, yang pada akhirnya membuat para pengambil keputusan tidak berani mengambil resiko. Ketidakberanian mengambil resiko, membuat bahwa lebih baik tidak melakukan apa-apa daripada melakukan apa-apa tapi salah. Logika pemikiran Imran Gusman, sangat menyesatkan, karena toleran pada mentalitas korup yang cenderung menyalahkan orang lain, dan bukan masuk ke dalam nilai kebenaran inklusi pada dirinya.
Pada sisi itu, bukan hanya orang baik diperlukan, melainkan orang yang berani bertindak. Tentu saja kita mengenal pepatah yang mengatakan berani karena benar. Tetapi jika orang benar tidak berani, bukan berarti ia mendiamkan atau diam saja, juga bukan karena tidak berani mengambil resiko. Melainkan di sana juga ada fakta lain, bahwa pembenahan birokrasi atau manajemen pemerintahan tidak terjadi. Apakah masalah ini di-diam-kan oleh orang-orang baik, seperti Anies Baswedan, dan juga oleh para pengamat dari kalangan kampus dan masyarakat, yang terus menerus tak lelah-lelahnya menyuarakan kebenaran? Bukankah artinya mereka semua sedang dan bakal diam dan mendiamkan masalah ini? Tetapi apa yang menjadi respons pemerintah yang menjadi obyek kritik? Sistem dan mekanisme demokrasi kita, tidak memungkinkan suara kebenaran berkuasa di negeri ini.
Mengapa tidak dimungkinkan? Karena partai politik telah merampok kedaulatan rakyat dalam sistem oligarki partai politik yang tidak terkontrol. Ketika rakyat memilih wakil-wakilnya, maka pertaliannya hanya beberapa detik pada saat pencoblosan. Sebelum dan apalagi sesudahnya, sama sekali tidak ada ikatan di antara mereka. Artinya jika ada pengkhianatan, atau penipuan, atas kepercayaan rakyat yang diperolehnya, tidak ada sangsi apapun, kecuali sangsi moral politik, bahwa kelak mereka tidak akan dipilih lagi. Dan itu artinya membiarkan mereka berbuat salah dan bermasalah selama satu periode?
Padahal kita tahu, buat apa "kelak" itu ketika kita dibilang "diam" atau "mendiamkan" dalam periode waktu kekuasaan mereka? Sama saja bohong. Sedang yang namanya hukuman moral politik pada pemilu berikutnya, adakah yang menjamin bahwa penipuan dengan berbagai modusnya tidak berulang, dan rakyat tak bisa menarik kepercayaannya, serta disandera selama satu periode kepercayaan dan kekuasannya?
Begitu juga hubungan pemimpin dan yang dipimpin, rakyat dengan presiden yang dipilihnya, dan apalagi dengan para menteri pembantu presiden yang dipilih oleh presiden, demikian juga lembaga-lembaga negara seperti kepolisian, kejaksaan, kehakiman, KPK, KY, dan berbagai komisi negara baik yang ad-hoc maupun permanen. Apakah selama ini mereka lepas dari kontrol sosial masyarakat? Pada jaman internet ini, seorang Ibu Negara yang cerewet dan pemarah pun bisa menjadi hantaman dan bulan-bulanan publik (ketika media mainstream tidak punya kejelasan sikap, dan kemudian hanya mengekor 'temuan' media sosial), apakah itu tanda masyarakat pasif, diam, dan mendiamkan? Tidak. Keccuali kata mendiamkan yang dimaksud adalah rakyat tidak mau masuk ke dalam sistem, atau bahkan rakyat mendiamkan karena tidak berani bertindak sendiri-sendiri.
Tentu saja bukan itu yang dimaksudkan. Tetapi jika tidak demikian, lantas apa?
Lantas, ya, lihatlah permasalahannya secara proporsional. Pernyataan Anies R. Baswedan, haruslah diletakkan dari upaya dirinya menjawab keraguan orang-orang, kenapa dirinya mengiyakan ketika diajak oleh Partai Demokrat masuk dalam konvensi partai politik. Sementara posisi parpol semacam Pardem, sedang mencemaskan karena berbagai kasus korupsi dan bermasalah secara organisasi. Anies hanya ingin berkata; Jangan nilai negatif langkah saya, karena kalau soal kesalahan mana ada parpol yang tidak bermasalah?
Kita tidak melihat korelasi dan inspirasinya, ketika Anies masuk dalam sistem (meski baru mengiyakan ajakan ikut konvensi, tetapi dalam anggapannya ia tidak berdiam diri), toh masalah partai politik itu sama sekali tidak tersentuh olehnya? Tidak terinspirasi dan termotivasi oleh kata-kata Anies? Apalagi dalam satuan yang lebih besar, negara tentu tak semudah yang dikatakan oleh Anies. Karena bukan hanya orang yang baik yang kita butuhkan, tetapi kebaikanlah yang kita haruskan. Indonesia selalu dipesona oleh tokoh, subyek, pelaku, tetapi tak pernah bisa menjabarkan apa itu kebaikan, obyek, dan kelakuan.
Sampai-sampai, hari gini orang masih mengharap tentang satrio piningit, otak-athik ramalan 'notonagoro' dan sejenisnya itu. Pantas saja Anies R. Baswedan jadi tampak sedikit lebih cerdas. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...